7. Uzumaki Karin

Sakura diam menatap dua nisan di depannya. Sudah hampir satu jam ia di sana. Para pelayat telah meninggalkan tempat pemakaman semenjak tadi. Gadis bersurai merah muda itu terus saja berdiam diri. Tiga orang di belakangnya menatapnya sendu. Tidak, hanya dua orang yang sepertinya turut merasakan perasaan gadis itu.

"Kau masih punya kami, Sakura. Kita adalah keluarga. Benar, kan, Izumi?" Itachi memegang kedua bahu Sakura.

Izumi mengangguk. "Benar. Ikhlaskan saja kepergian mereka. Aku yakin mereka bahagia," imbuh Izumi.

Sakura tak menjawab. Ia hanya menghela napas pelan.

"Apa mereka bahagia jika tahu aku tak bahagia bersama Sasuke-kun?" batin Sakura.

"Sakura, kita pulang sekarang," ucap Itachi.

Sakura berdiri, berbalik menatap kedua kakak iparnya. Di belakang Itachi dan Izumi, Sasuke berdiri dengan tatapannya yang tanpa menunjukkan ekspresi apapun. Sakura kembali mengalihkan pandangannya ke arah lain.

"Hari ini aku yang akan menjaga Otou-san dan Okaa-san di rumah sakit," ucap Sakura pelan.

Izumi menoleh ke arah sang suami. Itachi memejamkan matanya. "Baiklah." jawabnya memberi izin.

"Kau pulang dulu dengan Sasuke. Aku ingin mengantarkan Izumi ke rumah temannya," ujar Itachi.

Ia mendapat anggukan dari Sakura. Gadis itu lantas berjalan mendekati sang suami. Sasuke menatap sang istri yang beberapa belas sentimeter lebih pendek darinya. Sedangkan yang ditatap hanya menundukkan pandangannya, menatap kancing sang suami.

"Aku ingin ke rumah sakit. Bisakah Sasuke-kun mengantarkanku?" tanya Sakura pelan.

Sasuke tak kunjung menjawab. Menyadari sang suami hanya diam, Sakura mendongak menatap Sasuke.

"Ah! Kalau begitu aku berangkat saja sen-"

"Hn."

Sakura bungkam seketika. Gumaman sang suami membuatnya cukup bingung. Sasuke berbalik, berjalan menjauhi Sakura. Gadis itu menghela napas panjang. Ia menundukkan kepalanya.

"Cepat atau kau kutinggal."

Suara baritone itu terdengar. Sakura menegakkan kepala. Ia tersenyum sumringah saat mendapati Sasuke berhenti dan menatapnya. Walau tanpa ekspresi, Sakura merasa senang karena merasa mendapat perhatian dari Sasuke. Cepat-cepat, Sakura melangkah mengikuti sang suami. Itachi dan Izumi hanya bertukar pandang melihat tingkah kedua pasangan suami istri itu.

🌸🌸🌸

"Akhirnya, aku akan menjadi seorang ayah, dattebayo!" seru seorang lelaki berambut kuning.

Namikaze Naruto. Lelaki yang tak lain suami dari Hinata itu tersenyum senang sepanjang jalan. Hinata tersipu di sampingnya. Mereka baru saja kembali dari rumah sakit untuk memeriksakan kandungan Hinata. Jarak apartemen mereka dengan rumah sakit cukup jauh. Namun, Hinata memaksa agar mereka berjalan kaki saja.

"Wah! Sakura-chan?!" seru Naruto saat ia dan sang istri berjalan di tepi jalan.

Hinata menoleh ke arah pandang sang suami. Ia pun mendapati Sakura berjalan membawa kantong plastik. Sakura berlawanan arah dengan kedua insan itu. Naruto memanggil gadis musim semi yang seketika berhenti melangkah saat mendengar namanya dipanggil. Sakura berjalan mendekati keduanya.

"Sakura-chan, dari mana?" tanya Naruto.

"Aku hanya membeli beberapa makanan. Pagi tadi aku belum makan," jawab Sakura.

"Kau harus menjaga kesehatanmu, Sakura-chan," peringat Hinata.

"Hai, hai," jawab Sakura. Ia tersenyum.

"Apa kau akan ke rumah sakit? Kudengar orang tuamu sakit. Benarkah?" tanya Naruto.

Sakura terdiam. Seharusnya Naruto pun tak tahu berita itu. Tapi entah bagaimana, ia bisa tahu. Seolah mengerti diamnya Sakura, Naruto berkata lagi.

"Aku memaksa Sasuke memberitahuku. Aku tak sengaja melihatnya berada di rumah sakit beberapa hari yang lalu," kata Naruto.

"Orang tuaku meninggal," ucap Sakura pelan.

Hinata dan Naruto tertegun. Wanita bermata Indigo itu menutup mulutnya tak percaya.

"Hontou?" gumam Hinata tanpa sadar.

"Ya. Kemarin lebih tepatnya. Pagi tadi mereka dimakamkan," jawab Sakura.

"Sakura-chan, aku tahu kau perempuan yang kuat," ucap Naruto melihat ekspresi sedih dari Sakura.

"Ahaha! Apa wajahku sangat perlu dikasihani? Kalian tenang saja. Aku baik-baik saja. Oh, ya! Kalian mau kemana?" tanya Sakura mengalihkan pembicaraan. Wajahnya berubah riang.

"Kami baru saja selesai memeriksa kandunganku," jawab Hinata tersipu.

"Wah! Rupanya kau sudah memberitahu Naruto?" tanya Sakura. Naruto hanya memasang cengirannya. Hinata mengangguk.

"Kau harus menjaga istrimu, Naruto. Bersiap-siaplah menjadi seorang ayah!" nasihat Sakura.

"Baiklah. Aku mengerti," ucap Naruto.

Naruto menyarankan kepada Sakura untuk berbincang lebih banyak dengan mereka berdua. Sakura menolak, karena ia harus melalukan tugasnya, yang tentu saja hanya Hinata di sana yang tahu. Ketika Sakura baru saja hendak melangkah pergi, tiba-tiba Naruto memanggil.

"Sakura-chan!"

Sakura menoleh. Menatap Naruto yang kini memandang ke arah seberang jalan.

"Bukankah itu si Teme?" tanya Naruto. Sakura sontak mengikuti arah pandang Naruto.

Benar. Ia mendapati Sasuke baru saja duduk di kafe itu. Kafe tempat Sakura dipergoki Sasuke pulang telat karena asyik mengobrol dengan Ino.

"Kita ke sana, Sakura-chan," ajak Naruto.

"Apa? Untuk apa? Tidak. Mungkin kita hanya akan mengganggunya," tolak Sakura.

"Tidak. Aku hanya ingin tahu saja apa yang Teme lakukan di sana," ucap Naruto bersemangat.

Sakura baru saja hendak melangkah lagi, namun tangan Hinata mencegahnya. Hinata menatap Sakura penuh harap.

"Tolong temani aku makan di sana, Sakura-chan," pinta Hinata.

Sakura menghela napas pasrah. Apa boleh buat. Sepertinya ucapan Hinata murni keinginan seorang ibu hamil.

"Yosh! Kita akan makan siang di sana," ucap Naruto bersemangat. Sakura hanya menggelengkan kepala.

🌸🌸🌸

"Yo, Teme!" sapa Naruto ketika mereka telah berada di kafe tempat Sasuke berada. Hiruk-pikuk kota tak terdengar dari balik dinding kaca itu.

Sakura mengamati sekitar. Ia menuntun Hinata untuk duduk di salah satu meja yang masih kosong. Ia tak begitu menghiraukan apa yang Naruto dan suaminya bicarakan. Sakura menunjukkan beberapa menu makanan yang enak untuk Hinata.

"Sasuke-kuuun!" teriak seseorang.

Suara itu! batin Sakura. Seketika Sakura menoleh ke arah sang suami. Dan benar saja, suara perempuan itu. Perempuan yang kemarin ia perbincangkan dengan Ameno.

"Hoi dasar merah! Kau mengganggu kami!" Naruto menahan emosinya.

"Wah wah?! Lihatlah siapa ini!" seru perempuan itu, Karin, setelah mendapati Naruto ada di sana.

Mata merah gadis itu beralih pada Sakura. "Hei, gulali merah muda! Kenapa aku harus bertemu denganmu lagi di sini? Apa kau sengaja mengikuti bosku, hm? Kau sengaja menguntit Sasuke-kun, bukan?!" tebak Karin. Ia sedikit emosi.

"Tidak. Aku hanya mengantar sahabatku ke tempat ini. Kebetulan bayinya ingin makan di sini," jawab Sakura enteng.

Karin mendengus kesal. "Ya, ya! Kau cari saja alasan sebanyak yang kau bisa!"

Karin beralih pada Sasuke. Ia bergelayut manja di lengan lelaki beristri itu. Tentu saja lelaki bermata Onyx itu risih. Buktinya, ia berkali-kali langsung menyingkirkan tangan Karin atau sesekali memintanya menyingkir dengan nada dinginnya.

"Sasuke-kun? Kenapa kau begitu jahat padaku?" tanya Karin, merajuk.

"Hebat sekali, wanita ini. Dia sedang sakit jantung tapi terlihat sehat dan ceria sekali," ujar Sakura dalam hati. Sakura memperhatikan tingkah Karin.

"Apa karena si gulali merah muda ini? Apa kau ada hub-"

Karin menghentikan ucapannya. Ia mendadak membeku. Tangannya memegang dadanya. Napasnya seolah tercekat. Sakura buru-buru berdiri. Hitungan ketiga usai Sakura berdiri, Karin jatuh terduduk. Sasuke turut berdiri menghadap sekretarisnya itu.

Sakura meraih tubuh Karin. Walau berusaha menolak dibantu oleh gadis bermanik Emerald itu, Karin tetap tak mampu mengumpulkan tenaganya. Sakura meminta Naruto membantu Karin duduk. Dengan tak sepenuhnya ikhlas, Naruto membantu mengambilkan kursi.

"Kau baik-baik saja? Perlu kupanggilkan ambulance?" tawar Sakura setengah berbisik di dekat wajah Karin. Wanita itu ingin menggeleng, namun sesak di dadanya semakin kuat terasa.

"Gawat!" seru Sakura dalam hati.

Buru-buru Sakura mengambil ponsel di sakunya. Ia tak mempedulikan Naruto yang sudah panik di sana. Saat panggilan Sakura terjawab, ia segera mendekatkan ponselnya ke telinga. Di belakang gadis itu, Sasuke sebenarnya ingin tahu, siapa yang Sakura telpon.

"Segera datang ke kafe tempatku berada bersama ambulance-mu!" tegas Sakura dalam panggilan itu.

"Hai, Sensei!" jawab seseorang di seberang sana.

Panggilan tertutup. Sakura menegang seketika. Sial! Tombol loudspeaker-ku kenapa bisa menyala?! Sakura panik dalam hati.

Persetan dengan panggilan tadi, Sakura melupakannya untuk sesaat. Ia berfokus untuk Karin saat ini. Orang-orang kafe semakin merapatkan diri untuk melihat Karin. Sakura berpikir untuk meminta mereka menyingkir. Sasuke yang hanya samar mendengar kata 'Sensei' tadi itu pun hanya diam. Dua menit berselang, ambulance datang. Sasuke tetap terpaku berdiri di tempatnya.

Para petugas ambulance masuk ke dalam kafe. Mereka segera membawa Karin dengan tandu. Saat mereka masuk itulah, Sakura keluar kafe, berbincang sekilas dengan seseorang yang baru saja turun dari kursi kemudi ambulance. Tak lebih dari dua menit, Sakura kembali masuk ke dalam kafe.

Bisik-bisik terdengar di telinga Sasuke. Namun samar sekali. Onyx-nya kini terpaku pada seorang gadis bersurai merah muda yang tengah berjalan mendekatinya. Sasuke sedikit menunduk menatap sang istri.

"Beruntung, kau tidak melihat orang yang kau kenal mati di hadapanmu langsung, Sasuke-kun," ucap Sakura tiba-tiba.

Setelah itu Sakura pergi. Hinata sudah dalam rengkuhan Naruto. Mereka diam karena kejadian darurat yang tadi mereka saksikan. Ketika Sasuke menoleh ke arah Naruto, ponsel lelaki berambut kuning itu bergetar di sakunya. Naruto mengangkat panggilan yang masuk setelah tahu siapa yang meneleponnya.

"Bisa kau suruh dia pulang? Katakan aku menyiapkan air hangat untuknya," pinta seseorang di panggilan itu.

"Ha-hai, Sakura-chan," jawab Naruto pelan.

"Arigatou."

Tut! Tut! Tut!

Panggilan berakhir. Naruto menatap Sasuke. Ia berjalan mendekati sahabatnya itu. Entah mengapa, Naruto sedikit emosi sekarang. Namun mengingat pesan Sakura, ia pun ingin segera melaksanakannya.

"Sasuke, pulanglah! Dia menyiapkan air hangat untukmu," ucap Naruto datar.

Sasuke tak langsung menjawab. Ia mengalihkan terlebih dahulu pandangannya. Tak lama, gumaman khas miliknya terdengar.

"Hn."

🌸🌸🌸

Pintu kamar Sakura terbuka, menampakkan sosok bertubuh kekar berdiri dengan sebuah tas kerja di tangannya. Ia tertegun saat mendapati seorang gadis berdiri tegap di hadapannya, sedang mendongak menatapnya.

"Kau telat, Sasuke-kun!" ucap Sakura kesal.

Sasuke tak menjawab. Sakura meraih tas kerja Sasuke, lantas menaruhnya di meja Sasuke. Setelah membantu sang suami melepas dasi, Sakura beralih pada pakaian Sasuke. Ia membantu lelaki berambut raven itu melepas jas dan kemejanya.

"Aku sampai harus mengganti air hangat lagi untukmu," ucap Sakura lagi.

Sasuke menatap Sakura dengan tajam. Gadis itu terus melakukan kegiatannya. Memasukkan bajunya ke keranjang kotor, dan beralih pada meja kerja Sasuke yang cukup berantakan.

"Kau mengeluh atas diriku?" tanya Sasuke dingin. Sakura menghentikan tangannya.

"Tidak," jawabnya seraya menatap sang suami dengan lugunya.

"Kau bilang harus mengganti air hangat untukku lagi, bukan? Itu artinya kau mengeluh," ujar Sasuke.

"Aku tidak mengeluh tentang pekerjaanku. Aku hanya mengeluh karena kau akhir-akhir ini sering pulang lebih malam dari biasanya!" ucap Sakura. Ia cukup kesal sekarang.

Tak ada jawaban dari Sasuke. Lelaki itu hanya menatap sang istri dengan tajam setajam belati.

"Cih! Dasar menyebalkan!" kesal Sasuke kemudian.

Sakura berbalik, menatap punggung Sasuke yang menjauh, menuju kamar mandi. Sakura diam, menghela napas panjang. Ia melanjutkan aktivitasnya. Usai menyelesaikan pekerjaan, Sakura duduk di tepi ranjang. Tirai jendela kamar yang terbuka membuatnya bisa menatap gemintang di langit yang terlihat dari tempatnya berada.

Pikirannya melayang pada sosok wanita yang menjadi sekretaris suaminya. Sakura teringat tentang diagnosis yang diucapkan Ameno kemarin.

"Transplantasi jantung," gumam Sakura.

"Sakura, di mana kaos putihku?" tanya suara berat sang suami.

Sakura tersentak. Ia berlari ke arah almari pakaian. "Tunggu sebentar, Sasuke-kun! Aku tadi melipatnya," ucap Sakura seraya mencari-cari kaos yang dimaksud Sasuke.

Matanya berbinar kala berhasil menemukannya. Segera saja ia menutup pintu almari itu, dan berniat memberikannya kepada sang suami di kamar mandi. Ia hampir terjungkal ke belakang jika saja tidak ada almari di belakangnya. Sakura terkejut lantaran tanpa menyadari, tiba-tiba Sasuke berada di depannya, telanjang dada.

"I-ini," ucap Sakura gugup.

Sasuke mengambilnya tanpa berkata. Ia memakai kaos itu tanpa beralih dari tempatnya. Sakura makin dibuat tersipu.

"Ano ..., Sasuke-kun," panggil Sakura pelan. "Bolehkah aku ke rumah sakit?" tanyanya kemudian.

Sasuke menatap datar sang istri. Ia menaikkan kedua alisnya.

"Sekarang?" tanya Sakura lagi. Ia berharap mendapat izin dari sang suami.

"Tidak!"

Sakura mengangkat kedua alisnya. Tidak boleh katanya?

"Tapi, Sasuke-kun ... aku ingin menemani orang tua kita," ucap Sakura.

"Kau sengaja ingin mendapatkan perhatian lebih dari mereka nanti?" tanya Sasuke dengan dinginnya.

Sakura menatap tak percaya. Bahkan hanya untuk menemani orang tua pun disangka seperti itu oleh suaminya sendiri. Sakura cukup kesal dengan respons Sasuke. Ia berbalik, menuju ranjang king size mereka. Ia menjatuhkan tubuh di ranjang itu. Sasuke hanya menatapnya tanpa ekspresi.

Dua jam berselang. Sakura tak dapat tidur. Ia dari tadi menatap plafon kamarnya yang bernuansa merah muda dan putih itu. Kamar ini, khusus didesain oleh orang tua mereka seperti kamar seorang gadis. Namun, Sakura tak melebih-lebihkannya. Ia sama sekali tak menambah hiasan kamar yang terkesan menunjukkan kamar seorang perempuan.

Sakura menoleh ke kiri. Sang suami telah memejamkan matanya. Napasnya teratur. Berpikir bahwa Sasuke sudah tidur, Sakura memutuskan untuk turun dari ranjang pelan-pelan tanpa membuat gerakan yang berarti. Berhasil, Sakura segera berjalan mengendap-endap menuju pintu kamar. Setelah membukanya dengan hati-hati, akhirnya Sakura berhasil keluar kamar. Tepat saat itulah, Sasuke membuka kedua matanya.

🌸🌸🌸

"Naruto?"

Lelaki berambut kuning itu menghentikan langkahnya. Ia baru saja kembali dari tempat administrasi rumah sakit. Langkahnya untuk pulang terhenti kala suara seorang gadis yang tak asing terdengar di telinganya.

"Sa-Sakura-chan?"

"Sedang apa kau di sini?" tanya gadis itu, Sakura.

"A-aku ..., kau sendiri sedang apa di sini?" Naruto bertanya balik.

"Hanya sedang menjenguk orang tuaku," jawab Sakura.

"Hei, Naruto baka! Kau belum menjawab pertanyaanku!"

Naruto diam sesaat. Ia melangkah duduk di sebuah bangku yang tak jauh dari mereka.

"Sekadar membayar perawatan sepupu jauhku," jawab Naruto kemudian.

"Sepupu?"

"Ya. Uzumaki Karin. Sepupu jauhku. Dia dari keluarga ibuku. Keluarga jauh."

Sakura tertegun mendengar jawaban Naruto. Karin? Uzumaki Karin?

"Maksudmu, sekretaris Sasuke-kun itu ... sepupumu?" tanya Sakura masih tak percaya.

"Aa. Gomen, ne, Sakura-chan. Aku yang merekomendasikan dia bekerja sebagai sekretaris si Teme. Dia cerdas. Sayangnya, dia pernah membuat malu keluarga kami. Dia bekerja di perusahaan keluargamu dengan marga yang disembunyikan," ucap Naruto menjelaskan.

Sakura mulai tertarik dengan cerita Naruto. Ia ikut duduk di bangku itu.

"Orang tuanya pernah menjadi pembunuh bayaran. Saat identitas mereka terbuka di kepolisian, keluarga ibuku memutuskan untuk mengusir mereka dari klan. Karin yang masih kecil pun harus tinggal di panti asuhan. Kedua orang tuanya dipenjara seumur hidup. Lalu beberapa tahun yang lalu, dia berhasil menemukan rumah keluarga ibu. Berakhir aku membuat perjanjian dengannya. Gomen, Sakura-chan. Keputusanku justru membuat Karin menggoda suamimu," terang Naruto. Tersirat penyesalan di ucapan Naruto.

Sakura tersenyum. "Tak apa. Aku tak pernah menyalahkan siapapun. Sebaiknya sekarang kau pulang. Aku takut jika Hinata bangun dan tak mendapatimu di sampingnya. Sebentar lagi aku juga akan pulang," jawab Sakura kemudian.

Naruto mengangguk. Mereka berpisah jalan dari situ. Sakura sesungguhnya bukan ingin segera pulang. Ia bahkan baru sampai di rumah sakit. Setelah Naruto tak lagi mendapati Sakura di sana, ia meraih ponselnya, menelepon seseorang.

"Teme, Sakura ada di rumah sakit," ujar Naruto melaporkan.

"Hn. Sudah kuduga," sahut seseorang di ponsel Naruto.

"Kenapa kau tak mengantarnya? Dia bilang ingin menjenguk orang tua kalian sebentar."

"Aku melarangnya pergi malam hari. Dia yang tak mendengarkanku," ujar Sasuke.

"Jemput saja dia sekarang," saran Naruto.

Lelaki berambut kuning itu menutup panggilan. Di tempatnya, Sasuke duduk terdiam. Ia sedang kesal kepada sang istri. Sasuke menghela napas kasar di sana. Apapun alasan Sakura, Sasuke tetap tak menerimanya. []

.

.

.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!