Hari itu, seminggu semenjak meninggalnya Wangsa, orang paling di cintai seluruh penduduk.
Kepergiannya meninggalkan kesedihan yang mendalam. Dimata penduduk Wangsa adalah sosok pekerja keras, senang membatu, peduli, ramah, dan senang bergaul dengan penduduk. Bagi sebagian penduduk desa kehadiran Wangsa adalah sebuah berkat. Anugrah yang luar biasa.
Namun, ketika manusia paling di muliakan itu pergi selamanya, para penduduk pun terguncang hebat seakan tidak percaya. Kesedihan berlarut-larut memenuhi penjuru desa. Para remaja, orang tua, anak-anak, dewasa, kesemuanya merasa sukar merelakan Wangsa.
Dibalik itu semua tersisa sekelompok yang menggunakan kesedihan ini untuk membalikkan keadaan. Mereka menyebar kabar jahat, menebar fitnah dan permusuhan. Hampir saja terjadi perpecahan besar-besar diantara penduduk desa karena orang-orang tidak bertanggung jawab tersebut.
Hanah merangkul putranya erat-erat saat itu dengan air mata yang deras mengalir. Siapa lagi kalau bukan dirinya yang difitnah kala itu. Sekelompok orang mengatakan bahwa kepergian Wangsa, orang yang dicintai seluruh penduduk karena menerima kutukan dari Hanah yang merupakan manusia berambut putih.
Tentunya Hanah membalas mati-matian, air matanya mengalir, suaranya sampai serak, tubuhnya terkulai lemas. Tindakan Hanah membela adalah keputusana yang benar, sayangnya tindakannya itu tidak bisa merubah hati yang sudah berkarat. Hanah sangat terlambat menyerukannya, orang-orang sudah berpindah pihak, tidak mau berada disisi manusia berambut putih.
Mereka menunjukkan tatapan itu lagi padanya, tatapan tidak peduli, benci, dan jijik seakan-akan Hanah adalah monster yang tidak patut di dekati. Hanah tidak bisa berbuat banyak, pilihannya adalah kesabaran dan kepasrahan. Hanah pulang dengan hati penuh luka.
Hanya kehadiran Arif yang bisa menghiburnya kala itu. Hanah bisa mengusap air matanya ketika Arif mendadak ikutan menangis seakan tahu kesedihan ibundanya. Hanah langsung menghibur Arif dan menina-bobokannya dalam pelukan penuh kasih.
Masih di hari yang sama ketika gelap membungkus langit dan bulan bersemayam di angkasa. Terdengar beberapa kali ketukan pintu. Hanah yang kala itu sudah terlelap terbangun demi membukakan pintu.
Sebenarnya Hanah enggan melakukan ini, kejadian tadi siang membuat sebagian dirinya berseru untuk membiarkan tamu tetap di luar. Bagaimana kalau yang datang adalah orang yang ingin membuat keributan dengannya, pastinya urusan menjadi sangat membingungkan.
Kendati demikian, Hanah tetap membukakan pintu untuk si tamu. Itu adalah adap, tidak selayak seorang tuan rumah pura-pura tidak tahu ada tamu yang datang. Menyambut tamu adalah kemuliaan, itulah yang diajarkan Wangsa.
Hanah membuka pintu perlahan agar tidak menganggu Arif yang sudah lelap. Dengan lampu minyak yang kembali dinyalakan, Hanah memperjelas wajah tamu yang datang padanya. Itu adalah Nilam.
Nilam datang dengan senyum dan keramahan. Berbeda dengan penduduk yang datang padanya dengan kebeciand an permusuhan. Tidak cuma itu, Nilam juga membawa beberapa buah tangan untuk Hanah. Katanya untuk menghibur Hanah.
Tindakan Nilam sebenarnya sangat beresiko, jika ada yang tahu bisa-bisa diacap sama sebagaimana Hanah. Namun bersahabat keduanya meniadakan ketakutan tersebut, bahkan Nilam berkata lantang dihadapannya jika hal itu sampai terjadi, Nilam akan tetap berada disisinya.
Hanah sangat bersyukur sampai-sampai air matanya kembali mengalir. Hanah sadar, Tuhan tidak akan pernah meninggalkannya. Melalui perantara Nilam, Tuhan sampaikan kasih, sayang, dan kesempatan untuk terus berjuang.
@@@
Hari ini umur Arif hampir satu tahun. Arif berada di rumah bermain bersama dengan Nilam, sementara Hanah berada di ladang ketela warisan Wangsa. Ladang itu baru saja panen dan hasilnya dijual lewat perantara Nilam, kalau Hanah yang menjual mungkin tidak ada yang mau membeli.
Sebagian ketela dia simpan untuk persediaan makanan dan sebagian yang lain Hanah berikan kepada Nilam sebagai rasa terimakasih. Nilam menerima dengan suka cita, kondisi ekonomi keluarganya memang pas-pasan, sedikit lebih baik dibanding Hanah.
Di ladang itu Hanah bekerja sangat keras. Tidak mungkin dia mengajak Nilam karena akan membahayakan posisinya di mata penduduk. Hanah yang seorang ibu rumah tangga bekerja sendirian di ladang tanpa alas kaki dan alat seadanya. Hanah sudah terbiasa dengan semua keterbatasan ini.
Lengannya bermandikan keringat dan tanah. Tangannaya cekatan menggali lubang demi lubang untuk menanam batang ketela yang telah dia setek. Hanah bisa melakukannya dengan cepat, Wangsa yang mengajarinya cara berladang yang baik.
Di ladang juga ada sebuah sumur tua. Tidak ada yang tahu milik siapa, sumur itu sudah ada disana sejak lama bahkan sebelum Hanah lahir. Orang-orang tidak mau menimba air disana meski Hanah mempersilahkan. Itu pasti, penduduk desa beranggapan sumur itu pun sudah tercemar oleh kutukan Hanah.
Kedua tangan Hanah mencangkul ladang yang belum sesuai tatanan. Tangan Hanah sudah terasa lelah semenjak tadi tapi itu tidak dia hiraukan. Dari ladang inilah makanan Hanah dapatkan, dari ladang ini Hanah bisa hidup mandiri. Tidak mungkin Hanah membebankan hidup pada Nilam. Harus bekerja keras, apapun yang terjadi.
Hanah tiba-tiba berhenti ketika mengurus tepian ladang. Ladangnya dibatasi dengan pagar anyaman bambu dari ladang tetangga. Dia melihat seorang lelaki tua yang mengenakan camping berkaos dan bercelana pendek menatapnya dengan sebal. Wajahnya sangat tidak ramah.
Lelaki tua itu meludah kedepan walau tidak sampai terkena Hanah. “Dasar kau, jangan dekat-dekat ladangku. Bisa mati semua tanamanku nanti.” Ucap lelaki itu setengah berteriak. Dia meruncingkan alis dan menatap tajam kepada Hanah, kemudian berlalu sambil menggendong cangkul
Ini hanyalah sebagian kecil dari gangguan yang Hanah terima. Pernah sekali penduduk beramain-ramain menganggunya yang sedang bekerja dari luar ladang. Mereka lempar umpatan tidak patut dan bermacam perkataan buruk yang intinya Hanah harus pergi, angkat kaki dari desa ini.
Hanah tidak menghiraukan dan menutup telinga hingga orang-orang berlisan pisau itu pergi dengan sendiri. Di kasus terburuk tanaman Hanah pernah sampai dicabuti, dirusak, dan ladangnya dijadikani tempat menimbun sampah.
Hanah marah tapi lebih memilih kendali diri.
Penduduk tidak akan berubah pikiran hanya karena dia berteriak-teriakan menyerukan bahwa manusia berambut putih adalah manusia yang sama sebagaimana manusia normal. Dalam hal ini, hati manusia sulit condong kepada hakikat kebenaran.
Hanah membuang muka dari lelaki tua itu dan beralih menggarap ladang yang berada di tengah-tengah. Dia tidak mau ambil pusing hanya kerana ucapan lelaki tua tersebut. Hanah kembali sibuk mengurus ladangnya. Bermandikan sinar yang semakin panas dan keringat membuat Hanah beristirahat sementara.
Hanah duduk di salah satu sudut ladang sambil menegak kantung kulit yang berisi air bening. Dia mengusap keningnya yang basah oleh keringat. Pekerjaan ini sebentara lagi selesai dan Hanah bisa bertemu lagi dengan putranya, Arif.
“Tunggu ibu Arif, ibu sebengtar lagi pulang.” Hanah menatap ladang di depannya dengan semangat yang telah kembali.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 72 Episodes
Comments
Maulana Malik Ibrahim
semangat thor
2021-05-15
0
Li Na
semangaat
2020-06-10
0
Ogute
Nompang promo Thor
Mampir juga di ceritaku ya teman teman
1. PENDEKAR KEMBAR
2. CINTA 3 GENERASI
3. ORANG KETIGA / MERI
jangan lupa ya... .
2020-05-06
0