“Jangan salah sangka Arif. Itu adalah ibuku. Bukan manusia rambut putih.”Arif menoleh kearah Haz begitu mendengarnya. Dalam tatapan Arif terdapat banyak pertanyaan, juga perasaan sedih karena sosok wanita itu berbeda dengannya.
“Saat manusia tua, maka rambut akan beruban atau memutih. Itu hal normal. Dalam fase hidup manusia, itu adalah peringatan bahwa umur sebentar lagi akan habis.” Arif menyimak perkataan Haz baik-baik. Ini yang belum pernah dia dengar.
“Berubahnya rambut menjadi putih diikuti dengan tubuh yang menjadi lemah, sering sakit-sakitan, dan hidup yang tidak lagi mengenakan. Kata orang-orang bijak ketika rambut sudah beruban, maka waktunya untuk meninggalkan kenikmatan dunia dan mendekatkan diri kepada-Nya.” Arif mengangguk paham.
“Ingin menyapa ibuku? Silahkan saja. Ibu orang yang menyenangkan.” Arif kembali mengangguk, dia masih sangat kaku. Arif melangkah mendahului Haz, menuju bangku kayu panjang tempat wanita paruh baya itu duduk.
Arif berpikir mungkin akan lebih mudah saling mengenal jika rambut sama-sama putih meski dalam artian berbeda. Sejatinya Arif pun enggan melakukan ini, sebagian hatinya bertariak tidak dan sebagian yang lain berteriak ya.
“Permisi, boleh saya duduk disini.” Nada suara Arif sangat kaku, baru belajar menyesuaikan. Itu pun perlu paksaan dari dalam dirinya. Bayangan penduduk yang membuangnya seketika nampak di kepala.
Arif menelan ludah, harus dilawan. Meski gentar, harus tetap di coba. Ini kesempatan bagus untuk melatih diri. Arif sudah berjanji untuk menjadi anak yang membanggakan ibunya, karena itu dia bertekad belajar untuk mengatasi kelemahan dirinya.
Wanita paruh baya menghadapkan wajah kepada Arif. Wajahnya mulai keriput, kulit sedikit gelap. Wanita paruh baya itu memperhatikan Arif dari ujung kaki sampai ujung kepala, sesuatu yang membuatnya sedikit gugup. Tatapannya seperti sedang memikirkan sesuatu.
Tanpa aba-aba, wanita paruh baya itu menyungging senyum. “Boleh, mari duduk sebelah nenek.” Arif segera mengambil tempat duduk di sebelah nenek tersebut.
“Siapa nama adik?” Tanya beliau suaranya lembut dan halus.
“Arif.” Jawab Arif pendek. Di kepalanya dia masih mencari topik pembicaraan yang baik.
“Arif ya. Umur Arif berapa tahun?”
“Tiga belas.”
Sinar mentari semakin redup, berubah jingga kemerahan di langit. Surya sebentar lagi turun ke peraduannya.Dalam naungan ranting dan dedauan, cahaya jatuh dengan anggun di halaman belakang rumah Haz, menyisakan pemadanngan yang indah.
“Bisa ceritakan pengalaman Arif yang paling menyenangkan? Nenek ingin dengar.” Tanya beliau lagi. Jujur saja untuk menjawab pertanyaan ini cukup sulit bagi Arif. Dia hampir-hampir tidak punya masa anak-anak yang menyenangkan.
“Ketika bermain bersama ibu.”Arif menjawab apa yang terbesit dalam benaknya.
“Kalau makanan kesukaan?” Tanya beliau lagi. Pertanyaan ini lebih sulit. Makanan kesukaan? Arif hanya tahu rasa ketela kukus. Selebihnya samar-samar. Ikan bakar yang tadi pagi dia makan bersama Haz pun terlupa rasanya.
Arif masih memikirkan jawabannya.
Terlepas dari semua pertanyaan tersebut, Arif merasakan sesuatu yang berbeda terpancar dari nenek ini. Arif tidak merasa terancam di dekat beliau. Ini bukan menyangkut umur atau fisik Ibu Haz yang sudah senja, lebih kepada Arif menanggapi semua itu dan cara Ibu Haz mengajaknya berbincang. Auranya bahkan sangat berbeda dari pada saat Arif bertemu dengan Haz pertama kali.
Ibu Haz juga tidak sekalipun menanyakan perihal rambut putihnya. Arif tidak habis pikir mengapa beliau tidak menanyakannya. Apa karena rambut kami sama-sama putih? Atau Ibu Haz tidak peduli dengan perbedaan semacam ini, yang pasti hal itu membuat Arif senang. Beliau adalah yang pertama tidak menyinggung Arif perihal rambut putihnya dalam percakapan.
“Roti dan teh buatan Haz.” Jawab Arif sekenanya. Menurutnya itulah makanan paling enak yang pernah dia cicipi.
“Nenek juga suka keduanya. Haz itu pintar memasak loh.” Ibu Haz tertawa kecil. Memperhatikannya beliau senang, membuahkan senyum kecil di wajah Arif. Sekelabat perasaan misterius memenuhi hatinya. Ini perasaan yang sama ketika dirinya mendapat uluran tangan dari Dokter Jago.
“Nek, apa nenek suka tanaman?” Akhirnya keluar juga.
Ibu Haz lantas memandang depan. Matanya melirik semua bunga-bunga yang dia tanam dalam pot tanah liat. Warna-warni kelopaknya, disusun secara indah dengan memperhatikan bentuk dan ukuran. Halaman belakang ramai oleh bunga-bunga.
“Suka sekali. Nenek mengerjakan ini semua dari kecil dulu.” Nenek tersenyum, beliau terlihat senang berbagi pengalaman.
Angin sore berhembus ringan. Lewat diantara keduanya dan membumbung tinggi ke langit, mengugurkan beberapa helai daun tua di pucuk pohon. Bersama datangnya angin lembut itu, meluncurlah pernyataan yang membuat hati Arif mekar.
“Rambut putih Arif, nenek suka.” Dalam beberapa detik tubuh Arif mematung. Baru saja Ibu Haz menyinggung perihal rambutnya, namun entah mengapa malah perasaan senang yang mengisi dada. Berbeda dengan pengalaman terdahulu dimana rasanya selalu berat jika orang terdekat sekalipun menyinggung perihal rambut putihnya. Hanya Hanah yang boleh menyinggung persoalan tersebut.
“Nenek jadi merasa punya teman bicara seumuran.” Beliau tertawa kembali, lebih renyah. Lengan Ibu Haz terulur dan menarik Arif mendekat. Arif terkejut dengan serangan tiba-tiba ini. Kepala Arif menempel pada lengan atas Ibu Haz.
“Apakah Arif punya sahabat?” Pertanyaa berikutnya meluncur dan kali ini rasanya menusuk.
Arif menatap Ibu Haz satu detik. Wajah beliau sedang menunggu jawabannya. Sebenarnya Arif tidak tahu bagaimana menjawab pertanyaan ini.
“Apa itu sahabat?” Arif yang reflek menanyakan itu cepat-cepat menutup mulut. Ibu Haz hanya tersenyum menyaksikan tingkah Arif. Pastinya dia mendengar dengan jelas pertanyaan Arif. Ibu Haz sudah berumur, beliau tahu jelas mental anak yang jauh dari masa-masa menyenangkan.
“Orang yang selalu ada untuk kita, menerima kita, membenarkan kita. Bisa kau teruskan Arif?”
“Orang yang baik?” Arif sedikit ragu menjawab. Ibu Haz mengangguk, membenarkan.
Arif teringat dulu ketika masih bersama Dokter Jago dan Melati. “Orang yang menemai bermain?” Ibu Haz mengangguk lagi.
“Orang yang menyembuhkan orang sakit?”
“Itu profesi, Arif. Tapi bisa juga.”
Arif berpikir kembali. Tanpa ia sadari kata demi kata mengalir mudah seakan Ibu Haz bukan lagi orang asing di matanya.
“Orang yang menyayangi kita.” Arif membayangkan ibunya. Jika sahabat adalah orang baik, maka ibunya termasuk sahabatnya bukan?
Ibu Haz memasang senyum lebar padanya. “Benar, Arif. Siapapun bisa menjadi sahabat, bahkan musuh sekalipun.”
“Musuh?” Arif makin tertarik topik pembicaraan ini. Tidak jelas arahnya, namun punya magnet yang kuat untuknya.
“Benar, musuh. Sebab musuhlah yang paling paham kelemahan kita. Dialah yang paling banyak memikirkan bagaimana cara mengalahkan kita yang kemudian membuat kita menjadi lebih berkembang. Sesuatu yang unik.”
Arif terpana dengan pendapat Ibu Haz, itu membuka wawasan baru dalam kepalanya. Arif seketika memikirkan banyak hal. Apa itu sahabat? Itulah topiknya yang jawabannya mengakar kemana-mana. Kepala Arif serasa terbuka lebar, rasanya menakjubkan.
Berbicara soal sahabat membuahkan pertanyaan baru dalam benaknya.
“Apakah aku akan punya banyak sahabat?” Bukannya tersenyum senang, pertanyaan itu menyakiti hatinya. Luka lama kembali terbuka, membawa sekelebat ingatan yang terkadang membuat Arif merasa tidak seharusnya dilahirkan. Topik ini berubah sangat emosioanl untuknya.
Arif tertunduk sambil memegangi kepalanya yang terasa sangat berat. “Lepaskanlah beban itu, Arif.” Ibu Haz menyentuh pundak Arif dengan lembut, mengingatkannya pada sentuhan Hanah, ibunya. Arif menoleh padanya dengan mata berkaca, Arif melihat bayangan ibunya dalam diri Ibu Haz.
“Mulai sekarang, kau tidak perlu menanggung semua itu sendirian Arif. Jika ada masalah bicaralah. Kami bersedia memikul beban bersamamu.” Jawab Ibu Haz. Kalimatnya keren sekali dan membuat Arif terisak. Dia mengelap matanya dengan lengan.
“Bo....leh....Arif_” Kalimat Arif tergagap, sulit baginya untuk mengutarakan keinginan pribadi. Belum selesai kalimat Arif, Ibu Haz merentangkan tangannya seraya berkata. “Pastinya boleh Arif.”
Tanpa menunggu, Arif seketika turun dalam pelukan Ibu Haz. Nyaman sekali rasanya. Sosok beliau benar-benar mengingatkannya pada Hanah, bahkan dalam pertemuan pertama ini Arif sudah menganggap Ibu Haz adalah ibunya sendiri.
Dari kejauhan, Haz melihat semua adegan itu. Ibunya memang luar biasa. Beliau yang paling paham bagaimana cara menghibur anak-anak. Haz berbalik dan melangkah menuju lantai dua, tempat kerjanya.
Disana tergantung banyak dedaunan lebar, akar-akar kering, ranting-ranting berbentuk unik. Di pojok ruang ada sekarung penuh biji-bijian berwarna hitam kebiruan. Haz mengambil beberapa buah biji-bijian tersebut.
Dia membuka catatan yang berada di meja kerjanya. Tangannya kemudian meraih selembar daun berbentuk menjari dan segelas air, semua itu diletakan di atas meja. Haz memperhatikan catatannya lagi, membuka lembaran demi lembaran, membaca satu lembaran dan beralih ke lembaran lain.
Mulai hari ini dan seterusnya ada pekerjaan yang harus dia selesaikan secepatnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 72 Episodes
Comments
PADISTRIA
eh, lanjot nante
2020-05-10
0
PADISTRIA
n3xt
2020-05-10
0