"Oiya, ayo-ayo makan,"
Dan malam itu, adalah acara makan malam tersulit untuk Zeo karena ia terus mendapat intimindasi sana-sini.
***
Zeo berdehem pelan ketika ia merasa begitu gugup saat akan menyuapkan makanan kemulutnya, tatapan-tatapan penuh kebencian itu memuat mulutnya sulit menerima makanan. Terutama tatapan tante-tante Adhira, Tapi walapun begitu, harus Zeo akui, ucapan tante-tante Adhira itu membuat pikirannya sedikit terbuka, mau bagaimana pun sekarang ia harus menghasilkan uang untuk Adhira atau bahkan sekedar untuk anaknya.
Anaknya.
Pemikiran itu langsung membuat Zeo melirik Adhira yang tak makan apapun dari piringnya. Gadis itu diam saja dengan duduk tak nyaman. Sekelebat percakapannya sengan Devan dirumah sakit kala itu terngiang
"Kakak uda gak selera makan hampir dua minggu, dia muntah setiap makan."
Apa Adhira menahan mual?
"Loh, Kakak gak makan?" tanya Devan saat mengikuti arah pandang Zeo yang menatapi Adhira. Bocah itu sejak tadi ikut mengawasi abang ipar barunya itu, maka ketika abang iparnya fokus pada kakaknya, Devan ikut menyadari ketidak nyamanan kakaknya.
Semua mata kini menatap Adhira dan Zeo.
"Kakak masih kenyang," kata Adhira tersenyum kecil.
"Kenyang dari mana Dhir, hamil muda badan kamu makin kurus gitu. Harus tambah berat badan dong." kata tante Dewi.
Adhira mengangguk, ia tersenyum sambil menarik piringnya mendekat.
Zeo menatap Adhira kian lekat, seolah bertanya mengapa dari tatapannya. Namun tanya tersiratnya itu terjawab ketika Adhira mendorong piringnya.
Adhira yang benar-benar tak tahan dengan bau daging dari piring itu pun langsung berlari kekamar mandi, ia mual.
Melihat itu pun Zeo bangkit dari duduknya, "Zeo temeni Adhira dulu ya Nek, Pa, Om, semuanya!" pamit Zeo spontan, sungguh ia refleks ingin menemani Adhira saat perempuan itu agak oyong ketika berlari tadi. Ia sedikit khawatir.
"Iya udah, kalian istirahat aja sana, Adhira juga perlu istirahat biar cepat sembuh."Sahut nenek Adhira setelah beberapa detik diam.
Zeo mengangguk, ia lalu mengikuti Adhira yang lari kelantai dua, menuju kamar perempuan itu.
"L-lo gak papa?" Tanya Zeo ragu saat melihat dengan mata kepalanya sendiri bagaimana Adhira muntah-muntah. Ia pernah melihat dan mengurus adiknya yang sakit ketika di Jepang dulu. Adiknya juga muntah-muntah, tapi Zeo baru kali ini melihat ada orang yang muntah sampai hampir kehilangan sebagian besar tenaganya.
Adhira terduduk disamping closet sambil menangis terisak.
"Adhira?"Panggil Zeo mendekati Adhira.
"Hei, Dhira." kata Zeo menjawil Adhira yang masih menangis.
"M-mual" kata Adhira mendongak menatap Zeo dengan tatapan memelas.
Zeo terpaku ditempatnya. Adhira mengadu? Apa kah itu memang Adhira Alindra yang ia kenal?
"Hiks-uhuk"
Zeo tersentak dari lamunannya, ia menatap Adhira yang kini kembali memuntahkan isi perutnya, Ah, bukan, perempuan itu tak dapat dikatakan muntah saat yang ia keluarkan hanya seperti lendir sejak tadi.
"Dhira-"
"Pergi"
"Ha?" Zeo bingung harus melakukan apa, ia juga tak begitu mrndengar lirihan Adhira. Perempuan itu berucap disela-sela muntahannya.
"Pergi hiks, pergii" Adhira mendongak, menatap Zeo marah, "Gue bilang pergi!!!" Marah Adhira tiba-tiba.
Zeo berdecak. "Gue suami lo sekarang" Tegas Zeo tertahan, ia tak mau ada keluarga Adhira yang mendengar suaranya nanti.
Adhira menoleh sengit," Jijik"
Zeo memejam matanya, nengatur emosi, "Jangan bikin masalah Dhira, ayo gue tuntun ke ranjang lo"
Adhira menepis tangan Zeo kasar, ia bangkit sendiri walaupun masih oyong, sangat oyong malah. "Pergi atau gue bunuh diri lagi"Lirih Adhira pelan. perempuan itu mengancam bahkan saat tubuhnya lemas.
"Lo ngancem gue? Sama nyawa lo? Gak peduli!" Desis Zeo tak mau kalah.
"Gue minum itu" Adhira menunjuk sabun cair didekatnya. "Biar anak lo ini mati"
"Adhira " Desis Zeo.
"Apa- Huks, lepas Bast*rd" Adhira memberontak kala Zeo mengangkat tubuhnya, membawanya keluar dari kamar mandi dan menjatuhkannya ke Keranjang perempuan itu. pemuda itu bahkan meringis sambil memegang lengan kirinya yang masih dalam masa pemulihan.
Adhira berdesis, perempuan itu memegang perutnya yang kram karena banyak muntah, ia ingin memaki tapi tubuhnya benar-benar lemas hanya untuk sekedar bersuara.
"Lo mau ngapain?" Desis Adhira sambil meringkuk kala Zeo hendak mengambil ancang-ancang tidur disebelahnya.
"Tidur"
"Dibawah!"
Zeo mengacak rambutnya. Pemuda itu lalu memilih mengalah. Kepalanya pusing, tangannya yang waktu itu patah terasa sangat nyeri karena dipaksa menggendong Adhira tadi. Dan mentalnya sedikit terguncang karena mendapat tekanan berlebih dari keluarganya dan tuntutan yang berat dari keluarga Adhira. Ia butuh istirahat.
"Lo mau ngapain?" Lirih Adhira lagi menatap Zeo tajam,
Zeo menatap perempuan berwajah pucat yang sudah seperti orang sekarat itu dengan bengis. "Apalagi? Gue mau istirahat Dhira, gue mau tidur"
"Jangan pakai bantal atau selimut gue, gue gak sudi berbagi sama lo" Desisnya dengan mata terpejam, merasakan perutnya yang tak enak sekali. seperti kembung, tapi juga kram.
Zeo memejamkan matanya, pemuda itu lalu melepas bantal yang tadi ia pegang. Zeo lalu melepas kemeja putih yang ia pakai sejak akad sore tadi. Menjatuhkannya kelantai sebagai alas tempat tidur.
Dan tak memperdulikan banyak hal lagi, Zeo mencoba memejam mata, berharap semua hal yang ia lalui hari ini adalah sebuah ilusi semata.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 77 Episodes
Comments