Meski baru saja menyaksikan kejadian hebat, tetap saja ini posisi yang menyebalkan. Tubuh Arif tidak bergerak untuk beberapa lama. Dia harus duduk tenang dahulu sambil menahan rasa lapar tang kian melilit. Tidak terhitung sudah berapa kali perutnya merengek minta makan.
Pemandangan di hutan itu lumayan bagus, cukup untuk membasuh mata selama masa tunggu. Arif memperhatikan sekitarnya, menghadap kesegala arah. Pucuk-pucuk yang tinggi berdaun lebat, pohon-pohon dengan batang yang kokoh dan besar. Alas hutan penuh dengan dedauanan kering dan batu-batuan kecil.
Angin pagi menyapa Arif, menggoyangkan rambut putihnya yang berantakan dan sepanjang bahu. Sejak Melati tidak pernah berkunjung, Arif tidak memotong rambutnya.
Pakaian Arif compang-camping, bekas terbakar terlihat di beberapa titik, juga dengan luka bakar di kedua lengan dan kaki. Luka bakar itu masih sedikit perih jika berkontak dengan obyek kasar. Sementara mata Arif terlihat menghitam, jela sekali di kurang tidur.
Orkestra alam adalah pilihan terbaik ketika pergi ke hutan, sebagaimana kali ini. Dulu, ketika duduk menikmati kemegahan Dewa Naga Bukit, Arif tidak bosan untuk mendengar alam menyanyi untuknya. Kicau burung, suara aliran sungai, langkah-langkah hewan yang menyusur hutan, dan angin yang menggoyangkan dahan-dahan tinggi.
Nampaknya Arif mulai menyukainya. Dia mencoba memasan senyum, kata dokter senyum dapat menghilangkan stres dan membuat suasana hati lebih baik. Dokter selalu tersenyum seakan-akan tidak pernah mendapat masalah apapaun. Arif mulai kangan dengan Dokter Jago. Bagaimana ya kabarnya?
Setelah matahari cukup tinggi Arif mencoba berdiri, berhasil meski kakinya sempat gemetaran. Arif masih kesulitan berjalan, pelan-pelan saja tidak mengapa. Arif mengedarkan pandang, berharap semoga ada sesuatu yang dapat dimakan selain dedaunan.
Setelah berjalan cukup jauh dan melelahkan, Arif menemukan sang naga biru, sungai berair bening. Suasana hati Arif seketika membaik, sebelumnya ia pernah menangkap ikan di sungai bersama dokter dan Melati.
Arif pelan-pelan turun, menuju tepian sungai. Belum kakinya menyentuh permukaan air, mata Arif menangkaps sesuatu yang membuatnya mematung. Di ujung barat, terlihat seorang lelaki dan seekor anjing gunung. Lelaki itu mengenakan caping besar dan penutup baju tubuh berupa jas dari serat alam. Dia sedang mengisi kantung air dengan air sungai.
Hewan berbulu putih dan abu-abu itu adalah peliharaanya. Dia duduk santai di sebalah tuannya yang sedang mengerjakan sesuatu di tepian sungai. Bagus, dia lebih lama disana.
Arif pelan-pelan mundur. Jelas sekali pengalaman beberapa hari yang lalu membuatnya trauma. Arif tidak bisa percaya manusia kecuali keluarganya, Melati, dan Dokter Jago. Selain itu Arif tidak mau pikir panjang, dia akan menjauh sejauh-jauhnya.
Arif melangkah mundur. Keringat kembali mengalir, ketegangan ini membuat dada berdegup kencang.
Pelan-pelan, pelan-pelan. Arif mengabil langkah lebar tanpa suara. Sementara matanya terus memantau lekaki itu. Semoga tidak sadar, semoga tidak sadar. Arif berdoa dalam hati. Ketika lelaki itu berdiri, Arif seketika mengambil langkah berlari, bersembunyi di balik pohon.
Tentunya lelaki itu menoleh ke sumber suara. Dia mendengar suara langkah kaki tergesa-gesa. Bisa saja binatang buas. Lelaki itu lantas menggulung pekerjaanya kemudian mengikatnya dengan tali. Lelaki itu lantas memasukannya kedalam tas kulit miliknya.
Dibalik pohon besar, Arif menyetuh dadanya. Degupannya sangat kencang. Dalam kepalanya terngiang bayangan yang akan terjadi kalau dirinya ketahuan atau tertangkap. Dadanya terasa sakit, pernafasannya berantakan. Kenapa masalah selalu datang?
Arif menghembuskan nafas beberapa kali, mencoba menenangkan diri. Degupan di dada semakin normal. Bagus.
“Guk.” Terdengar suara anjing dari samping Arif. Hewan itu duduk disana sambil mengibas-ngibaskan ekornya. Dia seakan menunggu Arif. Tapi Arif tidak berpikir demikian. Arif melakukan langkah seribu, ketakutannya kembali memuncak.
Arif berlari sekuat mungkin, kemanapun tidak apa-apa. Asalkan tidak bertemu manusia. Di belakangnya, anjing itu pun memburu. Langkahnya kuat dan lebar, tidak perlu berlama-lama hewan dengan penciuman super itu berhasil menghadang Arif dari depan.
Arif langsung mengubah arah berlari, nyaris saja membuatnya terpeleset. Semak belukar ditrobis begitu saja. Jalanan yang tidak rata membuat keseimbangannya hilang berkali-kali. Hampir saja dia tersungkur karena itu. Arif tetap berlari. Tubuhnya mulai sakit, tenggorokan terasa terbakar, keringat sudah kembali benjir.
Dipenghujung perjuangan, Arif jatuh ke depan. Dadanya dam dagunya terbentur terlebih dahulu. Sangat sakit. Siku dan lututnya berdarah. Kesadarannya berkedip-kedip. Dalam penglihatan yang remang ia lihat anjing gunung itu duduk disebelahnya dan lelaki bercamping datang. Suaranya terdengar mencemaskan Arif.
@@@
Arif membuka mata perlahan-lahan, mengumpulkan kesadarannya. Dalam kondisi setangah sadar, Arif mencium bau asap. Arif terkaget sampai melompat, bayangannya terlempar pada peristiwa mengerikan itu.
Arif menatap depan. Ternyata ada sebuah api unggung kecil. Dihapannya ada beberapa ikan sungai yang di sate. Api unggun bergoyang-goyang, mencoklatkan kulit ikan sungai tersebut. Tercium bau harum, nampaknya sudah dibubuhi bumbu.
“Duduklah, jangan takut. Aku tidak ada niatan buruk.” Arif menghadap kepada sumber suara. Itu lelaki bercamping. Dia melapas capingnya, menunjukkan rambutnya yang berwarna hitam. Ketakutan seketika merambati layaknya pasukan semut.
“Santai nak. Ini makanlah terlebih dahulu.” Lelaki itu memberikan salah satu ikan yang sudah matang. Baunya harum dan nampaknya sangat lezat. Berhari-hari tidak makan membuat Arif bagaimana rasanya makanan lezat.
Arif makan dengan lahap, mulutnya langsung kepanasan. Arif menahannya. Tenggorokannya sangat panas. “Minumlah.” Lelaki itu memberikan kantong air miliknya. Air cepat-cepat menerima dan langsung menegak separuh dari isinya. Rasanya sangat lega.
“Bagaimana, apa sekarang sudah lebih baik?” Lelaki bertanya ramah tapi suaranya sedikit dingin. Arif menjawab dengan anggukan.
Arif diam-diam memperhatikannya yang sedang sibuk membuka sesuatu di telapak tangan. Lelaki ini memilik tatapan mata yang dingin, lengan baju yang dilipat menunjukkan otot disepanjang lengan. Lelaki ini sangat fokus dengan pekerjaanya. Dia nampaknya orang yang sangat disiplin.
Sebenarnya masih tersisa keraguan dalam diri Arif. Hatinya masih sangat gelisah kalau lelaki di hadapnnya ini mendadak melakukan hal buruk. Arif tidak ingin itu terjadi. Meski suasana ini terasa bersahabat, Arif tidak bisa merasakannya. Hal itu juga berpengaruh pada selera makannya, Arif tidak bisa merasakan rasa gurih ikannya.
“Jangan gelisah nak.” Lelaki itu berkata lagi seakan tahu kata hati Arif. “Ini makanlah, kau pastinnya sangat lapar.” Lelaki itu memberikan sate ikan kedua. Kali ini Arif melahapnya pelan-pelan sambil beberapa kali meniupnya.
“Sambil kau habiskan, aku akan bercerita sedikit.” Lelaki itu membenarkan posisi duduknya. Dua tusuk yang masih tersisa diberikan pada anjing gunungnya dan satu lagi untuk dirinya sendiri.
“Namaku Haz dan ini Gagug.” Tunjuk Haz pada anjing gunungnya yang sedang lahap menghabiskan ikan bakar.
“Kami berasal dari Desa Rakatta, dekat dengan hutan ini. Aku adalah seorang peramu, aku pergi ke hutan untuk mencari tanaman-tanaman herbal bersama Gagug.” Arif mendengarkan baik-baik.
“Kalau tidak salah, namu Arif bukan.” Arif sedikit kaget akan hal itu. Dia hanya mengangguk sebagai konfirmasi.
“Guru Jago memberitahukannya padaku. Kau pastinya kenal beliau.” Arif mengangguk lagi. Nama Dokter Jago disebut membuat Arif ingin bertanya perihal keadaan beliau sekarang. Haz menghembuskan nafas pendek.
“Empat puluh tahun yang lalu negeri-negeri barat dilanda wabah mematikan sampai-sampai setiap hari ada saja orang yang meninggal di jalan-jalan. Di tengah kekacauan itu, Guru Jago hadir sebagai pahlawan. Beliau meracik obat yang berhasil menyelesaikan polemik tersebut. Karena besarnya jasa yang diberikannya, Dokter Jago mendapat pengharagaan tertinggi dan dijuluki Dokter Yang Menaklukan Kematian. Beliau adalah guruku sekaligus dokter terhabat yang pernah kutemui.” Haz menjelaskan panjang lebar. Nampaknya dia sangat bangga menceritakan perihal beliau. Jelas sekali, sebagaimana Arif, Haz adalah orang yang mengagumi Dokter Jago.
Arif yang baru saja mendengarkan hal itu sangat terkagum-kagum. Orang yang sudah seperti bapak baginya ternyata adalah sosok yang sangat hebat, pahlawan umat manusia. Rasanya sangat bangga pernah bertemu apalagi dibesarkan beliau.
“Di pertemuan terakhir kami, Guru memberitahukan perihal dirimu, Arif. Manusia rambut yang unik. Memiliki tanda lahir tidak biasa di lengan kanan dan kekuatan tersembunyi.” Haz memberikan jeda pada kalimat. Kalimat Haz menjadi lebih serius.
“Apakah Ibumu dan Guru pasti tidak pernah menceritakan perihal manusia rambut putih?” Haz bertanya. Tatapan matanya tajam. Arif mengangguk lagi.
“Tidak perlu merasa aneh Arif. Tindakan ibumu dan Guru benar. Aku yang akan menceritakannya, kau boleh percaya dan tidak.” Arif memasang telinga baik-baik. Entah mengapa atmosfer ini membuatnya semakin gugup.
“Aku tidak bisa menceritakan latar belakang kalian, terlalu banyak informasi palsu yang dicampur aduk dengan sejarah. Aku akan menceritakan yang kutahu. Kalian adalah manusia terpilih, dan dalam kasusmu seharusnya kau mustahil terlahir Arif.” Arif merasa tersedak. Kalimat Haz mengerikan sekaligus menyakitkan.
“Maaf aku mengatakan demikian, tapi begitulah kenyataanya. Menurut catatan lama dan penelitianku dua tahun terakhir, pewarisan sifat sebagai manusia rambut putih hanya dapat diwariskan lewat jalur bapak. Tapi kau terlahir sebagai manusia rambut putih karena ibumu. Itu mustahil terjadi.” Haz masih menatap tajam. Arif tertunduk, percakapan ini membuatnya tidak enak badan dan hati.
“Selain itu, apa kau memiliki Keping Harapan?” Lagi-lagi Arif menjawab hanya dengan anggukan.
“Seharusnya pihak bapak yang bisa mewariskan Keping Harapan kepada putranya. Kejadian sepertimu jarang terjadi. Apakah terjadi gejala tidak biasa kepada ibumu sebelum beliau meninggal?” Arif semakin tertunduk. Jika mengikuti kemauan hati, Arif memilih diam. Percakapan ini terasa menyakitkan baginya, namun Arif juga ingintahu jawaban. Siapa aku?
“Kata dokter, Ibu koma. Komanya bertahun-tahun.” Jawab Arif. Nada suaranya terdengar gugup dan gelisah. Haz menyilangkan lengan di depan dada sambil memasang pose berpikir.
“Mungkin saja, ini hanya dugaanku. Selama ibumu koma, beliau mencurahkan segenap usahanya untuk membentuk Keping Harapan. Aku harus bangga padanya Arif. Itu adalah pekerjaan yang seharusnya dilakukan laki-laki dari keluargamu” Haz meraih tas kantungnya dan mengeluarkan lembaran kecil yang terlipat-lipat. Haz memperlihatkannya kepada Arif.
Arif memperhatikan lembaran tersebut. Hanya berisi tulisan dengan huruf yang tidak dia mengerti. Garis, lengkung, kurva, kotak, lingkaran, titik, Arif tidak mengerti apa itu. “Ini adalah salinan tua yang kudapatkan dari situs kuno, waktu itu aku melakukannya bersama Guru. Momen menyenangkan.” Haz membayangkan kejadian itu.
Haz menunjuk pada salah satu baik di catatannya. Arif memfokuskan kesana.
Disana tertulis, perihal Keping Harapan. Benda ajaib yang mampu meniadakan hukum-hukum alam. Salah satu fungsi Keping Harapan adalah penghubung orang hidup dengan orang-orang yang sudah mati.
“Apakah aku bisa bertemu Ibu.” Kalimat itu reflek keluar ketika Haz menjelaskan Keping Harapan dapat menghubungkan orang hidup dan mati.
“Aku tidak tahu, aku hanya membaca catatan kuno. Kaulah yang harus membuktikannya, Arif.” Lagi-lagi Haz menjawab dingin. Arif mendengarkan, sebagian besar penjelasan Haz tidak dia pahami.
“Tapi terlepas dari semua itu, aku sangat kagum padamu.” Haz melipat catatannya dan memasukannya kembali ke tas kulitnya. Gagug yang sudah selesai dengan ikan bakarnya mendekat seakan ingin dengar juga.
Arif merasakan hembusan nyaman di dadanya.
“Kau adalah anak hebat. Hidup penuh tekanan oleh anak seusiamu adalah hal yang sangat berat. Kalau aku di posisimu, pasti aku sudah kehilangan kewarasanku.” Haz memuji Arif meski suaranya tetap terdengar dingin dan tidak peduli.
“Dan juga_” Haz berdiri sambil menggedong tas kulitnya. “Cita-cita guru adalah cita-citaku , kalau kau mencari tempat tinggal, maka rumahku selalu terbuka lebar untukmu. Namun keputusan akhir terserah padamu. Ini hanya tawaran, tidak ada paksaan.” Haz segera mematikan obornya, mengenakan capingnya, dan berlalu dari hadapan Arif yang belum memberi jawaban.
Arif terduduk dengan penuh kebingungan. Pikirannya penuh dengan bermacan perkara. Ini memusingkan.
Apa yang harus dipilih?
Bukankah sudah jelas?
Namun kalau lelaki itu berbohong, menjebak, dan mencelakai?
“Kau pasti akan memerlukannya.” Haz meletakkan capingnya di atas kepala Arif. Arif menoleh dengan penuh rasa heran kepada Haz.
“Jaga benda itu baik-baik.”
Aneh, hanya dengan sebuah kebaikan kecil. Hati seketika berbalik. Kadang membawa bencana, juga kadang membawa kebaikan. Namun, tanpa menghiraukan hal tersebut Arif sudah mendapat jawabannya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 72 Episodes
Comments
Li Na
terus semangaat thor
2020-06-12
0
PADISTRIA
NEXT
2020-05-10
0