SATRIO PAMUNGKAS
Seperti biasa, Pandji sedang dilanda bad mood. Latihan hari ini tidak ada yang diselesaikannya, diam-diam dia menyelinap keluar pendopo dan kabur membebaskan dirinya tanpa rasa bersalah sedikitpun.
"Pandji … mau kemana kamu? Latihan belum selesai!" Teriak Mikaila yang berlari mengejar dan menjajarkan langkah dengan pemuda yang umurnya enam tahun lebih muda darinya itu.
"Pulang," jawab Pandji cuek tanpa menoleh apalagi memberikan alasan kenapa dia tiba-tiba keluar dari pendopo kesatrian miliknya, Putra Ganendra.
Mikaila atau yang biasa disapa dengan nama Mika mengerutkan keningnya dengan mimik kesal. "Apa alasanmu kali ini? Aku tidak bisa berbohong pada Ayahanda soal ini. Kamu banyak sekali membolos latihan."
"Ayolah Mika, aku bosan dengan latihan, latihan dan latihan. Bagaimana jika kita pergi membeli sepatu baru untukku?"
Mika menggelengkan kepala ringan, tak habis pikir dengan kelakuan Pandji yang menurutnya terhitung malas dan selalu melanggar aturan.
Pandji hampir berumur 17 tahun dan masih menjadi siswa Sekolah Menengah Umum di kota tempat tinggalnya, Yoyga. Sedangkan Mika mahasiswi paska sarjana perguruan tinggi negeri di kota yang sama.
Mika tinggal di rumah Pandji sejak mulai masuk kuliah atas kesepakatan kedua orang tua mereka. Bagi Mika, Pandji adalah sosok adik. Tapi bagi Pandji,
Mika sama sekali bukan kakaknya.
Menemani Pandji selama hampir lima tahun tidak membuat Mika mengenal karakter 'adiknya' itu dengan baik. Pandji tetap sulit ditebak dan dibaca. Padahal Mika memiliki mata istimewa, dia mampu melihat lebih dalam ke jiwa seseorang. Matanya juga punya kemampuan menghipnotis.
"Sebenarnya mau kamu itu apa sih?" Tanya Mika dengan sorot mata berkilat merah. Dia berusaha mendapatkan kontak mata Pandji.
"Kamu tau skill eyes itu tidak bekerja padaku," jawab Pandji dingin. "Tapi kamu terus mencobanya tanpa lelah!"
"Aku kakakmu, bisakah kamu berbicara lebih sopan? Atau memanggilku sesuai tata krama misalnya? Dulu kamu memanggilku Kak Mika."
Mika tau dia harus mengalah, jadi suara dan tatapannya melembut untuk mengambil simpati Pandji. Bahkan kini tangannya terulur untuk mengusap rambut Pandji. "Maaf soal mataku! Aku hanya penasaran."
"Please … aku bukan anak kecil!"
Tangan Pandji menghalangi agar Mika tidak menyentuh kepalanya, dia juga menjauhkan kepalanya ke belakang.
"Kamu masih adikku, dan umur kita terpaut jauh. Kalau aku ingin mengacak rambutmu trus kenapa?"
Apa aku terlihat begitu kekanakan bagimu? Aku sudah belajar menjadi dewasa, sebentar lagi aku 17 tahun, ok?
"Bagaimana jika aku saja yang mengacak rambutmu? Boleh?"
"..." Mika mendelik kesal.
Menghela nafas panjang, Pandji akhirnya berkata, "Just forget that!"
"Kamu belum memberikan alasanmu kabur dari latihan hari ini!"
"Aku hanya ingin jalan-jalan, Mika. Mau menemani?"
"Nggak usah tanya, kamu sudah tahu jawabannya!" jawab Mika sedikit ketus dan keberatan. Dia memang bertugas melindungi Pandji. Jadi kemanapun Pandji pergi dia akan setia di sampingnya. Meskipun kadang dengan terpaksa.
Pandji menyeringai menang, "Ngomong-ngomong, apa kamu juga butuh sepatu baru? Atau ingin membeli sesuatu yang lain?"
Mika menghela nafas berat dan menggeleng ringan. "Aku tidak ingin membeli apa-apa."
"Jangan seperti itu, Mika!" Kata Pandji bosan dengan sikap Mika yang selalu taat aturan. Menemani hanya karena sebuah tugas. "Aku tidak perlu dijaga lagi, aku bukan bayi." Sambung Pandji sarkas.
"Tidak ada yang mengatakan kalau kamu bayi kan? Jadi kenapa kamu harus merasa seperti itu?" Mika mendahului, berjalan ke arah mobil Pandji terparkir. "Seingatku kamu belum 17 tahun."
"Trus kenapa? Aku tidak melanggar lalu lintas dan aku bisa mengemudi dengan baik. Lagian ini hadiah ulang tahunku dari Eyang."
"Eyang terlalu memanjakanmu!"
"Kok jadi kamu yang sirik? Bukannya kamu juga ikut menikmati ya? Kamu lupa kadangkala aku jadi supirmu ke kampus? Kamu juga sering jadiin taxi online pribadimu dan temanmu?" Tukas Pandji tidak terima.
"Hehehe … dimana-mana adik itu harus berbakti dengan kakaknya kan?" Jawab Mika cuek. Menghadapi Pandji tidak selalu harus mengalah.
"Kamu bukan kakakku … dan rasanya tidak ada yang akan berubah di masa depan. Kalaupun aku baik sama kamu itu tidak gratis!" Sahut Pandji sinis.
Pandji tersenyum miring melihat ekspresi Mika seperti orang tercekik karena mendengar kata-katanya. Dia selalu merasa puas jika bisa membuat jengkel 'kakak' bayangannya itu.
Itu karena aku tidak suka punya 'kakak' cantik sepertimu, Mika! Aku lebih suka kamu jadi semacam ehm … kekasih.
Uhuk … apa yang aku pikirkan?!
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 180 Episodes
Comments
Hulatus Sundusiyah
naahlooo...panji ternyata...
2024-10-04
1
mama aya
baru kali ini aku mengikuti novel dari nenek, anak sampai cucunya 🥰🥰
2024-09-16
1
Al Fatih
sudah dari neneknya Dina,, ayahnya Alaric sekarang generasi ketiganya mas pandji
2024-08-28
1