Adhira bahkan sampai kehilangan beberapa kilo berat badannya yang membuatnya tampak kian pucat dan lemas.
Adhira bahkan bertanya-tanya ada apa dengan tubuhnya yang biasanya jarang sakit ini.
***
Adhira masih mendekam dibalik selimut saat ketiga temannya datang menghampirinya. Ini sudah hari ke sembilan Adhira menghabiskan harinya didalam kamar tak mau beraktivitas, padahal, seharusnya ia sudah masuk sekolah sejak 2 hari yang lalu untuk mengkoordinator acara kelulusan dan persiapan ujian kenaikan kelas.
"Dhir,"
"Adhira" panggil Windi menggoyang-goyang tubuh ringkih Adhira dari balik selimut.
"Hm,"
"Bangun elah, lo dari pagi sampek malam gini dikamar mulu."kata Febi takjub.
"Tumben betah lo."
"Dhir"
"Hm"
"Adhira Alindra woy, bangun woy"
"Udah sana napa sih, kepala gue sakit banget," keluh Adhira menutup kepalanya.
"Dhir, kerumah sakit yuk, nyokap bokap lo tadi pamit pergi kerumah nenek lo." kata Intan yang membuat Adhira membuka selimutnya. "Ayah mama gue pergi? Kok gue gak tau."
Intan mengedikkan bahunya, "Tadi kita ditelpon suruh nemeni lo malam ini, emang ayah mama lo gak pamit?"
Adhira menggeleng, "Devan juga ikut?"
"Iya," sahut Windi.
"Oh, yaudah sana, jangan gangguin gue, kepala gue sakit." usir Adhira.
"Maka itu, kerumah sakit yuk" ajak Febi. Adhira menggeleng, "Males."
"Tahan bener lo seminggu, ngurung dalam kamar. Sehat woy senin depan ujian" kata Windi.
"Udah-udah, makan aja kalau gitu gimana. gue laper ini, kalian mau apa?" usul Intan.
"Gue mau bakso yang pedes ntan," ujar Adhira mengiba.
"Heh bakso pedes? Sakit-sakit makan bakso, ntar makin mual lo. Magh lo makin parah nanti." kata Intan.
"Iya Dhir, makan bubur atau nasi aja ya." timpal Windi.
"Gak mau, Gue mual Win, gak selera juga. Gue maunya bakso huhuhu" Rengek Adhira manja, gadis itu bahkan mendusel-duselkan wajahnya ke perut Windi.
"Ck, lo itu jarang sakit sekali sakit ngimbang-ngimbangi ibu hamil deh, sebel gue." gerutu Windi.
Adhira membeku, seketika nafasnya terasa tersumbat diparu-parunya. Adhira bahkan tak mampu berkata-kata.
Apa mungkin.
"Yaudah deh, gue keluar dulu, tapi gak terlalu pedes ya Dhir, yok temenin Feb, lo gak pesen Ntan." Tanya Windi
"Gue bakso juga lah 1, bakso kosong ya jangan pakai mie" Kata Intan mengangkat tangannya.
"Oke, Yuk Feb"
Dan begitu Windi dan Febi siap-siap berangkat, Adhira tiba-tiba bangkit dari tidurannya.
"Win!"
"Astaga, Dhira!" bentak Winda begitu Adhira membuka selimutnya dan berteriak seperti orang kesetanan.
"Win, " Panggil Adhira lagi, kali ini lebih pelan.
"Hah, kenapa? Ada lagi yang mau lo pesen? cepet buruan ini uda jam setengah delapan, ntar keburu tutup" Kata Windi menenteng tasnya.
"Win, "
"Iya apa, buruan Dhira, ntar keburu ma-
"Beliin gue testpack diapotik depan."
"HAH! Teriak ketiga temannya kompak.
"Testpack? Lo ngomong apa sih? Ngelantur?" Tanya Windi heran sambil terkekeh.
"Nggak, cepet beliin gue testpack gue bilang!" Bentak Adhira keras.
"Lo-" Windi, Febi dan Intan tak sanggup berkata-kata. Mereka saling pandang bingung.
"Nanti gue ceritain, sekarang beliin gue dulu." kata Adhira dengan pikiran kosong dan mata tak fokus. Ia ketakutan.
Ketiga temannya menatapnya penuh tanya.
***
Begitu Windi dan Febi pulang, Adhira yang diam seperti orang linglung pun langsung meraih bungkus testpack yang dibawa Windi.
Adhira mengikuti setiap langkah yang ada, sampai akhirnya ia menunggu dengan tangan gemetar dan pikiran kacau selama beberapa menit.
"Dhir, Dhira!"
"Adhira!"
"Dhir, gimana hasilnya?"
"Adhira lo jangan-
Ceklek
Adhira keluar dengan wajah super pucat dan mata memerah.
"Dhir?"
Windi langsung merebut benda pipih kecil itu dari genggaman Adhira.
"Dhir lo-" Windi tak mampu bekata-kata. Sedangkan Adhira langsung duduk lemas di ranjangnya.
Plak!
Tamparan Windi tak mampu membuat kesadaran Adhira kembali, Adhira menatapnya kosong. Gadis itu seperti kehilangan sebagaian nyawanya. Ia hancur.
"Lo- baj*ngan lo Dhir, s*alan lo" Windi langsung menerjang Adhira, gadis itu menjambak rambut Adhira yang membuat Adhira meringis menahan sakit.
"Jadi ini yang lo lakuin dibelakang kita-kita, lo bertingkah dan bersikap seolah-olah lo suci, padahal lo itu sampah iya. Dan apa-apaan ini, Akh lo anggap kita ini apa Adhira!!"Bentak Windi membabi buta.
"Win, uda win," Cegah Intan yang segera menengahi sedangkan Febi hanya melihat dengan tatapan tak percaya. Sekali lagi gadis itu melihat benda pipih digenggamannya.
Dua garis merah.
Siapapun, manusia dengan melek teknologi seperti mereka jelas tau artinya apa. Adhira, teman mereka yang super disiplin dan super berprestasi itu hamil. Hamil diluar nikah.
"Diam lo ntan, manusia kayak dia ini gak pantes dikasihani, Dia itu sampah tau nggak" Maki Windi masih mencoba menarik rambut Adhira.Sedangkan Adhira sendiri hanya menatap semua orang dengan kosong.
"Siapa orangnya Dhir? Panji?" Tanya Intan pelan. "Jawan gue Dhira! Apa panji orangnya?" Bentak Intan ikut terbawa emosi.
"Apa!" marah Adhira, "G-gue gak tau." tangis Adhira sesenggukan. Bahkan tubuhnya bergemetar hebat.
"Oh jadi ini yang lo lakuin selama ini tanpa kita bertiga, Jadi jal*ng lo diluar sana" Ketus Windi.
"Windi!!" Teriak Intan marah.
"Apa lo masih mau belain manusia sampah kayak dia? Dia itu gak nganggep kita sahabatnya Ntan." teriak Windi.
"Tapi lo gak berhak menjudge Adhira kayak tadi."
"Tapi emang iya kan."
"IYA! IYA GUE EMANG JAL*NG, APA MAU LO SEKARANG HA! APA!?" tangis Adhira meraung-raung. Ia melempar semua benda yang ada disekitarnya. Memukul-mukul perutnya dengan membabi buta.
"Adhira!" cegah Intan, "Febi, bantuin gue!"
Febi masih menatap kosong, gadis itu seperti kehilangan arah sejak tau Adhira, gadis paling angkuh,cerewet, kuat dan segalanya itu hamil.
Windi mengusap wajahnya yang ntah kenapa air matanya turun. Ia kecewa, sangat-sangat kecewa. Rasanya seperti ia gagal menjadi seseorang. Gagal menjadi sahabat yang bisa diandalkan. Ia gagal, benar-benar gagal.
"Mana nomor Panji, baj*ngan itu." maki Windi mencari kontak pacar Adhira diponselnya.
"S*al, mana nomor Panji gue bilang!" Windi yang tersulut emosi membanting ponselnya karena tak kunjung mendapatkan nomornya . Ia meraih ponsel Adhira.
"Sampah lo Pan. Sampah!!"Teriak Windi heboh sendiri.
Adhira yang mengetahui Windi akan menelpon Panji langsung merebut ponselnya.
"Balikin!" amuk Windi.
"Nggak!"
"Balikin gue bilang Adhira, cowok kayak dia harus tau apa kesalahannya."
"Nggak!"
"Lo nggak usah lindungi dia lagi, dia harus tanggung jawab sama lo!"
"Panji gak ada sangkut pautnya sama gue!"
"Balikin gue bilang atau-
"Uda berapa kali gue bilang, Panji gak ada sangkut pautnya sama gue. Bukan panji orangnya puas lo." teriak Adhira.
Windi, intan dan Febi tercenung. "Bu-bukan Panji orangnya?" beo Intan.
"Jadi siapa! Jawab gue!" bentak Windi.
Adhira terduduk kelantai, "G-gue gak tau" katanya ketakutan. "G-gue gak tau. Gue gak tau." racaunya.
"Lo masih gak mau bilang!"
"Gue memang gak tau, gue diperkosa! Gue gak tau Win, gue gak tau. Gue takut" racau Adhira tak jelas.
"Lo-"
"Lo-"
Windi tak bisa berkata-kata, ia langsung memeluk Adhira. Ia merasa begitu bersalah.
"Lo kenapa gak ngomong sama kita Dhira." kata Windi ikut menangis.
Malam itu, keempat gadis paling angkuh disekolah itu saling menumpahkan tangis ditengah keputus asaan mereka. Mencoba saling memahami dan menurunkan egonya masing-masing.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 77 Episodes
Comments
IK
c windi emosional ngelebihin c Dhira
2022-12-20
0
Yu Gina
feel nya kerasa banget sedih bestie
2022-09-12
3
Gustein Arifin👑
gue tegang bacay🙆🏻♀️😛😄
2022-02-16
0