14. Di bawah Malam Purnama

Sejak kecil, Arif telah menunjukkan tanda-tanda yang menyatakan bahwa dirinya bukanlah manusia biasa. Tanda-tanda itu terbilang unik dan aneh, kalau diketahui orang banyak bisa menjadi perkara yang merepotkan.

Arif lahir dengan berat yang tidak normal, bobotnya lebih ringan dari pada bayi kebanyakan. Arif lahir dengan langsung membawa beberapa helai rambut putih. Sehari setelah kelahirannya, muncul tanda kemerahan aneh di lehernya dan hari berikutnya tanda itu menghilang.

Di umurnya yang balita, Arif mampu untuk mematahkan daging buah pir hanya dengan kedua tangannya. Di usianya yang masih dua tahun, Arif pernah menalan pecahan tembikar dan kerikil di halaman rumah, tanpa terjadi apa-apa dengan pecernaanya. Kedua hal itu tidak pernah Hanah ketahui.

Dalam ruangan yang gelap ini Arif terbaring dengan tubuh kesakitan. Dalam ruangan ini takdirnya bergerak lambat. Dalam ruangan ini pula ibunya terbaring tanpa tanda-tanda kesadaran. Itulah yang selalu membuat hatinya bersedih dalam kondisi apapun.

Hanya ibunya seorang yang berada di sampingnya sekarang, itu pun tanpa kesadaran. Sudah lebih dari enam tahun ibunya terbaring disana tanpa pernah sekalipun membuka matanya. Apa ibu sudah meninggal?

Ketika pemikiran itu datang, Arif langsung menampar pipinya keras-keras.

Arif menatap wajah mulia itu kembali. Terbaring sudah layaknya jasad tak bernyawa. Namun apa bisa dilakukan? Arif hanya mampu berdoa. Orang yang paling dia percaya mengatakan bahwa ibunya akan bangun pada waktunya nanti, maka selama apapun itu Arif akan terus menunggu.

Di luar malam begitu gelap, beberapa kali menghembuskan angin dingin. Cahaya bulan tertutup awan mendung, semua orang segera memasuki rumah dengan segera. Hujan deras akan segera membungkus desa.

Suara kilatan sudah tiga kali terdengar. Hujan akan segera dan itu akan sedikit merepotkan Arif. Atap rumah ini bocor di beberapa titik sehingga Arif harus menggeser ibunya ke tepian agar tidak terkena cipratam air hujan.

Hujan pun turun dan menembus bagian atap yang bocor. Suara butiran air jatuh yang menabrak permukaan benda terdengar disana-sini. Arif memperhatikan air yang masuk lewat celah-celah atapnya. Air itu mendarat di bagian rumahnya yang berupa tanah.

Arif memperhatikannya dua menit lalu duduk memeluk lutut dengan tertunduk. Hati dan pikirannya lagi-lagi penuh dengan sesuatu yang menyakitkan. Sebagaimana hujan kali ini, mendung, dan gelap.

Arif mengingat kejadian beberapa bulan terakhir ini. Akibat cacian dan makian orang-orang melahirkan sesuatu yang mencoba masuk ke dasar hatinya. Itu perasaan yang aneh, perasaan dimana dia bangga ketika membungkam orang-orang berlidah pedang itu.

Arif berhak menuntut haknya, dia berhak melawan, masyarakat memang layak menerimanya. Tapi Arif mulai merasa apa yang dia lakukan terlalu berlebihan. Sebagaimana kejadian-kejadian yang telah lalu. Arif selalu mudah melepaskan pukulan dan tendangan hanya karena hal sepele.

Arif pun sering sekali melakukan perkelahian, bahkan kadang dia dengan bangga melakukannya seakan-akan itu hal yang mulia dilakukan. Puluhan kali Arif melakukannya, di pasar, di pusat desa, di keramaian. Di tubuhnya yang masih berusia tiga belas tahun sudah menerima lebih dari dua ratus hantaman penduduk.

Atif menutup wajah dengan telapak tangan, kecewa. Namun dalam beberapa momen, Arif sadar semua itu adalah tindakan salah. Dia melanggar janjinya sendiri, ibu maupun bapaknya pasti tidak mau melihat anak demikian.

Keduanya menitipkan doa melalui namanya. Arif, artinya bijaksana. Apakah berkelahi dan tenggelam dalam emosi itu bijaksana?

Setiap kali memikirkannya, kepala Arif terasa mau meledak.

@@@

“Keadilan dunia itu semu. Tidak ada satupun manusia yang bisa berbuat adil. Hanya Tuhan yang mampu memberikan keadilan. Dialah yang sebaik-baiknya Penakar keadilan.”

Arif membaca baik-baik catatan tua tersebut. Tertulis pada lembaran kuning yang sudah kusam dan sobek di beberapa sisi. Tulisannya pun keci-kecil sudah tidak jelas dan sulit dibaca. Biarpun begitu, Arif tetap berusaha membacanya

Itu adalah catatan lama milik Wangsa. Kumpulan lembaran-lembaran berisi ungkapan hati yang kemudian dibukukan dalam sebuah catatan kecil. Arif sudah mendapatkannya sejak dulu dari ibunya. Namun karena sulit dibaca dan banyaknya konflik dalam hidupnya, Arif memilih menutupnya. Tidak pernah terbuka lebih dari lima tahun.

Arif melanjutkan pada bait berikutnya.

“Kita tidak berhak menilai sesuatu dengan satu sudut pandang. Bahkan siapapun yang menentang ketentuan Tuhan berupa takdir sejatinya berhak menerima hukuman. Jika kau paham kalimat ini, kau akan menyadari bahwa kebahagian sejati terletak pada hati yang senantiasa bersyukur.”

Lembar itu habis di kalimat tersebut.

Arif yakin, bapaknya menitipkan nasihat-nasihatnya melalui catatan kecil ini. Dia bertekad melaksankannya sejak dua bulan lalu. Rasanya berat, sangat berat. Apalagi dengan kondisi sekarang, Arif tidak lagi seperti dulu yang memilih memaafkan.

Walau begitu, tidak ada salahnya untuk melakukannya kembali, mungkin itulah yang disebut dengan pantang menyerah atau terus bangkit. Harta warisan bapaknya hanya ini. Arif akan berusaha menjaganya dan meletakkan ke dalam hati.

Tekad itu pun benar-benar dia lakukan. Di waktu senggang, di waktu dirinya bingung ingin melakukan apa, Arif memilih membaca catatan itu. Semalas apapun dirinya, sebosan apapun dirinya dengan catatan tersebut. Arif terus berusaha memaknai dan memasukannya dalam hati.

Hari dan waktu yang terus berputar menjadi saksi atas kejadian tersebut. Di dalam rumah, di halaman, di pasaran, di hutan, di manapun. Arif terus membaca catatan itu. Enam bulan konsisten melakukan hal itu menjadikan berubaha yang berarti.

Catatan itu benar-benar membatasinya untuk berkelahi dan melampiaskan emosi. Catatan Wangsa bertindak layaknya dinding empat sisi. Ketika emosi Arif meluap, dinding-dinding itu muncul. Mengurungnya agar tidak bisa terlampiaskan. Perlahan-lahan, Arif kembali menjadi dirinya yang dulu. Semoga saja.

Di malam purnama yang tenang. Arif membawa catatan tersebut, duduk menikmatinya dihadapan Dewa Naga Bukit bersemanyam. Itu adalah daerah terbuka sehingga cahaya bulan dapat meneranginya. Purnama bersinar sangat terang seakan menyambut Arif dengan baik.

Angin malam yang dingin menggelitik tengkuknya, mengelus pipi, dan menghembuskan kebahagiaannya yang terus terpupuk dalam hati. Arif mulai bisa menikmati semua ini, sebagaimana yang dia pelajari sebelumnya. Senantiasa bersyukur.

Arif senyum-senyum sendiri di hadapan catatan kecil tersebut. Dia sedang membayangkan bapaknya yang sedang menulis ini semua. Melalui catatan tua tersebut, Arif tahu bapaknya adalah seorang pengembara. Di catatan itu tertulis banyak nama-nama yang tidak ia kenal. Nama-nama itu tertulis diakhir petuah yang mereka sampaikan.

Arif semakin tertarik dengan catatan ini, apalagi di beberapa bagian menceritakan kisah yang membangun fantasinya. Arif tercengang ketika menemukan keterangan mengenai Dewa Naga Bukit disana. Tertulis dalam sebuah syair pendek.

“Baleh saya duduk disini.” Terdengar suara dari samping. Arif menutup catatannya dan menghadap ke asal suara.

Ada lelaki tinggi besar disana, lebih tinggi dari dokter. Warna kulitnya unik, sedikit keabu-abuan. Rambutnya juga demikian, warnanya perak. Orang itu memiliki bola mata biru, sesuatu yang belum pernah Arif lihat. “Silahkan.” Arif membalas ramah. Lelaki itu pun duduk bersebelahan dengan Arif.

Arif memperhatikannya beberapa saat. Dari raut wajahnya, mungkin laki-laki ini berusia akhir dua puluhan. Dia kenakan pakaian putih dan hitam, kombinasi yang sangat mencolok, Arif merasa aneh melihatnya.

Di desannya, orang-orang cenderung memilih warna yang seragam antara baju dan celana. Coklat, hijau, biru, mayoritasnya memilih warna itu, tidak ada hitam dan putih.

Rasa aneh bertambah ketika Arif merasa orang ini biasa saja dengan kondisinya. Arif adalah manusia berambut putih, semua orang di desa tidak menyukainya. Mencapnya dapat memanggil bala. Apakah orang ini orang luar? Arif tidak tertarik memikirkan hal tersebut.

Lelaki itu punya tatapan yang teduh. Meskipun tubuhnya tinggi-besar, tidak terpancar aura mengancam darinya. “Apa yang dilakukan anak berusia tiga belas tahun di malam purnama ini.” Katanya memulai pembicaraan. Suaranya terdengar menyenangkan dan bersahabat.

Arif menoleh dengan terkejut, lelaki itu tahu umurnya. Arif tidak berniat menanyakan. Dia menjawab sekedarnya saja. “Membaca catatan dan menghilanglkan kebosanan.” Setelah itu dia kembali tenggelam dalam bacaanya.

“Hei nak, jawabanmu itu lumayan dingin.” Balas lelaki itu sambil senyum. Dia mencoba bersikap sok akrab.

“Memangnya apa catatan itu hebat. Kau nampaknya sangat menyukainya.” Lelaki itu mendekatkan kepala kepada Arif, mencoba mengintip catatan tersebut. Arif tentunya bergeser, menghindarinya. Arif menunjukkan wajah tidak suka.

“Maaf-maaf, saya hanya penasaran.” Setelah itu dia malah tertawa. Lelaki yang aneh. Suasana menjadi hening beberapa saat.

“Apa kau percaya keadilan Tuhan?” Lelaki itu membuka pemebicaraan kembali.

Demi kesopanan, Arif menanggapi walau sebenarnya dia enggan melakukannya. “Saya percaya.” Jawabnya pendek, Arif lalu tenggelam dalam bacaanya kembali.

“Jawaban dingin lagi.” Lelaki itu lantas tertawa kecil. “Kau harus lebih terbuka nak, atau orang-orang akan kesulitan mendekat padamu.” Jawaban itu menyindir Arif. Rasanya dalam dua detik amarahnya seakan terpompa kuat.

Arif menghembuskan nafas pendek, berhasil menahannya. Syukurlah. Arif kembali fokus pada bacaanya.

“Karena kau percaya, bersiaplah dengan kemungkinnan terburuk.” Ucapnya sambil menatap purnama, suaranya terdengar lebih serius. Arif tidak begitu memperhatikan. Dia masih terlalu asik membaca catatan ini yang sedang membahas mengenai Dewa Petaka, Raakala.

Ketika Arif mendongak, lelaki berambut perak itu telah menghilang. Mungkin karena keasikan membaca Arif tidak menyadari lelaki itu pergi. Arif melanjutkan bacaanya meski sudah puluhan kali khatam. Arif tidak pernah bosan membaca catatan ini. Mungkin itu kelebihannya.

Setelah matanya terasa berat, Arif beranjak pulang. Beberapa kali Arif menguap selama perjalanan pulang. Dengan disinari cahaya purnama, jalan menuju rumah terlihat lumayan jelas. Hutan dia lewati dan sempat tersandung akar pohon karena saking ngantuknya.

Dari kejauahan, Arif melihat sesuatu yang menyala-nyala di ujung sana. Sepertinya ada api. Tunggu dulu kebakaran? Arif berusaha menenangkan diri. Tiba-tiba dadanya terpacu begitu cepat, nafasnya tidak beraturan.

“Tidak, tidak, tidak mungkin.” Arif menguatkan hati sambil menggeleng-gelengkan kepala. Namun mengapa perasaan ini, atmosfer ini sangat pekat. Apa yang ada di ujung sana selain rumah tempat ibunya terbaring koma?

Terpopuler

Comments

Lee

Lee

thor maaf,,,bisa tidak jangan terlalu banyak cerita yg gak penting,,iia dibuat seru gitu jadi tidak bertele" maksudnya,,,maaf iia thorr,,dan semangatt

2021-06-05

0

Li Na

Li Na

💪💪💪💪

2020-06-12

0

PADISTRIA

PADISTRIA

KEBAKARAN WKWKWK🤙💣💥

2020-05-09

0

lihat semua
Episodes
1 01. Keajaiban
2 02. Segelas Air Keruh
3 03. Kebun Ketela
4 04 Dosa Hanah
5 05 Dimana Kepedulian Terletak?
6 06 Melati dan Jago
7 07. Bola dari Akar Kering
8 08 Raksasa Batu
9 09 Bermain Petak Umpet
10 10 Bukan Anak Terkutuk
11 11. Anak Iblis
12 12 Anak Iblis II
13 13 Anak Iblis III
14 14. Di bawah Malam Purnama
15 15. Mengabu
16 16 Keping Harapan
17 17 Manusia Rambut Puith
18 18 Menjadi Adik
19 19 Apa itu Sahabat?
20 20 Kebangkitan Dewa Langit
21 21 Kesalahan
22 22 Cara Mendapat Sahabat
23 23 Cara Mendapat Sahabat II
24 24 Cara Mendapat Sahabat III
25 25 Waktunya Terjun ke Lapangan
26 26 Sheiny
27 27 Tarian Surgawi
28 28 Kembali ke Lapangan
29 29 Aku Adalah Manusia Rambut Putih
30 30 Sesuatu Yang Harus Disyukuri
31 31 Pergi Memancing
32 32 Awal Petualangan
33 33 Siapa Pencurinya?
34 34 Selamat Datang
35 35 Persembahan
36 36 Sang Penerus
37 37 Kembali
38 38 Bunga Purnama
39 39 Anggota Ke tiga.
40 40 Kota Arkkana
41 41 Kota Arkkana II
42 42 Kota Arkkana III
43 43 Senior Tein
44 44 Kesungguhan
45 45 Kesungguhan II
46 46 Jurang Besar
47 47 Penduduk Lokal
48 48 Kecurigaan
49 49 Musuh Sebenarnya
50 50 Orang-orang yang cemas
51 51 Impian
52 52 Persiapan
53 53 Pertarungan di Wilayah Luas
54 54 Kekuatan Manusia
55 55 Sang Pembebas Melawan Si Penggenggam Matahari
56 56 Pahlawan
57 57 Pahlawan II
58 58 Pahlawan III
59 59 Kembali ke kehidupan normal ?
60 60 Sahabat Dari Masa Lalu
61 61 Seseorang yang memikat hati
62 62 Tanpa Keraguan
63 63 Pasangan Baru
64 64 Kampung Halaman
65 65 Hantu Masa Lalu
66 66 Hantu Masa Lalu II
67 67 Hantu Masa Lalu III
68 68 Campur Tangan
69 69 Tabir yang Terbuka
70 70 Menyerahkan Diri
71 71 Datangnya Sang Penghancur
72 72 Zeg Sang Iblis Putih
Episodes

Updated 72 Episodes

1
01. Keajaiban
2
02. Segelas Air Keruh
3
03. Kebun Ketela
4
04 Dosa Hanah
5
05 Dimana Kepedulian Terletak?
6
06 Melati dan Jago
7
07. Bola dari Akar Kering
8
08 Raksasa Batu
9
09 Bermain Petak Umpet
10
10 Bukan Anak Terkutuk
11
11. Anak Iblis
12
12 Anak Iblis II
13
13 Anak Iblis III
14
14. Di bawah Malam Purnama
15
15. Mengabu
16
16 Keping Harapan
17
17 Manusia Rambut Puith
18
18 Menjadi Adik
19
19 Apa itu Sahabat?
20
20 Kebangkitan Dewa Langit
21
21 Kesalahan
22
22 Cara Mendapat Sahabat
23
23 Cara Mendapat Sahabat II
24
24 Cara Mendapat Sahabat III
25
25 Waktunya Terjun ke Lapangan
26
26 Sheiny
27
27 Tarian Surgawi
28
28 Kembali ke Lapangan
29
29 Aku Adalah Manusia Rambut Putih
30
30 Sesuatu Yang Harus Disyukuri
31
31 Pergi Memancing
32
32 Awal Petualangan
33
33 Siapa Pencurinya?
34
34 Selamat Datang
35
35 Persembahan
36
36 Sang Penerus
37
37 Kembali
38
38 Bunga Purnama
39
39 Anggota Ke tiga.
40
40 Kota Arkkana
41
41 Kota Arkkana II
42
42 Kota Arkkana III
43
43 Senior Tein
44
44 Kesungguhan
45
45 Kesungguhan II
46
46 Jurang Besar
47
47 Penduduk Lokal
48
48 Kecurigaan
49
49 Musuh Sebenarnya
50
50 Orang-orang yang cemas
51
51 Impian
52
52 Persiapan
53
53 Pertarungan di Wilayah Luas
54
54 Kekuatan Manusia
55
55 Sang Pembebas Melawan Si Penggenggam Matahari
56
56 Pahlawan
57
57 Pahlawan II
58
58 Pahlawan III
59
59 Kembali ke kehidupan normal ?
60
60 Sahabat Dari Masa Lalu
61
61 Seseorang yang memikat hati
62
62 Tanpa Keraguan
63
63 Pasangan Baru
64
64 Kampung Halaman
65
65 Hantu Masa Lalu
66
66 Hantu Masa Lalu II
67
67 Hantu Masa Lalu III
68
68 Campur Tangan
69
69 Tabir yang Terbuka
70
70 Menyerahkan Diri
71
71 Datangnya Sang Penghancur
72
72 Zeg Sang Iblis Putih

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!