Ada rasa yang sedikit berbeda dalam benak Nindy. Entahlah, mungkin itu perasaan iri, meskipun ia sangat tahu bahwa gadis kecil itu bukan anak Rima.
Namun perasaan iri itu tetap mengetuk, melihatnya mampu menggendong gadis kecil
dengan satu tangannya dan sementara tangan yang lainpun memiliki tugas yang lain.
Terlihat kuat dan lihai. Sementara ia hanya duduk di atas kursi roda tanpa bisa melakukan apapun.
“Sudah dibilang gak usah di gendong Rima, dia mulai berat loh!” Elina segera berjalan
mendekati Rima dan mengambil anaknya.
“Gak papa mbak, biar lebih gampang buat sayang-sayang nya,” Rima masih sempat mencuri kecupan singkat di pipi sang gadis kecil itu sebelum benar-benar berpindah ke pelukan ibu kandungnya.
“Kan udah dibilangi jangan diajarin makan permen!” Sang ibu mulai menunjukkan taringnya, mengoceh pada dua orang tersangka.
“Ini bukan permen mbak, tapi coklat,” Rima menyumbangkan senyum tercantiknya, mungkin saja itu bisa membuat seniornya itu luluh begitu saja.
“Sama aja, sama-sama merusak gigi Rima.”
“Maaf mbak, abis kemasannya cantik, unik,” Rima tersenyum tanpa rasa bersalah
meskipun telah mendapat ocehan dari Elina.
“Selalu saja itu yang jadi alasan kamu. Permennya lucu, unik, cantik." Sang ibu masih mengoceh, sementara anaknya serius dengan aktifitasnya.
"Kamu itu gak ada kapok-kapoknya, mau di tembakin sama papanya?” Meskipun hanya candaan namun ucapan Elina sangat menakutkan.
Suami Elina adalah seorang polisi yang memiliki senjata api alias pistol, beneran
lagi. Yang mampu dor,dor, dor. Jadi jangan berani-berani.
Heheheh, terkekeh dan berlalu sedikit tak memperduliakan ocehan Elina.
Toh barang itu juga telah dinikmati oleh anaknya sendiri, harusnya ia mendapatkan ucapan terima kasih karena berhasil membuat Alexa bahagia dengan menemaninya jajan sesuka gadis kecil itu.
Rima berjalan mendekati ketiga orang yang sedari tadi memandangi perdebatan kecilnya
bersama Elina.
“Selamat Sore pak! Sore pak Reno!” Rima menyapa kedua pria tampan itu.
“Sore." Seraya menganggukan kepalanya membalas sapaan Rima.
" Kamu boleh pulang, biar ibu sama saya saja! Reno bisa antar kamu!” Dihyan masih
mengenggam tangan kurus istrinya.
“Tidak usah pak, saya bisa pulang naik taksi atau nebeng sama di mobil mbak Elina,”
Rima sedikit menundukkan kepalanya.
“Gak bisa, kamu ditolak. Siapa suruh ngajarin anakku jajan sembarangan,” Elina memamerkan wajah jutek.
“Kita bareng aja, kasian kamu ditolak,” Reno sambil tersenyum pada Rima, “Ayuk dah sore!” Mulai beranjak meninggalkan sekerumunan orang di sana.
“Saya juga pamitan pulang pak, mbak! Mari!” Elina pun berjalan menjauhi sepasang suami istri itu.
Heh, tak ada pilihan lain untuk Rima.Iapun mengangguk dan mengikuti langkah kaki Reno setelah pamit pada Dihyan dan Nindy.
“Kamu masih mau di sini?” Dihyan memberikan sentuhan lembut di pipi istrinya.
“Kita pulang saja, kamu pasti capek,” Nindy dengan lirih.Menatap mata sang suami yang menyiratkan kelelahan dan rasa penat.
Belum lagi ketika berada di rumah, bukannya meng-istirahatkan badan, suaminya itu akan kembali akan mengurus dirinya yang tak bisa berbuat apa-apa.
Jelas pasti akan menambah porsi kelelahan untuk Dihyan.
Dengan keadaan seperti ini, dirinya merasa hanya menjadi beban suaminya saja.
Dihyan mendorong kursi roda istrinya menuju ke arah mobil yang tadi dipergunakan Nindy dan Rima bersama pak Eko.
Di dalam mobil.
“Mas,” masih dengan suara lirihnya.
“Hem,” Dihyan sibuk memainkan jari-jari istrinya yang dengan tenang menyandarkan kepalanya di bahu suaminya.
“Apa kamu tak ingin punya anak?”
“Jangan pikirkan yang lain, fokus pada kesembuhanmu dulu!” Dihyan.
“Tapi aku ingin memeluk dan menggendong bayi,” Masih bersandar di bahu kokoh sang suami.
Benar-benar kokoh menghadapi dirinya yang pesakitan.
“Sayang, sembuh dulu baru kita bicarakan tentang anak lagi yah,” Dihyan lembut.
“Mas, kesempatanku untuk punya anak sangat sedikit, tapi kamu masih punya banyak kesempatan untuk bisa punya anak.”
Kalimat yang terucap dari mulut istrinya mampu membuat emosinya mulai naik, tapi masih bisa ia kendalikan.
“Maksud kamu apa sayang?” Pandangannya dalam tertuju pada mata istrinya.
“Aku akan menerima anak mas seperti anakku sendiri!” Nindy tak goyah, meskipun tatapan suaminya seolah siap menusuk jantungnya.
“Kamu ngomong apasih sayang?” Nadanya mulai meninggi.
“Jika mas menikah lagi, mas bisa mendapatkan bayi mungil. Dan aku akan menjaganya seperti anakku sendiri.” Kembali mengulang permintaannya secara gamblang.
“Jangan pikir macam-macam sayang, fokus pada kesembuhan kamu dulu!” Dihyan melepaskan pelukannya pada Nindy dan membiarkan istrinya bersandar pada jok mobil.
Tak ingin melanjutkan pembicaraan yang menurutnya aneh ini.
Dihyan menjauhkan dirinya, menuju ke sisi lain dari mobil itu.
Pria itu menyandarkan lengannya di jendela mobil, sambil memijat pangkal hidungnya. Sesekali pandangannya menuju ke luar jalanan. Imajinasinya terberai demi mendengar permintaan sang istri.
Pemikirannya sedikit kacau.
Bagaimana bisa wanita yang sangat ia cintai mempunyai pemikiran seperti itu. Menyuruhnya menikah lagi dan menganggap anak dari wanita lain seperti anaknya sendiri.
Bahkan untuk menyentuh wanita lainpun ia tak mau. Dihyan hanya menjabat tangan relasi-relasinya, selebihnya tak ada lagi.
Istrinya itu sudah gila pikirnya.
Bukan gila tapi putus asa.
Ya, Nindy putus asa.
Namun masih memikirkan dirinya. Istrinya itu pasti merasa tertekan dengan keadaan seperti itu.
Dihyan kembali mendekat pada istrinya, membawanya kembali dalam rengkuhannya, membelai lembut rambut yang mulai rontok itu.
Satu kecupan disumbangkan di kening istriinya dengan begitu dalam sebagai bentuk rasa cinta sekaligus menunjukkan bahwa ia akan selalu ada di sisi wanita rapuh itu.
“Maaf kan aku, jangan pikirkan yang lain selain kesembuhanmu!” Mencoba menenangkan sang istri.
Sementara di mobil yang lain.
“Rima, makan yuk!” Ajak Reno.
Tak ingin menunggu jawaban Rima, Reno membelokkan mobilnya ke sebuah pekarangan rumah.
Rumah yang tergolong sederhana.
“Masuk yuk! Duduk dulu!” Rima terus berjalan mengekori Reno.
“Kamu tunggu yah. Aku mandi dulu!” Reno berlalu secepat kilat meninggalkan Rima yang
terdiam di ruang tamu.
Rima yang hanya mampu terdiam kini telah merutuki kebodohannya sendiri.
Entah sihir apa yang digunakan pria tadi hingga membuatnya menurut saja. Bahkan kini ia serasa tak percaya jika telah berada dalam sebuah rumah.
“Eh temannya Reno yah?” Ternyata Reno telah memberi tahu ibunya jika ia kedatangan
tamu. “Renonya di mana?”
“Gak tau tante, Cuma di suruh nunggu.” Entah ia harus merasa lega atau canggung saat ini.
Sesungguhnya Rima bingung karena Reno tak memberikannya informasi lebih tentang di mana, siapa, dan rumah siapa ini. Dia hanya membawa lalu meninggalkan Rima di sini.
“Tidak bisakah dia langsung mengantarku pulang saja!”
“Tunggu yah, tante buatin minum dulu!” Ibu itu hendak berbalik sebelum Rima memanggilnya.
“Em, tante. Maaf boleh numpang Sholat magrib?” Sedikit menundukkan kepala dan tersenyum canggun. Centilnya sedikit hilang di hadapan ibu.
“Oh iya boleh dong! Masak gak boleh. Ayuk ikut ibu!” Ibu mulai berjalan di susul oleh Rima di belakangnya.
Tak lama pun Reno muncul dengan wujudnya yang lebih segar namun wajahnya seketika pias
ketika tak menemukan Rima di ruang tamu.
“Bu, ibu,” Reno dengan nada sedikit naik memanggil ibunya.
“Ya, ibu di sini,” Ibu muncul dari dalam, “Kenapa teriak-teriak sih?”
“Bu, ibu liat cewek yang di sini gak?” Reno menunjukkan sofa di ruang tamunya dengan
sedikit panik.
“Oh, di dalam lagi sholat,” Ibu dengan santainya tak menghiraukan raut wajah Reno yang kembali menunjukkan wajah terkejutnya.
“What Rima sholat? Gak salah nih? Cewek seksi kayak dia bisa sholat juga?”
Ya bisalah! Apapun gaya mu, harus tetap sholat! Karena sholat adalah kewajiban
setiap muslim/muslimah.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 163 Episodes
Comments