Langit yang menjingga adalah kesenangan bagi Arif. Suasana hatinya selalu baik ketika datangnya waktu sore yang cerah. Menggembirakan, begitu pendapatnya.
“Selamat datang di kediamanku. Tidak perlu sungkan, anggaplah ruamh sendiri.” Haz membuka pintu rumahnya dan mempersilakan Arif masuk. Dengan langkah yang hati-hati dan sedikit waspada Arif memasukinya. Cahaya mentari jingga pun masuk bersama Arif.
Arif mengedarkan pandang, memperhatikan ruang demi ruang dalam rumah yang cukup besar ini. Rumah ini memiliki halaman depan yang luas, cukup untuk melakukan permainan kejar-kejaran. Disana juga tumbuh dua pohon besar dan berbagai tanaman yang ditata berseni.
Rumah Haz terpisah dengan pemukiman penduduk. Rumahnya bertepat di salah satu bukit di Desa Rakatta, sementara pusat desa berada di kaki bukit. Menurutnya dengan tinggal disini memudahkan dalam mencari bahan-bahan ramuan. Selain itu, Haz juga tidak begitu suka keramainya.
Rumah ini memiliki banyak ruang dan terdiri atas dua lantai. Lantainya terbuat dari kayu, begitu juga dengan langit-langitnya. Arif memperhatikan segala hal di rumah itu. Tidak seperti rumahnya yang sempit tanpa barang-barang, rumah Haz terbilang luas dan bermacan barang ada disana.
“Duduklah.” Ucap Haz setelah menuntun Arif ke ruang tamu. Arif menurut dan duduk dengan pandangan yang masih sibuk memperhatikan sekitar.
Ruang tamu itu berukuran lima kali empat meter. Di pojok ruangannya, terdapat beberapa rak kecil berisi buku-buku tebal. Di pusat ruangan ada sebuah meja bundar yang digunakan untuk menjamu tamu. Arif meletakan kedua lengannya di atas meja kemudian meletakkan kepala di atas kedua lengannya. Rasanya nyaman.
Haz bangkit setelah meletakan beberapa lembar catatan dalam rak tersebut. Dia menuju dapur. “Tunggulah, aku akan mengambil beberapa makanan.”
“Eh....tidak per_”
“Kau tamuku Arif. Sudah kukatan jangan sungkan.” Potong Haz. Arif diam, padahal dia tidak lapar.
Seumur hidup baru kali ini Arif bertamu ke rumah orang. Normal kalau dia gugup dan sedikit kesulitan menyesuaikan atmosfer disini. Bahkan ini pertama kalinya Arif mendengar istilah tamu. Apa itu tamu?
Beberapa saat menunggu dengan sedikit gelisah, Haz datang dengan beberapa cemilan berupa roti kering dan segelas teh.
Selama ini Arif selalu diperlakukan tidak layak, melihat apa Haz lakukan padanya membuat Arif sedikit merasa aneh dan sungkan. Disamping itu hatinya juga berbunga-bunga karena tindakan Haz tersebut.
Arif tertarik dengan gelas dari tanah liat berisi teh tersebut. Awalnya Arif malu-malu mengambil, setelah di dorong Haz dia mengambilnya sendiri. Baunya harum, rasanya manis. Keduanya adalah kombinasi yang belum pernah Arif rasakan. Matanya berbinar-binar senang ketika lidah mencicip minuman bernama teh.
“Cobalah ini, kau akan menyukainya.” Haz menggeser semangkuk roti kering. Rasanya sedikit hambar, tapi Arif menyukainya, apalagi ketika Haz menyuruhnya untuk mencelupkan roti tersebut kedalam teh. Perpaduan rasanya membuat lidahnya bisa meleleh. Sangat lezat.
Dulu, Arif dan Hanah tidak pernah makan kecuali ketela. Hanya ketika sedang beruntung seperti mendapat buah tangan dari Melati atau Bibi Nilam keduanya makan selain ketela. Arif menghentikan gerakan mengunyahnya.
Bibi Nilam. Mengingat nama itu membuat suasana hatinya kembali buruk.
“Dasar anak laknat!” Arif menutup mata dan kedua telinganya begitu kalimat itu merasuk ingatannya. Rasanya seperti tersambar, mengagetkan dan mengerikan.
Menyadari kegelisahan tamunya, Haz mencoba menghibur. “Jangan memikirkan sesuatu yang menyakitkan. Disini kau diterima, disini adalah rumah keduamu. Aku pun bersedia menjadi kakak untukmu.” Ucap Haz dengan santai. Dia kembali memamah roti kering di hadapannya.
Arif mendongak, terkejut. Kakak? Baru saja dia tidak salah dengar. Arif menatap Haz beberapa detik, memperhatikan lelaki itu lamat-lamat. Usia Haz memang belum jauh untuk dipanggil kakak oleh Arif, masih cocok-cocok saja. Tapi ini terlalu tiba-tiba.
“Tapi tentunya dengan beberapa syarat Arif.” Haz meletakan cangkir teh miliknya setelah dihabiskan separuh.
Arif memperbaiki posisi duduknya agar lebih tegak. Pandangan keduanya bertemu.
“Satu, Kau harus menjadi dirimu disini dan karena aku sebagai kakak kau harus benar-benar menjadi seorang adik. Jangan sungkan untuk meminta bantuan. Dua, sekarang kau menetap di rumah ini, jadilah anak yang mandiri dan cinta kebersihan. Tiga, harus bertindak sopan dalam berucap dan berbuat. Empat, bangunlah pagi-pagi sebelum fajar. Kalau tak mau, aku akan menggunakan caraku yang tentunya tidak kau suka. Dan lima, jangan sekali-sekali memasuki kamar di sebelah dapur.” Ucap Haz panjang lebar, sorot matanya tajam sekali. Nada suaranya terdengar lebih serius, lebih-lebih saat mengatakan syarat ke tiga, empat, dan lima. Dia memberikan penekanan seakan ketiganya harus totalitas dipatuhi.
Arif menelan ludah, entah sejak kapan percakapan ini berubah menegangkan. Arif berusaha menahan gemetaran di lengan dan kakinya. Dia memasang wajah mantap dan siap.
Kalau dipikir-pikir lagi, syarat yang diberikan Haz malahan menguntungkan dirinya. Syarat pertama pastinya akan melatih komunikasi Arif dan memperkuat ikatan antara keduanya. Haz bahkan menegaskan jangan sungkan-sungkan meminta bantuan.
Syarat kedua bukanlah masalah. Ketiga, mungkin akan membantu Arif belajar mengenai sopan santun dan adap. Dia ingat salah satu petikan dari catatan bapaknya. “Jika adapmu buruk, dunia pun akan bertindak buruk padamu.”
Syarat keempat, bangun pagi. Arif perlu berlatih dalam hal ini, sepertinya akan ada sedikit masalah. Kemudian syarat ke lima. Ini aneh. Kepala Arif berhasil menangkap sesuatu, sesuatu yang tidak boleh Arif sentuh di rumah ini. Apa itu?
Arif menggeleng kepala kuat-kuat. Memikirkan hal seperti itu tidaklah sopan. Haz sudah memberinya tempat tinggal, menjamin hidupnya, bahkan mau menerima sebagai adik walau tanpa ikatan darah. Kebaikan seperti itu sudah lebih dari cukup.
“Kau bisa memenuhinya, Arif?” Arif langsung mengangguk. Meski kepercayaan kepada Haz masih belum sempurna, menerima tawaran Haz adalah pilihan terbaik. Arif yakin Haz tidak akan mencelakainya.
“Apa benar aku diterima disini?” Tanya Arif lirih. Itu pertanyaan yang keluar dari relung hati terdalamnya. Pertanyaan yang menggambarkan betapa kejamnya dunia yang baru saja dia lalui. Menyadari kalimat itu keluar begitu saja, Arif menutup muka yang memerah, malu.
Haz tersenyum kecil, sebuah peristiwa langka dan sayang Arif malah tidak melihatnya. Ekspesinya kembali tegas dan dingin ketika Arif mengangkat kepala. “Kau diterima Arif. Aku akan mendidikmu disini dan menyediakan dunia yang lebih baik. Tugas guruku adalah tugasku juga.” Jawab Haz santai seperti biasa. Dia lantas menghabiskan teh miliknya.
Arif tersenyum. Mungkin inilah yang disebut bahagia
Tangannya kembali meraih satu demi satu roti kering buatan Haz. Keduanya melanjutkan dengan percakapan menyenangkan antar keduanya. Arif masih kesulitan untuk mengeluarkan kata dan pendapatan, namun dia tetap memaksakan lidah. Harus berlatih komunikasi dan inilah kesempatan yang tepat.
Selesai perbincangan pendek itu, Haz mengajak Arif berkeliling rumah. Sebelum itu, Haz berbaik hati memberikan pakaian ganti kepada Arif. Arif berterima kasih karena mendapat baju baru. Senang rasanya.
Bisakah hari ini menjadi lebih baik?
Haz menuntu Arif dari satu ruang ke ruang yang lain, dapur, teras, sampai halaman belakang rumah. Arif menemukan sesuatu yang mengejutkan disana. Diantara pot-pot tanaman bunga, nampak seorang wanita yang sedang duduk menikmati kelopak berwarna-warni.
Satu hal yang membuat Arif tidak bisa melepaskan pandangan darinya.
Wanita itu memiliki rambut putih.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 72 Episodes
Comments
PADISTRIA
calon mertua
2020-05-10
2
PADISTRIA
sanes
2020-05-10
2
PADISTRIA
eh
2020-05-10
2