Di sebuah ruangan perawatan.
Dengan diiringi tetesan air mata, Dihyan terus menggenggam tangan wanita lemah yang berada diatas pembaringan itu.
Erat, sangat erat hingga tak ada rongga udara antar kedua tangan mereka. Penyesalan yang tak berguna terus menghantam dadanya ketika mengetahui keadaan wanita yang selama ini selalu mendampinginya.
“Kenapa kamu tidak pernah jujur padaku? Apakah aku tidak pantas mengetahui keadaan istriku sendiri?” Ucapnya lirih, dilengkapi dengan setetes air yang terasa asin kembali meluncur dari sudut matanya.
Sekalipun begitu, wanita di sampingnya itu tak terganggu sedikitpun.
Wanita itu sangat betah dengan tidurnya, sebab hanya dengan tertidur ia bisa menghilangkan rasa sakit yang menyerang di seluruh tubuhnya.
Ingin sekali bertahan, memberikan kebahagian lain pada suami tercinta namun perasaan iba melihat suaminya yang terus menangisi kondisinya semakin membuatnya berada dalam kondisi yang semakin menurun.
Seiring lelap tidurnya imajinasinya mulai berkelana, di mana mereka akan hidup berbahagia dengan dilengkapi tawa riang sang malaikat kecil.
Namun itu semua hanyalah imajinasi, penghias lelapnya. Karena ia sudah sangat terlambat, hanya keajaiban yang mampu mewujudkan semuanya.
Malaikat kecil yang ia impikan hanya sebatas mimpi, karena penyakit yang bersarang di tubuhnya telah berhasil menghancurkan mimpinya itu. Bukan hanya mimpi bahkan nyawanya kini menjadi sasaran berikutnya.
Kanker serviks, penyakit yang di takuti oleh semua kaum wanita telah bersarang sejak lama di tubuhnya. Bahkan saat ini penyakit itu telah menduduki level tertinggi, karena setelah level ini meningkat, bisa dipastikan nyawakan tak dapat tertolong.
Tak ada pilihan lain, selain merelakan suaminya dimiliki wanita lain hanya untuk kebahagiaan tersebut. Meskipun ragu ia harus siap.
\====
Dengan bantuan koneksi ayahnya, kini Rima bekerja di sebuah RS terkenal di kotanya.
Meskipun telah jatuh dalam lubang kemiskinan, masih ada yang perhatian pada ayah dan keluarganya.
Tak semua teman memilih meninggalkan mereka berjuang dalam keterpurukan ini.
Romipun mendapat bantuan pekerjaan dari salah satu teman ayahnya. Meskipun tak mendapatkan jabatan tinggi, setidaknya mampu membuat mereka bertahan untuk hidup.
Menyandang status Dokter Muda ia masuk melangkah ke rumah sakit itu.
Di sini, ia akan mengabdikan hidup dan ilmunya seperti sumpah yang pernah ia ucapkan.
Memakai jubah putih bersih, semakin membuatnya bangga dengan dirinya sendiri.
Senyum merekah sepanjang perjalanan, menyapa seraya menundukkan sedikit kepalanya kepada hampir semua orang yang ia temui.
Semakin merasa tercantik di seluruh negeri, memang cantik sih.
Hingga batas tertentu, iapun mulai merasa canggung dengan keadaan sekitar.
Mulai dari mana yah?
Salah satu sahabatnya juga diterima di RS itu Via, mereka kini telah bekerja di RS yang sama dengan semangat yang menggebu-gebu.
Bersukur ia langsung mendapatkan pasien sesaat setelah memperkenalkan diri pada seorang dokter senior. setidaknya rasa canggung itu tak berlangsung lama.
Rima dan Elina kini tengah menangani seorang pasien wanita.
“Ayo Rima!” Elina, seorang Dokter wanita yang merupakan salah satu dokter terbaik di RS tersebut.
“Rima, mbak punya job tambahan buat kamu, mau gak?” Elina.
Sambil terkekeh Rima tetap memandangi dokter seniornya itu, “Job apaan mbak?”
“Kamu tau kan Pak Dihyan, suami dari bu Nindi?” Elina.
Mereka baru saja melakukan visit beberapa pasien.
“Iya mbak, kenapa mbak?” Ucapnya berbinar. Tahulah, Pria yang sempat menarik perhatiannya.
Pria gagah, dengan wajah dan postur tubuh yang serasa sangat menunjang untuk disebut sempurna.
Tapi bukan itu yang membuatnya tertarik.
Pria gagah itu, terlihat rapuh di samping wanitanya. Apalagi kalau bukan alasan cinta.
Sangat mencinta pastinya. Namun cintanya itu tengah sakit, membuat pria itupun terlihat sakit juga.
“Pak Dihyan minta satu dokter buat stand by di rumahnya.” Elina terlihat lebih serius, “tapi mbak gak bisa, soalnya kamu tau sendirikan mbak punya suami and anak. Jadi mbak rekomendasikan kamu, kalau kamu mau kita bisa atur jawdalmu.”
“Kenapa mbak bilang gak bisa?" Rima mengerutkan keningnya.
“Dokternya harus tinggal di rumahnya bu Nindi. Kamu hanya menemaninya shift pagi sampai pak Dihyan pulang kantor. Jadi kamu bisa jaga di RS itu shift sore, dan malamnya kamu tidur di rumah pak Dihyan. Kita bisa atur jam kerjamu di RS.
“Honornya lumayan loh,” Elina setengah berbisik di telinga Rima.”Kamu maukan gantiin mbak?”
“Aku harus minta ijin dulu, sama ayah sama kak Romi. Kalau dapat ijin, aku sih ok saja, lagian kayaknya gak terlalu berat jagain satu orang bisa sambil istirahat jugakan sebelum masuk kerja?” Rima.
“Iya, paling menyiapkan keperluannya dan temani jalan-jalan bu,...? Siapa tadi namanya mbak?” Rima sedang mengingat nama pasiennya.
“Bu Nindi, Suaminya sangat terpukul karena baru mengetahui keadaan istrinya. Bu Nindi tidak memberi tahukan tentang masalah sakitnya pada suaminya karena tidak mau meropotkan suaminya. Padahal jika saja bu Nindi lebih cepat memberi tahukan suaminya, kita bisa cepat mengambil langkah-langkah tepat.”
“Rasa cinta yang mereka miliki membuat mereka saling mengalah satu sama lain.” Elina. “jadi gimana kamu mau kan?” kembali menatap ke arah Rima menunggu persetujuan.
“Emm, kalau aku sih yes, tapi tunggu ayah dulu ya mbak!” Rima.
“Kalau kamu mau mbak bisa datang ke rumahmu buat minta ijin sama ayah kamu,” Elina sangat berharap pada Rima.
“Emm boleh mbak! Sekalian bawa Alexa juga yah! pengen kenalan." Rima semangat mengingat dirinya sangat membutuhkan uang untuk melanjutkan kemewahan yang sempat terhenti.
“Ok, besok mbak singgah di rumahmu!” ucapnya akrab Seperti telah mengenal lama.
" Eh Sherlock rumahmu dong, kelupaan!" kali ini menepuk keningnya sendiri dengan pelan.
" Mau singgah padahal nggak tahu rumahmu." kali ini diiringi dengan tawa kecilnya.
“Semangat banget!” Rima.
“Rima, Mbak Nindy diprediksi bisa keluar 3 hari kedepan. Bersamaan dengan dokter pendampingnya."
"JADI,.... " kali ini dengan penuh penekanan
"Kita hanya di kasi 3 hari buat ngirim dokter ke rumah bu Nindy. Jadi kalau besok sudah dapat ijin dari ayahmu, maka lusanya kamu harus mempersiapkan semuanya. Mbak akan menemani kamu ke rumah bu Nindy.” Elina.
“Ok deh! Aku tunggu besok, sama Alexa yah mbak!” Rima.
Sementara Elina tersenyum senang pada Rima. berharap semoga saja terima mendapatkan izin dari keluarganya. jika tidak maka ia harus mencari dokter lainnya.
Tiba saatnya meminta ijin pada ayah Herman.
Menekan tombol bel di dekat pintu.
“Assalamualaikum!” Suara lembut dari seorang wanita di balik pintu.
“Walaikumussalam! Akhirnya datang juga! Kirain gak jadi mbak!” Rima sambil membuka pintu rumahnya lebar-lebar. mempersilahkan tamu yang ditunggu-tunggu tadi untuk masuk.
“Jadi dong, aku butuh pemeran utama nih!” Elina.
“haaaahaaaaahaaaaaa, pemeran apaan? Masuk mbak, mas masuk mas!”Rima.
“Hai bocah!” Tanpa permisi Rima langsung meraih gadis kecil berusia 4 tahun itu,
menggendongnya dan tak henti-hentinya mengecup pipi chuby sang gadis.
“Rima, gak usah di gendong, dia berat loh!” Elina berjalan di belakang Rima yang
menuju ke ruang tamu.
“Iya, mon thok juga."
"Eh, enteng ya? Enggak nangis aku cium-cium." Rima, sesekali mencium anak perempuan itu, sekali-sekali pula melirik pada orang tua bocah itu.
"Iya, dia cepat akrab dengan siapapun."Elina.
"Waaaah bahaya itu Mbak, boleh gitu." dengan mata sedikit terbuka.
" terbiasa bertemu dengan orang banyak, jadi ya gitu deh.
"Duduk dulu mas-mbak, aku panggilin ayah!” Tanpa melepaskan anak yang ada dalam gendongannya, Rima berjalan masuk untuk memanggil ayahnya.
Rima berjalan mendahului ayahnya.
Saat ayahnya duduk berhadapan dengan kedua tamunya itu dia malah melewati ruang tamu.
“Mbak, aku bawa jalan dulu yah!” terus berjalan ke arah pintu.
“Mau di bawa ke mana Rima? Dah malam,” Elina yang langsung terlonjak kaget saat Rima terus berlalu dengan membawa buah hatinya.
" Mau kuculik hahaha." Rima yang terus berlalu sambil tertawa. Tak mengidahkan panggilan dari sang pemilih anak.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 163 Episodes
Comments