"Pak Arvan!" ucap Sabrina.
"Kamu tidak apa-apa?" tanyanya khawatir.
"Tidak apa-apa, Pak. Saya duluan ya," ucap Sabrina menaiki motornya dan meninggalkan Arvan yang masih menatap dirinya dari jauh.
Arvan tersenyum saat tubuh wanita yang ia sukai menghilang dari pandangannya.
Sabrina memarkirkan motornya di garasi ia melihat motornya yang tampak lecet. Lalu ia berlari untuk membersihkan diri dan menyiapkan teh untuk suaminya.
Suara mobil Yudis pun terdengar dengan wajah sumringah ia menyambut suaminya itu.
"Sepertinya ada yang lagi senang?" sindir Yudis bercanda.
"Aku senang, Mas. Teman-teman suka dengan kue buatanku," ucapnya.
"Bagus dong," jawab Yudis.
Sabrina membalas dengan senyuman.
"Aku ke kamar dulu mau mandi," ucap Yudis.
"Iya, Mas."
Sabrina juga menyusul suaminya ke kamar, ia menyiapkan pakaian yang akan dipakai. Ponsel Yudis terletak di nakas berbunyi.
Tanpa sengaja, Sabrina membaca pesan yang muncul dilayar ponsel suaminya. Isinya tentang taruhan. Penasaran ia membuka isi percakapan itu.
"Taruhan? Mas Yudis keterlaluan," geram Sabrina.
Yudis keluar dari kamar bersiul-siul, ia melihat istrinya sudah ada di kamar sambil memegang ponselnya dengan wajah marah.
"Ini apa lagi, Mas!" Sabrina menunjuk ponsel suaminya.
Yudis meraih ponselnya dan membukanya, ia tampak gugup dan bingung.
"Kamu mau menjelaskan apa?" tanya Sabrina.
"Aku salah," ucapnya.
"Utangmu di mana-mana, kita baru menikah dua bulan. Uang yang disebut temanmu itu cukup banyak," ujar Sabrina.
Yudis tampak tertunduk, ia tak bisa membantah atau mengakuinya.
"Sejak kapan kamu sering taruhan bola?" cecar Sabrina.
"Sebelum kita bertemu," jawabnya.
"Jadi selama ini, aku yang bodoh tidak tahu hal apa yang dilakukan oleh kekasihnya. Ternyata benar, diriku dibutakan karena cinta." Sesal Sabrina.
Yudis masih diam, tak berani menatap sang istri.
Sabrina memijit pelipisnya dan berdiri memilih keluar kamar menikmati secangkir teh hangat untuk merelaksasi pikirannya.
Tak lama Yudis, pun keluar menyusul istrinya yang sedang menikmati teh di meja makan.
"Entah kejutan apa lagi yang akan kamu berikan lagi kepadaku, Mas!" ucap Sabrina menyindir suaminya.
"Aku..."
"Mau minta maaf?" tanya Sabrina.
Yudis mengangguk.
"Bosan, Mas!"
"Ini terakhir!" janji Yudis.
"Aku capek, Mas. Selesaikan urusanmu, jika masih ada hal begini. Entahlah, tak tahu harus apa lagi." Ucap Sabrina.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Suasana pagi ini begitu sepi, tidak ada ocehan istrinya berteriak memanggil namanya. Sabrina menyediakan segelas susu dan 2 butir telur rebus di meja makan tanpa bersuara, ia tak lupa mencium punggung tangan Yudis saat akan berangkat kerja itupun tetap diam.
Di kantor, Yudis tampak lesu dan tak banyak bicara. Pikirannya benar-benar kalut. Utang harus segera dibayar, Mama Linda selalu merengek minta uang dan istri lagi merajuk.
"Kau kenapa pagi-pagi begini tampak kacau?" tanya Theo.
"Aku benar-benar pusing. Yogi nagih uang taruhan dan Sabrina membaca pesannya," jawab Yudis.
"Jadi dia marah?"
"Iya, dia marah karena aku ketahuan taruhan." Jelasnya.
"Pantas saja dia marah," ucap Theo.
"Bukan itu saja, aku ketahuan memiliki kartu kredit dan menunggak cicilan mobil." Ujar Yudis lagi.
"Astaga, banyak sekali tagihan mu. Padahal kau seorang manajer, gajimu besar untuk apa berhutang lagi?"
"Aku tak bisa menolak keinginan mama dan kakakku. Mereka dua wanita yang ku sayang," jawab Yudis.
"Tapi tidak dengan berhutang," ucap Theo.
"Iya, aku salah tidak pernah jujur pada Sabrina." Tuturnya.
"Kau harus melunasi utang dan berjanji tidak melakukannya lagi," nasehat Theo.
"Aku sudah mengatakan itu juga pada Sabrina sepertinya kepercayaannya padaku hilang. Ku takut dia meninggalkanku," ucap Yudis sedih.
"Hanya diri kau yang bisa merubahnya, jika niat pasti ada jalan keluar," ujar Theo.
"Makasih, Bro!"
"Ya, sama-sama."
Sore harinya, Yudis menemui Yogi ia membayar taruhannya itu pun menggunakan uang Theo.
Temannya itu meminjamkan tanpa imbalan apa-apa.
Setelah bertemu dengan Yogi, ia pun pulang dengan membawa makanan kesukaan istrinya.
"Sayang, aku bawakan bakso kesukaanmu!" panggil Yudis.
Sabrina yang muncul dari arah dapur tampak diam.
"Sayang, jangan merajuk lagi!"
"Apa Mas sudah menyelesaikannya?"
"Tunggakan cicilan mobil dan taruhan bola sudah dibayar. Kartu kredit juga sudah digunting," ucap Yudis.
"Bayar taruhan pakai uang siapa?"
"Hem.. pinjam Theo," jawabnya.
"Sama saja gali lubang tutup lubang," ujar Sabrina.
"Theo tidak menagih dalam waktu cepat kok," ucap Yudis membela diri.
"Entahlah, Mas. Pusing aku," ucap Sabrina mengambil bungkusan plastik berisi bakso dari tangan suaminya.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Selepas Yudis pergi ke kantor, Linda dan Yana datang ke rumah.
"Ada apa lagi ibu dan anak ini ke rumah?" batinnya bertanya.
"Pagi, Sabrina!" sapa Kak Yana.
"Yudis sudah pergi kerja?" tanya Linda.
"Baru saja, Ma!" jawabnya.
"Apa kamu yang mempengaruhi adikku Yudis untuk tidak memberikan uang kepada kami?" tanya Yana.
"Apa kalian tidak kasihan dengan Mas Yudis, dia kerja keras tapi uangnya selalu habis tak jelas?"
"Tak jelas, bagaimana?" tanya Linda.
"Dia taruhan bola sejak dari dulu tapi kalian tidak pernah tahu. Utang dia menumpuk untuk kebutuhan kalian," jawab Sabrina.
"Hei, dia tidak pernah mengeluh sebelum menikah denganmu." Ujar Yana.
"Karena kalian tidak mendapatkan surat cinta tagihan," jawab Sabrina.
"Makanya kamu kerja biar tak terus membebani Yudis," ucap Yana.
"Aku tak salah dengar, bukankah Kak Yana yang selalu merepoti Mas Yudis," sindir Sabrina.
"Dia itu Kakak kandung Yudis," ucap Linda.
"Sabrina istri Mas Yudis." Ujarnya. " Kalian bilang aku harus kerja, Mama dan Kak Yana tidak bekerja juga 'kan?" tanyanya menyindir.
"Sudahlah, Ma. Ayo, kita pulang!" ajak Yana.
"Mama ingatkan padamu, kamu tak bisa mengambil Yudis dari kami. Menantu miskin!" ucap Linda.
"Mas Rudi suami Kak Yana juga menantu miskin. Apa kalian juga menghinanya?" tanya Sabrina
"Kau ini!" ucap Yana geram.
"Ayo, kita pergi dari sini." Ajak Linda.
Ibu dan anak itu pergi meninggalkan kediaman putranya. Sabrina menghela nafasnya, ia buru-buru menutup pintu. Dia mendudukkan dirinya dan menangis.
"Tega sekali mereka padaku," gumam Sabrina. "Apa aku tak pantas dengan Mas Yudis? Kalau memang tidak menyukaiku kenapa menerimaku," ucapnya lirih.
Suara ketukan pintu, menghentikan tangisan Sabrina. Ia segera menghapus air matanya. Dia melihat tamunya dari jendela.
"Pak Arvan?" batinnya bertanya.
Sabrina membukakan pintu. Pria itu tersenyum padanya kemudian senyumannya mengendur.
"Ada apa ya, Pak?" tanya Sabrina.
"Kamu habis menangis?" tanya Arvan tanpa menjawab pertanyaan wanita itu.
"Tidak, Pak. Ini hanya terkena debu," ucapnya berbohong.
"Oh, begitu."
"Ada apa Bapak ke sini?"
"Saya dengar kamu jualan kue dan roti secara online," ucap Arvan.
"Benar, Pak."
"Kalau begitu saya mau pesan 20 kotak," ucap Arvan.
"Apa Pak? Sebanyak itu?"
"Iya, ini saya bayar lunas." Ujar Arvan lagi.
"Buat acara kapan, Pak?"
"Besok sore. Bisa, kan?"
"Bisa, Pak!" jawab Sabrina cepat.
"Berapa totalnya semua?"
"Delapan ratus ribu, Pak."
Arvan memberikan 10 lembar uang berwarna merah.
"Ini kebanyakan, Pak!" ucap Sabrina.
"Selebihnya untuk kamu," ujar Arvan.
"Terima kasih banyak, Pak." Ucapnya tersenyum senang.
"Kalau begitu, saya pamit."Ucap Arvan.
"Iya, Pak. Terima kasih," Sabrina mengantarkan Yudis sampai depan gerbang. Karena tadi mereka hanya mengobrol di teras rumah.
Mobil Arvan pergi, Bu Wati menghampiri Sabrina.
"Wah, dapat uang dari mantan bos." Sindir Bu Wati.
"Oh, ini karena dia pesan kue denganku." Jelas Sabrina.
"Oh begitu, saya kira ada hubungan spesial. Apalagi Mas Yudis tidak ada di rumah?"
Sabrina hanya menjawabnya dengan tersenyum lalu meninggalkan wanita si mulut nyinyir.
"Huh, orang tua lagi bicara malah ditinggal." Bu Wati berdecak kesal.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 87 Episodes
Comments