Meja makan yang dulunya berpenghuni dua orang kini telah bertambah menjadi tiga orang yaitu Rima.
“Say, kamu harus mengambil makanan untuk suamimu!” Ucap Nindy ditujukan pada Rima.
Sejenak Rima terdiam. Berpikir apakah memang ia yang harus menyiapkan semua kebutuhan Dihyan?
Dirinya hanya istri ke dua dan hubungan mereka masih sangat kaku. Jika memang harus menyiapkan makanan, lalu menu apa yang harus ia ambilkan untuk Dihyan?
Ya ampun, ini justru terlalu sulit dijalankan dari apa yang ia bayangkan sebelumnya.
“Emm, mas mau makan apa?” Rima. Masih memaksakan bibir untuk panggilan itu.
“Emm, nasi goreng saja,” Dihyan sembari menatap sekilas pada Rima.
Tak bisa dipungkiri, iapun masih merasa sungkan dalam situasi ini. Tak ada sedikitpun perasaan pada Rima.
Cintanya pada Nindy tak luntur meskipun wajah ayu kini telah berubah memucat.
Terlalu sulit untuk menyandingkan Nindy dengan wanita lain, apalagi untuk
menggantikan tempat wanita itu.
No!
Never!
Tapi demi Nindy pula ia harus berpura-pura baik, akrab dan bahagia.
“Lauknya apa mas?”
“Apa saja!”
Apa saja? Lalu apa yang harus ia ambilkan?
Kini piring Dihyan telah dipenuhi dengan nasi goreng, telur dadar, ayam suwir, sosis goreng dan acar.
Seluruh jenis lauk yang tersedia di meja, diberikan pada Dihyan, membuat Dihyan melongo dengan mata yang terbuka lebar.
“Kenapa diambilkan semuanya? Cukup satu atau dua sajalah Rima!” Kalimat ini terdengar
terasa akrab.
"Kita cuma sarapan, bukan makan siang." Ucapnya lagi.
“Maaf, aku gak tau maunya mas yang mana. Jadi kuambilkan semua.”
“Ya sudah-sudah mas makan saja, hari ini dapat jatah sarapan lebih, tenaganya lebih, dan kerjanya juga harus semangat yah!” Nindy menjadi penengah.
Nindy berpikir mungkin ini menjadi awal keakraban antara Rima dan Dihyan.
Tapi tidak bagi Dihyan. Pria ini harus membentengi dirinya dari segala cobaan, meskipun itu dari istri ke duanya.
“Nah sekarang mbak juga makan, biar aku yang suapin yah!” Rima juga mengisi piring
Nindy dengan nasi goreng dan telur dadar dengan porsi yang jauh lebih sedikit dari pada milik Dihyan.
“Mbak aku suapin yah!” Tanpa menunggu persetujuan dari Nindy, Rima mulai menyodorkan sendok yang telah terisi ke depan mulutnya. “Aaaa.”
“Aku bisa sendiri Rima,” Nindy masih menolak.
“Makan aja mbak, aaA!”
Mau tidak mau Nindypun membuka mulutnya. Hap.
“Jujujuju, pesawat datang!” Dengan sendok di tangannya yang kembali telah diisi dengan
nasi goreng, bergerak ke sana ke mari, seumpama pesawat yang tengah melakukan
penerbangan. “Pesawat akan segera mendarat, aaaa!”
“Kamu apa-apaan sih, kamu kira aku anak kecil apa?” Nindy sembari memukul pelan tangan Rima.
“Mbak cepetan, pegal nih! Aaaa.” Membuat Nindy kembali membuka mulutnya.
Pemandangan macam apa ini?
Pemandangan ini semakin mempertegas keakraban antara Nindy dan Rima, sebagai sesama istri Dihyan.
Andaikan poligami itu seindah yang mereka ceritakan?
\=\=\=\=\=
Dihyan membuktikan kata-katanya tentang, “kamu akan mendapat kabar bahagia dari keluargamu.”
Pesan dari kak Romi tentang ayah yang ditunjuk sebagai Direktur diperusahaan papanya Dihyan dan Kak Romi mendapatkan jatah kepala unit meskipun hanya di pabrik. Dan
berjanji akan mengangkatnya sedikit demi sedikit.
Pesan dari kakaknya itu membuat senyum Rima terus mengembang.
Pun saat dirinya mendapatkan panggilan dari sang pimpinan.
Rima berjalan terus memotong koridor RS menuju ke ruangan Pak Malik setelah mendapat pemberitahuan dari temannya bahwa ia dipanggil oleh sang pemimpin RS.
“Bapak memanggil saya?” Tanyanya seraya pandangan tertuju pada Pak Malik.
Sedikit terkejut melihat sosok Tio juga ada di sana memandangnya dengan tatapan sinis, mungkin masih marah.
Kenapa dia yang marah, harusnya Rimalah yang marah, dan Tio tidak punya hak untuk marah padanya.
“Duduklah!” Ucap pak Malik sambil menunjuk ke sofa.
“Papa ingin membicarakan sesuatu pada kalian?” Pak Malik.
Sejak kapan ia merubah panggilan dari bapak ke papa di hadapan Rima? Ah, mungkin itu di tujukan pada Tio.
Rima duduk berhadapan dengan Pak Malik, mungkin ini lebih aman di bandingkan duduk
di hadapan Tio yang menjadikannya sebagai fokus pandangan matanya.
“Papa ingin pernikahan kalian di percepat!” Ucap Pak Malik datar. Matanya berganti menatap antara Rima dan Tio.
Apakah diluar sedang turun hujan yang disertai petir? Entah mengapa hanya mendengar kalimat itu menjadi sungguh sangat menakutkan.
Astaga, Rima kira tuntutan menikah dengan Tio hanya ia rasakan di depan mama Tio. Tapi ternyata Pak Malik juga sudah terkontaminasi virus memojokkannya menikah dengan Tio.
Sementara Tio hanya menundukkan kepalanya, namun terlihat jelas jika ia sedang tersenyum.
“Maaf pak, saya baru saja menikah.” Jawab Rima jujur.
Demi keamanan bangsa dan negara ia harus jujur. Jika dengan jujur harus di keluarkan dari RS itu, ya apa boleh buat. Dari pada menyembunyikannya akan membuat dirinya semakin terpojok.
Dan lagi mengatakan jika dirinya sudah menikah, mungkin akan melepaskannya dari ambisi Tio.
Ada untungnya jiga menikah dengan Dihyan.
“Dengan lelaki itu?” Tio dengan sinisnya.
Yang Tio maksud disini bukan Dihyan sang suami resmi Rima tapi Reno sang pria
mawar merah.
Heh. Hembusan kasar terdengar dari arah kanan, tempat Tio duduk.
Setelah itu ia berdiri dan mencoba melangkahkan kakinya.
“Tio, duduk!” Suara pak Malik.
“Buat apa? Orangnya juga sudah menikah.” Jawabnya dan kembali melangkah keluar ruangan tentu saja dengan langkah keras dan panjangnya.
“Sejak kapan?” Pak Malik.
“Sudah dua minggu pak,” Jawab Rima seraya menunduk.
“Ya sudah, mungkin memang kalian tak berjodoh. Kamu boleh keluar!” Pak Malik menghempaskan punggungnya pada sandaran sofa tempatnya duduk disertai dengan hembusan napas yang kasar.
“Terima kasih pak!” Sambil menunduk, “saya permisi pak!”
Untung saja Pak Malik merupakan pimpinan yang bijak. Setidaknya tidak mencampur adukkan masalah pribadi dan masalah pekerjaan. The Best lah!
Rimapun melangkah keluar dari ruangan itu.
Baru saja beberapa langkah kakinya keluar ruangan, pandangannya tertuju pada insan yang sedang menatapnya tajam tengah berdiri tepat dihadapannya.
Tio dan Angga yang berada di belakangnya.
Dengan tatapan tajam yang siap menembus apapun yang menghalanginya. So, jangan berani mendekat!
Rima hanya mampu menundukkan kepalanya. Sedikit trauma.
Ia menepikan dirinya sendiri seolah bilang, “Silahkan!” Lebih baik mengalah daripada harus berurusan kembali dengan Tio.
Tio mulai melangkahkan kakinya, meskipun Rima menempatkan dirinya di tepi tetap saja bahu Tio mampu menyambarnya, bahkan dengan sangat keras hingga membuatnya terhuyung.
Kini Tio telah berada di hadapan Pak Malik, dengan didampingi oleh Angga. Duduk dengan wajah malas dan sangat kesal.
“Kamu tau kenapa Rima memilih menikah secara mendadak?” Pak Malik sembari menatap Tio.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 163 Episodes
Comments