“Kamu tau siapa mama?” Tanya beliua lagi membuat kening Rima kini mulai berkerut.
“Ada apa ma?” Tanyanya kebingungan.
“Mama punya anak laki-laki, kakaknya Andra. Emm, namanya Dihyan.”
Mata membulat penuh. Otaknya sedang mencerna kalimat yang baru saja mama ucapkan.
Nama itu mengingatknya pada nama calon suaminya.
Hah calon suami? Memang benar ia akan menikah?
Jika memang benar, maka ia akan menjadi ipar dari mantan sahabatnya itu.
Apakah Dianra mampu menerima semua keadaan ini?
Rima meluruskan tubuhnya yang sedari tadi sedikit serong menghadap ke Mama Cinta yang berada tepat di sampingnya. “Ma-maaf ma!”
“Kenapa minta maaf?”
Tentang Diandra yang membencinya karena berpikir ia telah menggoda Tio. Dan tentang ia menerima ajakan Dihyan untuk menikah dan menjadi istri ke dua.
Kenapa begitu secara kebetulan?
Lagi-lagi ia menjadi pihak ketiga untuk anak kandung dari wanita yang duduk disampingnya.
“Aku gak bermaksud menghancurkan hubungan anak-anak mama,” Ucapnya lirih sambil menarik tangannya, melepaskan genggaman tangan mama Cinta.
“Bukan kamu kok yang salah. Nindy yang meminta semua ini. Nindy yang meminta Dihyan menikahi kamu. Nindy juga yang meminta mama buat bujuk kamu agar mau menikah dengan Dihyan.” Wanita itu berucap selembut mungkin.
Begitulah mama Cinta.
Atau mungkin naluri sebagai ibu sedang bekerja.
Ibu yang sedang membujuk anaknya. Ibu yang sedang menenangkan anaknya yang sedang gundah.
Prang.
Seketika semua retak.
Cangkir beserta tatakan berwarna putih telah berserakan di lantai keramik yang juga berwarna putih yang telah basah karena isi cangkir yang telah menyebar kemana-mana.
Dan tersangkanya adalah Romi.
Kakak kandung dari Rima itu sedang membawakan teh hangat buat tamu mereka, namun tangannya tak mampu menahan lagi saat mendengar kalimat wanita itu meminta Rima menikah dengan Dihyan.
Ia bukannya tak tahu siapa wanita yang sedang menjadi tamunya ini. Dan tentang siapa Dihyan? Ia bahkan sangat mengetahui itu semuanya.
Bukankah ia adalah anak dari Herman Setiawan, seorang mantan CEO sebuah perusahaan besar meskipun kini mungkin sudah pesiun secara terpaksa karena telah ditipu oleh sahabatnya.
Dihyan anak dari tamunya itu, telah memiliki seorang istri. Ia sangat tahu tentang itu.
Dan adiknya ditawari diminta untuk menjadi istri seorang Dihyan? Lelocon macam apa ini? Atau mereka sedang bersandiwara? Bermain filmkah? Kamera? Mana kameranya?
“Kak,” Rima yang menoleh ke arahnya.
Menatapnya dengan tatapan sayup seolah berkata, “maaf.”
“Ah, nak Romi, sini nak! Kita bicarakan langsung saja yah!” Mama Cinta berikut lambaian tangannya pada Romi agar mendekat pada mereka.
Dengan tatapan lurus, Romi mencoba menguatkan seluruh organ tubuhnya untuk tetap tegak berjalan mendekat kepada dua wanita yang memang telah menunggunya.
Ah ya, mungkin ia hanya salah dengar. Semoga saja.
“Apa Rima belum cerita?” Mama Cinta ketika Romi telah berhasil mendaratkan bokongnya di sofa tepat dihadapan Rima yang kini telah tertunduk menyembunyikan seluruh perasaan kacaunya.
“Kamu baik-baik saja?” Pertanyaan Romi yang terlihat sangat mengkhawatirkan adiknya.
“Rima.” Romi lirih.
Namun yang dipanggil sama sekali tak mengidahkannya, karena gadis itu masih menunduk menyembunyikan raut wajah sedihnya..
Gadis itu tengah melamun, atau sedang menata hati, atau juga sedang mempersiapkan jawaban dari pertanyaan yang akan Romi lontarkan.
Bagaimana mau menjawab pertanyaan, kalau dipanggil saja tidak menyahut.
“Rima.” Dan Romi harus sedikit teriak hanya untuk memanggil orang yang duduk di depannya.
“Ya, ya kak. A-ada apa?” Jawabnya gelagapan.
Mama Cinta yang duduk di sampingnya hanya mengulurkan tangannya hanya untuk menyelipkan anak rambut yang menutupi wajah cantik Rima.
“Apa yang terjadi?” Tanyanya lagi.
“Apanya?” Entah Rima memang tak tau pertanyaan itu tentang apa, atau sedang mengulur waktu.
“Pernikahan.” Romi yang seolah sedang melakukan interogasi.
“Saya tau kakakmu Romi, dan saya tau pak Herman ayah kamu!”
“Sekarang semua keputusan ada ditangan kamu. Kamu mau keluarga kamu bangkit atau hancur? Saya bisa melakukannya dengan sangat mudah?”
Kalimat itu kembali terngiang di otaknya.
Keluarganya memang telah hancur dari segi ekonomi.
Ayahnya bangkrut, tapi semua masih bisa teratasi. Ia dan kakaknya masih menerima keadaan itu, dan mereka bekerja saling melengkapi kebutuhan ekonomi untuk bertahan hidup. Tak perlu kemewahan, sekarang saja sudah cukup membuatnya untuk selalu bersyukur.
Kamu mau keluarga kamu bangkit atau hancur?
Mau dibuat hancur sepertia apa lagi?
Jangan sampai.
“Kami saling mencintai.” Rima yang masih tertunduk. “Tolong restui kami!” Ucapannya yang semakin lirih hampir tak terdengar.
Kalimat yang sangat sederhana namun mampu menimbulkan seribu pertanyaan dalam benak kedua orang yang mendengarnya.
Pinta yang ucapkan itu justru seperti ungkapan patah hati seorang wanita.
Nadanya.
Mimiknya.
Rima terlihat sedih.
Seperti ada yang sakit.
Jika Rima dan Dihyan saling mencintai, berarti Dihyan selingkuh. Benarkan?
Dihyan dan Rima saling mencintai dan menjalin hubungan dibelakang hingga memutuskan untuk menikah.
Dihyan menghianati Nindy, mungkinkah?
Pikiran Romi tengah berkecamuk.
Tak terima jika adiknya itu menjadi pelakor.
“Bohong!” Mama Cinta mematahkan seluruh stigma terhadap Rima, “Kamu bohongkan?”
“Kalau memang kalian saling mencintai, Nindy tak mungkin meminta mama untuk membujukmu supaya menerima Dihyan.”
“Mbak Nindy minta suami untuk menikahi Rima?” Romi semakin bingung dengan keadaan adiknya.
“Tolong restui kami!” Kalimat Rima kembali terulang, masih menunduk.
Pikiran Romi masih melayang tentang pernikahan adiknya.
Ia masih membandingkan antara Reno dan Dihyan. Tak apakan?
Tentang Reno yang beberapa kali datang hanya untuk menjemput dan mengantar Rima. Bahkan ia sempat melihat adiknya itu tersipu malu saat berhadapan dengan Reno.
Dan Dihyan yang notebene-nya mempunyai seorang istri?
Menjadikan Rima istri ke dua, apa itu baik untuk kebahagiaan Rima?
Dan lagi, Jika memang Rima akan menikah dengan pria yang ia cintai, mengapa tadi justru menangis di pelukannya. Bahkan saat baru membuka pintu, ia mendapatkan mata adiknya itu telah sembab, artinya Rima
menangis pada malam harinya.
Ia mungkin bisa memberikan restunya demi kebahagiaan Rima.
Apapun akan ia lakukan. Apapun akan ia berikan. Apalagi hanya meminta restu untuk menikah. Tapi dengan pria seperti Dihyan?
Oh Tuhan. Mungkin ia harus berpikir seribu kali.
Jikapun ia memberi restu. Lalu apa yang akan ia sampaikan pada ayah?
Hingga malam menjelang, mungkin akan menjadi kesempatan yang baik untuk mereka duduk bersama membahas tentang Rima.
Mungkin terlebih dahulu ia harus berbicara empat mata dengan ayahnya.
“Yah, emm...” Romi masih memikirkan kata-kata yang tepat untuk memulai berbicara pada ayahnya.
Terlalu banyak yang ia pikirkan.
Tentang tanggapan ayahnya saat tau Rima akan menikah dengan dan menjadi istri ke dua. Apakah benar, tak mengganggu kesehatan ayah?
Ia masih mengumpulkan tenaga dan memutar otak hanya untuk menyusun kata demi kata agar bisa di terima oleh ayahnya.
“Romi panggilkan adikmu?” Perintah Ayah membuyarkan pikirannya.
“Yah,.....” Romi belum tau apa yang harus ia katakan pada ayahnya, tapi ia masih tak tau harum memulai dari mana?
“Panggilkan adikmu, ada yang harus kita bicarakan?” Ayah.
“Baiklah!”
Mungkin belum waktunya untuk berbicara pada ayah. Baiklah kita cari waktu yang lain saja!
“Ada apa yah?” Rima yang datang dan langsung duduk di samping ayahnya dengan bergelayut manja.
Diikuti Romi yang duduk di hadapan mereka.
“Bagaimana persiapan pernikahanmu?” Ayah sambil melirik anak bungsunya.
Membuat kedua bersaudara itu saling berpandangan seraya bertanya dalam hati, dari mana ayah tau?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 163 Episodes
Comments