Hari berlalu dengan cepat, turnamen dua hari lagi akan digelar. Sore nanti ada technical meeting untuk peserta delegasi dari kesatrian yang sudah mendaftar dan malamnya dilanjut dengan pesta penyambutan peserta sekaligus perayaan ulang tahun Pandji yang ke-17.
Sementara sekarang hari masih terlalu pagi untuk Pandji membuka mata. Latihan bersama ayahnya semalam menguras semua tenaganya, tidak ada yang kecewa walaupun Pandji masih belum bisa menang. Kalah pengalaman dan tenaga dalam adalah penyebab utamanya.
Cahaya kuning emas membias pada tirai yang menutupi jendela kamar Pandji, tapi terang itu sama sekali tidak mengusik Pandji.
Lelap Pandji tidak berlangsung lama, suara ketukan pintu kamarnya semakin nyaring. Awalnya hanya ketukan ringan dan suara Giandra yang bergema seperti lonceng, lalu berlanjut dengan suara halus Atika dan ketukan teratur yang sama sekali tak berhenti mengganggunya.
Membuka matanya Pandji berjalan sempoyongan menarik handle pintu, "Ada apa?"
"Ibunda menunggu Mas Pandji di meja makan besar, sarapan sudah siap."
"Aku belum lapar juga belum mandi, aku tidak ikut sarapan …," ucap Pandji hampir menutup kembali pintu kamarnya.
"Tapi … Mas Pandji harus ikut, Ibunda berpesan untuk memakai baju yang pantas. Saya akan siapkan bajunya sekarang, Mas Pandji bisa mandi dulu!"
Pandji baru sadar Ibunda mengundang sarapan di meja makan besar? Artinya ada acara formal dan ada tamu yang akan sarapan bersama keluarganya.
"Siapa yang bertamu sepagi ini?"
"Kenalan Eyang dari Solo," jawab Atika sopan.
"Ehh … berapa orang tamunya?"
"Tiga orang, Mas."
Pandji menautkan kedua alis dan langsung memijit kepalanya begitu ingat kalau kemungkinan tamu tersebut salah satunya adalah calon tunangannya.
"Baiklah, kamu boleh pergi setelah menyiapkan pakaian. Aku mau mandi."
Mengguyur tubuh dan kepalanya, Pandji memikirkan banyak ide dan apa saja yang harus dilakukannya setelah keluar kamar mandi.
Meski Eyang buyutnya secara mudah mengatakan bahwa itu hanya ikatan sementara yang bisa Pandji putuskan jika tidak ingin melanjutkan ke tahap serius, tetap saja membuat Pandji merasa tertekan.
Pandji tidak mau menambah beban otaknya dengan memikirkan banyak perempuan.
Kenapa aku tadi tidak menanyakan pada Atika lebih jelas lagi siapa tiga orang dari Solo itu?
Selesai membersihkan badannya, Pandji tidak memakai pakaian yang sudah disiapkan Atika. Dia justru memakai baju santai dan memasukkan beberapa kebutuhan ke dalam tasnya.
Memakai hoodie (jaket bertudung) kesayangannya, Pandji menyingkap tirai jendela yang masih tertutup.
Pandji membuka jendela perlahan dan mengawasi sekitar rumah. Di merasa beruntung memilih kamar di bawah dan paling depan, jadi jika akan meloloskan diri seperti ini tidak terlalu sulit.
Dirasa aman Pandji melangkahkan kaki lewat satu jendela besar yang biasa dibuka setiap hari untuk ventilasi udara ke dalam kamarnya. Dia mengumpat karena harus kembali ke kamar untuk mengambil ponselnya yang tertinggal di atas tempat tidur.
Dengan kecepatan maksimal, Pandji bergerak memasukkan ponsel ke dalam kantong jaket setelah mengubah nada dering ke mode getar. Dia tidak ingin ditemukan dengan konyol jika tiba-tiba ponselnya berbunyi.
Kali ini Pandji berhasil keluar, dia menutup tirai perlahan dan juga merapatkan jendela dari luar agar kembali dalam posisi semula.
"Ehem …."
Pandji menghembuskan nafas berat saat mendengar suara orang berdehem tak jauh darinya, suara yang sangat dikenalnya, suara yang sering memergokinya di saat paling tidak diinginkan. Siapa lagi kalau bukan Ayahnya?!
Bukankah seharusnya Ayah ada di meja makan besar menemani para tamu?!
Pandji mengedar pandangan sampai bertemu mata dengan ayahnya, "Selamat pagi, Ayah! Sedang apa di luar sini?"
"Mengajari putranya agar lebih bertanggung jawab sebagai laki-laki," jawab Ayah Pandji dengan senyum bijaksana.
Pandji mendengus dan masuk kembali ke dalam kamarnya melalui jendela, dia disambut Ibunya yang ternyata sudah menunggu di dalam dengan senyum lembut.
Pandji tidak bisa tidak bertanya, "Ibunda sedang apa di kamar Pandji?"
"Memastikan putranya berpakaian layak dan menepati kata-kata yang sudah diucapkan tempo hari!"
Pandji menyerah, dia tersenyum canggung dan memasang wajah polos agar Ibundanya tak marah.
"Anu … Pandji cuma ngecek jendelanya apa bisa dilewati orang, takut ada pencuri masuk, Ibunda! Pandji nggak kemana-mana …."
Ibundanya menaikkan alis dan menyeringai jenaka seraya mengulurkan pakaian yang harus dikenakan Pandji.
Astaga … bagaimana bisa mereka begitu kompak jadi orang tua? Tidak adakah jalan lari lagi untukku?
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 180 Episodes
Comments
Hulatus Sundusiyah
wkwkwk.
suka lihat kekompakan Al n Selia...
Thor.. dinara sama andric ga kelihatan niii
2024-10-04
0
Bunda Silvia
mengingatkan bang Al sama tiara almarhumah 🥺🥺
2024-07-08
1
Lina Suwanti
msh ga nyangka aja akhirnya Alaric berjodoh dgn Selia n punya anak kayak Panji yg petakilannya ga beda jauh dr ayahnya Al.
2024-07-02
1