Sejak kecil, Arif telah menunjukkan tanda-tanda yang menyatakan bahwa dirinya bukanlah manusia biasa. Tanda-tanda itu terbilang unik dan aneh, kalau diketahui orang banyak bisa menjadi perkara yang merepotkan.
Arif lahir dengan berat yang tidak normal, bobotnya lebih ringan dari pada bayi kebanyakan. Arif lahir dengan langsung membawa beberapa helai rambut putih. Sehari setelah kelahirannya, muncul tanda kemerahan aneh di lehernya dan hari berikutnya tanda itu menghilang.
Di umurnya yang balita, Arif mampu untuk mematahkan daging buah pir hanya dengan kedua tangannya. Di usianya yang masih dua tahun, Arif pernah menalan pecahan tembikar dan kerikil di halaman rumah, tanpa terjadi apa-apa dengan pecernaanya. Kedua hal itu tidak pernah Hanah ketahui.
Dalam ruangan yang gelap ini Arif terbaring dengan tubuh kesakitan. Dalam ruangan ini takdirnya bergerak lambat. Dalam ruangan ini pula ibunya terbaring tanpa tanda-tanda kesadaran. Itulah yang selalu membuat hatinya bersedih dalam kondisi apapun.
Hanya ibunya seorang yang berada di sampingnya sekarang, itu pun tanpa kesadaran. Sudah lebih dari enam tahun ibunya terbaring disana tanpa pernah sekalipun membuka matanya. Apa ibu sudah meninggal?
Ketika pemikiran itu datang, Arif langsung menampar pipinya keras-keras.
Arif menatap wajah mulia itu kembali. Terbaring sudah layaknya jasad tak bernyawa. Namun apa bisa dilakukan? Arif hanya mampu berdoa. Orang yang paling dia percaya mengatakan bahwa ibunya akan bangun pada waktunya nanti, maka selama apapun itu Arif akan terus menunggu.
Di luar malam begitu gelap, beberapa kali menghembuskan angin dingin. Cahaya bulan tertutup awan mendung, semua orang segera memasuki rumah dengan segera. Hujan deras akan segera membungkus desa.
Suara kilatan sudah tiga kali terdengar. Hujan akan segera dan itu akan sedikit merepotkan Arif. Atap rumah ini bocor di beberapa titik sehingga Arif harus menggeser ibunya ke tepian agar tidak terkena cipratam air hujan.
Hujan pun turun dan menembus bagian atap yang bocor. Suara butiran air jatuh yang menabrak permukaan benda terdengar disana-sini. Arif memperhatikan air yang masuk lewat celah-celah atapnya. Air itu mendarat di bagian rumahnya yang berupa tanah.
Arif memperhatikannya dua menit lalu duduk memeluk lutut dengan tertunduk. Hati dan pikirannya lagi-lagi penuh dengan sesuatu yang menyakitkan. Sebagaimana hujan kali ini, mendung, dan gelap.
Arif mengingat kejadian beberapa bulan terakhir ini. Akibat cacian dan makian orang-orang melahirkan sesuatu yang mencoba masuk ke dasar hatinya. Itu perasaan yang aneh, perasaan dimana dia bangga ketika membungkam orang-orang berlidah pedang itu.
Arif berhak menuntut haknya, dia berhak melawan, masyarakat memang layak menerimanya. Tapi Arif mulai merasa apa yang dia lakukan terlalu berlebihan. Sebagaimana kejadian-kejadian yang telah lalu. Arif selalu mudah melepaskan pukulan dan tendangan hanya karena hal sepele.
Arif pun sering sekali melakukan perkelahian, bahkan kadang dia dengan bangga melakukannya seakan-akan itu hal yang mulia dilakukan. Puluhan kali Arif melakukannya, di pasar, di pusat desa, di keramaian. Di tubuhnya yang masih berusia tiga belas tahun sudah menerima lebih dari dua ratus hantaman penduduk.
Atif menutup wajah dengan telapak tangan, kecewa. Namun dalam beberapa momen, Arif sadar semua itu adalah tindakan salah. Dia melanggar janjinya sendiri, ibu maupun bapaknya pasti tidak mau melihat anak demikian.
Keduanya menitipkan doa melalui namanya. Arif, artinya bijaksana. Apakah berkelahi dan tenggelam dalam emosi itu bijaksana?
Setiap kali memikirkannya, kepala Arif terasa mau meledak.
@@@
“Keadilan dunia itu semu. Tidak ada satupun manusia yang bisa berbuat adil. Hanya Tuhan yang mampu memberikan keadilan. Dialah yang sebaik-baiknya Penakar keadilan.”
Arif membaca baik-baik catatan tua tersebut. Tertulis pada lembaran kuning yang sudah kusam dan sobek di beberapa sisi. Tulisannya pun keci-kecil sudah tidak jelas dan sulit dibaca. Biarpun begitu, Arif tetap berusaha membacanya
Itu adalah catatan lama milik Wangsa. Kumpulan lembaran-lembaran berisi ungkapan hati yang kemudian dibukukan dalam sebuah catatan kecil. Arif sudah mendapatkannya sejak dulu dari ibunya. Namun karena sulit dibaca dan banyaknya konflik dalam hidupnya, Arif memilih menutupnya. Tidak pernah terbuka lebih dari lima tahun.
Arif melanjutkan pada bait berikutnya.
“Kita tidak berhak menilai sesuatu dengan satu sudut pandang. Bahkan siapapun yang menentang ketentuan Tuhan berupa takdir sejatinya berhak menerima hukuman. Jika kau paham kalimat ini, kau akan menyadari bahwa kebahagian sejati terletak pada hati yang senantiasa bersyukur.”
Lembar itu habis di kalimat tersebut.
Arif yakin, bapaknya menitipkan nasihat-nasihatnya melalui catatan kecil ini. Dia bertekad melaksankannya sejak dua bulan lalu. Rasanya berat, sangat berat. Apalagi dengan kondisi sekarang, Arif tidak lagi seperti dulu yang memilih memaafkan.
Walau begitu, tidak ada salahnya untuk melakukannya kembali, mungkin itulah yang disebut dengan pantang menyerah atau terus bangkit. Harta warisan bapaknya hanya ini. Arif akan berusaha menjaganya dan meletakkan ke dalam hati.
Tekad itu pun benar-benar dia lakukan. Di waktu senggang, di waktu dirinya bingung ingin melakukan apa, Arif memilih membaca catatan itu. Semalas apapun dirinya, sebosan apapun dirinya dengan catatan tersebut. Arif terus berusaha memaknai dan memasukannya dalam hati.
Hari dan waktu yang terus berputar menjadi saksi atas kejadian tersebut. Di dalam rumah, di halaman, di pasaran, di hutan, di manapun. Arif terus membaca catatan itu. Enam bulan konsisten melakukan hal itu menjadikan berubaha yang berarti.
Catatan itu benar-benar membatasinya untuk berkelahi dan melampiaskan emosi. Catatan Wangsa bertindak layaknya dinding empat sisi. Ketika emosi Arif meluap, dinding-dinding itu muncul. Mengurungnya agar tidak bisa terlampiaskan. Perlahan-lahan, Arif kembali menjadi dirinya yang dulu. Semoga saja.
Di malam purnama yang tenang. Arif membawa catatan tersebut, duduk menikmatinya dihadapan Dewa Naga Bukit bersemanyam. Itu adalah daerah terbuka sehingga cahaya bulan dapat meneranginya. Purnama bersinar sangat terang seakan menyambut Arif dengan baik.
Angin malam yang dingin menggelitik tengkuknya, mengelus pipi, dan menghembuskan kebahagiaannya yang terus terpupuk dalam hati. Arif mulai bisa menikmati semua ini, sebagaimana yang dia pelajari sebelumnya. Senantiasa bersyukur.
Arif senyum-senyum sendiri di hadapan catatan kecil tersebut. Dia sedang membayangkan bapaknya yang sedang menulis ini semua. Melalui catatan tua tersebut, Arif tahu bapaknya adalah seorang pengembara. Di catatan itu tertulis banyak nama-nama yang tidak ia kenal. Nama-nama itu tertulis diakhir petuah yang mereka sampaikan.
Arif semakin tertarik dengan catatan ini, apalagi di beberapa bagian menceritakan kisah yang membangun fantasinya. Arif tercengang ketika menemukan keterangan mengenai Dewa Naga Bukit disana. Tertulis dalam sebuah syair pendek.
“Baleh saya duduk disini.” Terdengar suara dari samping. Arif menutup catatannya dan menghadap ke asal suara.
Ada lelaki tinggi besar disana, lebih tinggi dari dokter. Warna kulitnya unik, sedikit keabu-abuan. Rambutnya juga demikian, warnanya perak. Orang itu memiliki bola mata biru, sesuatu yang belum pernah Arif lihat. “Silahkan.” Arif membalas ramah. Lelaki itu pun duduk bersebelahan dengan Arif.
Arif memperhatikannya beberapa saat. Dari raut wajahnya, mungkin laki-laki ini berusia akhir dua puluhan. Dia kenakan pakaian putih dan hitam, kombinasi yang sangat mencolok, Arif merasa aneh melihatnya.
Di desannya, orang-orang cenderung memilih warna yang seragam antara baju dan celana. Coklat, hijau, biru, mayoritasnya memilih warna itu, tidak ada hitam dan putih.
Rasa aneh bertambah ketika Arif merasa orang ini biasa saja dengan kondisinya. Arif adalah manusia berambut putih, semua orang di desa tidak menyukainya. Mencapnya dapat memanggil bala. Apakah orang ini orang luar? Arif tidak tertarik memikirkan hal tersebut.
Lelaki itu punya tatapan yang teduh. Meskipun tubuhnya tinggi-besar, tidak terpancar aura mengancam darinya. “Apa yang dilakukan anak berusia tiga belas tahun di malam purnama ini.” Katanya memulai pembicaraan. Suaranya terdengar menyenangkan dan bersahabat.
Arif menoleh dengan terkejut, lelaki itu tahu umurnya. Arif tidak berniat menanyakan. Dia menjawab sekedarnya saja. “Membaca catatan dan menghilanglkan kebosanan.” Setelah itu dia kembali tenggelam dalam bacaanya.
“Hei nak, jawabanmu itu lumayan dingin.” Balas lelaki itu sambil senyum. Dia mencoba bersikap sok akrab.
“Memangnya apa catatan itu hebat. Kau nampaknya sangat menyukainya.” Lelaki itu mendekatkan kepala kepada Arif, mencoba mengintip catatan tersebut. Arif tentunya bergeser, menghindarinya. Arif menunjukkan wajah tidak suka.
“Maaf-maaf, saya hanya penasaran.” Setelah itu dia malah tertawa. Lelaki yang aneh. Suasana menjadi hening beberapa saat.
“Apa kau percaya keadilan Tuhan?” Lelaki itu membuka pemebicaraan kembali.
Demi kesopanan, Arif menanggapi walau sebenarnya dia enggan melakukannya. “Saya percaya.” Jawabnya pendek, Arif lalu tenggelam dalam bacaanya kembali.
“Jawaban dingin lagi.” Lelaki itu lantas tertawa kecil. “Kau harus lebih terbuka nak, atau orang-orang akan kesulitan mendekat padamu.” Jawaban itu menyindir Arif. Rasanya dalam dua detik amarahnya seakan terpompa kuat.
Arif menghembuskan nafas pendek, berhasil menahannya. Syukurlah. Arif kembali fokus pada bacaanya.
“Karena kau percaya, bersiaplah dengan kemungkinnan terburuk.” Ucapnya sambil menatap purnama, suaranya terdengar lebih serius. Arif tidak begitu memperhatikan. Dia masih terlalu asik membaca catatan ini yang sedang membahas mengenai Dewa Petaka, Raakala.
Ketika Arif mendongak, lelaki berambut perak itu telah menghilang. Mungkin karena keasikan membaca Arif tidak menyadari lelaki itu pergi. Arif melanjutkan bacaanya meski sudah puluhan kali khatam. Arif tidak pernah bosan membaca catatan ini. Mungkin itu kelebihannya.
Setelah matanya terasa berat, Arif beranjak pulang. Beberapa kali Arif menguap selama perjalanan pulang. Dengan disinari cahaya purnama, jalan menuju rumah terlihat lumayan jelas. Hutan dia lewati dan sempat tersandung akar pohon karena saking ngantuknya.
Dari kejauahan, Arif melihat sesuatu yang menyala-nyala di ujung sana. Sepertinya ada api. Tunggu dulu kebakaran? Arif berusaha menenangkan diri. Tiba-tiba dadanya terpacu begitu cepat, nafasnya tidak beraturan.
“Tidak, tidak, tidak mungkin.” Arif menguatkan hati sambil menggeleng-gelengkan kepala. Namun mengapa perasaan ini, atmosfer ini sangat pekat. Apa yang ada di ujung sana selain rumah tempat ibunya terbaring koma?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 72 Episodes
Comments
Lee
thor maaf,,,bisa tidak jangan terlalu banyak cerita yg gak penting,,iia dibuat seru gitu jadi tidak bertele" maksudnya,,,maaf iia thorr,,dan semangatt
2021-06-05
0
Li Na
💪💪💪💪
2020-06-12
0
PADISTRIA
KEBAKARAN WKWKWK🤙💣💥
2020-05-09
0