18. Pelik

"Sakura? Kau baik-baik saja?" tanya Tenten pada gadis yang kini tengah melamun itu.

Sakura menoleh pada temannya. Sore ini, ia sedang duduk di kantin rumah sakit. Pikirannya kacau sekarang. Seharusnya, dia tak secepat itu terlena akan ciuman sang suami. Mungkin Sasuke memiliki hubungan khusus dengan sekretarisnya. Atau bisa saja bukan Sasuke tak melakukan apapun dengan sekretarisnya?

Bagaimana pun juga, Sakura tetap merasa dipermainkan oleh sang suami. Mestinya Sakura tahu perasaan Sasuke selama ini. Seharusnya dia memberanikan diri bertanya langsung pada suaminya. Ia seketika merasa sia-sia pergi kuliah jauh. Bukan hanya ingin mengejar cita-citanya, Sakura juga sebenarnya ingin menjauh dari Sasuke sejak lulus sekolah.

Sayangnya, perguruan tinggi tempatnya menimba ilmu justru merekomendasikan dia datang ke rumah sakit internasional ini. Dia kembali ke Tokyo, setelah bertahun-tahun mengenyam ilmu dan tinggal di Nagasaki. Alhasil, Sakura harus dihadapkan lagi dengan seorang lelaki tak berhati itu. Semua terasa mimpi buruk tanpa bisa terbangun, baginya.

Awal yang ia sangka baik ternyata tak seperti itu pada akhirnya. Sakura merasa sendirian sekarang. Tak ada rumah tempatnya pulang. Alias, tak ada ibunya yang selalu bisa menjadi tempatnya mencurahkan isi hati.

"Apa aku harus menceraikannya?" tanya Sakura pada Tenten. Gadis bermanik cokelat itu mengerjapkan mata.

"Kau bilang apa? Kenapa?" tanyanya.

"Sepertinya, dia mencintai orang lain," ucap Sakura.

"Siapa?"

"Mungkin ... sekretarisnya."

"Ne, Sakura. Kalau kau merasa bahagia saat bersamanya, berarti perasaanmu terbalas. Aku tahu dari Ino, kau sudah berusaha memenangkan hati si pantat ayam itu. Tapi tidakkah kau merasa yang kau lakukan selama ini berlebihan?" tanya Tenten.

Sakura sedikit membenarkan dalam hatinya. Apa dia berlebihan mencintai Sasuke? Bahkan semenjak belasan tahun, bukan?

"Aku merasakan apa yang kau rasakan, setidaknya sedikit."

Sakura tersenyum mendengar hal itu. "Kau sudah pernah menyatakan perasaanmu?" tanya Sakura.

"Pada siapa?" Tenten balik bertanya.

"Neji, tentu saja. Aku tahu kau masih mencintainya."

Tenten mengalihkan pandangannya. "Sepertinya, dia justru mencintai perempuan lain."

"Sungguh? Siapa?" tanya Sakura.

"Kau yang dicintainya, Sakura. Buktinya, dia mengikutimu ke Nagasaki, dan berusaha keras kuliah di perguruan yang sama denganmu," jawab Tenten, dalam hati.

"Aku tahu banyak tentangnya. Tapi satu yang belum kutahu pasti, siapa yang dicintainya," ucap Tenten, sedikit berdusta.

Sakura merasa ponselnya berdering. Itu dari Tsunade. Setelah beberapa detik menerimanya, Sakura segera berpamit pada Tenten karena ia dipanggil. Karena sudah tak ada lawan bicara, Tenten memutuskan untuk kembali melanjutkan pekerjaannya. Baru saja ingin beranjak, seseorang memanggilnya.

"Tenten-chan!" teriak seseorang.

Gadis itu menoleh ke sumber suara. Mendapati seorang lelaki berambut kuning dan seorang wanita bermanik Indigo berjalan ke arahnya. Sejujurnya, Tenten merasa sedikit gugup.

"Benar yang Naruto-kun katakan, kau sungguh berada di Tokyo," sapa wanita itu, Hinata.

Wanita yang tengah mengandung itu memeluk Tenten cukup erat. Sedangkan yang dipeluk hanya diam tertegun.

"Bagaimana kabarmu, Tenten-chan?" tanya Hinata.

"Aku baik-baik saja. Kau sedang mengandung, ya?" tanya Tenten melihat perut Hinata yang membuncit. Wanita itu tersenyum.

"Wah! Selamat, Hinata-chan. Semoga anakmu lahir sebagai anak yang pintar, tidak seperti ayahnya," gurau Tenten.

"Hei? Kau mengatakan aku bodoh?" tanya Naruto. Ia memicingkan mata menatap Tenten.

"Asal kau tahu, ya! Istriku memaksaku menemui gadis garang sepertimu hari ini juga," kesal Naruto. Ia mengepalkan tangannya, seolah siap meninju Tenten.

Hinata tertawa kecil. Ia meminta sesuatu untuk dimakan. Awalnya, Tenten bilang akan membuatkan. Namun, Naruto mencegahnya, bilang bahwa istrinya sedang sangat ingin berbicara dengan teman lamanya. Naruto beranjak menghampiri pelayan lain, serta meminta izin agar ia dan Hinata bisa berbincang dengan Tenten.

🌸🌸🌸

"Hm?" gumam Ino, mendapati sebuah pesan singkat masuk. Itu dari suaminya. Sai bilang, dia berada di lobi rumah sakit.

"Ada apa?" tanya Neji dengan datar.

"Suamiku ada di lobi. Boleh aku menemuinya?" tanya Ino meminta izin.

"Aa. Tentu saja. Aku harus memeriksa sesuatu. Jangan lupa siapkan ruang operasi untuk satu jam mendatang," jawab Neji. Ino mengangguk.

Wanita itu segera beranjak. Neji pun demikian. Sesuatu yang tak ia duga tengah menunggunya.

Di lobi rumah sakit, Sai ditemani seseorang di sana. Ino tak mengenalnya. Lelaki itu berambut oranye dan bertubuh kekar.

"Kau membutuhkan sesuatu?" tanya Ino setelah menghampiri suaminya.

"Tidak, Ino. Aku hanya ingin berpamit pergi untuk beberapa hari," ucap Sai.

"Pergi? Ke mana?" tanya Ino. Ia cukup terkejut.

"Ada urusan di Osaka. Kuharap kau menjaga dirimu baik-baik di sini."

"Hei! Kenapa mendadak sekali?!" protes Ino. Ia merajuk layaknya anak kecil.

"Ino, tenanglah. Aku akan kembali dua atau tiga hari setelah ini. Kupastikan aku akan menghubungimu setiap pagi, siang, dan malam sebelum kau tidur," bujuk Sai.

Ino diam. Ia menghela napas pasrah. Biasanya, jika suaminya sedang ada urusan bisnis di luar kota atau luar negeri, pasti akan membicarakan itu seminggu sebelum berangkat. Namun kali ini, keputusan Sai yang mendadak membuatnya merasa kesal.

Cup!

Sai mencium kening istrinya, tak peduli sedang berada di tempat umum. Setidaknya, itu mampu membuat Ino lebih tenang sekarang. Sai mengusap perut sang istri. Memberi beberapa pesan lagi sebelum ia pergi dari sana.

"Pastikan Sakura tak menceraikan Sasuke selama aku pergi," ucap Sai, yang terdengar seperti gurauan.

Ino tersenyum. Ia melambaikan tangan saat suaminya beranjak dari sana. Tanpa ia sadari, rekannya berdiri di sampingnya.

"Wah! Romantis sekali Shimura-san itu," ucap seseorang di samping Ino. Sontak wanita itu menoleh.

"Ayame-san?" lno terkejut.

"Kau cukup terkenal di sini, sekarang. Apalagi di antara para perawat wanita dan laki-laki. Bahkan beberapa dokter," ucap Ayame. Ino mengernyit.

"Maksudmu?"

"Kami tak menyangka bahwa kau adalah istri dari pemilik Shimura Company itu. Tak sedikit perawat dan dokter lelaki di rumah sakit ini tertarik padamu, Ino. Sebaliknya, banyak perawat wanita yang tertarik pada suamimu."

Ino bingung harus merespons bagaimana ucapan Ayame itu.

"Sepertinya aku juga harus mencari kekasih," gumam Ayame. Ia beranjak dari sana.

Ino tersipu. Ia baru sadar jika suaminya tadi menciumnya di tempat umum. Buru-buru, ia pergi dari sana. Kini tujuannya adalah kantin, karena Neji belum menghubunginya. Setidaknya masih ada empat puluh lima menit lagi sampai ia harus menyiapkan ruang operasi.

"Sialan kau, Sai-kun! Awas saja nanti saat dia pulang!" gerutu Ino. Pada akhirnya, ia tersenyum sendiri mengingat bagaimana suaminya membujuknya tadi.

Manik Aquamarine-nya tak sengaja mendapati Tenten tengah menaruh dua gelas minuman di meja yang diisi satu laki-laki dan satu perempuan itu. Ino sepertinya mengenali mereka. Ia mendekat, dan benar saja, Ino mengenal siapa mereka.

"Kalian mengadakan reuni?" tanya Ino. Ketiga orang itu menoleh.

"Ino-chan, bergabunglah bersama kami," pinta Hinata. Ino dengan senang hati ikut bergabung di sana.

Kini, mereka berempat seperti sedang mengadakan reuni kecil. Sepertinya, yang banyak berbicara adalah para perempuan itu. Naruto sudah asyik dengan makanannya sendiri.

"Entah kenapa aku bisa membenci orang yang bahkan belum kukenal," ujar Ino bercerita. Ia mengambil jus milik Naruto, lantas meminumnya.

"Memangnya siapa?" tanya Tenten penasaran.

"Siapa lah itu? Sekretarisnya Sasuke. Karin?" tanya Ino dengan nada kesalnya.

Hinata tertegun sejenak, lantas menatap sang suami yang duduk di depannya. Yang ia lihat, Naruto tampak tak peduli dengan yang mereka bicarakan.

"Aku yakin Sakura pasti menangis setelah melihat foto itu kemarin," tutur Ino.

"Foto?" Hinata turut penasaran.

"Hmm," Ino mengangguk. "Di foto itu, Sasuke sedang dicium oleh Karin. Dia memang tidak mencium mulut Sasuke, tapi justru mencium leher si pantat ayam itu," ujar Ino menjelaskan, tanpa sadar di sampingnya, rahang Naruto mengeras.

"Hei! Itu gila!" sahut Tenten. Ino mengangguk setuju. Di sana, Hinata semakin cemas dengan suaminya.

Tak lama, ponsel milik Naruto yang ada di sakunya bergetar. Lelaki berambut kuning itu berdiri, menunjukkan ponsel itu pada tiga perempuan tadi. Naruto mengangkatnya setelah beberapa meter menjauh dari mereka.

"Moshi-moshi, Sai?" sahut Naruto.

"Aku tahu kau ada di rumah sakit. Baru saja aku di sana menemui Ino. Tentang apa yang terjadi kemarin sore, aku meminta maaf padamu karena tak menjelaskan apapun, Naruto," ujar Sai, melalui sambungan telepon itu. Nadanya terdengar serius sekarang.

"Kau tahu aku di sini? Lalu, kenapa kau tak segera memberitahu soal yang terjadi kemarin?" tanya Naruto.

"Aa. Mobilmu, aku tahu yang mana," jawab Sai. "Sebelumnya, aku ingin meminta izin darimu, Naruto," sambungnya kemudian.

Naruto mendengarkan dengan seksama. Ia beberapa kali terkejut saat Sai menjelaskan sesuatu. Lelaki itu menghela napas sebelum panggilan itu berakhir.

"Ne, Tenten, apa tak ada ramen di sini?" tanya Naruto usai ia kembali bergabung dengan mereka.

"Tentu saja ada. Kau ingin memesan ramen?" tawar Tenten.

"Berikan aku ramen terbaik kalian!" seru Naruto bersemangat. Tenten mengacungkan jempolnya, lantas pergi memesankan apa yang Naruto minta.

🌸🌸🌸

Tsunade membuang maskernya dengan kasar ke dalam tong sampah. Di belakangnya, Sakura mengikutinya dengan tatapan kosong. Wanita bersurai pirang itu berkacak pinggang, menatap Sakura dengan berang.

"Sakura!!" bentaknya. Sang empunya nama terperanjat. Ia menatap Tsunade dengan takut.

"Kau pikir apa yang kau lakukan tadi?! Kau membuat pasien hampir kehilangan ginjalnya!" murka Tsunade.

"Su-sumimasen, Sensei," cicit Sakura seraya menundukkan wajahnya.

"Argh! Kau membuatku ragu sekarang. Kau tak kuizinkan memimpin operasi sampai kesadaranmu kembali, Sakura!"

Sakura mengangkat kepalanya. "Tapi, Sensei-"

"Tak ada penolakan! Atau kau mau kubuatkan surat penangguhanmu untuk sementara waktu?! Di mana kecerdasanmu yang dulu?! Menjahit kembali tubuh pasien saja kau perlu bantuanku! Kau dokter bedah dengan kecepatan menjahit diatas rata-rata yang kutahu, Sakura! Bukan dokter yang terlihat amatir dan penuh keraguan!" bentak wanita itu. Mereka menjadi pusat perhatian sekarang.

"Sembuhkan dulu luka di hatimu sebelum kau ingin menyembuhkan orang lain!" imbuh Tsunade, sebelum ia beranjak dari sana.

Sakura diam. Ia mengakui, bahwa dirinya tadi hampir membuat kesalahan fatal. Sial baginya, kejadian kemarin sore terus menghantuinya. Juga saat suaminya ******* bibirnya. Gadis itu merasa seperti sedang berjalan di sebuah papan tipis di tengah lautan sekarang. Tadi, saat operasi, Sakura sudah jatuh ke satu sisi.

Sakura memang pernah beberapa kali dimarahi oleh Tsunade saat melakukan kesalahan. Kali ini adalah kesalahan terbesarnya. Dua sebab ia dimarahi. Pertama, ia hampir menusuk ginjal pasiennya. Kedua, saat menjahit tubuh pasien usai dioperasi, Sakura lengah, jahitannya membuat luka baru di tubuh pasien.

Bagaimana Tsunade tidak marah? Wanita itu yang nantinya akan bertanggung jawab atas nasib Sakura jika gadis itu dipecat dari rumah sakit. Sebenarnya, wanita itu tak ingin memarahi Sakura di tempat umum. Mau bagaimana lagi? Jika bukan seperti itu, Sakura tidak akan mendengarkannya.

🌸🌸🌸

"Baka! Baka!" umpat Sakura.

Ia memukul kepalanya sendiri. Air matanya tak bisa lagi di tahan. Gadis itu membodohi dirinya karena terlalu mencintai Sasuke. Ia kembali teringat ucapan Tenten, tentang apakah dia bahagia selama ini. Sakura bahagia dengan pekerjaannya, namun tidak dengan kisah cintanya.

"Kenapa mencintainya sesakit ini?" Suara Sakura terdengar parau.

Beruntung, tak ada orang yang melintasi tangga rumah sakit. Kebanyakan pasti memilih menggunakan lift daripada harus bersusah payah menaiki tangga. Gadis itu duduk memeluk kakinya. Ia menenggelamkan wajahnya di antara kedua lututnya. Menangis sesegukan di sana.

"Hiks! Kenapa aku gagal melupakanmu selama lebih dari tujuh tahun ini?" tanya Sakura entah pada siapa.

Di kepalanya, sempat terbesit pikiran untuk pergi meninggalkan Tokyo. Sakura mendongak. Ia ingat, seseorang yang mungkin bisa membantunya di suatu tempat. Sakura mengenalnya dengan baik selama ia berada di tempat itu.

"Sakura?"

Refleks, ia menoleh ke sisi kanan atasnya. Di anak tangga yang mengarah turun itu, seseorang berdiri di sana. Sakura mengusap wajahnya dengan kasar, lantas berdiri. Seseorang itu menuruni tangga, mendekati Sakura.

"Kau baik-baik saja?" tanyanya pada Sakura.

"Aa. Aku baik, Neji-kun," jawab Sakura pelan.

Mendengar panggilan itu, Neji merasa darahnya seolah berdesir. Ia menahan senyumnya. Melihat Sakura sedang kacau, Neji terdiam sesaat. Tiba-tiba, ia tersadar bahwa gadis di hadapannya ini sudah bersuami.

"Kau menangis?" tanya Neji.

"Tidak."

"Tapi matamu yang berbicara."

"Aku tidak menangis!" bantah Sakura.

"Kau berbohong?"

"Tidak."

"Pada dirimu sendiri."

"Ti-" Sakura menghentikan ucapannya.

Berbohong pada dirinya sendiri? Mungkin dugaan Neji benar. Dia berbohong pada dirinya sendiri. Berbohong bahwa ia lelah mencintai seseorang yang tidak mencintainya. Dia bahkan berpura-pura dengan ikatan rumah tangga yang baik-baik saja di mata keluarga besarnya. Tanpa ia sadari, air matanya kembali jatuh tanpa permisi. Sakura tertegun saat merasakan tangan yang halus dan besar itu menyentuh pipinya. Ia menatap manik Indigo lelaki itu.

"Kau tak perlu berbohong lagi, Sakura. Percayalah pada kata hatimu sendiri. Tinggalkan sesuatu yang membuatmu ragu dengan penuh tanggung jawab," tutur lelaki bermarga Hyuuga itu.

Neji tersenyum. Untuk pertama kalinya, Sakura terpaku dengan senyuman pertama dokter itu, sekaligus rekannya yang pernah ia lihat.

"Hei," panggil Sakura. "Itu senyuman pertamamu yang pernah kulihat," lirih Sakura.

Lelaki itu justru semakin mengembangkan senyumnya. Ia menghela napas. Dirogohnya saku jas putih itu, menunjukkan sebuah amplop cokelat. Sakura bingung, menatap Neji.

"Mulai besok, aku tak lagi di sini. Barusan aku mendapat surat pemindahan tugasku sebagai seorang dokter," ucap Neji, menyadarkan kebingungan Sakura.

"Kau akan dipindahkan ke mana?" tanya Sakura.

"Biarkan itu menjadi rahasiaku."

Sakura diam. Wajahnya sedikit ditekuk, karena kesal tak mendapat jawaban dari Neji. Lelaki itu menepuk bahu Sakura, membuat sang empunya menatap lelaki itu, sedikit mendongak.

"Sesekali akan kukunjungi Tokyo. Akan kukirim kabar padamu melalui rumah sakit ini. Aku harus bergegas, Sakura. Sampai bertemu lagi," ujar Neji berpamitan. Ia lantas meninggalkan Sakura, menaiki tangga.

Sakura diam di tempatnya. Ia memikirkan apa yang akan ia lakukan sekarang. Haruskah ia pergi tanpa berpamit? Mengingat kembali ucapan Neji barusan, Sakura mengurungkan niatnya untuk pergi diam-diam.

"Kau tak perlu berbohong lagi, Sakura. Percayalah pada kata hatimu sendiri. Tinggalkan sesuatu yang membuatmu ragu dengan penuh tanggung jawab."

Sakura mengambil napas kuat-kuat, lalu mengembuskannya. Sakura berlalu dari sana. Ada sesuatu yang harus ia lakukan sekarang.

🌸🌸🌸

"Dia pernah datang ke apartemen kami saat sedang hujan. Dia pingsan, dan aku meminta suamiku membawanya ke dalam."

Tenten menatap tak percaya pada apa yang ia dengar dari Ino. Begitu pun Hinata. Sedangkan Naruto, lelaki itu seketika menghentikan aksi makan ramennya.

"Sakura-chan seperti itu?" tanya Naruto.

"Hmm," Ino mengangguk. Tenten dan Hinata menatap Naruto yang kini terlihat tegang ekspresinya.

"Sakura sepertinya kabur. Tapi dia tak mengatakan apapun padaku atau suamiku," imbuh Ino.

"Sungguh?" tanya Naruto.

Ino menatap Naruto dengan lekat, seolah ia memang mengatakan hal yang sebenarnya. Padahal, waktu itu Sakura mengatakan ia sudah membuat keputusan akan menceraikan suaminya, cepat atau lambat.

"Teme!" desis Naruto.

"Naruto-kun?" panggil Hinata.

"Bisa kau ceritakan padaku kenapa dia kabur?" tanya Naruto tanpa menghiraukan istrinya.

"Baka! Sudah kukatakan, bukan? Sakura tak menceritakan apapun," jawab Ino. Ia mulai kesal sekarang.

Naruto diam. Ia berusaha mencerna apa yang terjadi sekarang. Ino tahu, jika Naruto tahu perlakuan Sasuke pada Sakura, lelaki kuning itu pasti akan marah. Karena itulah, Ino memilih menyembunyikan apa yang ia tahu.

"Ano," ucap Tenten. Ketiga orang di sana menoleh. "Sepertinya aku harus kembali bekerja."

"Aa. Baiklah," jawab Naruto kemudian. Tenten beranjak dari sana.

"Kenapa si Teme itu membiarkan Sakura-chan kabur dari rumah?" geram Naruto setelah Tenten tak lagi di sana.

"Biarkan saja. Aku yakin Sakura bisa mengatasinya. Jika kita ikut campur, aku yakin, akan ada masalah baru setelah itu," sahut Ino.

Di tempatnya, Tenten tak habis pikir. Ada apa dengan temannya yang paling jenius bahkan hampir menyamai sang idola sekolah itu? Sakura yang bahkan terkenal hingga ke sekolah-sekolah tetangga, bisa-bisanya mencintai seseorang yang Tenten anggap tak punya hati itu. Sebenarnya, memikirkan tentang itu membuatnya bingung sendiri.

Tenten ingin pergi ke toilet. Ia berpamit pada rekan kerjanya. Dengan sedikit terburu, gadis itu berlari menuju toilet yang tak terlalu jauh dari sana. Karena tak memperhatikan jalannya, gadis itu menabrak seseorang di dekat toilet.

"Sumimasen!" refleksnya, seraya ber-ojigi.

"Tenten?"

Sang empunya nama mendongak perlahan. Betapa terkejutnya ia saat mendapati seorang lelaki yang pernah mengisi hatinya tiba-tiba berada di depannya. Hyuuga Neji.

"Kau baik-baik saja?" tanya Neji. Ia menyentuh kening Tenten.

"A-aku baik!" ucapnya menepis tangan Neji dari sana.

"Tapi wajahmu merah."

"Kau sukses menjadi dokter, ya?" tanya Tenten mengalihkan pembicaraan. Neji diam tak menjawab.

"Aku baru tahu kau bekerja di sini," ucap Tenten lagi.

"Sepertinya kau juga berhasil menyusul dia ke sini."

Tenten memberi jeda. Ia mengalihkan pandangannya.

"Kuucapkan selamat padamu," imbuhnya.

"Bisa kita bicara?" tanya Neji.

"Ah! Maaf. Tapi aku harus kembali bekerja," tolak Tenten. "Permisi."

Gadis itu masuk ke dalam toilet. Meninggalkan rekan lamanya yang diam di sana. Di dalam toilet, Tenten menahan isakannya. Benar yang dikatakan Sakura. Ia masih mencintai lelaki itu. Gadis itu tetap menguatkan hatinya. Usai menyelesaikan urusannya di toilet, Tenten segera keluar dari sana.

"Ittai!" keluhnya pelan.

Dahinya tak sengaja menabrak sesuatu yang kuat di hadapannya. Tenten kembali menoleh. Berbarengan dengan itu, seorang lelaki menoleh ke arah Tenten.

"Kenapa kau masih di sini?" tanya Tenten dengan kesal saat tahu siapa orang yang ia tabrak.

"Menunggumu."

Rasa panas kembali menjalar di wajah gadis itu. Tenten memalingkan wajahnya. Tanpa ia kira, Neji menariknya, membawanya pergi entah ke mana. Ia tak mampu menahan itu, karena detak jantungnya sudah menggila.

"Hisashiburi, Tenten," ucap Neji. Saat tersadar, Tenten tahu mereka ada di taman rumah sakit itu.

"A-aa. Hisashiburi," balas Tenten dengan gugup.

"Untuk handuk kecil yang kau letakkan di lokerku sebelas tahun yang lalu, arigatou."

Ucapan Neji sukses membuat Tenten kian malu. Ternyata lelaki itu ingat hal kecil itu. Saat sedang berada di puncak perasaannya, Tenten memberanikan diri meletakkan sebuah handuk kecil di loker milik Neji. Saat itu, tahun keduanya bersekolah di sekolah yang sama dengan Neji. Sayangnya, Tenten bukan siswa akselerasi di sana. Ia merasa bahagia karena Neji tahu bahwa dirinya yang memberinya handuk kecil. Perlahan, Tenten merasa air di pelupuk matanya mulai mendesak keluar.

"Aku mencintaimu, sejak dulu."

Gadis itu memejamkan mata. Kini, air matanya tak lagi dapat dibendung. Neji menatapnya, menunggu Tenten mengucapkan hal lain.

"Aku mencintaimu, Neji. Dari saat kita masih di sekolah dasar. Tapi semenjak kau ada di kelas akselerasi, kau tak pernah melihatku lagi, bukan? Kau lulus sekolah lalu melanjutkan pendidikanmu di satu perguruan yang sama dengan Sakura," ucap Tenten. Ia menahan isakannya sekarang.

"Kau mencintainya. Aku tahu itu dari setiap sikapmu padanya waktu di sekolah," imbuh Tenten.

"Aa. Aku juga tahu kau mencintaiku. Kau benar. Aku memang tertarik dengan Sakura. Kurasa berbeda untuk sekarang," jawab Neji.

Tenten membuka matanya. Tiba-tiba saja ia merasa Neji lebih dekat dengannya.

"Sampai aku kembali, kuharap masih mendengar ucapanmu barusan."

Neji tersenyum tipis di sana. Ia membalikkan badannya, lantas pergi meninggalkan Tenten yang kehabisan kata-kata.

🌸🌸🌸

"Gomen, ne. Tsunade-Sensei," ucap Sakura, menyerahkan sebuah selembar kertas yang ia lipat beberapa bagian.

"Apa ini?" tanya Tsunade.

"Seperti yang kau katakan. Aku akan menyembuhkan luka di hatiku terlebih dahulu sebelum aku kembali menyembuhkan pasien-pasienku," jawab Sakura mantap.

Tsunade menautkan kedua alisnya. "Apa yang kau bicarakan?" tanyanya kemudian.

"Aku harus bersiap pulang. Banyak yang harus aku lakukan, Sensei."

Tsunade diam. Ia memperhatikan Sakura yang kini mulai bersiap. Gadis itu melipat jas putihnya. Dari tempatnya, Tsunade tahu ada keraguan di raut wajah Sakura. Pada akhirnya, gadis itu tetap melipat jasnya, meletakkan benda kebanggaannya itu pada laci mejanya. Sebelumnya, Sakura membungkus itu dengan sebuah plastik bening, dan memasukkan ke dalam tas kertas yang selalu ia bawa saat datang ke tempat laundry, mencuci jas putihnya.

"Sayonara, Sensei," pamit Sakura.

Gadis bermarga Uchiha itu meninggalkan Tsunade sendiri di sana. Wanita berambut blonde yang kini terlihat bingung memperhatikan kertas yang diletakkan Sakura di meja. Ia membacanya. Iris matanya menegang saat mengerti apa yang tertulis di sana. Beberapa saat kemudian, wanita itu merasa bersalah. Sakura mengundurkan diri dari pekerjaannya.

🌸🌸🌸

"Sasori-san? Kau sudah bersiap untuk pulang?" tanya Sakura.

Sang empunya nama menoleh. Ia mendapati dokter cantik berambut merah jambu itu berjalan menghampirinya bersama seorang perawat.

"Ah! Sakura?"

"Biarkan aku memeriksamu sebelum kau pulang dari sini," ucap Sakura.

"Tak perlu. Aku sudah merasa sehat sekarang," tolak Sasori. Ia beralih pada perawat yang datang bersama Sakura.

"Bisa tinggalkan kami berdua?" tanya Sasori pada perawat itu. Meski sedikit kebingungan, akhirnya ia menunduk, lantas berlalu dari ruangan itu.

"Kenapa kau memintanya-"

Sakura tak melanjutkan ucapannya. Ia tersentak saat Sasori menariknya ke dalam pelukan.

"Sa-sasori-san?" gugup Sakura.

Bagaimana ia tak gugup. Jaraknya dengan Sasori menyempit. Bahkan wajah pria berambut merah itu berada hampir bersentuhan dengan wajahnya. Ditambah lagi, gerakan Sasori yang tak ia duga membuat adrenalinnya meningkat.

"Kenapa kau memeriksaku tanpa jasmu?" tanya Sasori pelan. Sakura merasa degup jantungnya mulai membuncah.

"A-aku ...,"

"Kau lebih cantik dengan jas doktermu, Sakura." Sasori mulai berbicara lirih di dekat telinga dan leher Sakura.

Sakura menahan napasnya. Ia pikir, Sasori sudah tahu bahwa ia adalah istri rekan bisnisnya sendiri. Sakura mulai ragu akan dugaannya itu.

"Kau cantik, Sakura," puji Sasori, lagi.

Sakura berusaha melepaskan dekapan pria itu. Namun apa daya, tenaganya jauh diatas Sakura. Gadis itu memejamkan matanya, hendak berteriak. Belum sempat melakukannya, ia merasakan benda kenyal menyentuh bibinya. Refleks, Emerald itu terbuka. Di depannya, wajah Sasori begitu dekat, menciumnya. Sasori bahkan mulai ******* bibir Sakura.

BRAK!!!

"Bajingan!"

Sasori melepas pagutannya pada Sakura. Belum sempat melihat siapa pengacau yang datang, lelaki itu merasa tubuhnya terhuyung ke belakang. Rasa perih perlahan menjalar di rahangnya. Sasori menyentuh rahang kirinya. Beruntung, Sasori tak tumbang ke lantai, karena brankar rumah sakit itu menahan tubuhnya.

"Cih!" umpat Sasori.

"Beraninya kau menyentuh istri orang?!" maki seseorang itu. Sasori merasa lehernya hampir tercekik, karena kerah bajunya ditarik.

Tangan mungil Sakura mencoba mencegah pukulan kedua lelaki itu. Ia masih mengatur napasnya yang tersengal. Kedua lelaki itu menoleh. Sakura menggeleng pelan.

"Hentikan, Sasuke-kun," pinta Sakura dengan suara pelan.

Lelaki itu, Uchiha Sasuke, melepaskan cengkeramannya pada Sasori. Ia beralih pada Sakura. Tanpa mengucapkan apapun lagi, ia menyeret gadis itu keluar dari ruangan laknat itu. Ah! Sepertinya Uchiha bungsu itu sedang naik pitam. []

.

.

.

Bersambung

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!