“Bersiaplah dengan kemungkinan terburuk.” Rasanya kalimat itu menjadi nyata dihapannya Arif. Di pusat kegelapan malam, berkobarlah sang jago merah
Arif mematung, tubuhnya mendadak kaku dengan mulut mengaga. Separuhnya nyawanya terasa hilang karena pemandangan dihadapannya.
Orang-orang bersuka ria di depan sana, bangga. Mereka seakan baru saja melakukan prestasi tertinggi. Wajah-wajah yang merasa tak berdosa itu baru saja melempar obor-obor menyala kearah rumah yang sudah disiram minyak. Siapa pagi kalau bukan rumah Arif.
Asap hitam mengepul tinggi dan pekat. Suara kayu-kayu yang runtuh terlalap api terdengar. Sebentar lagi rumah itu akan menyatu dengan tanah, menjadi abu gelap.
“Ibu? Bagaimana dengan ibu?” Tubuh Arif mendadak bergetar hebat.
Arif segera berlari secepat mungkin kedepan. Ditembusnya kerumunan orang-orang gila itu. Dengan kedua lengan yang melindungi wajah, Arif langsung masuk kedalam kobaran yang menyala. Pintu pun langsung di dobrak paksa.
Kondisi di dalam mengerikan, semuanya terbakar. Disemua sisi hanya ada api yang menyala-nyala dan kepulan asap hitam pekat yang menyakiti mata dan hidung. Arif tidak menghiraukan api yang melalap pakaiannya. Pandangannya hanya terfokus pada satu hal, ibunya.
Manusia mulia itu, yang melahirkan dan membesarkannya dengan penuh cinta kasih. Berakhir dalam selimut api yang ganas. Tidak! Ini belum berakhir!
Arif segera meraih ibu yang sekujur tubuhnya penuh dengan api. Kedua lengan dan dada Arif sangat perih karena api di tubuh ibunya mulai menjalar ketubuhnya. Tidak apa-apa, ini bukan masalah. Asalkan ibu selamat.
Arif meringis menanhan perih di sekujur tubuh. Pakaiannya terbakar, asap tebal telah memenuhi mata dan hidup. Rasanya perih sekali. Arif batuk-batuk beberapa kali sampai ibunya terjatuh dari kedua lengannya. Arif berusaha bertahan, rasa sakit ini bukan apa-apa!
Kedua tangannya segera maraih ibunya. Arif mengangkatnya dan segera berlari lewat pintu belakang. Menembus kerumunan orang tanpa peduli cemooh apapun yang mereka berikan.
Tidak cuma itu. Anak berusia tiga belas tahun ini dilempari obor menyala hingga salah satunya tepat mengenai punggung. Itu sakit sekali, perih sekali, nyaris membuat Arif terjatuh tersungkur kedepan dan jasad ibunya terlepas lagi darinya. Arif tidak mempedulikan rasa sakitnya. Dia tetap menggendong ibunya yang terbalut api menuju sang naga biru.
Arif langsung menceburkan diri bersama ibunya. Setelah cukup lama berendan disana, Arif naik kepermukaan dengan tubuh basah kuyup. Sebagian pakaiannya hangus terlalap api, tidak layak lagi untuk dipakai. Sekujur tubuhnya meninggalkan jejak-jejak api.
Perih, sangat perih. Bergerak sedikit saja rasanya membuat menangis, apalagi saat bekas api tubuhnya menyatu dengan air tadi, rasa perihnya seakan berubah menjadi pedang yang ditusukkan lebih kuat ke tubuhnya. Nafas tidak beraturan, jantungnya bahkan serasa mau melompat dari mulut. Rasa perih ini sangat menyiksa.
Kondisi Arif jauh lebih baik daripada Hanah. Ibunya itu, entah kini masih ada atau tidak. Tubuhnya sudah menghitam layaknya arang. Namun Arif tidak akan pernah mau mempercayai ibunya telah pergi.
Ibu masih hidup!
Arif menatap jasad ibunya yang sejak enam tahun ini tidak pernah bergerak apalagi memanggil namanya. Arif merasa gagal sebagai anak. Aku tidak bisa melindungi ibu. Pikirnya dengan wajah tertunduk sedih. Air mata pun meleleh disana, menjadi tangisan keras diantara pepohonan hutan yang tinggi. Malam itu adalah malam paling menyedihkan dalam hidupnya.
@@@
Biarpun tidak ada satu pun tanda bahwa ibunya akan bangun, Arif tetap menggendong beliau. Arif membawa ibunya menembus hutan di pagi harinya. Tanpa alis kaki, dengan pakaian compang-camping karena terlalap api. Kondisinya tidak beda jauh dengan gelandangan.
Tubuhnya penuh rasa perih, setiap kali melangkahkan kaki, telapak kakinya terasa menginjak lautan paku. Perutnya juga sudah berbunyi sejak empat jam lalu, lapar sekali. Dibelakangnya ibunya terlelap, mungkin selamanya. Arif menggelengkan kepala berusaha memikirkan hal yang menyenangkan. Tidak bisa.
Arif terus menggendong ibunya menyusur hutan. Melangkah dengan hati-hati untuk mengurangi rasa sakit di telapak kaki. Keringat mengucur deras dan rasa sakitnya bertambah-tambah.
Rasa sakit yang tak terhankan. Membuat Arif selalu ingin berhenti. Di lain sisi dia dipaksa oleh motivasinya untuk menyembuhkan ibunya, hal itu membuat Arif tidak bisa berhenti. Arif terus melangkah meskipun menyakitkan. Berhari-hari, tanpa makan, tanpa teman, dan tanpa arah.
Arif ingin bertemu dokter. Disaat-saat inilah pertolongan beliau sangat diperlukan. Namun, dimana beliau tinggal dan kemana arah yang menuju rumah beliau? Arif tidak tahu jawabannya. Setiap langkahnya mengikuti seruan hati. Dia hanya mengandalkan keyakinan. Dungu sekali.
Tapi, apa pilihan selian kedunguan itu. Arif hanya bisa menggerakkan kakinya, selebihnya apa yang dia bisa? Terus melangkah tanpa menghadap ke belakang adalah pilihan terbaik.
Perjuangan melelahkan yang dilumuri air mata dan darah itu segera menuju akhirnya. Tubuh Arif terlalu lelah untuk melanjutkannya. Berhari-hari tidak makan kecuali dedaunan tidak akan pernah mengenyangkan.
Arif terjatuh menyandar pohon tinggi. Hutan sudah berganti, ia memasuki wilayah yang tak dikenali. Arif menatap sekitar, cahaya sore menembus celah antar batang dan daun-daun. Suara kicau burung bersautan di atas kepala. Arif mendongak, berharap ada pemandangan yang paling tidak bisa sedikit menghiburnya.
Rasa-rasanya kedua kaki mau lepas. Rasa perih disekujur tubuh sudah berkurang banyak, tergantikan dengan rasa lelah tiada berujung. Ini adalah yang paling melelahkan. Semenjak beberapa waktu yang lalu, Arif memaksakan langkah dan menepis kantuk.
Matanya sangat berat. Arif beberapa kali nyaris hilang kesadaran. Arif sampai mengigit lengannya sendiri agar bisa meneruskan langkah. Dan sekarang, Arif memilih untuk terpejam. Istirahat sebentar.
Arif membuka mata dengan malas. Rasasanya baru tidur beberapa detik saja. Hari sudah pagi, fajar sudah lama terbit. Cahaya mentari pagi menembus dedaunan di langit-langit. Pemandangan yang menawan.
Arif meluruskan tubuhnya, menarik tangan dan kaki. Tubuhnya sangat lelah bahkan lebih lelah daripada kemarin, sangat pegal. Kakinya terasa mematung, kaku. Arif tidak punya tenaga untuk berdiri dan berjalan.
Arfi menarik nafas pelan-pelan, mencoba menikmati suasana ini. Arfi kemudian mengedarkan pandangan. Melihat langit-langit dedaunan, pohon-pohon yang berbaris acak, bermacam tanaman yang ada disana dan ibu hilang!
Ketakutan dan kegelisahan memaksa tubuh untuk mencari. Dipaksa pun tidak mungkin, tubuh Arif langsung ambruk kembali. Lumpuh total. Tulang-tulangnya seakan rontok.
Tubuhnya butuh istirahat lebih. Tanpa diisi kecuali daun-daun dan dipaksa terus melangkah pastinya menjadi beban paling berat bagi fisik. Tapi, tapi, tapi.....
Arif meraung marah, memaksakan diri lebih lagi. Tetap tidak bisa. Tubuhnya telah sampai batasan. Tidak mungkin menggerakannya lebih dari ini, tindakannya dengan memaksakan diri sama saja bunuh diri. Arif tidak mau tahu, yang dia inginkan adalah ibu. Ibu! Ibu!!
Arif tidak bisa berpikir jernih. Posisi ini membuatnya berpikir Hanah menghilang karena peristiwa buruk, Arif tidak bisa memikirkan kemungkinan selain itu. Arif meneriaki panggilan itu berkali-kali, sekeras mungkin. Air mata pun kembali meleleh, membasahi alas hutan yang penuh deduanan
Ibunya tidak pernah kembali. Tidak akan pernah.
Arif sendirian dalam lingkaran keputus asaan dan kegelapan dalam.
Ketika Arif mencoba mendongak, matanya menangkap kejutan lain.
Mata itu berkilau indah, kulitnya putih halus dan memancakan cahaya terang. Ia kenakan pakaian terbaik, bersama dengan hadirnya sorot mata yang tangguh. Sosok wanita itu mulai melangkah anggun, mendekat pada putra semata wayangnya. Dia tidak sendirian, dibelakangnya berbaris orang-orang dengan busana yang seragam.
Arif ternganga dan tidak bisa berkedip.
“Ibu?”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 72 Episodes
Comments
Li Na
up😍😍
2020-06-12
0
PADISTRIA
Kita semua sayang Hanah, Hanah yang malang...
2020-05-10
3