Reno mulai menjalankan mobilnya keluar komples perumahan Rima.
“Dimana?” Reno sambil menoleh pada gadis di sampingnya.
“Rumah Lilis,” Gadis itu tanpa mengalihkan pandangannya pada ponsel yang ada di genggamannya.
Setelah itu tak ada lagi interaksi antara mereka bertiga hingga Reno menepikan mobilnya di halaman sebuah rumah bercat ungu muda.
Gadis itu menyodorkan tangannya ke arah Reno, dan disambut dengan baik. Mereka bersalaman, tak lupa gadis itu mencium punggun tangan Reno seperti yang pria itu lakukan pada ayahnya.
“Belajar yang benar!” Reno sambil mengelus pucuk kepala gadis itu.
Dijawab hanya dengan cibiran lalu tersenyum, kakaknya itu terlalu serius dalam menjalani hidup.
“Paling nonton drakor,” suara dari belakang ikut menimpali, Rima.
“Nah tuh kan, kakak iparku pengertian,” Gadis itu sambil bertepuk tangan setelah menunjuk ke arah belakang.
“Kakak juga suka?” Tanyanya sambil tersenyum manis pada Rima dan di balas dengan anggukan kepala beserta senyum yang tak kalah manis. “Lain kali kita nonton bareng, mau?”
Rima kembali menganggukkan kepalanya sambil tersenyum pada gadis di depan.
Kembali gadis itu menoleh ke arah Reno sambil menengadahkan tangannya.
“Apa?” Reno. Karena menurutnya acara salim-saliman telah selesai.
Gadis itu hanya menjentikkan jarinya sebagai kode “minta uang”.
Meskipun mendengus, Reno tetap memberikan apa yang diminta oleh adik kesayangannya.
Setelah mendapatkan apa yang ia mau, Rindi kembali menoleh ke belakang, “Bye kakak cantik!” Lengkap dengan lambaian tangan sebagai tanda perpisahan.
Barulah ia turun dari mobil itu memasuki pekarangan rumah yang diyakini sebagai rumah Lilis.
Tapi satu yang mencuri pikiran Rima adalah gadis itu menyebutnya sebagai kakak ipar.
Jika dia benar adik Reno, lalu apa yang telah diceritakan oleh lelaki itu pada adiknya hingga mampu menyebutnya sebagai kakak ipar.
“Dia adikku, namanya Dira, Rindiandira. Yang tadi, jangan diambil hati yah!” Reno sambil menatap gadis yang semakin menjauh.
“Rima, kamu pindah ke depan dong. Gak enak kayak gini. Kesannya aku sopir pribadi kamu,” Reno.
Rima mulai mengangkat tubuhnya. Kedua tangannya berpegangan pada ke dua jok depan dengan sebagian tubuhnya telah berada diantara kedua jok itu.
“Astaga Rima.” Reno terkejut melihat Rima yang mengambil jalan pintas untuk pindah ke depan.
“Katanya disuruh pindah ke depan?” Rima menoleh ke arah Reno dan menatapnya.
“Ya gak lewat situ juga kali!” Renopun tengah memandanginya.
Yang ada sekarang mereka saling berpandangan cukup lama tanpa sepatah kata.
Dan entah apa yang mendorong kepala Reno hingga semakin dekat padanya. Bahkan bibir mereka sempat bertemu meskipun hanya sekilas.
Apakah benar bibir mereka bersentuhan?
Mungkin.
Reno sempat mencuri warna merah yang menempel di bibir Rima setelah itu langsung memalingkan wajahnya dengan senyum terkembang di sana.
Mengambil tissu dan melap bibirnya menghapus sisa stempel merah hasil curiannya.
Ini semakin menegaskan bahwa bibir mereka baru saja bersentuhan. Oh God!
Sementara Rima hanya memandangnya tanpa pergerakan sedikitpun. Mematung dengan mata membola.
Benar-benar tak percaya dengan insiden yang baru saja terjadi pada mereka.
“Kenapa masih mau lagi?” Kini Reno telah beralih kembali menatapnya.
“Masih mau kepalamu?”
Andaikan kalimat itu mampu keluar? Rima yang mulai melanjutkan aksinya memindahkan tubuhnya dari kursi belakang ke kursi depan hanya mampu membentuk bibirnya sedikit ke depan menandakan bahwa ia tengah merajuk. Tanpa kata.
Ia tak ingin mengajak Reno berbicara saat ini.
Hingga seminggu ke depan ia berjanji tak ingin mengajak Reno untuk berinteraksi bahkan hanya sekedar tersenyum sekalipun.
Dan itu benar-benar Rima lakukan, ia bahkan tak berani menatap sosok Reno.
\==========
“Mas, menikahlah!”
Kata itu mampu membuat emosinya seolah menaiki tangga menuju ke puncak. Istri yang sangat ia sayangi memintanya menikah lagi?
“Jika hanya menginginkan anak kita bisa mengadopsinya,” Dihyan berusaha menahan emosinya.
“Tapi itu bukan anakmu mas.”
“Sama saja, sama-sama anak kecil! Kita pilih yang masih bayi, biar kamu bisa menggendongnya dan merewatnya,”Dihyan.
“Akan berbeda jika itu darah dagingmu mas. Komohon menikahlah!”
Ini adalah kali keberapa Nindy meminta suaminya untuk menikah lagi. Berharap bisa menggendong seorang malaikat kecil dari darah daging suaminya.
\====
Mentari telah berada di pucuk barat, menandakan hari telah senja dan sebentar lagi bulan akan menyapa menggantikan tugas sang mentari.
Di mana dua orang wanita tengah duduk di taman samping rumah nan megah sembari menunggu ke kasih hati mereka.
“Apa kamu sudah punya pacar?” Nindy bertanya pada Rima saat mereka tengah sedang menikmati sore di taman belakan rumah.
“Belum mbak, saya gak pacaran,” Rima sambil meletakkan air putih yang telah diminum oleh Nindy di sebuah meja bundar.
“Walaupun sekali?” Ia mendekatkan wajahnya pada wajah Rima. “Kenapa? Padahal kamu cantik loh?”
Entah itu hanya sekedar basa basi atau mengandung unsur penyelidikan.
“Aku gak mau pacaran mbak? Gak mau di kekang, di larang-larang. Ruang gerak sangat terbatas.”
“Pernah sih sekali pacaran tapi hanya sebulan terus putus, hehehe. Gak bisa bebas, jadi ya pilih putus.” Meraih cangkir yang berisikan teh hangat.
Diteguknya sekali, kembali meletakkan ke atas nampan yang terletak di meja.
Sore menjadi salah satu moment terbaik untuk menikmati teh hangat.
Sambil menyambut senja yang sebentar lagi akan datang, membawa suasana tenang dan sejuk.
“Kalau nikah?” Nindy mulai memancing.
“Ya kalau ada yang minta dan baik mau dong!” Rima sambil memainkan alisnya memandangi Nindy.
“Ih, kamu genit. Tapi salah sasaran,” Nindy tersenyum melihat tingkah Rima. “Kalau genit itu sama cowok.”
“Kamu mau jodoh yang seperi apa?” Penyelidikan masih berlanjut.
“Emm, ya yang baik lah. Sayang sama aku, yang setia. Udah itu aja!” Rima, “Sama ganteng juga.”
“Baik sama ganteng itu relatif, tergantung dari sisi mana kita memandang.”
“Meskipun gak ganteng atau gak baik kalau cinta pasti di mata tetap ganteng sama baik. Seolah matanya tertutup melihat hal-hal yang kurang dari orang yang kita cintai. Betul gak?” Nindy.
“Emm iya juga sih mbak,” Sedikit anggukan kepala membenarkan ucapan Nindy.
“Aku punya stok cowok sempurna 3T. Pakte komplit,” Nindy sambil menunjukkan 3 jarinya ke atas.
“Tampan, Takwa, Tajir.” Sambil menurunkan setiap jarinya satu persatu setiap mengucapkan satu kata.
“Kurang apalagi coba?” Lanjutnya.
“Hahahaha, mbak bisa aja. Emang ada yang sesempurna itu?” Rima.
“Ada dong. Terus kalau memang ada, memang kamu mau?” Nindy.
“Mau dong, siapa juga yang mau melewatkan pria langka seperti itu, istimewa banget.” Rima kembali mengerlingkan matanya pada Nindy.
“Ih, ganjeng ih,” Ia tersenyum sambil melirik pada Rima.
“Eh beneran mau gak?” Lanjut Nindy.
Bersamaan dengan sebuah mobil mewah hitam yang memasuki pekarangan rumah.
“Emang beneran ada mbak?” Rima melirik tak percaya pada pasien rasa sahabat di sampingnya.
Sering berinteraksi berdua membuat mereka dekat.
“Ada dong, kamu lihat di sana!” Nindy menunjukkan pada mobil mewah itu, bersamaan dengan seorang yang turun dari mobil itu. “Itu orangnya!” Lelaki itu memandang
ke arah meraka sambil melambaikan tangannya.
Disusul seorang lagi yang mampu membuat bibir Rima tersipu malu. Mengingat beberapa waktu lalu mereka makan malam berdua. Hanya berdua.
Melupakan insiden di dalam mobil minggu lalu.
Lelaki itu berjalan ke arah mereka, masih tetap di susul sosok lelaki lain di belakangnya. Semakin mendekat, membuat Rima merasa kepanasan disaat suasana senja yang sedikit sejuk.
Ia tersipu, dan tak mampu menyembunyikan raut wajahnya hingga ia memilih untuk menundukkan kepalanya. Memantapkan tatapannya pada lantai yang ia pijaki.
Nindy hanya menatap, seolah mencari tahu isi hati Rima. Tersipu malu dihadapan seorang pria, sesuatu yang sangat wah!
Apalagi namanya kalau bukan kagum, atau perasaan yang lebih berat yaitu jatuh cinta.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 163 Episodes
Comments