Arif benar-benar membuka pintu itu, menatap dunia yang tidak pernah dia lihat sebelumnya. Arif membuka matanya lebar-lebar. Tubuhnya mendadak mematung karena kekaguman luar biasa yang belum pernah ia rasakan.
“Apa itu putih-putih di langit?” Arif bertanya pada dirinya sendiri. Pandangan matanya tidak bisa terlepas dari benda ajaib itu. Ini pertama kalinya Arif melihat awan.
“Benda itu berubah bentuk.” Seru Arif dalam hatinya ketika memperhatikan awan-awan yang tertiup angin. Arif menghadap sisi yang lain, ada sesuatu yang sanagt berkilauan, sangat bercahaya, dan terasa panas.
Arif memperhatikannya baik-baik yang malah membuat matanya terasa perih dan berair. “Apa itu.” Ucapnya sambil menahan perih di matanya, benda yang hanya dengan dilihat saja bisa membuat matanya menjadi perih. Arif baru saja melihat matahari secara langsung.
Kulitnya juga terasa aneh. Di dalam eunah twrasa teduh, sementara disini terasa panas. Ada apa dengan permukaan kulit ini?
Hilang rasa perih di mata, Arif seketika ingat dengan tujuannya. Cepat-cepat ia ambil langkah berlari, keluar rumah.
Dalam dongengnya, Bibi Nilam pernah menceritakan seseorang yang ahli dalam mengangai orang sakit. Namanya dokter, maka dari itu Arif berencana mencarinya sampai menghantarkannya pada pemukiman penduduk.
Orang-orang melihat yang kehadiran Arif seketika menyingkir, menjauh, bahkan ada yang ketakutan melarikan diri. Anak-anak yang sedang bermain-main di jalanan segera diangkat orang tua masing-masing untuk dijauhkan dari Arif. Para orang tua khwatir bilamana anak-anaknya akan menerima kutukan dari anak berambut putih itu.
Setiap orang memandangnya dengan tatapan takut dan marah. Beberapa ada yang melempar kalimat sarkasme kepada Arif, bahkan ada yang menyiapkan aritnya kalau-kalau Arif mendekat. Tidak ada satu pun dari mereka yang mau menerima manusia berambut putih.
Arif memperhatikan semua itu dengan keheranan, mengapa orang-orang menjauh? Namun Arif tidak sempay memikirkan hal tersebut. Fokusnya hanya terarah pada pencarian dokter. Sepanjang dia berlari, mulutnya terus menyerukan dengan lantang. “Dokter! Dokter! Saya perlu bantuan.”
Arif terus mengucapkan kalimat itu sambil terus berlari di bawah terik matahari. Tubuhnya sudah banjir keringat, nafas patah-patah, tubuhnya sangat kelelahan. Arif beristirahat di salah satu pohon rindang.
Dia menyeka peluh di dahi kemudian dia sentuh tenggorokannya, rasanya sangat kering disana. Arif berusaha menstabilkan tubuhnya yang kelalahn dan kepanasan dengan beristirahat sebentar di bawah pohon ini. Tidak ada yang melarang bukan?
Tanpa dia sadar, seketika Arif tertidur sambil menyandar pohon. Arif terlalu lelal dia juag kurang makan dan tidur. Belum pernah Arif merasa sepayah ini. Matanya sudah terpejam, kesadaran sudah pergi dari tubuhnya, tetapi tidak lama. Terdengar seruan dari jauh. Sangat keras dan tentunya dengan cara yang kasar tanpa memandangnya manusia.
“Kau yang disana! Hus, hus, hus, pergi!” Teriak seorang lelaki bertubuh gempal. Di tangannya dia membawa semacam batang kayu yang difungsikan sebagai senjata. Di belakangnya bersembunyi dua anak kecil, mungkin itu putranya yang ketakutan karena kehadiran Arif.
“Kenapa?” Arif yang masih dalam posisi setengah sadar dan tidak mengusap matanya yang merah.
“Pergi! Pergi! Sekarang juga!” Teriak lelaki bertubuh gempal itu lebih keras. Dia mengacung-ngacungkan sejatanya, mengancam Arif.
Arif berdiri dengan malas, bersiap menyingkir dari sana. Baru satu langkah, batang kayu itu terlempar kearahnya, nyaris saja mengenai wajah. Arif menghadap kearah lelaki yang melemparkan batang kayu tersebut. Wajahnya merah padam karena marah.
Arif yang tidak paham apa-apa memilih untuk tidak memahami apa-apa. Dia ambil seribu langkah untuk pergi dari sana, secepatnya.
Begitu pergi dari tempat itu, Arif langsung teringat dengan tugasnya. Arif berlarian lagi untuk mencari dokter. Langkah demi langkahnya belum menuai apapun. Setiap orang yang ditemui menjauh. Arif tidak tahu alasan mereka melakukan itu, yang pasti itu membuatnya semakin kesulitan. Arif tidak bisa bertanya pada orang-orang dimana orang yang beranama dokter.
Disisi lain kepalanya terasa berdenyut-denyut, pinggangnya sakit seperti sesuatu ada mencoba keluar dari sana setiap Arif melangkah. Hal ini karena Arif tidak pernah berolahraga. Tubuhnya tidak terlatih, cepat kelalahan.
Arif terus memacu kakinya. Berlari dan berlari, berlomba dengan waktu. Kegelisahan yang tidak terkontrol membuatnya dituntut harus cepat menemukan sang dokter.
Arif memang senang untuk pertama kalinya bisa keluar rumah. Di sisi yang lain dia juga sedih karena tidak mendapat hasil apa-apa. Langit sudah berwara jingga. Arif memutuskan beristirahat kembali. Dadanya rasanya mau meledak-ledak.
Arif duduk di salah satu sudut lapangan desa. Kondisinya sedikit ramai, belasan anak dan remaja bermain bola disana. Angin sore meniup rambut putihnya bersama jemari yang sedang memainkan poninya. Arif sedang memikirkan sesuatu. Hal yang membuatnya teralih beberapa saat dari tujuaanya keluar rumah.
“Kenapa semua orang berambut hitam?”
Arif memandang jauh kedepan, menuju petak-petak sawah yang luas. Para orang tua terlihat disana, mereka semua berambut hitam. Pandangannya menuju arah lain, pada salah satu rumah penduduk. Terlihat seorang anak seusianya, rambutnya pun hitam.
Arif mengalihkan pandangnya lagi kearah belasan remaja yang mengepungnya. Mereka semua juga berambut hitam. Oh, ekspresi mereka tidak bersahabat. Salah satu dari mereka mendekat kepada Arif. Sepertinya dia yang paling tua dibanding yang lain, usianya mungkin tujuh belas tahun.
Telunjuknya menunjuk Arif kemudian menunjuk arah yang lain. “Pergi.” Ucapnya dingin.
“Pergi, manusia rambut putih.” Tambahnya, lirih.
Arif meminta diulang, dia ingin memastikan tidak salah dengar.
“Pergi kataku! Kami bisa dicap yang tidak-tidak jika ada kau disini. Pergi sekarang juga!” Kali ini berteriak, seluruh orang disekitar lapangan pun mendengar teriakan remaja itu.
Arif beranjak dari duduknya. Tubuhnya mematung, bola matanya bergetar. Empat detik Arif kehilangan kemampuan motorik ketika semua orang memandangnya dengan tatapan aneh. Benci dan ketakutan, seakan-akan yang dihadapan mereka bukanlah manusia melainkan hewan buas.
Usia Arif masih terlalu dini untuk memahami semua itu, namun hatinya mampu menangkap perasaan yang muncul melalui tatapan-tatapan mereka, juga perasaan dalam hati terdalamnya. Getaran ketakutan, kerendahan diri, dan sendirian.
Arif langsung berpaling dari sana dengan mata berair. Dia berlari secepat mungkin, secepat yang dia bisa. Arif pun tersandung, lutut kanan dan sikunya berdarah. Arif tidak mempedulikan dan terus berlari.
Sepanjang perjalanan orang-orang yang disekitarnya menjauh, sama seperti sebelumnya. Tindakan itu menambah rasa sakit hatinya. Arif memilih menunduk dan menutup mata, pemandangan ini sangat menyakitkan.
Arif langsung masuk ruma dengan tergesa-gesa. Ditarik ganggang pintu itu dan ia tutup hingga menimbulkan suara keras. Arif lupa di dalam ibunya sedang terbaring sakit. Arif merasa seperti baru saja kesetanan. Dikepalanya masih terdengar ucapan menyakitkan dari semua orang. Arif menutup mata dan telinga. Ketakutan.
Arif merasa pundaknya di sentuh lembut oleh seseorang. Arif memberanikan diri untuk memeriksa. Ada seorang perempuan disana. Perempuan itu bukan Bibi Nilam, usianya belasan tahun. Dia tersenyum pada Arif, sesuatu yang membuat semakin sulit mencerna semua ini.
Pandangannya teralih pada sesuatu dibelakang perempuan itu. Hanah, ibunya.
Hanah tidak sendirian, didekatnya ada lelaki misterius yang sedang sibuk dengan sesuatu. “Apa yang dia lakukan pada ibu?” Arif bertanya pada dirinya sendiri.
“Pergi, manusia rambut putih.” Seketika kalimat itu berteriak dalam kepalanya.
Arif langsung beranjak dan melompat kearah lelaki itu. Arif menerkamnya seperti harimau dan memukul berkali-kali dengan amarah dan mata yang berair. Dia menggila.
“Apa salahnya rambut putih kami!”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 72 Episodes
Comments