Dari tempat Arif bersembunyi, terdengar teriakan-teriakan mengerikan. Awalnya Arif ingin dalam permainan, namun rasa penasarannya lebih besar. Arif mengikuti kata hatinya, memeriksa.
Betapa terkejutnya dia dengan pemandangan di hadapannya. Di tengah hutan seperti ini terlihat Bibi Nilam yang memohon ampun dengan kepala tertuntuk. Sementara di dekatnya ada lelaki kejam yang sejak awal mehantarkan pukulan demi pukulan dan tendangan ke tubuh Bibi Nilam.
Bibi Nilam tidak bisa berkutit, tubuhnya penuh luka dan penuh sakit. Tubuh Bibi Nilam terguling di tanah, kemudian lelaki itu mulai menendang-nendangnya kembali. Bibi Nilam hanya mampu bertahan dengan melindungi kepala dan wajah dengan dua lengan. Sementara bagian tubuh lain menjadi sasaran empuk tendangan itu.
Lengan Bibi Nilam berdarah, sebagian wajahnya membiru, debu, keringat, dan darah menyatu di permukaan kulitnya. Itu pemadandangan mengerikan. Aksinya tetap berlanjuta meskipun Bibi Nilam berkali-kali memohon ampun, bahkan hampir dia sujud dihadapan lelaki tidak tahu diri tersebut.
Kini wajah Bibi Nilam menyatu dengan tanah, sementara kaki laki-laki itu menginjak punggungnya sebagaimana menginjak serangga. Wajah laki-laki itu memancarkan benci yang pekat. Pandangan matanya seakan bisa menghardik Bibi Nilam. Sejak awal dia terus melontarkan kata-kata yang tidak pantas dan tidak sedikitpun mempedulikan kata-kata belahan hatinya.
Benar sekali, laki-laki itu adalah suami Bibi Nilam dan namanya Wanna.
Arif berdiri di tempatnya dengan gemetaran. Matanya sedikitpun tidak bisa berkedip, sementara nafasnya menjadi berat seakan bisa merasakan apa yanga Bibi Nilam rasakan. Ketakutan megigit ubun-ubunnya. Kaki dan tangannya telah kehilangan tenaga namun hatinya berteriak untuk menolong Bibi Nilam.
Bibi Nilam adalah salah satu orang terdekatnya. Bibi Nilam yang mengajarinya banyak hal setelah ibunya. Bisa dikatakan Bibi Nilam adalah ibu kedua baginya, maka sudah sepantasnya seorang anak untuk melindungi ibunya.
Arif maju dengan langkah mantap, semua takut dan gugup dia tahan sekuat mungkin. Dia hentikan pukulan kesekian kali lelaki tersebut kepada Bibi Nilam. Wajah Arif memerah, marah. Arif menatap tajam kearah lelaki tersebut, matanya seakan berubah menjadi mata harimau.
“Jangan sakiti Bibi Nilam!” Teriak Arif sekancang mungkin. Itu teriakan paling keras seumur hidupnya. Tenggorokannya langsung terasa sakit. Genggaman Arif lantas membuang pergelangan tangan lelaki itu. Dari tatapan becinya, jelas sekali.
“Apa-apaan denganmu bocah terkutuk!” Balas lelaki itu dan dilanjutkan mendengus kesal. Sorotnya matanya menusuk keberanian Arif. Nada suaranya seperti seorang pembunuh. Arif sempat gentar tapi memaksakan diri melawan.
“Bibi Nilam adalah ibuku. Jangan sakiti beliau!” Teriak Arif lagi. Kali ini tangannya terbentang seakan membuat dinding antara lelaki tesebut dan Bibi Nilam. Dari balik tubuh Arif, Bibi Nilam melihat dengan takjub anak yang pernah dia besarkan. Bibi Nilam tidak bisa berkedip menyaksikan punggungnya yang gagah.
Kedua pandangan mata benci beradu, saling bertubrukan. Beberapa saat lelaki di depannya menjadi diam. Kata-kata Arif sangat membekas di jiwanya, tidak ada yang menyangkan anak yang dua tahun lalu menjadi bulan-bulan penduduk karena rambut putihnya kini berdiri gagah berani dihadapan lelaki desa paling beringas.
Sejenak Wanna terlihat mengambil nafas. Dia memikirkan sesuatu dan langsung tersenyum licik. Wanna lantas memanggil istrinya dengan berteriak, Bibi Nilam mendekat meskipun dengan lankah gontai, kenapa? Arfi terheran.
Arif mencegahnya, tapi Bibi Nilam lebih memilih mendekat pada suaminya. Di sampingnya Bibi Nilam lantas di bisiki beberapa patah yang membuat matanya terbelalak.
Bibi Nilam tertunduk, dia kebingungan harus memilih yang mana. Dua-duanya buruk, namun pasti salah satu lebih baik dari yang lain meski sedikit. Sementera itu Arif kian merasa khawatir dengan kondisi ini. Dia merasa angin kekalahannya berhembus.
“Nilam katakan yang sebenarnya pada anak terkutuk.” Ucap Wanna tegas sambil menyilangkan kedua lengan di depan dada. Laki-laki itu lantas membusungkan dada, menunjukkan posisinya yang lebih tinggi. Sombong.
Bibi Nilam menggigit bibir kemudian tertunduk. Lidahnya kelu. Kalimat berkali-kali tertahan di tenggorokan. Sebagian dirinya tidak mengijinkan kalimat itu keluar. Namun itu perlu dilakukan demi_
“Arif.” Ucap Bibi Nilam dengan lirih.
Arif mendekatkan wajah dan telingnya. Senyumnya menyambut Bibi Nilam. “Ya.”
“Dasar anak laknat!”
Arif tersentak kuat kebelakang seakan-akan ada tinju super besar yang menghantamnya. Arif sampai terjungkal kebelakang saking kagetnya. Mentalnya mendadak jatuh ketitik nol. Arif tidak pernah menyangka Bibi Nilam tega mengucapkan tiga kata mengerikan tersebut.
“Rambutmu putih, itu mengerikan! Sumber segala petaka dan kesialan. Anak sepertimu tidak layak untuk dilahirkan!” Tambah Bibi Nilam lagi. Kalimatnya lebih keras dan lebih menyakitkan. Arif sempurna kehilangan fondasi mentalnya.
“Cukup Nilam.” Wanna lantas melangkah, mendekat kepada Arif. “Sudah dengar bukan? Kau tidak pantas dilahirkan.” Dia memberikan penekanan pada kata dilahirkan sambil menendorong dahi Arif dengan telunjuknya. Di belakang suaminya, Bibi Nilam semkain bersedih hati. Dia merasa baru saja melakukan dosa paling besar.
“Kau anak laknat, terkutuk, kelahiranmu adalah pertanda mengerikan.” Dia menambahkan. Arif tertunduk menekuk lutut. Tidak ada kekuatan untuk melawan. Dalam kondisi sekarang, Arif pun meragukan bisa mengepalkan jemarinya. Arif tidak mendapat luka fisik, tapi hatinya terkoyak begitu dalam. Sebuah luka yang tidak akan pernah tersembuhkan.
Umpatan jahat dan keji pun meluncur. Datang kepada Arif layaknya air bah. Rasa-rasanya hidup tidak lagi bermakna.
“Ibumu, dia pun sama denganmu. Manusia terkutuk, pembawa bala.” Mendadak kekuatan misterius serasa tersuntik dalam diri Arif. Ketika ibunya disebut, ketika ibunya dihina. Arif merasa tidak bisa diam. Urat-urat di dahinya semakin timbul.
“Kelahiranmulah yang menyebabkan Wangsa, lelaki paling dihormati di desa meninggal. Apa salah Wangsa, sampai kau tega membunuhnya, membunuh darah dagingmu sendiri, Arif.” Rasanya seperti meledak, dia gelap mata dan siap menyerang siapapun.
“Kau dan ibumu seharusnya tidak pernah ada dalam kehidupan ini.” Wanna meneriakkanya di sebalang telinga Arif.
Ucapanannya benar-benar kelewatan. Arif menggertakkan giginya, dia mendesis seperti ular. Wanna baru saja menginjak ranjau.
“Dan_” Baru keluar satu kata, Arif mengirimkan hantaman kebenci kearah wajah lelaki kurang ajar tersebut. Wanna tidak pernah menyadariArif berniat melepaskan pukulan. Tidak ada keberanian dalam bocah itu, begitu pikirnya. Di lain sisi, terasa hawa membunuh yang sangat kental.
Wanna bisa merasakan detik-detik mautnya datang. Mengerikan. Saking takutnya, dia sampai tidak bisa berteriak lagi. Tubuhnya mematung di tempat. Keringat mengguyur tubuh.
Pukulan Arif mendadak terhenti tepat di depan wajah Wanna yang pucat pasi. Arif teringat janjinya untuk tidak melakukan kekerasan apapun yang terjadi. Pukulan Arif lantas melemas dan layu. Wajahnya terbungkus penuh rasa bersalah.
Suasana lenggang beberapa. Wanna berusaha mencerna situasi.
“Hahaha.” Wanna tertawa lepas. “Akhirnya kau menyadarinya bukan, anak terkutuk.” Kalimat itu dibisikkan dalam telinganya. Rasanya sangat menyakitkan. Arif merasa kematian jauh lebih baik dari semua ini.
Semua penduduk, bahkan Bibi Nilam tidak pernah mengakuinya sebagai manusia. Apakah semua kebahagiaan yang ia berikan adalah kebohongan? Waktu yang dia habiskan bersama Arif adalah kepalsuan? Arif tidak tahu, yang pasti baginya Bibi Nilam adalah orang yang benar-benar jahat.
“Hentikan.” Seketika semua wajah menoleh ke sumber suara tersebut. Dokter Jago berdiri gagah.
“Kata-katamu sudah kelewatan tuan. Tidak sepantasnya anda mengucapkan itu semua apalagi pada anak yang baru sembilan tahun.” Arif merasa matanya berair. Pahlawannya datang tepat waktu.
Wanna lantas mendekat pada lelaki tinggi tersebut, dengan langkah marah.“Kua mau protes hah! Tanyakan saja pada semua orang, apa yang kukatan pasti sama dengan apa yang mereka katakan pada anak terkutuk itu.” Telunjuk kembali menunjuk Arif.
“Berhenti mengatai Arif anak terkutuk. Dia jelas lebih baik daripada dirimu.” Dokter Jago menatap tajam pada lawan bicaranya. Dia menggati kata tuan.
“Dia melintasi semua persakitan dan tetap menjadi anak yang baik hingga detik ini. Bukan seperti dirimu yang tergila-gila untuk mencaci hanya karena disebabkan rambut putih tersebut. Gunakanlah nuranimu untuk bicara” Dokter Jago melakukan pembelaan terhadap anak asuhnya. Dari kejauhan Melati terkagum-kagum dengan aksi heroik Dokter Jago.
“Memang kau tidak tahu dengan petaka manusia rambut putih? Anak itu dan ibunya bisa menimbulkan bencana besar. Sudah ada orang meninggal disebabkan petaka yang mereka bawa!” Balasnya dengan mengeraskan suara. Wanna mulai kelelahan.
“Aku tidak percaya hal-hal semacam itu dan_” Kalimat Dokter Jago dipotong.
“Oh aku tahu kau. Kau adalah orang yang sering berkunjung ke rumah anak terkutuk itu kan. Semua orang desa membicarakanmu, kau itu terkenal sekali karena bisa bebas dari kutukan yang dibawa bocah itu.” Kata Wanna melunakkan nada bicaranya.
“Kutegaskan lagi, jangan pernah dekati anak terkutuk itu.” Wanna melanjutkan. Suaranya kini terdengar kelam dan jahat. Raut wajahnya mengintimidasi total.
“Aku tidak akan pernah melakukannya. Sebesar apapuu perlawanan yang kalian berikan, aku akan tetap berada disamping Arif.” Dokter Jago menatap tajam padanya, membuat gentar dan bulu kuduk meremang.
Wanna merasa terpojok. Keringatnya mengalir dari dahi, leher, dan punggung, semakin deras. Berdebatan ini mulai terasa berat sebalah. Entah mengapa kalimat terakhir Dokter Jago terasa menusuk kuat dalam dada. Apalagi dengan sorot matanya, mengerikan.
“Dasar kau!” Wanna kembali melawan. Segenap kebenciaan tumpah.
“Arif adalah anak ter_” Kalimatnya kini yang terpotong. Lidah Wanna membeku. Tubuhnya bergetar hebat. Ketakutan.
“Berhentilah menghina anak ini dengan sebutan yang tidak-tidak.” Ucap Dokter Jago. Bersama dengan keluarnya kalimat itu, Dokter Jago melepaskan pukulan yang mengenai udara kosong di samping wajah Wanna.
Pukula itu mengenai udara kosong, tapi pipi Wanna berdarah seperti terkan mata pisau. Darah segar pun keluar perlahann dari luka sayat tersebut. Wanna bertekuk lutut. Dia sempurna tutup mulut, tidak akan melanjutkan perdebatan ini.
Dokter Jago lantas menghadap Arif dan menggandeng tangannya yang masih gemetaran karena semua ini.
“Mari pulang.” Tawar Dokter Jago dengan ramah. Senyum itu kembali ke tempatnya, senyum yang selalu bisa menenangkan hati Arif.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 72 Episodes
Comments
Li Na
like
2020-06-12
0
PADISTRIA
NExt
2020-05-09
0