Airf memukul lelaki itu dengan brutal. Amarahnya yang memuncak-muncak tersampaikan di setiap pukulannya. Arif mendengus, pukulannya semakin cepat dan kuat. Emosi yang tak terkendali telah membutakan hati.
Namun, Arif salah memilih lawan. Lelaki yang dijadikan pelampiasan amarah ternyata tidak diam saja. Setelah menangkis ketujuh tinju Arif, jemari lelaki itu berhasil mencengkram pergelangan tangan kiri Arif. Arif sangat terkejut. Belum selesai dengan keterkejutannya, lelaki itu memutar tubuh sembilan puluh derajat sampai wajahnya bertemu tanah.
Arif berteriak-teriak, meraung mengerikan sebagaimana makhluk buas yang masuk perangkap. Lelaki itu tetap tenang dan meluncurkan pukulan ke titik vital yang membuat Arif kehilangan kesadarannya. Pingsan.
Lelaki itu lantas memindahkan Arif kesisi ibunya yang belum juga membuka mata. Beberapa saat matanya menatap anak berusia tujuh tahun dihadapannya. Memiliki rambut putih dan luka terbakar di lehernya. Itu tanda lahir Arif.
Lelaki itu bisa membayangkan dunia yang dihadapi anak ini. Dunia yang penuh batasan dan persakitan, anak ini tidak tumbuh seperti anak kebanyakan, membuat perkembangan emosinya tidak stabil.
“Itu tadi mengagumkan. Darimana dokter belajar itu.” Tanya perempuan yang sebelumnya histeris dengan reaksi Arif yang keluar kontrol.
“Terimakasih, aku mempelajarinya dari orang tuaku.” Jawabnya. Lelaki itu lantas meraih kotak kayu miliknya yang berada di sudut ruang, mengeluarkan beberapa barang dari dalamnya.
“Apa dokter belum selesai?” Tanya perempuan itu lagi. Dia mendekat pada si lelaki yang sibuk meracik sesuatu.
Dari dekat, lelaki itu lebih mudah dikenali. Umurnya sekitar lima puluh tahunan. Tubuhnya besar dan kekar, kulitnya sedikit gelap, dengan banyak guratan di wajahnya. Perempuan itu menebak dokter ini pasti memikirkan banyak pekerjaan yang mengerutkan dahi.
“Sudah, aku hanya meracik salep untuk anak ini. Lihat saja luka di lututnya, dia anak yang ceroboh.” Ucap dokter itu. Setelah beberapa saat mencampur beberapa bahan, dokter tersebut memasukkan salep itu kedalam mangkuk kayu dan menutupnya dengan daun.
Selesai membuat salep, sang dokter segera berbenah. Tugasnya disini sudah selesai, dia merapikan perabot yang dia gunakan untuk meracik obat-obatan dan membersihkan racikannya yang bercecer di alas. Perempuan dihapannya juga ikut membantu.
“Kenapa kau simpati kepada mereka, Melati?” Tanya sang dokter setelah selesai beres-beres. Dia berniat bermalam disini. Perjalanan pulang ke rumah sangat jauh.
“Karena tindakan penduduk sudah kelewatan. Aku merasa bersalah jika tidak menolong.” Balas perempuan bernama Melati. Matanya beralih kepada Hanah dan Arif. Ibu-anak itu sangat malang nasibnya.
“Aku bersyukura atas hal itu. Sebagian besar orang-orang kita terlalu percaya dengan mitos-mitos yang sangat tidak rasional. Benar-benar parah.” Sang dokter menanggapi dengan sedikit kesal. Dia menyandar pada salah satu dinding kemudian menyilangkan kedua lengan di depan dada, bersiap tidur.
“Oh ya Melati, bagaimana kau tahu tentangku?” Tanya sang dokter sebelum menutup matanya. Dia membenarkan posisi duduk agar tidak mengantuk.
“Dari teman. Katanya di desa Rakatta ada dokter hebat.”
“Dan kau pergi sendirian untuk menjemputku. Waw, itu tindakan heroik. Kau pasti sangat mencemaskan ibu anak ini.” Melati mengangguk. Dia senang dipuji seperti itu.
“Bolehkah saya bertanya?” Tanya Melati sebelum sang dokter kembali menyandar dinding. Sang dokter mengucek kedua matanya, menghilangkan kantuk. Hari ini terasa sangat melelahkan.
“Silahkan, pertanya terakhir ya.” Sang dokter mengacungkan telunjuknya, memberitahu ini pertanyaan terakhir. Besok dia harus bekerja lagi, tidak bisa tidur terlampau larut.
“Kenapa bisa ada manusia berambut putih?” Melati bertanya antusias. Dia senang dengan topik ini.
“Penurunan sifat. Normalnya itu yang terjadi.”
“Penurunan sifat?” Melati mengulangi. Sang dokter telah menduga pasti pertanya ini akan beranak pinak. Sebagai dokter dia merasa harus melayani pertanyaan tersebut.
“Sama halnya dengan rambut hitam kita, kulit kita yang coklat cerah, tubuh yang setinggi ini, dan kenampakan fisik lainnya. Itu adalah sifat-sifat yang diwariskan nenek moyang kita. Namun dalam kasus manusia rambut putih ada sesuatu yang cukup menarik.” Menyelesaikan kalimat itu, kengantukan sang dokter malah menguap.
“Ada banyak hal yang menyelimuti sejarah manusia rambut putih. Akibatnya asal muasal rambut putih itu sulit dilacak. Menurutku pribadi rambut putih itu juga bukan hanya sekedar pewarisan sifat. Aku yakin ada hal hebat dibaliknya.” Tambah sang dokter bersemangat.
“Terimakasih dokter.” Balas Melati. Perempuan itu lalu ijin untuk pulang, bisa-bisa orang tuanya curiga kalau Melati pulang terlalu larut. Sang dokter pun mempersilahkan. Melati hilang dari balik pintu, meninggalkan sang dokter sendirian.
Sang dokter kembali menyandar dinding untuk tidur. Cukup sulit untuk tidur disini. Sebagian alasnya adalah tanah sebagaimana tempat sang dokter kali ini menyandarkan tubuh. Dindingnya kayu lapuk dan tua. Rasa-rasanya bisa runtuh kapan saja. Udara dingin bisa masuk dengan mudah lewat lubang-lubang di atap dan dingin.
Bertahun-tahun bisa tinggal di rumah seperti ini adalah bakat. Sang dokter lantas menatap Hanah dan Arif. Kedua sosok itu berada di posisi yang tidak pada tempatnya. Ini semua baru awal. Besok-besok mungkin nyawa keduanya yang terancam.
Untuk kesekian kalinya sang dokter berusaha memejamkan mata. Tetap dia tidak bisa tidur.
@@@
Esok hari datang, mentari bersinar hangat, angin berhembus nyaman.Kicauanan burung-burung terdengar dari, sekitar rumah Arif memang di tumbuhi pohon yang di pucuk-pucuknyap para burung membuat sarang. Mereka mengepak sayap, terbang untuk menjemput rizki hari ini.
Sang dokter beranjak dari tempat duduknya. Dia menguap dan meluruskan badan. Badanya terasa pegal-pegal tidur di rumah gubuk ini, pengalaman pertama yang tidak enak.
Sang dokter merapikan pakaiannya kemudian menatap keluar jendela. Di luar sepi sekali, tidak ada orang yang berlalu lalang di depan rumah ini. Penyebabnya pasti karena mitos-mitos itu. Para penduduk menganggapnya sangat serius sampai-sampai untuk sekedar menatap rumah ini ada perasaan enggan dan takut.
Masalah sosial yang benar-benar serius.
Secara geografi, rumah Arif terpisah dengan pemukiman padat penduduk. Rumah ini sudah berdiri lama, sejak kakek-nenek Hanah ada. Jika keluar lewat pintu belakang, kau akan menumui sebuah hutan. Rumah ini memang tersambung dengan hutan.
Di dalam hutan tersebut adalah sungai besar. Sungai itu menjadi sendi yang sangat penting bagi desa ini. Ketersedian air hampir sepenuhnya diambil dari sungai tersebut. Di sepanjang sungai itu ladang-ladang dan kebun-kebun penduduk berada termasuk ladang Wangsa yang entah bagaimana nasibnya sekarang.
Sang dokter menatap Arif lekat-lekat, anak laki-laki itu mulai bangun dia mengucek kedua matanya. Menyadari ibunya ada di sampingnya Arif sangat bersyukur dan memeluk ibunya. Dari mulut keluar kata-kata itu, “Ibu-ibu-ibu.” Sangat emosional.
Sang dokter yang berada di ujung jendela lantas mendekat dan menyapa pasiennya. “Halo, nak Arif.” Ucapnya dengans enyum lebar. Suaranya terdengar bersahabat.
Arif seketika memasang tatapan waspada, dia berdiri dan melindungi ibunya. Wajahnya kembali berkerut, manahan amarah. Jemarinya terkepal dan bergetar, urat-urat di tubuhnya timbul. Alisnya meruncing, Arif tidak bersahabat kali ini.
“Tenanglah nak Arif. Saya tidak akan mencelakai, saya berjanji.” Sang dokter kembali menawarkan senyum hangat.
Bukannya dibalas baik, Arif seketika berlari kearahnya. Tangan kananya lepas landas, tinju amarah dilepaskan. Sang dokter mengelak ke kanan dengan mudah.
Arif belum berhenti, tangan kirinya giliran maju, sang dokter menghindarinya lagi tanpa beban. Arif lantas memberikan pukulan membabi-buta sampai lengannya, leher, dan wajahny banjir keringat. Sementara diseberang sang dokter terlihat biasa-biasa saja.
“Ada lagi?” Ucapan itu malah memprovokasi Arif.
Arif mendengus, lantas mengambil ancang-ancang untuk mengeluarkan pukulan paling kuat. Sang dokter berdiri santai di hadapannya, dia menikmati ini. Tinju pun bertemu dengan musuhnya.
Arif nampak kaget menyadari hasilnya. Pukulannya dihentikan dengan mudah dan bukannya melukai sang dokter, sang dokter malah menjabat tangan Arif dengan kuat. Arif beruasah melepaskan, tidak bisa. Tangan sang dokter bahkan tidak bergeming sedikitpun.
“Hei tenanglah nak. Lebih baik kita saling berkenalan terlebih dahulu.” Kata sang dokter, dia merendahkan tubuhnya hingga ubun-ubunnya sama tinggi dengan ubun-ubun Arif. Mengetahui itu, Arif mematung bebeapa saat kemudian mulai melunak, amarahnya menguap. Dia tidak lagi merasa terancam.
“Kenalkan namaku Jago, dokter dari desa Rakatta.” Ucap Dokter Jago. Senyumnya tambah lebar setelag mengucapkan kalimat tersebut. Dia juga mengayun-ayunkan tangannya yang berjabatan dengan tangan Arif, bersemangat.
“Aku....aku.....nama....ku.....” Arif kegagapan mengeluarkan kalimatnya. Situasi ini mendadak membuatnya canggung.
“A-r-i-f, A.....” Sang dokter membantu.
“Arif.” Arif menjawab setengah berteriak, dia lantas tertunduk malu.
Dokter Jago tersenyum kecil, menurut penglihatannya Arif memiliki masalah dalam berkomunikasi. Yah itu wajar karena enam tahun lebih dia terus berada di rumah tanpa mengenal orang banyak. Melati yang memberitahukannya. Arif seakan terisolasi dari masyarakat.
Dokter Jago lantas menatap Hanah, dia mulai membayangkan kembali perjuangan ibu itu. Membesarkan seorang anak tanpa sosok bapak itu sangatlah meropotkan dan Hanah mengalami itu di pusat caci maki penduduk. Kesabarannya seakan menunjukkan Hanah adalah ibu terpilih diantara semua ibu di zaman ini.
Di depannya, Arif berusaha tidak bertatapan dengan Dokter Jago. Entah malu, canggung, atau apalah, yang pasti anak ini perlu teman bicara. Teman untuk menghibur dirinya, teman yang mangajaknya bersenang-senang dan teman yang sangat dekat dengannya layaknya saudara.
Dokter Jago menghembuskan nafas perlahan lalu menatap Arif dengan tatapan bersemangat dan mata yang lebar. “Ayo nak Arif. Mari kita bersenang-senang.” Ucapnya dengan nada tinggi. Arif menanggapi dengan sekali anggukan.
“Maaf, aku akan pulang lebih terlambat lagi.” Kata Dokter Jago dalam hatinya. Kalimat itu dia tujukan kepada keluarganya. Dia masih punya dua tugas sebelum pulang. Satu, bermain bersama Arif dan membuatnya senang. Dua, memberitahu Arif kondisi ibunya yang sebenarnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 72 Episodes
Comments
Adelia Putri
belum ketemu serunya di mana🤔
2020-12-14
0
Bernadeta Dheswita Puspitasari
Kukira berambut putih karena albino, ternyata bukan, rupanya ada sesuatu di yg terjadi di masa lalu. Jadi makin menarik👁👄👁
2020-11-01
2
Li Na
up
next
nyicil sampe part ini dulu
2020-06-10
0