Hanah mendekat kearah putranya.
Cahaya mentari semakin terang, menembus hutan ini, dan mencipatkan garis cahaya yang menawan. Seruan para penghuni hutan menjadi suara latar, suaranya bersahut-sahutan memberitahu akan kedatangan Hanah, dan pepohonan tinggi berdaun lebat yang berbaris seakan menyambut kedatangannya.
Pakaiannya indah warna-warni dengan corak yang belum pernah terlihat. Rambut putihnya diikat rapi dan ditata membundar. Sinar terang menyelimuti setiap langkah Hanah. Apabila tangannya diangkat, sinar itu akan menyebar, apabila tangannya diturunkan, sinar itu akan berkumpul. Pemandangan yang sulit digambaran oleh kata-kata.
Dibelakang Hanah berbaris orang-orang lain yang juga berambut putih. Busana yang mereka kenakan sebagaimana Hana. Semua orang itu menggunakan terompah sebagai alas kaki, beberapa ada yang menggenakan gelang perak, kalung berkilauan, atau anting-anting yang indah.
Tampang mereka berbeda-beda. Ada yang bermata lebar, berdahi lebar. Ada juga yang memiliki mata sipit dan lesung pipi. Warna kulit mereka juga beragam. Gelap, putih, terang, dan banyak lagi. Satu sama lain saling memasang senyum, menambah indah momen ini.
Arif yang masih terduduk di tempat belum bisa mencerna semua ini. Satu hal yang dia tahu adalah, mereka semua adalah keturunan mansuia rambut putih. Sebenarnya apa yang sedang terjadi?
Setelah cukup dekat dengan Arif, Hanah merendahkan tubuhnya. Hanah duduk bersimpuh dan menghadap putra semata wayagnya. Arif menahan nafas, pipinya sudah basah oleh air mata tanpa sepatah kata pun keluar. Ada perasaan baru yang mencoba mengisi lubang di dasar hatinya.
“Arif.” Ucap Hanah lembut. Dia usapkan ibu jari ke air mata Arif. Lembut sekali.
Arif tidak bisa menahannya lagi. Perasaan yang bergejolak ini. Arif segera melompat ke depan, mengabaikan segenap rasa sakitnya, dan mendarat di pelukan ibunya. “Ibu, Ibu, Ibu_” Arif terus menerus menyebut namanya diselingi air mata.
Tubuh Arif kemudian ikut terbalut dengan cahaya terang. Rasanya nyaman dan hangat, namun itu tidak akan pernah bisa menandingi hangat dan nyamannya pelukan seorang ibu.
“Ibu jangan pergi, Arif tidak mau Ibu pergi. Arif nanti sendirian, Arif tidak mau sendirian.” Tambahnya dengan suara yang sulit dipahami. Antara kalimat dan air matanya saling teraduk.
Hanah sedikit menundukkan kepala, mengelus ubun-ubun putranya dan membisikkan banyak kata-kata yang membesarkan hatinya. Arif semakin tersedu-sedu.
Enam tahun dirinya kehilangan sosok ibu. Arif sangat rindu akan suaranya, kebiasaanya, nasihatnya, usapannya, pelukannya, juga bermain bersamanya. Segenap perasaan rindu itu tumpah kali ini. Dihadapan ibunya, Arif mengeluarkan semuanya.
Orang-orang berambut putih di belakang Hanah mulai mendekat. Mereka mengelilingi Hanah dan putranya. Arif yang masih memenuhi rindunya tidak menyadari hal itu. Dia baru sadar ketika ada sesuatu yang menyentuh punggungnya.
Arif menoleh kesekitar.
Semua orang memeluknya, saling memeluk satu sama lain seakan tiada mau membiarkan satu kejahatan pun mengenai Arif. “Mereka adalah keluargamu juga Arif.” Hanah kembali berucap.
“Mereka tidak mau kau menderita. Mereka pun sama, selalu mendapat caci maki bahkan beberapa memiliki nasib yang lebuh buruk dari kita Arif. Tapi apa yang paling penting dari itu, rasa sakit mendewasakan kita dan mengajari untuk tidak perah menyerah. Karena itu Arif, Ibu berpesan untuk jangan berputus asa dalam hidup. Jangan sampai kegelapan hati membuat salah dalam mengambil jalan.”
Seakan ada perasaan berbeda yang menelisik kedalam hatinya. Seperti angin yang menghempas seluruh beban. Ini adalah saat-saat paling indah dalam hidup.
Orang-orang itu lalu berdiri, mereka menundukkan kepala kepada Arif dan Hanah, lantas tanpa mengucapkan sepatah kata, mereka kembali ke posisi masing-masing.
“Arif, Ibu minta maaf karena selama hidup tidak bisa menjadi ibu yang baik. Ibu minta maaf karena belum menjelaskan apa-apa, bahkan ibu pergi tanpa mengucapkan kata perpisahan. Ibu juga minta maaf karena tidak bisa memeuhi janji dan membuat masa anak-anak yang normal untuk Arif.” Ucapan Hanah terdengar sangat emosional. Siapapun yang menatap wajahnya pasti tahu Hanah sedang menahan air matanya.
Semenjak kecil, Hanah tidak pernah menceritakan apa-apa mengenai manusia rambut putih. Hanah melakukannya dengan tujuan agar Arif bisa menganggap dirinya normal layaknya manusia lainnya. Hanah tidak ingin membuat Arif menganggap dirinya aneh atau yang senada karena berasal dari keturunan manusia rambut putih.
Namun, kali ini dirinya merasa berdosa karena tidak pernah menjelaskan apapun, sebagaimana ibu yang tidak mau mengajari putranya baca tulis.
Arif menggeleng, kemudian tersenyum lebar. “Tidak Ibu. Arif sangat bersyukur. Ibu adalah ibu terbaik Arif.”
Hanah mengusap matanya, air matanya kian tak tertahankan mendengar jawaban putranya.
“Arif, berikan tangan kananmu.” Arif menjulurkan tangan kanannya. Di atas telapak tangan yang terbuka itu, ibu meletakkan benda yang memancarkan cahaya. Ketika benda itu sampai ke tangan Arif, cahayanya terserap masuk, memperlihatkan benda layaknya kerikil dengan bentuk artistik.
“Ini adalah Keping Harapan. Dalam keluarga kita, setiap anak mewarisi Keping Harapan dari orang tuanya. Dalam benda inilah tersimpan harapan-harapan ibu dan semua keluarga kita. Lewat benda ini kita saling terhubung, Arif. Jadi Arif tidak akan sendirian.” Hanah menjelaskan dan Arif menatap benda itu dengan mata berbinar. Kagum.
Ibu segera bangkit “Ibu ingin kemana?” Arif bertanya. Dia mulai berfirasat tidak baik.
“Tempat Ibu tidak lagi disini, Ibu harus melanjutkan perjalanan bersama yang lain.” Hanah berbalik dan berkumpul bersama yang lain. Perjalanan menuju alam berikutnya masih panjang.
Mendengar hal itu, kepala Arif sedikit tertunduk. sedih. Paham yang dilakukannya salah, Arif segera menggeleng dan membuang perasaan ini jauh-jauh.
“Ibu!” Semua wajah seketika menghadap sumber suara dengan terkejut.
Arif berusaha mati-matian berdiri. Kakinya seakan berdenyut-denyut menahan sakit yang menjalar cepat. Arif ingin menunjukkan, membuktikan diri dihadapan keluarga besarnya.
“Ibu, apakah Arif sudah menjadi anak yang baik?” Air matanya jatuh di alas hutan. Merelakan kepergian ibu tidaklah pernah mudah.
Hanah dan semua orang di belakangnya tersenyum lebar kearah Arif.
“Arif sudah melakukan yang terbaik. Arif adalah putra kebanggaan ibu.”
Jawaban itu masuk ke hati terdalam. Sebab sakit yang semakin menjelas, Arif terjatuh menekuk lutut. Dia berusaha tetap kokoh dalam posisi demikian.
“Arif berjanji, akan menjadi anak yang membanggakan ibu. Hari ini dan seterusnya.” Ucap Arif berteriak. Dia lantas menutup kedua mata dengan telapak tangan. Telapak tangannya pun langsung basah dengan air mata. Kesedihan dan kebahagiaan ini begitu mendalam.
Hanah dan semua yang disana berbalik, melangkah menjauh. Bersama dengan itu, cahaya yang menyelimuti diri mereka semakin terang dan terang. Kemudian memudar dengan sebuah ledakan cahaya yang sangat menyilaukan.
Gigi Arif bergetar. Entah sekarang waktunya bersyukur atau bersedih. Arif merogoh sakunya dengan tangan kiri, mengeluarkan catatan milik Wangsa, bapaknya.
Arif lantas menatap kedua warisan orang tuanya tersebut. Setiap kali memperhatikan kedua benda tersebut, Arif merasa bisa melihat senyum bapak-ibunya disana.
Arif menengadah ke langit. Berusaha menyambut takdir yang Tuhan turunkan dengan senyum.
“Terimakasih Bapak-Ibu”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 72 Episodes
Comments
Mutiara Yulizar
mengandung bawang kalo dihayati bacanyaa
2021-05-19
1
Maulana Malik Ibrahim
🤧
2021-05-16
0
Li Na
jejak
2020-06-12
0