Pandji tidak sempat mengambil senjata kayunya yang terlepas karena Ayahnya terus mendesak menyerang.
"Oh no ... you are cheating, Daddy!" (Ayah curang!) Pekiknya kesal.
Tombak pusaka ayahnya masih terus menderu mencari sasaran, menusuk ke beberapa organ vital Pandji tanpa sungkan. Hal itu membuat Pandji kelabakan harus menghindar mati-matian, dia sama sekali tidak berniat terluka di bagian manapun dari tubuhnya. Terutama pada wajah tampannya.
Pandji merapal mantra sihir es dan mengalirkan pada katana kayu di tangannya. Dia tidak mungkin mengalirkan api karena itu akan membakar senjatanya sendiri. Tapi pilihannya juga tidak terlalu baik karena kayu yang dilapisi es itu akan mudah sekali patah.
Tidak sampai lima menit pedang kayu berlapis esnya sudah pecah dan hancur menjadi ribuan keping material kecil seperti debu saat digunakan untuk menangkis sodokan gagang tombak yang hampir mengenai ulu hatinya.
Pandji mendongak karena ada tetesan air jatuh mengenai wajahnya, mencari alasan untuk menghentikan pertarungan. "Gerimis … apa kita sudah selesai, Ayah? Pandji tidak punya senjata untuk melanjutkan latihan."
"Tubuhmu adalah senjata utama," jawab Ayahnya yang secepat kilat sudah kembali menyerang.
Ini hujan beneran dan Ayah tidak peduli? Apa Beliau sudah mulai gila dan hilang kendali diri?
Pandji jatuh dalam posisi berlutut, tombak yang ditangkapnya menekan tajam dan tak mampu ditahan dengan tenaga dalam. Emosinya memuncak karena permainan ayahnya.
Mengabaikan rasa sakit hati karena merasa dicurangi, Pandji membaca mantra sihir yang dipelajarinya secara otodidak di perpustakaan selama bertahun-tahun. Sihir perubahan janis.
Dengan ekspresi serius dia tersenyum jahat, aura tubuhnya meningkat tajam. Tangannya berada di samping tubuhnya dalam posisi menadah air hujan yang mulai turun.
"Bersiaplah, Ayah!"
Pandji memejamkan mata, dan seketika air hujan yang jatuh di sekitarnya membeku menjadi es. Membuka mata, Pandji mengarahkan ribuan butiran es itu kepada ayahnya.
Air yang telah membeku itu melesat kencang seperti peluru yang ditembakkan dari senjata dalam jarak dekat, bertubi-tubi tanpa ampun.
Ayahnya mundur seraya menghalau serangan Pandji dengan memutar tombak di depan dada, menciptakan udara panas yang meluruhkan peluru es kembali menjadi air.
Saat ayahnya sibuk menghindari serangan es nya, Pandji merapal mantra lain. Cahaya biru melesat dari langit menyambar Ayahnya yang ternyata telah siaga dengan selubung pelindung gaibnya.
BLAR
Petir biru Pandji menyambar tepat di atas kepala Sang Ayah, meruntuhkan selubung pelindung dan membuat ayahnya termundur dua langkah.
Dengan tatapan serius ayahnya mendekat, tersenyum tipis pada Pandji dan berkata, "Hari ini cukup, jika Mas Pandji tidak mau latihan di kesatrian, kita akan duel di sini setiap malam!"
Tepat saat ayahnya meninggalkan lapangan, Pandji jatuh dalam posisi duduk, tenaga dalamnya belum melampaui ayahnya. Dia sedikit menyesal karena malas latihan. Ketika mulutnya terbuka hendak memaki ... dia malah muntah darah.
Jika saja pusaka penganten itu ada padaku, bukan hal sulit untuk mengalahkan Ayah!
Pandji mengeluh dalam hati, membayangkan ksatria tampan seperti dirinya harus bersenjatakan keris seperti pendekar tempo dulu, tentu saja itu sangat menyakiti egonya.
Seluruh penonton dalam jaringan keluarganya bertepuk tangan memuji kehebatan Pandji. Dia justru marah karena hal itu membuat dirinya malu, dia sama sekali tidak menang.
"Mas Pandji ayo berteduh ke pendopo, hujannya makin deras!"
Gia dengan semangat membantu Pandji berdiri dan menariknya menuju pendopo tempat Eyang buyutnya dan Atika duduk.
Pandji langsung merebahkan tubuhnya terlentang, menutup kedua matanya dan bersedekap mengatur nafas dalam waktu yang lama. Begitu membuka mata dia melihat Giandra yang masih setia menunggunya sambil memainkan ponselnya.
"Gia kenapa nggak tidur? Ini udah malam, ayo sana ke kamar!" Usir Pandji pada adik perempuan yang terus mengekor pergerakannya jika sedang di rumah.
Menggembungkan pipinya, Gia berjalan malas ke dalam rumah induk. Dia tidak mengantuk, menghabiskan malam bersama kakaknya lebih menyenangkan daripada tidur di kamar. Apalagi jika kakaknya mau diajak 'mabar', Gia akan dengan senang hati membuatkan kopi susu dan menyediakan keripik buah sebagai camilan untuk acara begadang mereka.
Atika mengusapkan handuk basah untuk membersihkan bekas darah di mulut Pandji, juga memberikan teh herbal yang masih hangat.
"Kemana semua orang pergi?" Tanya Pandji datar.
"Mas Pandji tidur agak lama, jadi Eyang dan Ibunda Mas masuk rumah untuk istirahat, hujan juga makin deras."
"Jadi kamu sama Gia saja yang menungguku?"
" … " Atika mengangguk, takut dengan tatapan mata Pandji yang menurutnya seperti serigala kelaparan, meskipun dia juga tidak memungkiri kalau pemuda di depannya itu sangat menawan.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 180 Episodes
Comments
Hulatus Sundusiyah
kedekatan panji dan gia...
mengingatkan kedekatan Al dan mendiang Ara...
2024-10-04
0
Bunda Silvia
buah nggak jatuh jauh dari pohonya pangeran para wanita
2024-07-08
0
Ojjo Gumunan, Getunan, Aleman
nah kya Al lgi muda bnyk yg suka
2022-10-19
1