Sepanjang hari Arif selalu di dalam rumah yang sudah reot ini. Dindingnya kayu tua lapuk, atapnya berlubang-lubang, juga ruang ini hanyalah berukuran delapan kali lima meter. Di ruang kecil inilah dunia Arif berlangsung.
Arif gemar memainkan tanah dibawahnya, mencampurnya dengan air dan membentuk dengan menjadi bentuk yang dia suka. Terkadang kalau Bibi Nilam datang Arif akan diceritakan sebuah kisah dongeng yang indah. Arif suka itu, apalagi Bibi Nilam sering membawa buah tangan.
Kalau ibunya yang datang, selalu saja Arif minta diceritakan perihal bapak. Arif tidak pernah bosan dengan kisah lelaki penuh pesona itu. Hanah pun tidak mungkin bisa menolak, meski kisah itu membuka luka lama. Hanah berusaha tersenyum di setiap kalimat yang diutarakan sembari membayangkan kehadiran Wangsa di tengah mereka.
Membesarkan Arif sendirian adalah perkara yang sangat berat. Belum lagi caci-maki penduduk yang membuat segala terlihat begitu sukar di lalui. Bagi Hanah melewati itu semua rasanya kepalanya bisa pecah berkali-kali. Menuntun Arif agar selalu di jalan benar dengan melarangnya keluar rumah adalah suatu tindak kejahatan
Anak-anak normalnya ingin bermain bersama teman, bercanda, tertawa, bergabung dalam keasyikan hingga lupa waktu. Sementara Arif tidak pernah menerima semua itu. Dia tidak punya teman, bahkan sampai umurnya yang sudah enam tahun Arif tetap sendirian, terkurung dalam rumah ini. Hanya ada Bibi Nilam dan Hanah sebagai teman bermain.
Hanah paham sekali perasaan Arif. Putranya pasti tidak ingin menunjukkannya, kekesalannya dia pendam dalam senyuma yang ajaibnya selalu saja dia tampakan. Semua tindakan Hanah demi kebaikannya meski Hanah pun selalu merasa bersalah atas itu semua. Hanah juga sudah berjanji pada Arif untuk mengajaknya keluar, suatu saat nanti.
Hanah membayangkan kalau-kalau Arif berjalan sendirian di luar sana. Kenangan masa kecilnya seakan terulang kembali. Dihina-hina, dikucilkan, dibuang dari masyarakat. Hanah ingat sekali mengakhiri hidup demi keluar dari semua itu. Kehidupan yang tidak lagi bermakna.
Beruntungnya hal itu tidak pernah terjadi dan kini Hanah merasa dituntut untuk membangun masa depan putra laki-lakinya. Itu juga sudah menjadi sumpah yang terucap dan menancap dalam jiwa. Waktu, tenaga, dan pikiran pun sudah selayaknya dikorbankan untuk hal itu.
Hanah tidak akan membiarkan masa lalunya juga menimpa putranya. Tidak akan pernah. Apapun yang terjadi tidak akan pernah.
“Ibu, Arif ingin tahu apa yang dibalik pintu itu.” Arif menarik-narik pakaian Hanah disertai tatapan penuh tanya, tatapan yang seakan mampu membunuhnya.
Hanah menelan ludah. Ini adalah ujian terberat dalam hidupnya. Arif terkadang melempar pertanyaan yang secara tidak langsung menyampaikan pesan bahwa dirinya ingin keluar rumah. Bermain di luar. Itu sangat wajar bagi anak seusianya.
Tindakan Hanahlah yang tidak wajar dengan mengurung putra semata wayangnya di rumah.
Hanah merasa tercekik, nafas terasa sangat berat. Kepalanya buntu, Hanah tidak bisa memikirkan solusi. Sudah berkali-kali Hanah berbohong untuk mencegah Arif keluar rumah. Arif pasti langsung sadar kalau Hanah berbohon g lagi. Entah berapa banyak lagi topeng yang harus dia kenakan untuk menipu anaknya sendiri.
“Maafkan ibu, Arif.” Tubuh mulia Hanah terjatuh, bertekuk lutut dihadap putranya yang polos. Isaknya terdengar, matanya kembali berkaca-kaca.
Air mata tidak mungkin dia sembunyikan. Segenap kejahatan yang dia lakukan terhadap putranya sendiri membuat Hanah merasa serba salah dan gagal sebagai ibu. Mungkin api neraka lebih layak untuk membasuh pendusta seperti dirinya.
Hanah tertunduk, dosa yang dipundaknnya terasa menggunung-gunung. Hanah merasa menjadi manusia paling berdosa di muka bumi. Siapa yang akan membenarkan tindakan seorang ibu yang mengurung anaknya sendiri di dalam rumah?
“Ibu jangan nangis, Arif jadi ikutan sedih.” Arif berucapa dengan mata yang berkaca-kaca. Hanah memperhatikan kesedihan yang memenuhi wajah putranya, dia pun segera mengelap wajah murungnya, menggatinya dengan topeng penuh senyum berseri. Setidaknya bisa meredakan tangis Arif dan membuat Arif lupa dengan pertanyaanya. Hanah bersyukur hari ini tidak perlu berbohong pada putranya.
@@@
Pekerjaan yang terlalu keras dan perasaan bersalah yang terus dipupuk mengundang musibah yang lebih besar. Setahun kemudian, ketika umur Arif menginjak tujuh tahun Hanah mulai sakit-sakitan. Tubuhnya menjadi lebih lemah dari biasanya, imunitas turun, dan sering demam tinggi.
Ladang tidak lagi terurus, selama berbulan-bulan ditinggalkan karena kondisi Hanah yang tidak pernah membaik. Arif pun sering sekali risau dan cemas, hatinya selalu gundah. Bibi Nilam menjadi lebih sering datang, mengecek keadaan sahabatnya dan menyemangati Hanah yang kini menghabiskan hari-hari diatas pembaringan.
Bibi Nilam yang mengajari Arif cara mengompres ibunya, membuat makanan hangat untuk ibunya, dan kemandirian lainnya. Arif belajar cepat darinya, kondisi yang serba terbatas membuat Arif bsia cepat belajar sesuatu.
Bibi Nilam bisa melihat betap besar cinta anak itu kepada ibunya. Bibi Nilam pun tahu pribadi Arif yang sangat penurut kepada Hanah. Mengetahui Arif enam tahunn lebih tidak keluar rumah demi bakti kepada ibunya adalah hal yang selalu membuat Bibi Nilam tersenyum dan kagum kepada Arif. Terlepas dari kenyataan bahwa Arif adalah manusia berambut putih, Bibi Nilam yakin Arif bukanlah anak biasa.
“Bibi Nilam membuat sup?” Tanya Arif yang berada di samping ibunya. Bibi Nilam muncul dari pintu belakang dengan mambawa mangkuk.
Sementara itu wajah Hanah merah dengan kesadarannya yang bisa hilang kapan saja. Sejauh ini kondisinya belum membaik. Bibi Nilam dan Arif hanya bisa membuat kondisi Hanah tidak bertambah buruk.
Bibi Nilam datang sambil membawa semangkuk sup hangat. Ini campuran beberapa rempah yang dia tahu dapat meringankan demam. Rasanya memang sedikit aneh, tapi itu bukan apa-apa dibanding kesehatan bukan?
Arif membantu ibunya duduk dengan menarik lengan dan punggung Hanah secara perlahan, Arif bisa merasakan panas ibunya di telapak tanga. Bibi Nilam lalu dengan hati-hati menyuapkan sup itu. Beberapa kali Bibi Nilam meniup sup dalam sendok kayu itu bilamana terlalu panas. Hanah terlihat menahan rasa aneh dari sup tersebut. Beberapa kali wajahnya terlihat berkerut.
Tandas separuh mangkuk, Arif membantu ibunya berbaring kembali. Bibi Nilam menyudahi dan segera berpamitan, tidak selamanya dia bisa disini. Kalau terlalu sering keluar rumah, bisa-bisa keluarganya curiga. Sebelum berpisah BIbi Nilam memberikan pesan kepada Arif untuk melakukan ini dan itu kalau kondisi Hanah semakin buruk.
Arif mengangguk dan mengucapkan banyak terimakasih. Arif kembali ke samping ibunya, membenarkan posisi selimut pinjaman Bibi Nilam sambil mengucapkan kata-kata yang dia harap bisa membuat ibunya merasa lebih baik.
Wajahnya ibunya begitu merah, dahinya sangat panas, dan tubuh mulia itu seakan tidak bisa lagi digerakan. Kondisi yang teramat memprihatinkan, membuat siapun yang memiliki hati bersedih.
Jam demi jam berlalu, hari demi hari berganti sedangkan demam Hanah belum turun. Arif yang semakin kebingungan berusaha menenangkan diri, dia genggam tangan kanan ibunya. Berharap hal itu bisa menyalurkan demam ibunya padanya sehingga demam ibunya bisa turun.
Tidak seperti hari-hari sebelumnya, demam ibunya tetap tinggi. Hari-hari berikutnya juga sama, Hanah tidak bisa lagi melakukan pekerjaan apapun. Seluruh pekerjaan rumah Arif yang selesaikan.
Bibi Nilam yang tidak kunjung datang menambah parah kegelisahan Arif. Makin hari Arif makin bingung bagaimana mengurus ibunya. Tubuh ibunya sangat panas, juga sudah empat hari ini ibunya tidak membuka mata. Hanah terus terbaring disana tanpa reaksi meski putranya membisiki dan berkali-kali memanggilnya.
Di samping itu persediaan makanan dan racikan obat herbal yang Bibi Nilam berikan sebentar lagi habis. Arif panik, ini sangat buruk.
Kondisi yang demikian menjepit membuat Arif tidak nafsu makan dan tidak bisa tidur beberapa hari. Dia pun berencana melakukan tindakan yang baginya sangat tidak rasioanal, berlari keluar rumah untuk mencari bantuan.
Menurut Arif membuka pintu rumah adalah dosa besar, melirik keluar jendela merupakan kesalahan tak termaafkan. Hanah mendidiknya demikian agar Arif tumbuh tanpa keinginan keluar rumah. Namun, kali ini rasa bakti dan cinta terhadap orang tua bertubukan dalam hatinya. Arif ingin berbakti pada ibunya dengan mematuhi semua perintahnya, disisi lain kecintaan kepada sosok ibu mendorongnya untuk keluar rumah, mencari pertolongan.
Keringatnya sampai mengalir, kepalanya terasa sangat pening. Arif benar-benar bimbang. Anak usia tujuh tahun sebagaimana dirinya tidak seharusnya menerima semua ini.
Harus memilih, begitu kata hatinya.
Arif membusungkan dada, menarik nafas kuat-kuat. Dia genggam ganggang pintu tersebut. Lengan Arif bergetar, lalu menyebar cepat keseluruh tubuh hingga mata kaki. Arif seperti kerasukan sesuatu.
Dibalik pintu ini terbentang dunia yang tidak pernah ia lihat.
Arif hanya tahu sedikit melalui cerita bapaknya yang dituturkan ibunya. Dunia yang menurut sudut pandangnya sangat indah. Tempat anak-anak berkumpul dan bermain, tertawa, bersuka cita, dan tentunya selalu ada tempat untuk manusia berambut putih. Itu kebohongan Hanah buat agar putranya merasa menjadi anak normal meski terlahir sebagai manusia berambut putih.
Arif membulatkan tekad, nafas dia tarik kuat-kuat. Seraya membuka pintu, Arif lantangkan permintaan maaf dalam hati.
“Maafkan Arif, ibu.”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 72 Episodes
Comments
Maulana Malik Ibrahim
wah kerasa bgt pembawaannya
2021-05-15
0
Li Na
keren
bagus
lanjuut
2020-06-10
0