“Wangsa meninggal, Wangsa meninggal!” Seru dua orang penduduk dengan wajah pucat. Dua orang itu berlarian ke setiap sudut desa di bawah langit yang masih remang.
Kabar itu tersebar cepat. Orang-orang seketika tertunduk, menyambut kabar itu dengan kesedihan. Tidak ada yang menyangkan Wangsa akan pergi begitu cepat, padahal rasanya baru kemarin Wangsa bersama sepuluh sahabatnya menyerukan penduduk ke jalan cahaya.
Kabar meninggalnya Wangsa juga sudah sampai pada Hanah, ibu Arif. Kabar tersebut ditambah kondisi tubuhnya yang masih lemah adalah kombinasi paling berat yang pernah ia alami. Lebih berat dari pada menerima cacian penduduk dahulu. Sangat menyakitkan.
Beberapa jam kemudian jasad Wangsa di bawa ke rumah yang sangat sederhana itu, rumah yang hanya berisikan dua buah tembikar besar berisi air dan sebuah pawon kecil di belakang rumah. Selebihnya adalah beberapa buah piring dan gelas dari tanah liat yang dibakar.
Alasnya papan kayu, itu pun hanya sebagian dan hanya untuk tempat tidur. Selebihnya tanah. Memprihatinkan kondisi rumah ini, namun memang begini keinginan Wangsa, kesederhaan. Hanah pun tidak pernah memprotes yang demikian.
Hanah menatap jasad suaminya dengan terpukul, air matanya seakan tidak bisa berhenti. Berputar kembali kenangan masa lalu. Bahagai, susah, senang, semuanya bertumpukan dan mengalir deras di kepala Hanah. Ini menyedihkan, sangat menydihkan.
Penyebab meninggalnya Wangsa tidak diketahui. Wangsa terlihat mematung dalam posisi berdoa di tempat ibadahnya. Saat didekati ternyata dia sudah tidak lagi bernafas, nadinya juga tidak berdenyut. Maut yang datang tanpa aba-aba. Ketetapan umur memang tiada yang tahu kecuali Tuhan.
Arif kecil yang masih dalam pelukan ibunya terbangun. Wajah lucunya terarah kepada bapaknya yang terbaring dingin di depan. Tangan Arif mendadak terangakat-angkat seakan minta mendekat kepada bapaknya, mulutnya juga mengucapkan sesuatu yang belum bisa dipahami.
Hanah yang menyadarinya segera mendekatkan putranya pada Wangsa, itu terasa mengiris hati. Warga yang berkerumun untuk berkabung segera menyingkir. Arif yang berada tepat diwajah bapaknya berusaha menggapai-nggapai. Air mata Hanah semakin deras melihat adegan tersebut.
Dia tidak tahu harus bagaimana ketika Arif bertanya, “Bapak dimana?”
Hanah berusaha menahan isaknya yang semakin besar. Tidak hanya Hanah, orang-orang yang lain pun sama. Mereka mengerti apa yang dirasakan Hanah, kesedihan yang menular-nular. Desa ini berkabung atas meninggalnya sosok paling penting.
@@@
“Ibu, kenapa Arif tidak boleh keluar.” Tanya Arif dengan polos. Anak itu tumbuh seperti dirinya, berambut putih.
Selain rambut putih, Arif juga memilik tanda lahir yang unik. Tanda lahir itu terletak di bahu kanannya dan terlihat seperti luka bakar. Anehnya, tanda lahir itu ikut membesar bersama dengan bertambahnya usia Arif. Kini tanda lahir itu sudah sampai menyentuh leher.
Umur Arif sekarang baru tiga tahun, kelewat muda untuk mengingat dan memahami banyak hal. Arif tumbuh sebagai anak yang ceria dan tangkas. Meski begitu dia selalu berada di dalamnya rumah, hal itu kadang membuatnya merasa terkurung.
Hanah punya alasan tersendiri atas tindakannya melarang Arif keluar. Hanah sangat bersyukur karena Arif adalah anak yan penurut, dia tetap menuruti perintah ibunya apapun yang terjadi. Hanah tidak ingin membiarkan Arif mengetahui dunia luar yang kejam. Begitu pun hari ini, Hanah ada perlu untuk membeli sesuatu.
Biar dirinyalah yang dicaci maki, di lempari kotoran dan sampah. Sepanjang perjalanan menuju pasar, Hanah dihina habis-habis. Orang-orang membicarakan dengan lisan yang tajam, saling berbisik satu sama lain sambil memberikan tatapan tidak suka.
Sesekali telunjuk mereka menunjuk Hanah yang jalan setengah tertunduk. Hanah pura-pura tidak mendengar itu semua, ada hal yang lebih penting, membeli persediaan makanan.
Di depan pedagang buah pun Hanah tidak disambut hangat. Oleh beberapa pedangan dia diusir, pedagang itu tidak mau melayani manusia berambut putih. Hanah berpindah dari satu lapak ke lapak lainnya. Semuanya sama, mengusirnya dengan kejam.
Hati Hanah sangat terlukai, bisa kalian bayangkan seorang ibu yang ingin membeli sekantung pir di pasar sedangkan orang-orang di pasar tidak memanusiakannya? Hanah berkali-kali menahan malu dan membuang muka dari orang-orang.
Akhirnya, Hanah menyerah dan kembali dengan tanag kosong. Bukan karena Hanah menyerah, dia risau akan kondisi putra semata wayangnya. Arif sendirian di rumah yang lebih layak disebut gubuk itu. Hanah menghembuskan nafas berat. Hari ini sampai disini saja, mungkin besok-besok ada yang bersedia.
Di belakang, Hanah masih bisa mendengar beberapa orang yang menyuruhnya pergi dari pasar. Seorang ibu-ibu bertubuh gempal, pedangang buah yang mengenakan kaos dan topi jerami, remaja-remaja yang tongkrongan di sudut pasar. Mereka merasa senang Hanah akhirnya pergi. Manusia berambut putih adalah sumber petaka.
Di tengah perjalanan menuju rumah pada sebuah tempat yang tidak terlihat orang-orang. Seseorang berusaha menyulam lukanya yang nampak jelas di wajah. “Hanah.” Panggil seseorang wanita seusianya. Suaranya terdengar lembut dan bersabat. Hanah menoleh dengan wajah rindu.
Rambut wanita itu sebatas telinga, hitam kecoklatan. Bola matanya memunculkan aura semangat dan senyumnya selalu bisa membuat hati Hanah merasa lebih baik. Namanya Nilam.
Nilam memberikan sekantung pir kepada Hanah, pir adalah buah favorit Hanah. Wajah Hanah yang semula mendung menjadi lebih terang. Hanah menerima dengan hati yang bermekaran.
“Terimakasih sekali.” Balas Hanah gembira sambil sedikit menundukkan kepala.
“Tidak perlu berterimakasih. Anggap saja itu untuk membalas hutangku.” Kata Nilam dengan senyum hingga nampak deret gigi putihnya.
“Tenang saja, kalau butuh bantuan panggil saja aku. Aku pasti membantu.” Lanjutnya.
Hanah tersenyum kecil. Dia kembali putar ingatan masa kecil itu, ketika orang-orang memanggilnya monster berambut putih termasuk juga Nilam.
Ingatan yang begitu menyakitkan dan menguatkan. Semenjak kedatangan Wangsa dan sepuluh sahabatnya, Nilam adalah orang yang pertama menyatakan persahabatannya kepada Hanah.
Sampai sekarang pun Nilam masih menganggap Hanah sahabat dekat. Semenjak meninggalnya Wangsa, tersebar berita-berita tidak benar mengenai Hanah. Itu merusak harga dirinya yang pada akhirnya membuat sebagian besar warga kembali memusuhinya.
“Maaf ya, aku tidak bisa lama-lama. Dadah.” Nilam melambaikan tangan, pergi.
Percakapan singkat itu berakhir dengan saling melambai tangan. Hanah menatap sekantung yang penuh pir-pir segar pemberian Nilam, kemudian menengadah ke langit untuk mengucap syukur. Kehadiran Nilam disisinya adalah karunia yang sangat besar.
Hanah tiba di rumah sebelum mentari terbenam. Di dalam rumah terlihat Arif sedang bermain-main dengan tanah dan batu. Menyadari kepulangan ibunya, Arif langsung menunjukkan wajah senang dan mengangakat kedua tangan karena sangat senang. “Ibu pulang, ibu pulang.” Teriaknya dengan suara yang lucu.
Hanah tersenyum kepada putranya, meletakan sekantung pir dan mendekat kepada Arif. Hanah beberapa saat menemai Arif bermain tanah. Keduanya saling cakap, saling tertawa, saling membagi bahagia. Ibu-anak itu kemudian membuat bulatan-bulatan dari tanah, Arif terlihat senang sekali.
Habis bermain tanah, Hanah membasuh tangan dan kaki putranya dengan air dalam tembikar. Kuku Arif hitam-hitam terisi tanah, begitu juga dengan kuku Hanah. Hanah membasuh dengan hati-hati, menyela-nyela jemari Arif dan menggosoknya dengan penuh kasih sayang seorang ibu.
Hanah rasakan kulit Arif yang begitu halus, kulit yang belum ternoda dosa. Hanah lalu berjongkok untuk membasuh kaki Arif yanh penuh tanah. Arif kegirangan dengan itu, bagi anak seusianya hal ini menyenangkan.
Makan malam pun datang kemudian, sederhana tentunya. Beberapa umbi-umbian yang kemarin Hanah kukus bersama Arif di pawon kecil belakang rumah. Sekarang sudah dingin tetapi masih layak untuk dimakan. Ibu-anak itu makan saling hadap disamping sebuah lampu yang menyala. Hari sudah gelap.
Hanah sebenarnya merasa sedikit bersalah dalam hal ini, dia tidak bisa memenuhi nutrisi putranya. Umbi-umbian kukus memang makanan keduanya sehari-hari, ini pun masih lebih baik daripada tidak ada sama sekali. Terkadang Hanah juga semalam merasa gagal menjadi ibu karena membuat Arif menangis kelaparan.
Setiap tangisan dan teriaka Arif yang kelaparan adalah bayangan paling mengerikan dalam setiap helaan nafasnya. Bayangan itu seakan bisa bermanifestasi menjadi pisau yang menusuk tubuh Hanah. Demi mencegahnya, Hanah bekerja sangat keras, bahkan melebihi kodratnya sebagai wanita.
“Ibu, Arif mau makan yang lain.” Ucap Arif sambil memegangi umbi dingin yang belum habis separuh. Wajahnya nampak bersedih dan tertunduk.
Hanah seketika teringat dengan pir pemberian Nilam. Hanah mengambil satu buah dan memberikannya kepada Arif, enam sisa lainnya Hanah simpan bila-bila Arif meminta buah pir lagi. Arif menerima dengan kegirangan, wajahnya yang bersiap menangis seketika menguap menjadi senang.
Hanah memperhatikan putranya yang makan dengan lahap, Hanah tersenyum. Sebenarnya Hanah juga ingin makan pir itu, tetapi hatinya mengatakan pir itu selayaknya diberikan kepada Arif. Ini adalah tindakan yang memang seharusnya diambil seorang ibukan?
Hanah kembali melanjutkan makan umbi kukusnya. Di kepala Hanah kini terbayang wajah Wangsa, lelaki yang sangat berarti baginya itu. Air mata Hanah mendadak terburai, ini biasa tetapi tidak mungkin dia perlihatkan di depan putranya. Hanah segera memikirkan hal lain untuk mencegah air mata keluar.
Ketika sibuk memikirkan hal lain Arif kecil menarik-narik lengan ibunya. Hanah menghadap putranya dan nampak terkejut dengan apa yang dilakukan Arif.
“Buat ibu.” Arif memberikan potongan pir yang belum dia cicipi kepada ibunya. Hanah tidak sempat melihat apa yang terjadi dan hanya menerima dengan kebingungan, bagaiamana Arif yang belum genap empat tahun bisa memoton daging pir hanya dengan tangan? Untuk orang dewasa pun hal ini tidak mudah dilakukan.
Hanah tidak ambil pusing, dia berucap terimakasih dan menikmati potongan daging pir bersama-sama dengan putranya. Permintaanya untuk makan pir bersama putranya terkabul. Permintaan yang sangat sederhana dan sangat berarti bagi Hanah.
Arif lantas mengambil gelasnya dan mengambil air untuk minum dari dalam tembikar yang tertutup. Hanah yang melihat itu kaget karena ia baru ingat air dalam tembikar itu belum dimasak dan sudah lama ada disana. Airnya kotor dan sudah keruh. Hanah terlambat, Arif sudah meminum air itu dengan polos.
Hanah merasa bersalah lagi, tubuhnya mendadak menjadi sangat lemas. Adegan dimana Arif meminum segelas air keruh itu terbayang dalam benak sekaligus bayangan Wangsa yang menegurnya dengan karena menjadi ibu yang buruk. Hanah menutup telinga sambil tertunduk. Ketakutan.
Hanah merasa pundaknya ditepuk lembut, dia mendongak. Dihadapannya Arif tersenyum sambil memegang gelas yang tadi. “Arif tidak apa-apa bu.” Jawabnya seakan tahu apa yang sedang dipikirkan ibunya. Senyum Arif juga semakin melebar, menampakkan giginya yang masing ompong.
Hanah berusaha mengendalikan diri, menghembuskan nafas perlahan, dan menunjukkan wajah berseri kepada Arif. Tidak ada ibu manapun yang mau putranya risau karenanya. Kehidupan ini memang keras sebagaimana air keruh tersebut.
Demi menjadikannya air bening yang menyehatkan tentunya proses diperlukan. Sama halnya dengan Hanah dan Arif agar diakui sebagaimana manusia keduanya harus berjuang dan menghadapi berbagai persakitan untuk membuktikan bahwa manusia berambut putih tidaklah membawa petaka.
Tidak ada lagi Wangsa di sampingnya, tetapi Wangsa mewariskan Arif padanya. Itu lebih dari cukup. Hanah menatap Arif sekali lagi, sebagai ibu ia akan memperjuangkan masa depan putranya meskipun masyarakat menolak.
Hanah bertekad membuat masa depan yang indah untuk Arif berapapun harganya. Itulah seorang ibu, sosok yang mau merelakan apapun demi kebahagiaanmu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 72 Episodes
Comments
Maulana Malik Ibrahim
semangat thorr
2021-05-12
0
Li Na
rate 5
love
like
2020-06-10
0
ZalikaAngel 🤧🥀❣️
Hallo like dan vote 5 bintang Uda mendarat🤧
jadi jangan lupa tinggalkan like dan vote 5 bintang di “playboy maniak sexx"
2020-06-10
0