Mengetahui targetnye pergi, pria tersebut makin naik pitam. Dia raih beberapa batu di sekitar. Tanpa memikirkan akibat tindakannya, dia segera melempar batu-batu itu kearah Arif. Sekuat mungkin seakan yang dilemparinya adalah makhluk buas, bukan manusia.
Arif yang tidak sempat memperhatikan belakang terkenal lemparan di kepala. Arif bertariak kemudian terjungkal kedepan dengan kepala terlebih dahulu menyentuh tanah. Ketela dalam bakulnya berceceran. Arif menyentuh belakang kepala yang sangat perih dan berdenyut-denyut, tangannya gemetaran ketika ada cairan merah di atas telapak tangan.
“Tangkap! Tangkap anak itu!” Teriak pria yang sama.
Mendengar seruan yang tidak asing itu, seluruh orang dari kejauhan segera menoleh, menghadapkan wajah kepada Arif. Para lelaki dengan tubuh besar-besar segera mendekat dengan berlari, mematuhi perintah atasannya. Arif yang tidak sempat mencerna situasi yang dia pahami sekarang adalah lari sejauh-jauhnya.
Arif langsung berdiri meninggalkan orang-orang yang mengejarnya begitu juga bakulnya. Kondisi semkin menekan Arif ketika teriakan itu malah bersaut-sautan, saling merantai orang-orang dari kejauahan, memanggil para lelaki desa pemberani untuk meringkus Arif.
Arif menatap segala arah, semua orang berlari kearahnya. Aku akan di tangkap, lalu apa yang akan mereka lakukan kepadaku? Pikir Arif. Langkah kakinya sudah membeku, semua jalan kabur telah tertutup. Semua penjuru di liputi lelaki berbadan besar.
Tangan dan kaki gemetaran, matanya pun mengisyaratkan ketakutan. Belum sempat mencerna rangkain kejadian dihadapannya, kedua lengan Arif di kunci, dan dilipat kebelakang. Kakinya menekuk lutut, dan wajah tertunduk ketakutan.
Para lelaki desa melakukannya dengan paska, membuat Arif kesakitan dan nyaris saja mematahkan lengan kanan Arif. Mereka sebenarnya memang menunggu waktu ini, saat-saat dimana mereka punya alasan untuk melakukan tindak kekerasan terhadap Arif.
Merekalah orang-orang yang nuraninya telah tertutup. Tenggelam dalan cerita-cerita tidak benar dan ketakutan akan petaka yang dihantarkan manusia berambut putih. Maka dari itu, ketika saat-saat seperti ini tiba, mereka mememnuhinya dengan bangga dan terhormat seakan ksatria suci yang mendapat tugas membunuh mahluk jahanam.
Wajah Arif ditundukkan di atas tanah. Pipi kirinya merasakan permukaan tanah yang kasar dan berdebu. Sementara belakang kepal bertambah sakit karena dicengkram kuat. Kedua lengannya dikunci kebelakang, bahunya ditekan agar tidak bisa berdiri. Arif merasa tidak di manusiakan lagi.
Hari yang semula cerah dan panas berubah jauh. Langit tiba-tiba membawa awan gelap. Kilat menyambar dari kejauhan. Angin bertiup beberapa kali di anatara mereka. Bersamaan dengan datanganya itu pria yang melemparkan batu padanya berdiri tepat di hadapnnya.
Ujung kemari kakinya tepat berada di depan wajah Arif. Arif beberapa kali meronta-ronta tapi tiap kali ia meronta, orang-orang itu menekuk lengan kanan Arif lebih kuat kebelang. Rasa sakit menjalar cepat, membuatnya berteriak.
Wajah Arif basah dengan keringat dan ketakutan. Apalagi yang dapat harapkan? Orang-orang mungkin akan membunuhnya. Arif mendongak, memperhatikan pria yang melempar batu padanya. Itu adalah kepala desa. Bapak dari Melati.
Pria yang gelap mata tersebut mencengkram kedua pipi Arif, kemudian mengangkatnya agar wajah keduanya berhadapan. Arif pun berusaha membuangan pandangan.
“Tatap aku anak terkutuk!” Seru pria tersebut. Mata terbuka lebar-lebar, ganas. Gerahamnya saling beradu, menahan amarah yang melangit-langit. Arif terpaku dalam posisi itu, itu tatapan paling mengerikan yang pernah ia dapati.
BUK!
Baru dua detik, pria sedikit gempal itu mengirimkan pukulan ke wajah. Sangat keras, kepala Arif langsung terasa pusing. “Karena kau putriku jatuh sakit!”
BUK!
Pukulan kedua datang, kali ini pipi kanan Arif menjadi korban. Arif tidak bisa berkutit. Rasanya sakit sekali. Nampaknya gusinya sudah berdarah karena pukulan tersebut.
BUK!
Pukulan ketiga, tepat menghantam antara kedua mata Arif. Rasa pusing bertambah-tambah. Penderitaan ini masih panjang.
“Melati, Melatiku!” Pukulan keempat. Lebih keras dari sebelumnya. Arif semakin tidak berdaya.
“Apa yang kau lakukan padanya!” Teriaknya, keras sekali sampai orang-orang disekitarnya tertegun dengan reaksi kepala desa mereka. Orang-orang hanya menonto aksi itu dengan miris.
“Melati sakit-sakitan. Dia terus terbaring di atas tempat tidur. Aku tahu kau pasti melakukan sesuatu padanya. Cepat jawab anak terkutuk!” Ucapannya dan pukulannya bertambah kasar. Wajah Arif sudah berdarah-darah dan nyaris tidak dikenali.
Lama-kelamaan pun hati yang membatu juga bisa terkikis. Melihat seorang anak yang tiada berdaya mendapat kekerasan karena dosa yang belum jelas menumbuhkan simpati di hati orang-orang. Salah satu orang yang tidak menerima semua itu segera menarik kepala desa, menjauhkannya dari Arif.
Kepala desa protes, marah besar dan sampai memukul orang itu. Tidak hanya satu orang yang membantunya, bahkan orang-orang yang semula berniat mencelakai arah ikut andil menenangkan kepala desa mereka. Orang-orang yang sebelumnya mengunci Arif mulai berhamburan, berbalik menahan kepala desa mereka dari amarah.
“Hey! Apa yang kalian lakukan!” Seru kepala desa protes. Amarahnya semakin pekat. “Lepaskan! Lepaskan biarkan aku memberi pelajaran anak terkutuk itu!”
“Tenang, pak. Bapak sudah terlalu jauh menghakiminya.” Salah seorang memberanikan diri untuk menasehati. Pukulan benci pun datang kembali, kali ini melukai orang yang menantangnya. Hatinya sudah gelap. Tidak bisa membedakan salah dan benar
“Kau tidak berhak menasihatiku! Apa yang kulakukan tidak salah! Anak itu seharusnya memang tidak pernah terlahir! Dia adalah sumber segala masalah!” Kini kepala desa berteriak-teriak sampai apa yang dia teriakan tidak jelas.
Diskusi tidak mungkin dilakukan. Semua pun orang berbondong-bondong menahannya, mengunci tangan dan kaki kepala desa agar tidak bisa bergerak bebas. Amukannya pun tinggal kata-katanya saja. Semua kebencian itu keluar lewat lidah yang tak bertulang.
Sementara tubuh Arif yang sudah sangat kesakitan layu di tanah. Jatuh tanpa sedikitpun tenaga. Matanya terpejam, mungkin inilah ujung kisahnya. Kepalanya sangat sakit dan itu membuat bagiann tubuh lainnya juga kesakitan. Dan itu tidak pernah terjadi.
Arif melompat ke depan, memberikan pukulan terbaiknya ke wajah kepala desa. Kepala desa yang masih sibuk mengeluarkan umpatan-umpatannya tidak menyadarinya. BUK.
Hanya dengan sekali pukulan itu, tubuhnya ambruk bersama beberapa orang yang menahannya. Kepala desa seketika pingsan.
Orang-orang giliran menatap Arif dengan ketakutan. Anak itu sedang menatap langit, mematung. Seharusnya anak itu tidak punya kekuatan lagi. Apa yang terjadi padanya? Kenapa pukulannya kuat sekali? Mitos itu benar-benar terjadi?
Paling tidak itulah yang disampaikan setiap pandangan mata disana. Suasana hening beberapa saat, kejutan Arif membuat seribu lisan terdiam. Membisu.
Arif menggeram marah. “Kalian tidak paham apa yang kurasakan!” Teriakannya keras sekali. Arif segera merengsek ke sembarang arah. “Memangnya apa salahku! Sampai aku harus menerima semua ini!”
Arif Melepaskan pukulan demi pukulan yang terlatih dengan batang pohon tebal di belakang rumah. Dia melampiaskan kebencian pada orang-orang, melanggar janjinya kepada Dokter Jago untuk tidak melukai orang. Lupakan janji itu. Arif sudah gelap mata. “Matilah kalian semua!”
Apapun yang dihapannya adalah musuh. Dendam yang terkunci sekian lama akhirnya terbuka.
Arif meninju perut, wajah, dada, punggung, dan bagian tubuh lain semua orang dengan brutal. Arif melakukannya kesembaranga orang, bahkan orang-orang yang sempat membelanya pun adalah musuh.
Semuanya segera membubarkan diri. Beberapa yang kurang beruntung menjadi korban keganasan Arif. Mereka terkapar dengan tubuh bersimbah darah dan pingsan.
Orang-orang lari ketakutan, menjauh sejauh-jauhnya darinya. Sosok iblis masa depan. Arif.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 72 Episodes
Comments
Maulana Malik Ibrahim
mantap dah
2021-05-16
0
Li Na
😍😍😍😍
2020-06-12
0
PADISTRIA
mantap
2020-05-09
0