Zeo harus segara mengubah keadaan.
Dan begitu ia mendapati keluarga Adhira yang berkumpul diruang keluarga.
Zeo memberanikan dirinya.
***
"Om, tan" panggil Zeo ketika mendapati ayah dan ibu mertuanya diruang tamu.
Devan yang juga ada disana pun langsung menatap abang iparnya itu. Merasa agak takjub karena ini adalah kali pertama suami kakak nya itu memulai pembicaraan. Dalam artian berani menyapa, selama ini abang iparnya itu lebih banyak diam dan bertingkah segan.
"Iya, kenapa Ze?" tanya Mira tersenyum. Memang semenjak Zeo sedikit mau membantu Adhira. Mira mulai berubah dengannya. Walaupun tak terlalu signifikan tapi setidaknya ibu mertuanya itu mau menerimanya.
"Zeo mau ngomong sebentar sama Om dan Tante." kata Zeo lugas.
Mira melirik suaminya, "Yaudah sini duduk Ze, mau ngomong apa?" tanya Mira menyenggol lengan Deni agar suaminya itu mau mendengar apa yang dikatakan Zeo.
Devan yang merasa suasana mulai berubah pun bangkit dari duduknya. Ia tak mau mengganggu. Walaupun ia masih bocah, tapi setidaknya ia tau tata krama.
Dan Setelah Devan pergi, Deni menatap menantunya dingin. "Mau bicara apa?"
Zeo menatap mata mertuanya, menunjukkan keseriusan dari kata-kata yang akan ia ucapkan. "Saya pikir, seminggu ini saya dan Adhira sudah cukup membebani om dan tante."
"Saya tidak merasa terbebani dengan anak saya. Tapi kalau kamu merasa dirimu membebani keluarga ini, saya tidak menyangkal" potong Deni yang langsung mendapat pukulan pelan dari Mira.
Zeo tersenyum tipis, ia tau mertuanya sedang menyindirnya.
"Saya tau om, tapi mau bagaimana pun sekarang Adhira adalah istri saya. Saya pikir sudah saatnya kami mandiri dengan hidup kami." Zeo menatap kedua mertuanya, "Saya berniat membawa Adhira tinggal bersama saya dirumah kami sendiri."
"Apa kamu pikir saya akan melepaskan putri saya ke kamu setelah semua yang kamu lakukan ke putri saya." tanya Deni retoris.
Deni tediam sebentar, "Tak menutup kemungkinan kamu menyakiti putri saya dengan lebih lagi setelah kamu membawa nya pergi. Merasa paling berkuasa nantinya, kamu pikir saya gak tau apa yang ada dikepala batu mu itu"
"Mas, jangan-"
"Saya berbicara sebagai seorang ayah Mira," kata Deni dingin.
Mira terdiam, ia benar-benar putus asa dengan suami dan anak menantunya itu.
"Saya tau saya memulainya dengan kesalahan, tapi jika saya terus berkubang dikesalahan itu lalu kapan saya dan Adhira akan berubah? Saya tau om dan tante tidak bisa menerima saya sepenuhnya, tapi saya sedang berada ditahap ingin merubahnya."
Deni dan Mira mulai menatap Zeo sedikit melunak.
"Saya berniat mulai semuanya dari awal, saya tak ingin Adhira bersembunyi sama om dan tante, dalam artian saya ingin Adhira juga terbuka dengan saya, memulai semuanya dengan saya. Saya ingin Adhira berpikir terbuka nantinya, tidak terus berpaku tangan dengan om ataupun tante,"
Mira dan Deni terdiam, dalam hati membenarkan ucapan menantunya. Selama ini Adhira selalu dibantu dalam segala hal, lalu jika terus begitu kapan sisulung itu berpikiran terbuka.
"Saya memang belum bisa sepenuhnya menerima Adhira dihidup saya, tapi setidaknya saya mulai menyadari bahwa Adhira dan anak kami adalah bagian dari kehidupan saya, bagian dari tanggung jawab saya. Dan tanggung jawab itu bukan hanya saya emban satu atau dua hari, tapi selamanya."
"Apa semua hal itu tidak bisa kamu dapatkan dirumah ini? Apa kamu tertekan? Tidak betah?" Sindir Deni, "Sebenarnya kalau kamu memang niat kamu bisa memulai semuanya durumah ini"
Zeo tersenyum tipis, "Tentu saja bisa, tapi saya tidak yakin akan waktu selanjutnya. Jujur saja saya merasa tertekan dan sangat diasingkan. Tapi bukan itu poin utamanya. Jika saya dan Adhira tetap disini ada tiga hal yang tetap melekat didiri kami, yang pertama kami tidak akan saling terbuka, yang kedua perasaan tanggung jawab atas kewajiban kami masing-masing tidak akan berada ditahap maksimal karena selalu mengandalkan om dan tante, dan ketiga, akan ada selalu kemungkinan lainnya."
Zeo terdiam sejenak untuk menarik napas dan membulat kan tekad.
"Seperti om yang ingin membuat istana dan kehidupan untuk keluarganya- saya pun ingin melakukannya dengan Adhira."
Deni dan Mira terdiam cukup lama, Zeo pun demikian.
"Kemana?" kata Deni memecah keheningan.
Zeo menatap ayah mertuanya tak mengerti.
"Kemana kalian akan pindah?" ulang Deni.
"Untuk sementara sampai saya memiliki penghasilan yang cukup, kami akan tinggal diapartemen saya terlebih dahulu."
"Apartemen?" tanya Mira yang langsung diangguki Zeo.
"Punya siapa? Nyewa?"
Zeo menggeleng, "Punya Papa, "
"terus kerjaan kamu?" Tanya Mira ragu.
"Saya bakal kerja part time diperusahaan cabang teman papa. Selama kuliah tan."
"Kamu tetap kuliah?" kali ini gantian Deni yang bertanya.
"Iya om" kata Zeo mengangguk.
"Adhira uda tau masalah ini?" tanya Deni.
Zeo menggeleng, "belum."
"Seharusnya kamu bicarakan dengan Adhira terlebih dahulu. Bukannya kamu ingin membangun komunikasi yang baik?" kata Deni agak menyindir.
Zeo mengangguk, "Nanti setelah ini saya bakal kasih tau Adhira." kata Zeo lagi.
"Tante gak tau kedepannya apa, tapi tante selalu dukung apapun usaha mu untuk memperbaiki hubungan kalian Ze." Kata Mira yang membuat Zeo tersenyum. Ia merasa sangat dihargai.
"Dimana Adhira?"
"Sama temen-temennya." Kata Mira menyahuti suaminya.
"Oh,"
Setelah itu mertua dan anak menantu itu terdiam sambil menatap layar kaca televisi yang terus menyala dengan banyak pikiran dibenak mereka masing-masing.
Deni dan Mira yang merasa tak rela dan Zeo yang kian merasa pundak dan tanggung jawabnya memberat.
Zeo menghela nafasnya pelan, tampaknya setelah hari kelulusannya tiga hari lagi nanti, Zeo benar-benar akan menunrunkan gengsinya. Meminta bantuan papanya. Dan melepaskan kebebasannya. Demi, tanggung jawab yang ia emban ini
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 77 Episodes
Comments
city
semoga bisa berubah zio dan Dhira menerima semuany semoga novelny banyak dikunjungi yah
2022-10-07
2