15. Kebenaran

Sakura berhasil sampai di ruang Instalasi Gawat Darurat setelah hampir tiga menit berlari. Ia mencari beberapa korban ledakan yang sempat ia tangani tadi. Di salah satu brankar ruang IGD itu, Sakura melihat Shikamaru tengah di tangani oleh seorang dokter dan seorang perawat.

Kini maniknya mencari sosok berambut merah yang pernah ia temui. Saat menemukannya, Sakura sedikit lega. Segera saja ia menghampiri, tak peduli bagaimana penampilan sekarang.

"Chotto matte, Sakura-Sensei! Jangan sembarangan mendekati pasien luka bakar ini dengan pakaianmu yang seperti itu!" peringat seorang dokter.

"Ah! Su-sumimasen!" Gadis itu lupa jika pakaiannya kini kotor.

"Sakura-Sensei!" teriak seseorang. Sakura menoleh. Mendapati Yuuna dan Shizuka berada di sana. Di tangannya, Shizuka membawakan sebuah jas putih.

"Ini milikmu! Cepat cuci tanganmu dan temui kami di sini!" perintah Shizuka dengan cepat.

Sakura mengangguk. Ia bergegas menuju tempat mencuci tangan yang tersedia di ruang IGD. Usai mencuci tangannya, Sakura melepas baju tebalnya, menyerahkan itu pada Shizuka. Beruntung, Sakura tadi merapatkan resletingnya baju tebalnya, sehingga kaos lengan panjangnya tak ikut kotor saat ia berada di lokasi kejadian.

"Arigatou," ucap Sakura. Ia segera menghampiri Sasori yang berada di sana.

"Bagaimana kondisinya?" tanya Sakura pada seorang dokter yang menangani Sasori. Ia menunjukkan pada Sakura hasil CT Scan di layar laptop itu.

"Ada beberapa serpihan kaca yang masuk ke dalam tubuhnya. Sepertinya pasien sempat mencabut kaca yang lebih besar dari perutnya. Goresan di perutnya masih baru. Beberapa serpihan itu terletak di dekat usus besar. Beberapa lagi ada di dekat otot alari¹," ujarnya menjelaskan pada Sakura.

Sakura mendesah. "Haah .... Dia harus segera dioperasi," respons Sakura. Dokter IGD itu mengangguk setuju.

"Segera panggil Neji-maksudku Hyuuga-Sensei untuk membantuku!" perintah Sakura.

"Hai, Sensei!"

"Siapkan ruang operasi untuk sepuluh menit lagi!" perintah Sakura lagi. Kali ini, Shizuka dan Yuuna yang menyahuti. Keduanya bergegas.

Sakura meminta beberapa perawat membantunya memindahkan Sasori ke ruang operasi. Lagi-lagi, Sakura merutuki rumah sakit ini yang terlalu luas. Tak ia sangka, dirinya akan bertemu Naruto dan yang lainnya saat akan menuju ruang operasi. Gadis itu mengisyaratkan para perawat untuk terus menuju ruang operasi yang jaraknya beberapa belas meter dari IGD. Gadis itu hendak menanyakan beberapa hal pada Naruto dan yang lainnya. Belum mengangkat suara, seorang perawat tiba-tiba berteriak.

"Sakura-Sensei, pasien henti jantung!"

Sontak gadis itu setengah berlari ke arah Sasori yang berjarak beberapa meter darinya.

"Sasori-san? Kau bisa mendengarku, Sasori-san?" tanya Sakura seraya mengguncang tubuh Sasori.

Tak ada sahutan. Ia segera menyingkap selimut yang menutupi tubuh Sasori. Sakura hanya menyingkap selimut yang menutupi dada bidang Sasori hingga ke pusarnya. Lelaki itu sudah telanjang dada sejak di IGD tadi.

"Di mana Hyuuga-Sensei?!" tanya Sakura setengah berteriak.

"Sudah saya panggil," sahut salah seorang di sana. "Dia sedang dalam perjalanan ke sini."

Sakura dengan cekatan naik di sisi kanan Sasori, dan berlutut di brankar itu, tepat di samping leher dan bahu Sasori. Ia menempatkan tumit salah satu telapak tangannya tepat di tengah dada Sasori, di antara kedua ****** susu. Tangannya yang bebas diletakkannya tepat di atas tangan yang satunya. Dengan posisi bahu sejajar di atas kedua tangannya, Sakura menggunakan berat tubuh bagian atasnya untuk menekan dada Sasori.

Sakura menekannya kuat-kuat dengan ritme yang begitu cepat. Napasnya cukup tersengal. Tak lama, Neji datang, berlari ke arah Sakura.

"Biar aku yang melakukannya," ujarnya.

Sakura hanya melirik tanpa menghentikan gerakannya. Ia mempercepat tekanannya. Gadis itu berharap goncangan di tubuh Sasori tak berakibat fatal pada pecahan kaca yang ada di dekat otot alari itu.

"Ah! Dia kembali!" seru seorang perawat.

Sakura melirik pada alat pendeteksi vital pasiennya. Ia bernapas lega, lantas menghentikan gerakannya. Alat itu menunjukkan kondisi vital Sasori mulai membaik. Sakura berusaha mengatur napasnya yang masih tersengal. Ia membungkukkan tubuhnya, dengan satu tangan berpegang pada sisi pembatas brankar.

"Bawa pasien ke ruang operasi!" perintah Neji. Semua perawat yang membawa Sasori itu mengangguk, lantas bergegas pergi dari sana.

Sakura kini beralih pada beberapa orang yang terus memperhatikannya dalam diam sejak tadi. "Apa aku bisa menghubungi wali dari Akasuna-san?" tanyanya tegas.

Semua yang ada di sana saling menatap. Sakura menghela napas.

"Jika tidak ada, kami akan mengoperasinya tanpa persetujuan wali."

Ino sontak mendongak, berjalan cepat mendekati Sakura. "Kau gila? Jangan lupakan aturan, Sakura! Kau bisa dituntut jika mengoperasinya tanpa persetujuan wali!" peringat Ino.

"Aku tahu. Tapi dia pasienku. Aku tak bisa membiarkannya mati karena serpihan kaca di dalam tubuhnya melukai organ dalamnya, Ino!" bantah Sakura. Ino diam sesaat.

"Aku ikut!" seru Ino.

"Apa?" tanya Sakura. Ia baru saja akan berbalik badan menuju ruang operasi.

"Jika kau dalam masalah, aku tetap akan membantumu!" ucap Ino tegas, tanpa memikirkan apa yang barusan ia katakan.

"Ino-"

"Kau dilarang ikut operasi, Ino!" Suara baritone seseorang memotong ucapan Sai, membuat mereka semua menoleh. Sakura pikir,orang itu sudah lebih dulu menuju ruang operasi tadi.

"Neji Nii-san?! Benarkah itu kau?" Naruto menatap tak percaya.

"Hiperemesis," ucap Neji, mendekati mereka semua."Kau mengalami Hiperemesis Gravidarum² saat pagi tadi menjadi asisten pertamaku waktu operasi tengah berlangsung. Untuk menghindari hal itu terjadi lagi, sementara waktu sampai kau melahirkan, kau tak akan kuizinkan membantu operasiku, Yamanaka Ino!" tegas Neji.

Ino sontak menatap Sakura kesal. "Sialan kau Sakura! Lalu aku harus apa sampai sembilan bulan ini, heh?" omelnya.

"Temani saja suamimu," ujar Sakura.

"Sakura-Sensei, operasi akan dimulai sebentar lagi," peringat Neji. Sakura mengangguk. Ia membalikkan badannya, berjalan meninggalkan orang-orang di sana.

"Sakura-san!" panggil seseorang.

"Deidara-san?" gumam Sakura.

"Cih! Dia juga mengenali Deidara?" batin Sasuke.

"Wali dari Sasori-senpai sudah mengatakan padaku dia menyetujui operasinya. Besok mereka akan datang ke sini," ujar Deidara kemudian.

"Baguslah," respons Sakura. Ia kembali berbalik, menuju ruang operasi bersama Neji.

"Ah, Gaara-san!" panggil Sakura. Ia kembali menghentikan langkahnya, berbalik lagi untuk menatap Gaara. "Sampaikan kabar ini kepada Temari-san besok pagi. Jangan biarkan kabar suaminya membuatnya tak tenang," terusnya.

Semua orang menatap Gaara. Tanpa terkecuali Sasuke. Gaara menghela napas.

"Di mana aku bisa menemui Shikamaru?" tanya lelaki itu. Iris Hazel-nya menatap tenang ke semua orang.

"Shikamaru?" gumam Ino.

"Kau mengkhawatirkannya?" tanya Naruto penasaran.

"Bukan aku lebih tepatnya. Mungkin Temari Onee-san yang akan khawatir. Kurasa sudah semestinya sebagai adik ipar aku menjenguknya," ujar Gaara menjelaskan.

"Apa?!" teriak Naruto dan Ino hampir bersamaan.

"Oi! Kau menyembunyikan itu?" tanya Naruto.

"Haah ... padahal mereka mengundangmu saat resepsi pernikahan, Naruto," sahut Sai.

"Sai-kun? Kau tahu soal itu?" tanya Ino.

"Aa. Tentu saja. Lalu, kenapa kau dimarahi Neji tadi?" tanya Sai tiba-tiba. Semua yang di sana menyimak.

"Pagi tadi, aku hampir membuat pasien yang sedang dioperasi Neji mengalami pendarahan. Karena itu dia dan Sakura marah padaku," ucap Ino, sedikit malu.

"Sudah kukatakan, lebih baik kau istirahat saja dulu." Sai menghela napas panjang.

"Sai? Dia istrimu?" tanya Sasuke yang semenjak tadi diam.

Sai tak menjawab. Begitu pun Ino yang hanya melingkarkan tangannya di lengan sang suami.

"Kuncir kuda sialan! Kau juga, muka mayat! Kalian bersekongkol merahasiakan ini dariku, eh?!" kesal Naruto.

"Ini?" tanya Sai.

"Jangan berkura-kura dalam perahu, Sai mayat! Kalian tahu soal pekerjaan kakak iparku dan sahabatku, Sakura, bukan?!" geramnya.

"Lelaki Hyuuga itu? Aku baru tahu hari ini. Yang kutahu, Sakura memang dokter bedah umum di sini," jawab Sai dengan entengnya.

"Oi, Kuning! Hinata-chan sudah tahu soal ini, asal kau tahu!" sahut Ino.

"Hi-Hinata?" Naruto memandang Ino dengan tatapan tak percaya. "Kalian berbohong, kan?" tudingnya.

"Tanyakan saja padanya langsung," ucap Ino.

Sasuke bergeming di tempatnya. Istrinya seorang dokter? Ah! Dia baru tahu hal itu tadi. Seketika ucapan Itachi teringat olehnya, tentang Sakura yang merawatnya.

"Sepertinya dokter cantikmu sudah merawatmu dengan baik. Kau terlihat lebih sehat sekarang. Jadi, besok kau bisa kembali bekerja untuk istrimu,"

Akhirnya, Sasuke menyadari, mengapa istrinya pagi tadi dengan sigap memberinya obat saat ia minta. Selama ini, Sakura yang bilang ia bekerja sebagai penjaga perpustakaan di salah satu sekolah swasta, ternyata seorang dokter di rumah sakit ternama ini. Sakura yang terkadang pulang telat, ternyata karena aktivitasnya di rumah sakit. Istrinya itu yang sering tidur lebih dahulu, mungkin karena rasa lelah.

Hei! Gadis itu menyembunyikan sebuah fakta darinya, bukan? Bahwa dia adalah seorang dokter. Ketika ia melihat istrinya tadi, ada sebuah perasaan aneh yang ia rasakan. Entah bagaimana bisa, terselip sebuah perasaan bangga dalam hati Sasuke.

"Teme!"

Sasuke tak akan pernah lupa saat masa sekolahnya dulu. Ia dan Sakura pernah secara tak langsung bersaing mendapatkan nilai terbaik untuk mata pelajaran pengetahuan alam. Tapi sayangnya, Sasuke kalah dalam sebuah ujian akhir semester tahun keduanya. Sasuke tahu, Sakura sebenarnya merendahkan kemampuannya untuk dirinya. Mengingat hal itu, membuat Sasuke sedikit merasa bersalah.

"Temee!!!"

Lelaki bermanik Onyx itu tersentak saat Naruto membentaknya.

"Naruto baka! Ini rumah sakit bukan rumahmu sendiri!" omel Ino.

"Tenanglah, Ino. Jangan mudah emosi," ucap Sai menenangkan.

"Dia itu selalu membuat keributan di mana pun dia berada. Huh! Bagaimana bisa aku berteman dengannya," gumam Ino masih kesal.

"Oi, Teme! Kau melamun?" tanya Naruto.

"Tidak," jawab Sasuke dengan cukup dingin. Naruto mendekati Sasuke.

"Teme, Sakura-chan bilang kau sedang tak enak badan. Dia sempat memintaku mengantarmu ke kantin rumah sakit ini sebelum dia masuk ruang operasi," kata Naruto pelan, menjelaskan.

Sasuke mengangkat kepalanya, menatap manik biru sahabat sialannya itu. Tak ada guratan dusta di sana. Memang benar, ia sempat melihat Naruto berbincang dengan Sakura saat mereka masih ada di kafe itu.

"Tak perlu," tolak Sasuke.

"Heh?! Aku bisa dimarahi Sakura-chan jika kau menolak, dattebayo!" geram Naruto. Ia mendekatkan wajahnya ke wajah Sasuke.

"Dengar, Teme! Kau semenjak pertemuan tadi benar-benar tak bisa fokus! Itu artinya kau perlu makan! Ya ... setidaknya itu yang Sakura-chan katakan padaku," bisik Naruto pada Sasuke.

Lelaki berambut raven itu berdiri dari duduknya. Ia berjalan menjauh dari sana. Naruto menatap bingung.

"Oi, Teme! Mau ke mana kau?" tanya Naruto kemudian.

"Seperti katamu," jawab Sasuke pelan.

Naruto tersenyum, bergegas menyusul Sasuke. Ia tahu ke mana sahabatnya itu akan pergi. Sepertinya ada sedikit perubahan pada Sasuke, setidaknya itulah pikir Naruto.

🌸🌸🌸

Tenten baru saja akan kembali pulang. Tiba-tiba, ia menghentikan langkahnya saat mendapati siluet seseorang yang sepertinya ia kenal. Matanya menyipit memastikan siapa yang duduk di sana. Yang paling familier untuknya adalah lelaki berambut kuning itu.

"Naruto?" pikir Tenten. "Sedang apa dia di sini?"

Sebenarnya, gadis itu tak ingin mencuri dengar apa yang dua orang itu bicarakan. Saat mendengar suara seorang lelaki berambut hitam di depan Naruto, Tenten menjadi kian ingin tahu. Ia memang tak bisa melihat siapa itu karena dari tempatnya, Tenten hanya bisa menatap punggungnya.

"Teme, kau tahu Sakura-chan seorang dokter?" tanya Naruto dari tempat duduknya.

Tenten mengerutkan keningnya. "Uchiha itu tak tahu?" batinnya.

"Hn. Tidak."

"Ah! Kurasa memang ada yang salah dengan Sakura-chan. Dia lebih menutup diri semenjak lulus sekolah. Jadi selama ini, dia kuliah di jurusan kedokteran?"

"Hn."

"Kau tahu di mana dia kuliah? Sebelum kau dan Sakura-chan menikah?" tanya Naruto.

"Tidak."

"Tapi apa alasan dia menghilang beberapa tahun setelah lulus sekolah?" tanya Naruto lagi.

"Dia bilang ingin kuliah."

"Kenapa kau bisa tak tahu? Dia 'kan saat itu calon istrimu?"

"Aku sedang fokus dengan bisnisku."

"Apa kau tak pernah peduli padanya?"

"Ck. Berhentilah bertanya, Dobe! Kau melebihi seorang wartawan!" kesal Sasuke.

Tak lama pesanan mereka datang. Naruto sudah lupa dengan apa yang ia bicarakan dengan Sasuke jika ia sudah berhadapan dengan makanan. Alhasil, ia makan terlebih dahulu, meninggalkan Sasuke yang sedang melamun, menyangga dagunya dengan tangan.

"Boleh aku bergabung? Sepertinya aku juga lapar," ujar seseorang yang membuyarkan lamunan Sasuke.

"Sai?" tanya Tenten dalam hati.

"Tenten-san? Kau belum pulang?"

Tenten terkejut bukan main. Di belakangnya, seorang wanita membawa nampan berisi dua gelas minuman.

"Tolong berikan ini pada lelaki berambut kuning di sana. Aku harus ke toilet sebentar," ucap pelayan itu, seraya menyerahkan nampan di tangannya kepada Tenten.

"Eh? Aku?"

"Onegai shimasu!" Pelayan itu langsung pergi.

Tenten diam sejenak. Yang benar saja? Ia harus mengantarkan itu pada teman lamanya? Sejujurnya, ia malu jika tiga orang lelaki yang terkenal saat masih sekolah itu mengetahui dirinya adalah seorang pelayan. Saat teringat akan tujuannya kemari, Tenten akhirnya memberanikan diri.

Dengan langkah tegas, tanpa berpakaian kerja, ia berjalan menuju meja Naruto. Tak peduli apa pendapat mereka tentangnya nanti. Tugasnya sekarang adalah mengantarkan minuman itu lantas pulang, dan menghentikan aksinya menguping.

"Maaf menunggu lama," ucap Tenten seraya menaruh gelas-gelas itu bergantian.

"Ah? Tenten-chan? Kau bekerja di sini?" tanya Naruto di sela makannya.

"Ya. Begitulah. Sakura yang membantuku mencari pekerjaan di sini," jawab Tenten dengan tenang.

"Uhuk! Uhuk!" Lelaki bersurai kuning itu tersedak makanannya sendiri.

"Sakura? Bagaimana bisa?" tanya Sai mewakili keterkejutan Naruto.

Gadis bersurai cokelat itu menghela napas panjang. "Haah .... Dia seorang dokter ternama di sini. Hampir semua orang mengenalnya. Dia bekerja satu ruangan dengan kepala dokter bedah di rumah sakit ini, Tsunade-sama," jawabnya kemudian.

"Tsunade?" gumam Sasuke.

"Kau mengenalnya, Sasuke-kun?" tanya Sai.

"Aa. Dia pernah beberapa kali masuk berita. Namanya cukup terkenal di Tokyo, bahkan mungkin seluruh Jepang," jawab Sasuke.

"Sepertinya aku harus segera pulang. Kalau begitu, sampai jumpa lagi kalian." pamit Tenten. Ia berlalu dari sana.

Sai dan Naruto memandangi kepergian Tenten. Sedangkan Sasuke? Lelaki itu semakin bingung sekarang. Ia merasa dunianya tiba-tiba sempit.

"Kenapa kurasa dunia ini sempit?" tanya Naruto, seolah bisa membaca pikiran Sasuke.

"Sudah berapa jam semenjak operasi Akasuna Sasori?" tanya Sasuke entah pada siapa.

"Ah! Sudah hampir dua jam," jawab Sai.

Ponsel milik Sai berdering. Lelaki itu segera melihat siapa yang menghubunginya. Ia menerima panggilan masuk itu.

"Aa. Baiklah," ucap Sai, lalu menutup telepon itu. Ia memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku kemejanya.

"Ino baru saja mengabariku. Operasinya sudah selesai. Sebaiknya kita kembali ke sana," ucap Sai.

Sasuke meraih jus tomatnya. Ia lantas meminumnya hingga tinggal separuh. Ia berdiri usai meletakkan kembali gelasnya. Beranjak dari sana tanpa mengatakan satu kata pun. Naruto sedikit tergesa meminum jusnya, dan bergegas menyusul Sasuke dan Sai yang lebih dahulu pergi, setelah sebelumnya ia membayar makanannya pada seorang pelayan yang kebetulan lewat.

🌸🌸🌸

"Keadaan pasien sudah membaik. Kami akan memindahkannya ke ruang ICU. Jika dalam beberapa hari kondisinya sudah benar-benar stabil, dia akan dipindahkan ke ruang rawat reguler," ucap Neji menjelaskan.

Sasuke, Naruto dan Sai sudah sampai di sana beberapa menit yang lalu. Neji yang sebenarnya hendak pergi dari sana mengurungkan niatnya saat mendengar percakapan di antara para pebisnis itu.

"Gaara, kau kenal dengan Sakura-san?" tanya Deidara tiba-tiba.

Gaara menoleh ke arah lelaki berambut kuning panjang itu. "Hm?"

"Aku yakin kau tak tuli. Apa kau juga tertarik dengan Sakura-san?" tanya Deidara lagi.

Gadis yang mereka perbincangan itu hanya diam memperhatikan. Sebenarnya, ia sedikit malu sekaligus takut pada sang suami.

"Juga?" Gaara keheranan.

"Kau akan menjadi saingan Sasori-senpai, sepertinya. Kurasa dia juga tertarik dengan Sakura-san," ujar Deidara, menoleh ke arah Sakura.

"Hee?! Hei, kuning! Jangan asal bicara kau ya!" sahut Naruto tak terima.

"Apa? Kau juga tertarik dengan Sakura-san? Bukankah kau sudah beristri, kuning?" balas Deidara.

"Pfftt .... Kuning teriak kuning," cibir Ino, menahan tawanya.

"Wah, wah! Sepertinya akan ada banyak pesaing untuk mendapatkan hati Sakura-san," ucap Deidara, lagi.

Ah lihatlah si kuning rambut panjang itu. Dia sepertinya membuat seseorang di sana terpancing.

"Warui, na!" sahut seseorang. Sakura yang hendak menoleh ke sisi kanannya mengurungkan niat saat merasakan sebuah tangan yang lebih besar darinya tiba-tiba menggenggam tangan kanannya, cukup erat.

"Kalian terlambat. Dia istriku, Uchiha Sakura," sahut sang lelaki berambut model-ekhem, kata istrinya-seperti pantat ayam.

Baik Gaara, Deidara, atau pun Neji sama-sama menatap Sasuke dengan tatapan tak percaya. Namun Gaara dan Neji berhasil menyembunyikan raut keterkejutan mereka. Deidara yang terlihat tak terima menatap Sasuke dengan tajam.

"Mengejutkan sekali, bukan?" Sai menimpali. Senyuman terukir di bibirnya.

"Jadi kau juga sudah tahu, Sai?" tanya Naruto. Sai mengangguk sebagai jawaban.

"Heh? Sungguh? Tapi sepertinya, aku tak melihat Sakura-san memakai cincin di jarinya," ujar Deidara. Senyum kemenangan terpatri di wajahnya.

Sasuke melirik sang istri melalui sudut matanya. Onyx itu tetap terlihat tenang. Sebenarnya, ia terlihat seperti menuntut konfirmasi dari apa yang diucapkan Deidara.

"Sakura," panggil seseorang di belakang gadis itu. Semua yang ada di sana menoleh ke sumber suara.

"Tsunade-Sensei," sahut Sakura.

"Apa operasimu berjalan lancar?" tanya wanita itu. Sakura mengangguk pelan.

"Baguslah kalau begitu. Yamanaka Ino," panggil Tsunade.

Ino menoleh, menghadapkan dirinya ke wanita yang mengenakan jas putih itu. "Hai?"

"Kau tak perlu mengambil cutimu terlalu cepat. Sudah kubicarakan dengan Neji, kau hanya akan membantunya memeriksa pasien atau menyiapkan ruang operasi. Kau akan menjalani tugas ringan itu untuk beberapa bulan ke depan. Saat kau lelah, bunuh saja Neji jika dia membuatmu emosi," ujar Tsunade. Neji yang masih di tempat menghela napas panjang seraya memejamkan mata.

"Hai, Tsunade-Sensei," sahut Ino patuh.

"Nah, Neji. Ada yang perlu kubicarakan denganmu soal pasien yang pernah kau tangani." Wanita itu beralih pada Neji. Mengangguk paham, lelaki bermarga Hyuuga itu berjalan ke arah Tsunade yang kini mulai meninggalkan tempat itu.

"Sakura," Tsunade menghentikan langkahnya. Ia berbalik dan mendekati dokter muda bersurai merah jambu itu.

"Kau melupakan ini di meja kerjamu. Jika sampai hilang, aku yakin Uchiha bungsu itu akan meminta bawahannya menggeledah rumah sakit ini sampai ketemu," imbuh Tsunade, seraya memberikan sesuatu di telapak tangan Sakura yang bebas. Wanita itu kembali beranjak, diikuti oleh Neji.

Sakura mengamati benda di tangannya. Sebuah cincin dengan mata berlian yang berkilau terkena cahaya lorong itu. Deidara mendecih di tempatnya. Gaara tetap memasang wajah tenangnya. Sedangkan Sasuke, senyum tipisnya terukir. Tipis sekali.

"Ne, Sasuke-kun," panggil Sakura. Gadis itu memegang lengan suaminya.

"Ah!"

Emerald Sakura menegang saat suaminya meringis. Gadis itu segera menyadari, bahwa ada bekas noda di jas hitam suaminya. Tepatnya di lengan kanan Sasuke. Sakura memeriksanya. Benar saja, itu adalah noda darah sesuai dugaannya.

"Kau terluka?" tanya Sakura. Sasuke tak menjawab.

Tanpa persetujuan, Sakura melepas jas suaminya. Di kemeja putih Sasuke, bagian lengannya berwarna merah darah sebagian. Sakura menarik lengan kiri Sasuke yang dalam keadaan baik-baik saja. Ia membawa pergi Sasuke dari sana. Meninggalkan orang-orang yang menatapnya penuh arti.

"Sakura?" panggil Sasuke.

"Diamlah!" sahut Sakura.

Sakura tak peduli dengan berbagai tatapan orang-orang yang ia lalui. Menaiki lift, ia menuju lantai dua, tempat di mana ruangannya berada. Setelah mengajak Sasuke masuk, ia melepas pegangannya pada sang suami. Mencari sesuatu dari dalam laci mejanya. Sebuah kotak berwarna putih dengan simbol palang merah.

"Seharusnya katakan padaku saat kau terluka," ucap Sakura, ia mulai mengobati luka pada lengan suaminya.

Lelaki itu hanya menatap Sakura di balik helaian surai panjang berwarna merah muda itu, yang sepertinya cukup mengganggu istrinya itu. Sasuke beralih pada tangan Sakura yang dengan cekatan mengobati lukanya. Terutama pada cincin yang tersemat di sana.

Gadis itu berujar lagi. "Pendarahanmu cukup banyak. Jika kau dalam keadaan anemia, kau bisa pingsan, Sasuke-kun."

"Jangan pernah membiarkan luka dalam dirimu sekecil apapun. Itu bisa jadi berbahaya kedepannya!"

Ternyata istrinya itu sedang mengomelinya. Lagi-lagi, senyum tipis terukir di bibirnya.

"Sakura," panggilnya, tak sengaja.

"Hmm?" gadis itu menoleh sekilas. Ia kini memasang perban pada lengan Sasuke.

Lelaki itu tak langsung menjawab. "Tidak," ucap Sasuke setelah terdiam cukup lama.

Sakura menghentikan aktivitasnya sejenak. Ia lalu menghela napas panjang. Apa-apaan Sasuke tadi. []

.

.

.

Bersambung

¹ otot alari : otot penghubung antara jantung dan diafragma.

² <•> Hiperemesis : adalah gejala mual dan muntah hebat pada saat kehamilan dalam waktu relatif lama.

<•> Hiperemesis Gravidarum : adalah hiperemesis pada kehamilan muda.

Terpopuler

Comments

Kamunanyeaa?

Kamunanyeaa?

かあさや

2022-10-13

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!