11. Suami Sakura

Sakura diam di kamarnya. Jarum pendek pada jam dinding di sana tertuju pada angka tiga. Sedangkan di luar, hujan baru saja reda. Ia menoleh ke arah Sasuke yang tertidur pulas di sampingnya. Satu jam yang lalu, ia terbangun karena merasa kedinginan, meski selimut tebal masih menutupi tubuhnya.

Gadis itu mendudukkan tubuhnya. Sakura menyentuh keningnya sendiri. Suhu tubuhnya meningkat. Ia menghela napas, lantas memberanikan diri membangunkan sang suami.

"Sasuke-kun," panggil Sakura lirih. Ia menggoyangkan tubuh sang suami pelan.

"Antarkan aku ke apotek, Sasuke-kun," pinta Sakura lagi.

Sasuke hanya menggeliat. Ia kian merapatkan selimutnya. Sakura menghela napas panjang mendapatkan reaksi seperti itu.

"Sasuke-kun, kumohon ...."

"Berhenti menggangguku, Sakura!"

Sakura diam. Ia tak lagi berusaha membangunkan Sasuke. Jika diteruskan, kemungkinan besar sang suami akan marah. Akhirnya, Sakura memutuskan turun dari ranjang. Barangkali membuat teh hangat dapat mengurangi rasa dingin di dalam tubuhnya. Ia berjalan keluar kamar menuju dapur. Di balik selimut tebalnya, Sasuke membuka sedikit matanya yang tadi terpejam.

🌸🌸🌸

Sakura mendengus kesal atas sikap sang suami. Di luar sedang dingin, dan karena penolakan Sasuke, Sakura mesti pergi ke apotek sendirian. Beruntung, rumahnya dekat dengan apotek yang buka dua puluh empat jam. Sakura baru saja kembali dari sana. Di tangannya, sebuah tas plastik kecil ia bawa. Itu berisi beberapa obat dan teh. Sakura merutuki dirinya sendiri karena lupa jika di dapur persediaan teh sudah habis. Juga karena obat yang biasanya ia sediakan di rumah ternyata tinggal sedikit.

Sakura pun memutuskan untuk pergi sendiri. Seperti inilah sekarang. Dengan baju tebalnya yang tadi ia ambil dari kamar sebelum berangkat, Sakura baru kembali dari apotek. Di luar sana, jalanan dan tanah basah. Sakura menapakkan kakinya di jalanan itu. Meski sepi, masih ada beberapa orang yang berlalu lalang.

Ketika gadis itu melintas di depan gedung besar, perasannya tak enak. Sakura tetap berusaha bersikap tenang. Tiba-tiba, benar saja. Seseorang membekap mulutnya. Tangan besar dan kekar itu cukup kuat untuk menahan tubuh Sakura.

"Mpphh—"

Sakura berusaha meronta. Kedua tangannya ia gunakan untuk mencoba menyingkirkan tangan itu dari mulutnya.

"Nona Cantik, kenapa kau keluar sendirian?" sahut suara lelaki, tepat di belakang kepala gadis itu.

Emerald Sakura membulat saat tiba-tiba dua orang datang dari kedua sisinya. Mereka tersenyum miring. Mata mereka berbinar seperti binatang buas yang siap memangsa korbannya.

"Kita bawa dia ke belakang gedung ini," ujar salah satunya. Seorang lelaki bertubuh kurus.

Lelaki yang membekap mulut Sakura itu menyeret Sakura dengan paksa. Sakura tahu, mereka ingin melakukan sesuatu yang buruk padanya. Sialnya, Sakura tak mampu melawan lebih dari itu, karena tubuhnya sendiri semakin merasakan kedinginan. Pening di kepalanya semakin terasa. Langit pun seolah tak membelanya. Gerimis mulai turun membasahi bumi, lagi.

Sudut-sudut mata Sakura mengeluarkan air. Sakura merasa tak berdaya. Tubuhnya lemah, bagai tanpa tulang. Orang-orang itu meracaukan sesuatu yang membuat Sakura kian takut. Sesekali mereka menertawakan Sakura. Dengan kasar, lelaki dengan tubuh paling kekar itu mendorong Sakura. Gadis itu tersungkur ke tanah. Sekuat tenaganya, Sakura berusaha berdiri.

Kakinya bagai mengkhianati otak gadis itu. Tak mau berdiri. Sakura seperti tikus yang terkepung oleh tiga ekor kucing.

"A-apa yang akan kalian lakukan?!" cicit Sakura ketakutan.

"Haha! Tentu saja kami akan membuatmu senang, Nona!" jawab salah satu dari mereka.

"Jangan macam-macam!" teriak Sakura, yang justru terdengar seperti sebuah tantangan bagi ketiga preman itu.

Sakura memejamkan mata saat dua orang dari mereka memegangi tubuhnya, mencegahnya untuk bergerak. Ia terus meronta.

"Hentikan! Kumohon!"

"Hentikan?" tanya seseorang yang lain.

Ia mendekati Sakura. Berjongkok di depan gadis itu. Tangannya menyentuh pipi Sakura. Tatapannya penuh nafsu. Perlahan, jemari lelaki itu menyusuri leher Sakura.

"Kau harus memuaskan kami, Nona. Bukankah ini menyenangkan? Di sini sedang sepi," ujarnya kemudian.

"He-hentikan!" racau Sakura. Ia memejamkan matanya, menahan tangisnya.

Gadis itu tetap berusaha meronta walau ia merasa suhu tubuhnya semakin panas. Napasnya tercekat. Ia tersentak saat merasakan tangan besar menelusuri perutnya, yang entah semenjak kapan kancing baju tebalnya dibuka oleh mereka.

"Kami-sama!" jerit Sakura dalam hati.

Sakura tak tahu bagaimana tangan lelaki asing itu bisa menyusup ke dalam pakaian Sakura. Yang ia tahu, dirinya tengah dalam keadaan bahaya. Baru saja ia ingin menjerit, sebuah tangan kembali membekap mulutnya.

"Kau ingin berteriak? Kau terlalu bodoh, Cantik!"

Sakura kembali tersentak saat ada tangan lain yang dengan sengaja menggodanya. Tangan itu meraba perutnya juga, hampir mengenai ***********.

"Oi!"

Mereka menoleh. Dari tempatnya, Sakura hanya samar melihat siluet seseorang berdiri beberapa meter di depan mereka. Satu orang yang tadi berjongkok di depan Sakura sontak berdiri membelakangi gadis itu.

"Cih! Ada pengganggu rupanya," ucap lelaki itu.

Sakura tak tahu apa yang terjadi. Air yang tadinya hanya berupa gerimis, kini menjadi tetesan yang turun dengan cepat dan deras. Sakura tak tahu apa yang terjadi. Yang ia rasakan, satu orang melepasnya, mendekati rekannya yang lain.

"Kau pikir kau siapa? Sok menjadi pahlawan? Cih!"

Sakura hanya mendengar samar. Pandangannya kabur terhalang air hujan. Ia tak tahu apa yang mereka lakukan. Namun saat tiba-tiba mendengar suara pukulan, Sakura sadar mereka tengah berkelahi. Sakura bersyukur saat satu orang lagi yang tadi memegang Sakura, beranjak pergi dari Sakura.

Suara pukulan itu kian terdengar jelas di telinga Sakura. Sakura berusaha mendudukkan tubuhnya. Bajunya bercampur dengan tanah dan air hujan. Saat aksi baku hantam itu tak terdengar lagi di telinganya, Sakura menunduk. Napasnya tersengal. Ia menerima panas yang luar biasa dari tubuhnya, dan juga rasa dingin di kulitnya.

"Kalian bisa dipenjara atas tuduhan penodongan dan pemerkosaan terhadap seorang gadis."

Suara itu terdengar. Lelaki bertubuh kekar yang tadi mengganggu ketiga preman itu, kini perlahan mendekati Sakura. Gadis itu memaksakan kepalanya mendongak, menatap punggung sosok itu. Sakura pikir, ia sedang berhalusinasi.

"Kalian pikir tak ada kamera pengawas di sini?" tanyanya. Ia semakin dekat dengan posisi Sakura.

Sakura mampu melihat orang itu menunjuk-nunjuk sesuatu di atas mereka. Meski suaranya samar, Sakura terpaku. Ia memejamkan kembali maniknya. Air hujan membuatnya semakin merasa tidak enak badan.

Ketika tubuhnya hendak ambruk ke tanah, seseorang menangkap tubuhnya. Merasa tak ada air hujan yang menyentuh wajahnya, Sakura memberanikan diri untuk membuka mata. Rasanya, halusinasi yang ia pikirkan kini menjadi nyata.

"Sa ...,"

"Kau ini menyebalkan sekali!" sarkas seseorang yang telah menolong Sakura itu.

"A-arigatou," cicit Sakura, sebelum akhirnya matanya terpejam.

Lelaki itu-Sasuke, yang tak lain suami Sakura-entah bagaimana bisa ia merasa lega, meski wajahnya sendiri babak belur.

🌸🌸🌸

Sakura terbangun dari tidurnya. Hari sudah siang. Ia cemas saat tahu dirinya telat datang ke rumah sakit. Tangannya meraih ponselnya yang ada di nakas samping ranjangnya. Jam di ponsel itu menunjukkan pukul sembilan pagi. Sisa-sisa rasa pusing semalam masih Sakura rasanya. Mengingat semalam, Sakura jadi ingat tentang Sasuke-lah yang menolongnya.

Sakura mendapati sebuah pesan belum terbaca. Ia membukanya. Pesan itu dari Ino. Sahabatnya menanyakan mengapa ia belum juga ke rumah sakit. Sakura pasti akan diomeli Ino jika tak memberi kabar. Akhirnya, ia membalas pesan Ino, dan mengatakan alasannya tidak berangkat bekerja. Ia sedang sakit.

Sakura turun dari ranjang. Ia menuju jendela kamarnya, membuka tirainya yang tadi masih tertutup. Saat itulah, Sakura mendapati suaminya berdiri di dekat kolam ikan.

"Sasuke-kun tidak bekerja hari ini?" tanyanya dalam hati.

Sakura memutuskan untuk turun dari kamar. Ia menuju dapur, mengambil air minum, karena ia memang sedang haus. Ia tak melihat siapa-siapa di sana. Saat hendak kembali ke kamar, Sakura melihat sang suami masih di dekat kolam ikan itu. Ia menghampiri Sasuke. Berdiri di belakang sang suami, sedikit mendongak menatap tengkuk Sasuke.

"Sasuke-kun?" panggil Sakura.

Sasuke menoleh sekilas. Ia kembali memandangi kolam ikan itu.

"Sasuke-kun tidak bekerja?" tanya Sakura.

"Kau menuntutku?"

Pertanyaan dingin dari sang suami membuat Sakura terdiam. Saat Sasuke berbalik hendak pergi, Sakura memegang pergelangan tangan suaminya. Hal itu mampu membuatnya berhenti dan menatap Sakura tanpa ekspresi.

"Hn? Apa?"

Sakura menyentuhkan punggung tangannya ke kening Sasuke. Tangan kirinya masih memegang pergelangan tangan sang suami. Ia menatap prihatin pada beberapa luka di wajah suaminya. Alisnya bertautan karena sedikit kaget merasakan suhu tubuh Sasuke. Lalu Sasuke sendiri? Bagaimana dengan lelaki itu? Ia malah terpaku dengan sang istri yang menatapnya intens. Sasuke tak mampu mengatakan apapun.

"Kau demam?" tanya Sakura.

"Tidak," jawab Sasuke sembari melepaskan tangan Sakura darinya. Sakura malah kembali meraihnya. Lagi-lagi, membuat Sasuke tertegun sesaat.

"Kau harus minum obat, Sasuke-kun!" perintah Sakura.

"Tidak."

"Harus, Sasuke-kun!"

"Tidak."

"Harus!"

Hanya perasaan Sasuke atau bukan, ia merasa Sakura jadi lebih cerewet sekarang. Sasuke tahu, Sakura juga tengah sakit. Sangat kelihatan dari bibir mungilnya yang sedikit pucat dari biasanya.

"Hn. Terserah. Aku ingin tidur," ucap Sasuke setelah cukup lama terdiam. Ia kembali melepaskan tangan Sakura, lantas pergi dari sana meninggalkan gadisnya.

🌸🌸🌸

Pukul dua siang. Sasuke baru saja terjaga. Manik hitamnya tertuju pada plafon kamarnya. Kepalanya tak lagi terasa sakit seperti sebelumnya. Ia sendiri di sana. Sakura entah pergi ke mana, Sasuke tak tahu.

Sedangkan di dapur, gadis yang tak sengaja Sasuke pikirkan itu tengah menyiapkan makanan. Sakura sebenarnya juga tidur setelah Sasuke berpamit tidur. Gadis itu tidur di kamar tamu, tanpa ada yang tahu. Ia hanya ingin membiarkan Sasuke tidur sendiri dengan tenang di kamar mereka. Dengan kata lain, Sakura tak ingin mengganggunya.

Gadis itu membawa semangkuk nasi dan semangkuk sup tomat dengan sebuah nampan. Tak lupa minuman tersedia di sana. Sakura sedang menyiapkan makan siang untuk sang suami.

Ia menuju kamarnya. Sampai di sana, Sakura mengetuk pelan pintunya. Meski tak ada jawaban, Sakura tetap masuk ke dalam. Di sana, ia mendapati sang suami duduk bertumpu pada sandaran ranjang. Ia menatap Sakura yang tersenyum ke arahnya.

"Makanlah. Ini bahkan sudah lewat jam makan siang," ucap Sakura, meletakkan nampannya di nakas kecil dekat Sasuke.

Sasuke tak menjawab. Ia hanya melirik sang istri. Sakura menghadap suaminya. Memperhatikan Sasuke yang hanya diam dengan wajah lesunya. Tak lama, pintu kamar itu diketuk. Sakura menoleh sejenak, lantas kembali melirik suaminya. Suara ketukan terdengar lagi, membuat Sakura buru-buru menghampiri pintu.

"Sasuke di dalam?" tanya seorang lelaki, yang tadi mengetuk pintu kamar Sakura.

"Ah! Itachi-nii! Iya. Sasuke-kun ada di dalam," jawab Sakura. Ia membuka pintu kamar sedikit lebar, mempersilahkan sang kakak ipar untuk masuk.

"Aku akan ke dapur sebentar. Kalian bisa bicara berdua di dalam," ucap Sakura berpamit.

Di tempat, Sasuke bisa mendengar suara kakaknya di sana. Benar saja, Itachi masuk ke dalam, menghampirinya. Sasuke hanya menatap datar kehadiran kakaknya.

"Yo, Sasuke!" sapa Itachi.

"Hn."

Itachi diam sejenak memperhatikan sang adik. Rasanya seperti kembali ke masa lalu, saat melihat adiknya sakit seperti ini. Sasuke bersandar dengan selimut yang menutupi seluruh kakinya. Sorot mata itu tetap tajam meski wajahnya lesu. Itachi tersenyum tipis.

"Sepertinya dokter cantikmu sudah merawatmu dengan baik. Kau terlihat lebih sehat sekarang," ujar Itachi. "Jadi, besok kau bisa kembali bekerja untuk istrimu," imbuhnya.

"Cih!"

"'Cih'? Oh ayolah, Sasuke! Kau tidak berterima kasih pada istrimu?" tanya Itachi.

Sekilas, ingatan Sasuke tentang kejadian di kafe tempo hari terlintas. Kejadian itu berputar secara acak di kepalanya. Naruto datang bersama Hinata dan Sakura. Lalu tiba-tiba Karin jatuh. Wanita itu menggodanya. Puncak kebingungannya adalah ketika Sakura berbicara dengan seseorang melalui sambungan telepon.

"Sensei," gumam Sasuke tanpa sadar.

"Hn?"

Sahutan Itachi membuat Sasuke tersadar. Ia pikir mustahil Sakura seorang dokter. Ia bilang dirinya penjaga perpustakaan. Tentu saja itu benar, karena seorang dokter tak akan meninggalkan rumah sakit dengan jadwal se-teratur Sakura, bukan? Biasanya seorang dokter harus siap siaga di rumah sakit. Ya, kira-kira itu yang ada di pikiran Sasuke.

"Perlukah aku mencari tahu?"

"Sasuke!"

Sang empunya nama tersentak. Ia berdecak kesal karena Itachi mengejutkannya.

"Berhentilah melamun, baka! Jika kau kesurupan, aku harus apa?" tanya Itachi dengan kesal.

"Urusai!"

"Apa ... istrimu menyembuhkanmu dengan ciuman?" tanya Itachi tiba-tiba.

Sasuke mendelik seketika. Ia mengalihkan perhatiannya dari sang kakak dengan mengambil berkas yang semenjak tadi berada di sampingnya. Sasuke membolak-balikan kertasnya.

"Apa kataku benar? Sakura menyembuhkanmu dengan ciuman?" tanya Itachi lagi. Kali ini, ia benar-benar berniat menggoda sang adik.

"Cih! Urusai, keriput!"

Itachi tertawa. "Aku juga ingin disembuhkan seperti itu oleh Izumi," ucapnya kemudian. Lelaki itu menatap jauh menerawang.

Sasuke mendengus kesal melihat hal itu. Ia masih tak bisa melupakan kejadian mesum yang tak sengaja ia saksikan antara kakaknya dan kakak iparnya waktu itu. Sasuke tak habis pikir dengan mereka berdua.

"Dengar, Sasuke!" pinta Itachi. Kini intonasi lelaki berambut panjang itu terdengar serius. Sasuke mendongakkan kepalanya menatap sang kakak.

"Seorang Uchiha tak akan melakukan kesalahan semudah ia merobek selembar kertas. Kuharap kau bisa berhati-hati melangkahkan kakimu," imbuh Itachi.

Sasuke membutuhkan waktu untuk mengerti kalimat kakaknya. Belum lagi ia paham, Itachi berkata lagi.

"Suatu saat nanti kau akan merasa bahwa istrimu adalah dokter dalam rumah tanggamu!"

Itachi berdiri usai berbicara. Meninggalkan Sasuke yang kini menatapnya gusar.

"Cih! Apa-apaan si tua itu?!" gumam Sasuke.

Tanpa diperintah, otaknya masih terus berusaha mencerna ucapan sang kakak. Meski ia berkali-kali mencoba berfokus pada dokumen yang ada di hadapannya. []

.

.

.

Bersambung

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!