9. Sekeping Masa Lampau

"Sasuke-kun, aku membuatkanmu bekal hari ini," ucap Sakura dengan cerianya.

Di belakangnya, Ino berdiri menatap penuh arti pada Sakura yang kini menyodorkan sebuah bekal untuk Sasuke. Tidak peduli akan ada yang membicarakannya, Sakura dengan percaya diri memaksa Ino mengantarkannya ke tempat Sasuke biasa berada saat jam kosong-atap sekolah.

"Hei, lihatlah! Romantis sekali, bukan?" komentar seorang lelaki di dekat Sasuke.

"Kau benar, Kiba. Bahkan kau kalah romantis dengan Akamaru," celetuk seseorang berambut kuning.

"Baka! Jangan samakan Sakura-chan dengan anjingku! Dasar Naruto idiot!" hardik lelaki bernama Kiba itu.

"Ne, Sasuke-kun? Ini," panggil Sakura, lebih menyodorkan bekal itu pada Sasuke.

Pemuda berambut mencuat bak pantat ayam itu hanya diam, melirik sekilas bekal yang terbungkus rapi dengan kain bermotif bunga Sakura itu.

"Tak perlu," tolak Sasuke mentah-mentah.

Ino naik pitam. "Kau itu tak pantas menolak sebuah pemberian seorang gadis! Sakura sudah susah payah memasakkannya untukmu, bodoh!" makinya pada Sasuke.

"Aku tak memintanya. Dia yang terlalu bodoh, kurasa," sarkas Sasuke.

"Kau kejam sekali, Sasuke. Hoaam! Merepotkan," cetus seseorang seraya menguap.

"Urusai, Shikamaru!" protes Sasuke.

"Harusnya kau terima bekal dari Sakura-chan, dattebayo! Aku yakin masakannya pasti enak seperti biasanya," saran Naruto.

"Hei! Kenapa kau tahu?" tanya Kiba.

"Karena aku yang selalu memakannya," jawab Naruto dengan jujurnya.

Sakura yang tadinya menunduk seketika mendongak, menatap Sasuke dan Naruto bergantian. Saat mendapat tatapan mematikan dari Onyx Sasuke, Naruto seketika sadar. Ia salah bicara.

"Jadi, selama ini ..., si kuning ini yang memakan bekal dari Sakura?" tanya Ino tak percaya.

Dengan berani, Ino menarik kerah seragam Sasuke. Ia benar-benar berada di ujung emosinya saat ini.

"Dengar, Uchiha! Kau memang berkuasa di sini! Tapi bukan berarti kau harus menginjak-injak perasaan sahabatku dengan semaumu! Ingat, ya! Suatu saat kujamin kau akan menyesal!" ujar Ino sarat akan emosi.

"Cih! Berhentilah melakukan yang sia-sia!" Sasuke berucap seraya melepaskan cengkeraman Ino.

Ino kian geram. Baru saja ia hendak menampar pemuda di hadapannya, Sakura mencegah.

"Hentikan, Ino!" Ino dan yang lainnya menoleh ke arah Sakura, kecuali Sasuke.

"Sakura? Bagaimana bisa kau terima harga dirimu diinjak? Usahamu selama ini tak pernah dianggap, dan juga-"

"Hentikan!!!" Sakura membentak.

🌸🌸🌸

Sakura tersentak. Napasnya sedikit tersengal. Keringat terasa di wajahnya. Ia mengamati sekitar, seraya menetralisir detak jantungnya yang berpacu lebih cepat dari normalnya.

"Hentikan, Sai-kun! Kyaaaa!!"

Teriakan Ino terdengar jelas di telinga Sakura. Yang barusan ia alami itu, mimpi? Tidak. Sakura tak menyangkal bahwa itu bukan sekadar mimpi. Sakura mengingati lagi tentang kejadian yang barusan ia saksikan sebelum menyadari dirinya dalam keadaan terkaget-kaget.

Ah! Ia ingat. Itu sepenggal ingatannya tentang masa lalunya. Masa lalu yang begitu memalukan untuk dirinya sendiri. Hari terakhir di mana Sakura memberikan bekal untuk Sasuke, tepat beberapa hari sebelum ujian akhir sekolah. Melihat dirinya sendiri di masa lalu melalui mimpi, membuat Sakura tersenyum getir. Sebegitu kah dirinya dulu berjuang untuk mendapatkan hati sang pangeran es sekolah? Jika memang begitu, apa sekarang masih sama? Apa ia akan kembali memperjuangkannya?

Sungguh memalukan karena disaksikan teman-teman dekat Sasuke saat tahu bekal yang sering ia buatkan untuk bungsu Uchiha itu ternyata diberikan kepada Naruto oleh sang penerima. Ada hal yang lebih memalukan daripada itu. Sakura ingat, semalam, ia lari dari rumah setelah menampar suaminya sendiri. Menangis di hadapan sang suami dan terlihat lemah jauh lebih sangat memalukan bagi Sakura. Itu yang paling memalukan baginya.

Selama ini, ia selalu berprinsip bahwa tak akan terlihat lemah di hadapan Sasuke. Itu ia putuskan semenjak mendengar kabar dari sang ayah, bahwa ia dan Sasuke sudah dijodohkan sejak kecil. Sakura masih ingat jelas, seri di wajah sang ibu saat Kizashi menyampaikan kabar yang entah pantas Sakura sebut baik atau buruk itu. Sakura bukan gadis bodoh yang tak tahu tanggapan Sasuke jika dijodohkan dengan gadis yang semenjak masuk sekolah menengah atas selalu mengejarnya. Sakura paham betul, Sasuke pasti akan semakin membencinya. Itu terlihat saat esoknya, Sasuke benar-benar tak ingin bertemu dengan Sakura.

Mengingat bagaimana dulu, membuat Sakura meneteskan air matanya. Oh ayolah! Bukan saatnya menyesali yang telah lalu. Sakura harus tetap pada semangatnya yang selalu menyala dalam hati. Menghapus air matanya, gadis bermanik Emerald itu bangkit dari sofa tempatnya tidur. Sofa itu bahkan mungkin pantas disebut kasur kecil.

Sakura berjalan menuju dapur, sumber suara Ino tadi. Pintu dapur tertutup. Sakura tak menyangka mereka milih apartemen yang memiliki banyak pintu. Ruang tengah sekaligus ruang tamu terpisah dengan satu ruangan yang Sakura duga adalah kamar kedua insan pemilik apartemen ini. Di sisi kanannya, terpisah dinding sebatas dada, ada dapur. Dapur itu memiliki pintu kecil di sana, sehingga tamu yang duduk di ruang tengah tak akan melihat dengan jelas apa yang orang lakukan di dapur.

"Sai-kun, kau mau kubuatkan kopi?" tawar Ino.

Sakura mengurungkan niatnya untuk membuka pintu yang juga sebatas dada orang dewasa itu. Ia menyembunyikan diri, membiarkan Ino dan Sai bercakap-cakap dahulu sebelum dirinya menjadi pengganggu.

"Boleh. Jangan terlalu manis."

"Kenapa? Bukankah kau biasanya meminta dua sendok makan gula di dalam kopimu?" tanya Ino dengan intonasi penuh keheranan.

"Aku ingin bibirmu yang manis saja sebagai gula kopiku," goda Sai dengan tenangnya.

Sakura tersenyum getir di tempatnya. Air matanya perlahan mengalir, lagi. Ia tahu sahabat pirangnya itu pasti tersipu malu. Andai saja rumah tangganya seperti itu. Manis dan romantis sekali.

"Kau menangis untuk mendapatkan simpatiku? Cih!"

Tanpa dikomando, ucapan Sasuke semalam berlalu seenaknya sendiri di benak Sakura. Jika terus mengingatnya, Sakura bisa gila.

"Ekhem! Apa aku mengganggu kalian?" tanya Sakura dari balik pintu.

"Ah! Sakura? Kau sudah bangun? Duduklah di meja makan. Sedikit lagi sarapannya siap," pinta Ino.

"Apa kau melarangku untuk membantu?" tanya Sakura lagi.

"Memang," sahut Ino. Tak lama, Sai membuka pintu dapur. Sakura cukup terkejut.

"Lebih baik kau duduk saja. Lakukan atau Ino akan marah," ucap Sai lantas tersenyum.

Sakura mendengus kesal. Ia pun mengikuti Sai yang juga menuju ke meja makan. Sakura tak habis pikir dengan keduanya. Hidup bergelimang dengan harta dan tahta, namun memilih tinggal di apartemen. Meski belum terbilang sangat mewah, apartemen yang mereka pilih sangat cocok untuk hidup berdua. Apartemen ini cukup luas.

Tak lama, Ino datang membawa makanan. Ia harus bolak-balik beberapa kali dari dapur menuju meja makan. Sakura mengucap maaf karena tak membantu. Bukannya memaklumi, Ino justru memarahi gadis pink itu karena terlalu cerewet.

"Sudah kubilang kau diam saja! Tak pantas untuk tamu membantu tuan rumah melakukan pekerjaan rumah. Lagi pula, kau itu sedang sakit. Perbanyak istirahatmu!" omel Ino.

Sakura hanya menghela napas. Ia benar-benar bahagia memiliki sahabat sepengertian Ino. Akhirnya, ia ikut sarapan bersama Ino dan Sai. Usai sarapan, Ino berpamit membuatkan Sakura cokelat hangat di pagi yang dingin ini.

"Apa kau sudah memberitahu Sasuke?" tanya Sai tiba-tiba.

Sakura mengangkat alisnya. "Hm?" bingungnya.

"Ah! Maksudku, kau ada di sini, apa kau memberitahunya?"

"Tidak."

"Bagaimana kau bisa menemukan apartemen kami?"

Sakura merasa Sai kurang suka dengan keberadaannya di sana.

"Ino yang memberitahu," jawabnya jujur. "Jika kau keberatan aku di sini, aku akan pulang sebentar lagi," imbuhnya.

"Bukan, Sakura. Ino semalam terus bertanya padaku, mengapa kau bisa kehujanan dan pingsan?" tanya Sai lagi.

Ino datang membawa secangkir cokelat hangat untuk Sakura. Melihat wajah penasaran sahabatnya itu, serta pernyataan Sai tentang Ino yang terus bertanya ada apa dengannya, membuat Sakura berpikir tak ada salahnya jika bercerita pada mereka.

"Aku hanya bertengkar kecil dengannya," ucap Sakura. Ino duduk di depan Sakura, di samping Sai.

"Kenapa kau sampai harus seperti kemarin?" tanya Sai penuh selidik.

"Entahlah. Kurasa aku tak sadar saat keluar rumah dan di luar hujan. Aku baru menyadari itu saat berada di dekat sini," elak Sakura.

Hening kemudian. Tak ada yang berbicara lagi. Sai diam memperhatikan televisi yang menyala di sana. Entah memang ia menontonnya atau tidak. Ino sibuk dengan pikirannya, begitu pun Sakura.

Mengingat mimpinya tadi, membuat Sakura menatap Ino dengan sendu. Lihatlah, betapa baik hati sahabatnya itu. Dari dulu, Ino yang pertama membela Sakura jika ada yang menyakitinya. Bahkan, Ino rela membuang perasaannya pada Sasuke dan berbalik membenci lelaki itu saat Sakura menangis karena sikapnya. Ino bahkan pernah hampir menantang Sasuke berduel, karena secara tidak langsung, Sasuke membuat Sakura dihina beberapa perempuan yang juga menggilai sosok Uchiha Sasuke.

Sakura ingat betul, hari itu, ia dan Ino tak sengaja bertemu Sasuke dan teman-temannya di perpustakaan. Saat tiba-tiba ada yang menuding bahwa Sakura adalah kekasih Sasuke, pemuda bermanik gelap sekelam malam itu pun membantah. Satu kalimat yang juga membuat Sakura diam-diam mengambil kuliah kedokteran adalah kalimat yang pernah dilontarkan Sasuke hari itu.

"Dengan gadis bodoh ini? Cih! Bahkan kurasa Naruto lebih pintar darinya."

Sakura tersenyum getir mengingat itu. Menghela napas berat, akhirnya ia berniat berpamit pulang.

"Sepertinya aku harus pulang," ucap Sakura.

"Sepertinya tidak. Kau butuh istirahat sampai beberapa jam lagi, Sakura. Kau tak perlu memikirkan rumah sakit hari ini. Sembuhkan dulu dirimu," sahut Ino. Ia cukup kesal dengan sifat keras kepala Sakura.

Gadis bermarga Uchiha itu justru menggeleng. "Aku sudah merasa baik-baik saja, Ino. Terima kasih telah mengizinkanku bermalam di sini. Maaf merepotkan kalian," tuturnya.

"Apa-apaan kau ini? Bagaimana jika nanti suamimu—" ucapan Ino terpotong.

"Tenanglah, Ino, sebentar lagi kau tak perlu mengasihani rumah tanggaku. Aku sudah membuat keputusan," sahut Sakura.

"Keputusan?" Sai dan Ino bertanya serempak. Sakura tersenyum menggoda melihat kekompakan keduanya.

"Wah! Memang jodoh ternyata," goda Sakura. Ino tersipu, sedangkan Sai tersenyum tulus.

"Aku akan meminta cerai kepadanya, Cepat atau lambat."

Ino dan Sai cukup terkejut. Wanita bersurai blonde itu bahkan merasa salah dengan pendengarannya. Melihat diamnya pasangan suami-istri itu, Sakura mengambil napas dalam-dalam, lalu tersenyum.

Ino merasa bersalah, karena dulu, saat masih di bangku sekolah, Ino pernah meminta Sakura untuk menyerah mengejar Sasuke. Walaupun nyatanya Sakura tak pernah menyerah sungguhan. Wanita itu takut jika sahabatnya teringat tentang ucapannya dulu. Ia pikir, mungkin jika Sakura berpisah dengan Sasuke, maka perasaan gadis itu akan lebih baik. Tapi mungkinkah demikian?

"Sudahlah, Ino. Aku berjanji akan selalu memberi kabar untukmu." Sakura tersenyum setelah berucap.

Ino tak menjawab. Sai berdiri, mengenakan jasnya yang sedari tadi berada di sampingnya.

"Jika kau ingin pulang, kau bisa kuantar," tawar Sai.

"Hei! Kau mengusirku?" canda Sakura. Ino justru menatap tajam ke arah suaminya.

"Kenapa kau malah mendukung Sakura untuk pulang?" tanya Ino pada sang suami.

Sai tersenyum sebisanya. "Aku hanya ingin pergi sebentar setelah mengantarkan Sakura," jawabnya.

Sakura peka. Sebenarnya, Sai butuh waktu dengan Ino. Siapa yang tak mengenalinya? Shimura Sai. Pebisnis yang namanya melejit tak beda jauh dengan Sasuke dan kakaknya, Itachi. Mungkin saja, Sai ingin menyempatkan waktu berdua dengan istrinya ditengah kesibukannya.

Sakura pun berdiri. "Akan kucuci bajumu, Ino. Besok akan kukembalikan," katanya.

Ino hanya mendengus. Sai melangkah keluar apartemen, disusul Sakura. Ino dengan terpaksa mengantar keduanya sampai di pintu apartemen. Bukan cemburu, hanya saja, Ino merasa kesepian tanpa Sakura. Toh hari ini mereka berdua sama-sama mengambil cuti kerja. Sudah lama Ino tak menghabiskan waktu bersama sahabatnya.

"Omong-omong, kau akan ke mana, Sai? Kantormu?" tanya Sakura saat mereka berjalan ke parkiran apartemen.

"Tidak. Tapi aku ada urusan dengan kolegaku," jawab Sai.

Sakura hanya mengangguk kecil, tak lagi bertanya. Tanpa perlu memberitahu suami sahabatnya itu, Sakura sudah tahu bahwa Sai pernah ke mansion Uchiha. Ia mengantar Sasuke pulang waktu itu, karena ban mobil Sasuke bocor. Sedangkan Itachi sudah pulang terlebih dahulu.

🌸🌸🌸

Sasuke tetap memperhatikan layar komputernya, tanpa mempedulikan kehadiran sosok tampan di hadapannya. Ia tak merasa terganggu. Tanpa ditanya, lelaki itu pasti akan mengatakan apa yang ia ingin katakan jika menemui Sasuke. Jika biasanya apa yang dikatakan lelaki yang kini duduk di sofa depan Sasuke itu tak pernah membuat Sasuke menghentikan aktivitasnya, kali ini berbeda.

"Kudengar kabar dari Ino, semalam Sakura menginap di rumahnya," ucap lelaki itu. Jemari Sasuke berhenti memijat keyboard komputer saat mendengar penyataan rekannya.

Sai, yang tadi berujar, seketika tersenyum miring mendapat reaksi seperti itu dari Sasuke. Lelaki muda yang seumuran dengannya itu menatapnya cukup tajam. Namun di balik kilatan matanya yang tajam bak elang itu, tersirat sebuah rasa penasaran.

Sebenarnya inilah tujuan Sai bersedia mengantarkan Sakura pulang. Ia ingin menemui Sasuke dan memancingnya dengan beberapa pertanyaan dan pernyataan. Sai sudah memperhitungkan, jika nanti keluarga atau pelayan di kediaman Uchiha ada yang melihatnya mengantarkan Sakura, ia yakin Sasuke akan memarahinya. Untuk itulah, tadi saat tiba di tepi jalan mansion megah Uchiha, Sai menolak ajakan Sakura untuk mampir. Lelaki itu memberi dalih ada kabar mendadak dari rekan bisnisnya. Padahal itu dusta, dan Sakura dengan polosnya tertipu.

"Apa kau ingat Ino? Teman sekolahmu dulu yang pernah aku cintai?" tanya Sai seolah sebenarnya ia tak kenal lebih dekat dengan Ino.

Sasuke memang tak tahu bahwa istri Sai adalah Ino. Mereka berdua memang melakukan pernikahan diam-diam, tak beda jauh dengan Sasuke dan Sakura. Yang membedakan, Sai dan Ino menikah memang atas dasar cinta, sedangkan Sasuke dan Sakura. Ya, kalian tahu sendiri.

"Hn. Yamanaka Ino. Gadis pertama yang berani menantangku setelah dia menjadi sahabat Sakura. Entah apa yang Sakura katakan padanya," komentar Sasuke.

"Kau mencintai Ino?"

Pertanyaan Sai sukses membuat Sasuke kian menatapnya tajam lebih tajam dari silet.

"Aku tak mencintai wanita mana pun," sahut Sasuke. Sai cukup terkejut dengan jawaban rekannya.

"Aku tak tahu apa yang mereka bicarakan. Hanya saja, Ino akhir-akhir ini sering menceritakan apapun yang dia mau kepadaku," tutur Sai. Tersirat suatu kebanggaan di nadanya.

Sasuke menenggak minumannya yang mungkin telah dingin itu. Sai hanya memperhatikan gerak-gerik Sasuke. Menghela napas, akhirnya ia berkata lagi.

"Kudengar sebuah pepatah. 'Ketika seorang istri pergi dan suaminya merasakan dadanya teramat sakit, berarti memang benar dia adalah tulang rusuknya.'"

Sasuke melirik Sai. Jujur saja, ia kesal karena kehadiran Sai di sini hanya untuk memberinya ceramah tanpa sedikit pun membicarakan bisnis.

Kemudian, Sai tersenyum karena tak ada respons dari Sasuke.. "Tetap fokuskan pikiranmu untuk rapat lima perusahaan besar minggu depan, Sasuke-kun, " ucapnya lagi, lalu pergi.

Sasuke berusaha mengembalikan konsentrasinya pada pekerjaan. Beberapa kali, ia kembali menenggak minumannya.

🌸🌸🌸

"Katakan pada Kaa-san, kenapa kau menyembunyikan itu dari Sasuke?" tanya Mikoto.

Sakura mendongak. Menatap sang ibu. Mereka duduk di taman belakang sekarang. Di dekat kolam renang. Kicauan burung yang sengaja dipelihara keluarga itu terdengar merdu. Sakura tak bisa kabur jika melihat wajah sang ibu mertuanya yang sarat akan kerinduan. Melihat itu, ia jadi teringat tentang ibunya sendiri.

"Maksud Kaa-san? Sakura tak mengerti."

"Hari itu, di rumah sakit. Tsunade-Sensei mengatakan pada Kaa-san dan juga Tou-san, sesuatu 'tentangnya'. Tentangnya itu, yang dimaksud adalah kamu, bukan, Sakura-chan?" terka Mikoto.

Sakura mengerti arah pembicaraan ibunya ia memejamkan netranya sejenak, lantas mengambil napas dalam-dalam. Membuangnya perlahan-lahan.

'"Etto ... itu, emm ...," gugup Sakura. Memang, ia gugup saat ini.

"Tentangmu, adalah tentang pekerjaanmu, 'kan, Sakura-chan?" tebak Mikoto lagi.

Sakura hendak menjawab, namun Mikoto bertanya lagi sebelum ia membuka mulut.

"Kenapa kau sembunyikan dari kami? Bahkan orang tua kandungmu? Selama ini kau bilang bahwa kau bekerja di perpustakaan salah satu sekolah di Tokyo ini? Tapi kenapa pada nyatanya kau adalah seorang dokter?"

Sakura merasa sangat bersalah pada semua keluarganya. Ia menunduk dalam. Seorang ibu mungkin akan marah pada anaknya jika tahu sang anak berbohong dalam waktu yang tak singkat. Namun mendengar pernyataan Mikoto, Sakura bingung menyimpulkan sang ibu marah atau bagaimana?

"Sumimasen, Kaa-san," ucap Sakura getir. "Sakura hanya tak ingin Sasuke-kun merasa malu kepada teman-teman kami. Dulu kami pernah bersaing untuk mendapatkan nilai di mata pelajaran pengetahuan alam. Aku tak ingin membuatnya malu karena kalah dariku," tuturnya. Ia mendongak menatap Mikoto.

"E-ehehe ...," Sakura tersenyum kikuk. Ah! Dia berbohong sedikit dan mengatakan kejujurannya sedikit. Sakura memang takut jika sang suami akan marah karena kalah dalam pelajaran pengetahuan alam saat mereka masih sekolah dulu. Tapi itu telah lalu. Alasan Sakura yang sekarang adalah, karena Sakura ingin melupakan rasa sakit yang ia rasakan hampir setiap hari, juga karena memang cita-citanya semenjak kecil adalah menjadi seorang dokter.

Mikoto memeluk Sakura, membuat gadis itu kembali pada kenyataannya. "Kau sungguh membuat kami bangga, Sakura," bisik Mikoto.

Sakura terhenyak, karena ibunya menangis di pelukan mereka. Sakura buru-buru menghapus air mata ibunya.

"Kaa-san, berjanjilah pada Sakura, jangan memberitahu Tou-san dan Sasuke-kun tentang pekerjaan dan alasan Sakura," pinta Sakura.

"Kenapa?"

Gadis bersurai merah muda itu menyentuh keningnya, berpikir. "Anggap saja ini kejutan untuk Sasuke-kun sampai waktu yang Sakura inginkan," jawabnya lantas tersenyum.

"Mungkin Tou-san sudah tahu," ucap Mikoto.

"Kalau begitu, jangan beritahukan alasan Sakura padanya. Sakura mohon." Sakura menatap penuh harap. Berpikir sejenak, akhirnya Mikoto mengangguk mengiyakan.

Sakura tersenyum lega. Ia butuh waktu lagi sampai benar-benar sudah memutuskan bagaimana selanjutnya.

"Sakuraaa!!"

Suara teriakan dari dalam rumah membuat kedua wanita itu menoleh. Sakura lantas berdiri. Baru saja hendak melangkah masuk, sang suami tiba di sana, berdiri tak jauh dari tempat Sakura berada.

"Sasuke-kun?" tanya Sakura.

Sasuke yang tadi sedikit terengah-engah seketika menatap sang istri dengan datar. Ia berusaha menyembunyikan napasnya yang sebenarnya tak teratur itu. Dalam hati, ia mengumpat.

"Cih! Sialan! Akan kubunuh kau, Sai!" []

.

.

.

Bersambung

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!