02. Segelas Air Keruh

“Wangsa meninggal, Wangsa meninggal!” Seru dua orang penduduk dengan wajah pucat. Dua orang itu berlarian ke setiap sudut desa di bawah langit yang masih remang.

Kabar itu tersebar cepat. Orang-orang seketika tertunduk, menyambut kabar itu dengan kesedihan. Tidak ada yang menyangkan Wangsa akan pergi begitu cepat, padahal rasanya baru kemarin Wangsa bersama sepuluh sahabatnya menyerukan penduduk ke jalan cahaya.

Kabar meninggalnya Wangsa juga sudah sampai pada Hanah, ibu Arif. Kabar tersebut ditambah kondisi tubuhnya yang masih lemah adalah kombinasi paling berat yang pernah ia alami. Lebih berat dari pada menerima cacian penduduk dahulu. Sangat menyakitkan.

Beberapa jam kemudian jasad Wangsa di bawa ke rumah yang sangat sederhana itu, rumah yang hanya berisikan dua buah tembikar besar berisi air dan sebuah pawon kecil di belakang rumah. Selebihnya adalah beberapa buah piring dan gelas dari tanah liat yang dibakar.

Alasnya papan kayu, itu pun hanya sebagian dan hanya untuk tempat tidur. Selebihnya tanah. Memprihatinkan kondisi rumah ini, namun memang begini keinginan Wangsa, kesederhaan. Hanah pun tidak pernah memprotes yang demikian.

Hanah menatap jasad suaminya dengan terpukul, air matanya seakan tidak bisa berhenti. Berputar kembali kenangan masa lalu. Bahagai, susah, senang, semuanya bertumpukan dan mengalir deras di kepala Hanah. Ini menyedihkan, sangat menydihkan.

Penyebab meninggalnya Wangsa tidak diketahui. Wangsa terlihat mematung dalam posisi berdoa di tempat ibadahnya. Saat didekati ternyata dia sudah tidak lagi bernafas, nadinya juga tidak berdenyut. Maut yang datang tanpa aba-aba. Ketetapan umur memang tiada yang tahu kecuali Tuhan.

Arif kecil yang masih dalam pelukan ibunya terbangun. Wajah lucunya terarah kepada bapaknya yang terbaring dingin di depan. Tangan Arif mendadak terangakat-angkat seakan minta mendekat kepada bapaknya, mulutnya juga mengucapkan sesuatu yang belum bisa dipahami.

Hanah yang menyadarinya segera mendekatkan putranya pada Wangsa, itu terasa mengiris hati. Warga yang berkerumun untuk berkabung segera menyingkir. Arif yang berada tepat diwajah bapaknya berusaha menggapai-nggapai. Air mata Hanah semakin deras melihat adegan tersebut.

Dia tidak tahu harus bagaimana ketika Arif bertanya, “Bapak dimana?”

Hanah berusaha menahan isaknya yang semakin besar. Tidak hanya Hanah, orang-orang yang lain pun sama. Mereka mengerti apa yang dirasakan Hanah, kesedihan yang menular-nular. Desa ini berkabung atas meninggalnya sosok paling penting.

@@@

“Ibu, kenapa Arif tidak boleh keluar.” Tanya Arif dengan polos. Anak itu tumbuh seperti dirinya, berambut putih.

Selain rambut putih, Arif juga memilik tanda lahir yang unik. Tanda lahir itu terletak di bahu kanannya dan terlihat seperti luka bakar. Anehnya, tanda lahir itu ikut membesar bersama dengan bertambahnya usia Arif. Kini tanda lahir itu sudah sampai menyentuh leher.

Umur Arif sekarang baru tiga tahun, kelewat muda untuk mengingat dan memahami banyak hal. Arif tumbuh sebagai anak yang ceria dan tangkas. Meski begitu dia selalu berada di dalamnya rumah, hal itu kadang membuatnya merasa terkurung.

Hanah punya alasan tersendiri atas tindakannya melarang Arif keluar. Hanah sangat bersyukur karena Arif adalah anak yan penurut, dia tetap menuruti perintah ibunya apapun yang terjadi. Hanah tidak ingin membiarkan Arif mengetahui dunia luar yang kejam. Begitu pun hari ini, Hanah ada perlu untuk membeli sesuatu.

Biar dirinyalah yang dicaci maki, di lempari kotoran dan sampah. Sepanjang perjalanan menuju pasar, Hanah dihina habis-habis. Orang-orang membicarakan dengan lisan yang tajam, saling berbisik satu sama lain sambil memberikan tatapan tidak suka.

Sesekali telunjuk mereka menunjuk Hanah yang jalan setengah tertunduk. Hanah pura-pura tidak mendengar itu semua, ada hal yang lebih penting, membeli persediaan makanan.

Di depan pedagang buah pun Hanah tidak disambut hangat. Oleh beberapa pedangan dia diusir, pedagang itu tidak mau melayani manusia berambut putih. Hanah berpindah dari satu lapak ke lapak lainnya. Semuanya sama, mengusirnya dengan kejam.

Hati Hanah sangat terlukai, bisa kalian bayangkan seorang ibu yang ingin membeli sekantung pir di pasar sedangkan orang-orang di pasar tidak memanusiakannya? Hanah berkali-kali menahan malu dan membuang muka dari orang-orang.

Akhirnya, Hanah menyerah dan kembali dengan tanag kosong. Bukan karena Hanah menyerah, dia risau akan kondisi putra semata wayangnya. Arif sendirian di rumah yang lebih layak disebut gubuk itu. Hanah menghembuskan nafas berat. Hari ini sampai disini saja, mungkin besok-besok ada yang bersedia.

Di belakang, Hanah masih bisa mendengar beberapa orang yang menyuruhnya pergi dari pasar. Seorang ibu-ibu bertubuh gempal, pedangang buah yang mengenakan kaos dan topi jerami, remaja-remaja yang tongkrongan di sudut pasar. Mereka merasa senang Hanah akhirnya pergi. Manusia berambut putih adalah sumber petaka.

Di tengah perjalanan menuju rumah pada sebuah tempat yang tidak terlihat orang-orang. Seseorang berusaha menyulam lukanya yang nampak jelas di wajah. “Hanah.” Panggil seseorang wanita seusianya. Suaranya terdengar lembut dan bersabat. Hanah menoleh dengan wajah rindu.

Rambut wanita itu sebatas telinga, hitam kecoklatan. Bola matanya memunculkan aura semangat dan senyumnya selalu bisa membuat hati Hanah merasa lebih baik. Namanya Nilam.

Nilam memberikan sekantung pir kepada Hanah, pir adalah buah favorit Hanah. Wajah Hanah yang semula mendung menjadi lebih terang. Hanah menerima dengan hati yang bermekaran.

“Terimakasih sekali.” Balas Hanah gembira sambil sedikit menundukkan kepala.

“Tidak perlu berterimakasih. Anggap saja itu untuk membalas hutangku.” Kata Nilam dengan senyum hingga nampak deret gigi putihnya.

“Tenang saja, kalau butuh bantuan panggil saja aku. Aku pasti membantu.” Lanjutnya.

Hanah tersenyum kecil. Dia kembali putar ingatan masa kecil itu, ketika orang-orang memanggilnya monster berambut putih termasuk juga Nilam.

Ingatan yang begitu menyakitkan dan menguatkan. Semenjak kedatangan Wangsa dan sepuluh sahabatnya, Nilam adalah orang yang pertama menyatakan persahabatannya kepada Hanah.

Sampai sekarang pun Nilam masih menganggap Hanah sahabat dekat. Semenjak meninggalnya Wangsa, tersebar berita-berita tidak benar mengenai Hanah. Itu merusak harga dirinya yang pada akhirnya membuat sebagian besar warga kembali memusuhinya.

“Maaf ya, aku tidak bisa lama-lama. Dadah.” Nilam melambaikan tangan, pergi.

Percakapan singkat itu berakhir dengan saling melambai tangan. Hanah menatap sekantung yang penuh pir-pir segar pemberian Nilam, kemudian menengadah ke langit untuk mengucap syukur. Kehadiran Nilam disisinya adalah karunia yang sangat besar.

Hanah tiba di rumah sebelum mentari terbenam. Di dalam rumah terlihat Arif sedang bermain-main dengan tanah dan batu. Menyadari kepulangan ibunya, Arif langsung menunjukkan wajah senang dan mengangakat kedua tangan karena sangat senang. “Ibu pulang, ibu pulang.” Teriaknya dengan suara yang lucu.

Hanah tersenyum kepada putranya, meletakan sekantung pir dan mendekat kepada Arif. Hanah beberapa saat menemai Arif bermain tanah. Keduanya saling cakap, saling tertawa, saling membagi bahagia. Ibu-anak itu kemudian membuat bulatan-bulatan dari tanah, Arif terlihat senang sekali.

Habis bermain tanah, Hanah membasuh tangan dan kaki putranya dengan air dalam tembikar. Kuku Arif hitam-hitam terisi tanah, begitu juga dengan kuku Hanah. Hanah membasuh dengan hati-hati, menyela-nyela jemari Arif dan menggosoknya dengan penuh kasih sayang seorang ibu.

Hanah rasakan kulit Arif yang begitu halus, kulit yang belum ternoda dosa. Hanah lalu berjongkok untuk membasuh kaki Arif yanh penuh tanah. Arif kegirangan dengan itu, bagi anak seusianya hal ini menyenangkan.

Makan malam pun datang kemudian, sederhana tentunya. Beberapa umbi-umbian yang kemarin Hanah kukus bersama Arif di pawon kecil belakang rumah. Sekarang sudah dingin tetapi masih layak untuk dimakan. Ibu-anak itu makan saling hadap disamping sebuah lampu yang menyala. Hari sudah gelap.

Hanah sebenarnya merasa sedikit bersalah dalam hal ini, dia tidak bisa memenuhi nutrisi putranya. Umbi-umbian kukus memang makanan keduanya sehari-hari, ini pun masih lebih baik daripada tidak ada sama sekali. Terkadang Hanah juga semalam merasa gagal menjadi ibu karena membuat Arif menangis kelaparan.

Setiap tangisan dan teriaka Arif yang kelaparan adalah bayangan paling mengerikan dalam setiap helaan nafasnya. Bayangan itu seakan bisa bermanifestasi menjadi pisau yang menusuk tubuh Hanah. Demi mencegahnya, Hanah bekerja sangat keras, bahkan melebihi kodratnya sebagai wanita.

“Ibu, Arif mau makan yang lain.” Ucap Arif sambil memegangi umbi dingin yang belum habis separuh. Wajahnya nampak bersedih dan tertunduk.

Hanah seketika teringat dengan pir pemberian Nilam. Hanah mengambil satu buah dan memberikannya kepada Arif, enam sisa lainnya Hanah simpan bila-bila Arif meminta buah pir lagi. Arif menerima dengan kegirangan, wajahnya yang bersiap menangis seketika menguap menjadi senang.

Hanah memperhatikan putranya yang makan dengan lahap, Hanah tersenyum. Sebenarnya Hanah juga ingin makan pir itu, tetapi hatinya mengatakan pir itu selayaknya diberikan kepada Arif. Ini adalah tindakan yang memang seharusnya diambil seorang ibukan?

Hanah kembali melanjutkan makan umbi kukusnya. Di kepala Hanah kini terbayang wajah Wangsa, lelaki yang sangat berarti baginya itu. Air mata Hanah mendadak terburai, ini biasa tetapi tidak mungkin dia perlihatkan di depan putranya. Hanah segera memikirkan hal lain untuk mencegah air mata keluar.

Ketika sibuk memikirkan hal lain Arif kecil menarik-narik lengan ibunya. Hanah menghadap putranya dan nampak terkejut dengan apa yang dilakukan Arif.

“Buat ibu.” Arif memberikan potongan pir yang belum dia cicipi kepada ibunya. Hanah tidak sempat melihat apa yang terjadi dan hanya menerima dengan kebingungan, bagaiamana Arif yang belum genap empat tahun bisa memoton daging pir hanya dengan tangan? Untuk orang dewasa pun hal ini tidak mudah dilakukan.

Hanah tidak ambil pusing, dia berucap terimakasih dan menikmati potongan daging pir bersama-sama dengan putranya. Permintaanya untuk makan pir bersama putranya terkabul. Permintaan yang sangat sederhana dan sangat berarti bagi Hanah.

Arif lantas mengambil gelasnya dan mengambil air untuk minum dari dalam tembikar yang tertutup. Hanah yang melihat itu kaget karena ia baru ingat air dalam tembikar itu belum dimasak dan sudah lama ada disana. Airnya kotor dan sudah keruh. Hanah terlambat, Arif sudah meminum air itu dengan polos.

Hanah merasa bersalah lagi, tubuhnya mendadak menjadi sangat lemas. Adegan dimana Arif meminum segelas air keruh itu terbayang dalam benak sekaligus bayangan Wangsa yang menegurnya dengan karena menjadi ibu yang buruk. Hanah menutup telinga sambil tertunduk. Ketakutan.

Hanah merasa pundaknya ditepuk lembut, dia mendongak. Dihadapannya Arif tersenyum sambil memegang gelas yang tadi. “Arif tidak apa-apa bu.” Jawabnya seakan tahu apa yang sedang dipikirkan ibunya. Senyum Arif juga semakin melebar, menampakkan giginya yang masing ompong.

Hanah berusaha mengendalikan diri, menghembuskan nafas perlahan, dan menunjukkan wajah berseri kepada Arif. Tidak ada ibu manapun yang mau putranya risau karenanya. Kehidupan ini memang keras sebagaimana air keruh tersebut.

Demi menjadikannya air bening yang menyehatkan tentunya proses diperlukan. Sama halnya dengan Hanah dan Arif agar diakui sebagaimana manusia keduanya harus berjuang dan menghadapi berbagai persakitan untuk membuktikan bahwa manusia berambut putih tidaklah membawa petaka.

Tidak ada lagi Wangsa di sampingnya, tetapi Wangsa mewariskan Arif padanya. Itu lebih dari cukup. Hanah menatap Arif sekali lagi, sebagai ibu ia akan memperjuangkan masa depan putranya meskipun masyarakat menolak.

Hanah bertekad membuat masa depan yang indah untuk Arif berapapun harganya. Itulah seorang ibu, sosok yang mau merelakan apapun demi kebahagiaanmu.

Terpopuler

Comments

Maulana Malik Ibrahim

Maulana Malik Ibrahim

semangat thorr

2021-05-12

0

Li Na

Li Na

rate 5

love

like

2020-06-10

0

ZalikaAngel 🤧🥀❣️

ZalikaAngel 🤧🥀❣️

Hallo like dan vote 5 bintang Uda mendarat🤧
jadi jangan lupa tinggalkan like dan vote 5 bintang di “playboy maniak sexx"

2020-06-10

0

lihat semua
Episodes
1 01. Keajaiban
2 02. Segelas Air Keruh
3 03. Kebun Ketela
4 04 Dosa Hanah
5 05 Dimana Kepedulian Terletak?
6 06 Melati dan Jago
7 07. Bola dari Akar Kering
8 08 Raksasa Batu
9 09 Bermain Petak Umpet
10 10 Bukan Anak Terkutuk
11 11. Anak Iblis
12 12 Anak Iblis II
13 13 Anak Iblis III
14 14. Di bawah Malam Purnama
15 15. Mengabu
16 16 Keping Harapan
17 17 Manusia Rambut Puith
18 18 Menjadi Adik
19 19 Apa itu Sahabat?
20 20 Kebangkitan Dewa Langit
21 21 Kesalahan
22 22 Cara Mendapat Sahabat
23 23 Cara Mendapat Sahabat II
24 24 Cara Mendapat Sahabat III
25 25 Waktunya Terjun ke Lapangan
26 26 Sheiny
27 27 Tarian Surgawi
28 28 Kembali ke Lapangan
29 29 Aku Adalah Manusia Rambut Putih
30 30 Sesuatu Yang Harus Disyukuri
31 31 Pergi Memancing
32 32 Awal Petualangan
33 33 Siapa Pencurinya?
34 34 Selamat Datang
35 35 Persembahan
36 36 Sang Penerus
37 37 Kembali
38 38 Bunga Purnama
39 39 Anggota Ke tiga.
40 40 Kota Arkkana
41 41 Kota Arkkana II
42 42 Kota Arkkana III
43 43 Senior Tein
44 44 Kesungguhan
45 45 Kesungguhan II
46 46 Jurang Besar
47 47 Penduduk Lokal
48 48 Kecurigaan
49 49 Musuh Sebenarnya
50 50 Orang-orang yang cemas
51 51 Impian
52 52 Persiapan
53 53 Pertarungan di Wilayah Luas
54 54 Kekuatan Manusia
55 55 Sang Pembebas Melawan Si Penggenggam Matahari
56 56 Pahlawan
57 57 Pahlawan II
58 58 Pahlawan III
59 59 Kembali ke kehidupan normal ?
60 60 Sahabat Dari Masa Lalu
61 61 Seseorang yang memikat hati
62 62 Tanpa Keraguan
63 63 Pasangan Baru
64 64 Kampung Halaman
65 65 Hantu Masa Lalu
66 66 Hantu Masa Lalu II
67 67 Hantu Masa Lalu III
68 68 Campur Tangan
69 69 Tabir yang Terbuka
70 70 Menyerahkan Diri
71 71 Datangnya Sang Penghancur
72 72 Zeg Sang Iblis Putih
Episodes

Updated 72 Episodes

1
01. Keajaiban
2
02. Segelas Air Keruh
3
03. Kebun Ketela
4
04 Dosa Hanah
5
05 Dimana Kepedulian Terletak?
6
06 Melati dan Jago
7
07. Bola dari Akar Kering
8
08 Raksasa Batu
9
09 Bermain Petak Umpet
10
10 Bukan Anak Terkutuk
11
11. Anak Iblis
12
12 Anak Iblis II
13
13 Anak Iblis III
14
14. Di bawah Malam Purnama
15
15. Mengabu
16
16 Keping Harapan
17
17 Manusia Rambut Puith
18
18 Menjadi Adik
19
19 Apa itu Sahabat?
20
20 Kebangkitan Dewa Langit
21
21 Kesalahan
22
22 Cara Mendapat Sahabat
23
23 Cara Mendapat Sahabat II
24
24 Cara Mendapat Sahabat III
25
25 Waktunya Terjun ke Lapangan
26
26 Sheiny
27
27 Tarian Surgawi
28
28 Kembali ke Lapangan
29
29 Aku Adalah Manusia Rambut Putih
30
30 Sesuatu Yang Harus Disyukuri
31
31 Pergi Memancing
32
32 Awal Petualangan
33
33 Siapa Pencurinya?
34
34 Selamat Datang
35
35 Persembahan
36
36 Sang Penerus
37
37 Kembali
38
38 Bunga Purnama
39
39 Anggota Ke tiga.
40
40 Kota Arkkana
41
41 Kota Arkkana II
42
42 Kota Arkkana III
43
43 Senior Tein
44
44 Kesungguhan
45
45 Kesungguhan II
46
46 Jurang Besar
47
47 Penduduk Lokal
48
48 Kecurigaan
49
49 Musuh Sebenarnya
50
50 Orang-orang yang cemas
51
51 Impian
52
52 Persiapan
53
53 Pertarungan di Wilayah Luas
54
54 Kekuatan Manusia
55
55 Sang Pembebas Melawan Si Penggenggam Matahari
56
56 Pahlawan
57
57 Pahlawan II
58
58 Pahlawan III
59
59 Kembali ke kehidupan normal ?
60
60 Sahabat Dari Masa Lalu
61
61 Seseorang yang memikat hati
62
62 Tanpa Keraguan
63
63 Pasangan Baru
64
64 Kampung Halaman
65
65 Hantu Masa Lalu
66
66 Hantu Masa Lalu II
67
67 Hantu Masa Lalu III
68
68 Campur Tangan
69
69 Tabir yang Terbuka
70
70 Menyerahkan Diri
71
71 Datangnya Sang Penghancur
72
72 Zeg Sang Iblis Putih

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!