17. Seseorang yang Berkeinginan

"Okaa-san, boleh aku bertanya sesuatu?" tanya Sakura pada Mikoto.

Dua perempuan itu sedang duduk di ruang tengah. Sakura mengupas buah apel di tangannya. Memotongnya menjadi beberapa bagian. Hari ini, Sakura tak datang ke rumah sakit. Ia meminta cutinya.

"Hmm?" sahut sang ibu mertua.

"Saat pesawat itu jatuh, bukankah masih tersisa dua atau tiga hari untuk kalian berempat berlibur?"

Pertanyaan sang menantu bermahkota merah muda itu sedikit mengganggu pikirannya. Mata Mikoto sayu, tengah mengingati kejadian yang menusuk hatinya. Sakura baru ingin meminta Mikoto melupakan pertanyaannya, namun wanita itu justru menjawab.

"Mebuki meminta pulang lebih awal. Katanya, ia merindukanmu," jawab Mikoto pelan.

Sakura tertegun. Perlahan, ia merasa dadanya sesak. Apa perasaannya sampai pada sang ibu? Memang, waktu itu, baru tiga hari tak bertemu orang tuanya, Sakura rindu sekali pada mereka. Sampai kabar itu pun datang menyapa dirinya.

"Memang benar, masih tersisa tiga hari lagi sampai kami pulang. Tapi saat itu, Mebuki seperti seorang anak kecil yang tak ingin jauh dari rumahnya," imbuh Mikoto.

Rumah. Sakura sebenarnya tak tahu apa makna rumah yang sesungguhnya. Yang pernah ia dengar, rumah bukan hanya tempat berupa ruang yang bisa ditinggali, namun bisa juga seseorang yang bisa mengerti dirimu. Seorang ibu misalnya.

Seketika Sakura sadar, ibunya adalah tempatnya untuk pulang. Sakura memang menganggap ibu mertuanya sebagai ibu kandung. Namun dari sudut pandangnya sebagai seorang menantu, Sakura terkadang memandang Mikoto adalah orang tua yang harus ia hormati selain suaminya.

"Akhirnya aku menyetujui permintaannya. Kedua ayahmu tentu saja menyetujui. Kau tahu, Sakura? Mebuki memintaku memilihkan mafela yang cocok untukmu, sebagai kado ulang tahunmu. Kupikir masih lama, tapi Mebuki bersikeras memintaku menemaninya membeli itu sebelum kembali ke Tokyo," ujar Mikoto bercerita. Tanpa ia sadari, air matanya sudah lolos dari tempat. Melihat hal itu, Sakura sepertinya akan tertular untuk menangis.

"Dia seorang ibu dan sahabat yang baik, bukan?" tanya Mikoto. Sakura mengangguk. Kini, gadis itu mulai mengerjapkan matanya saat air mulai keluar dari sana.

"Dia selalu mendengarkan keluh kesahmu, kan?" tanya Mikoto lagi. Sakura mengangguk lagi.

"Dia yang pertama kau cari saat kau sedang sedih atau perasaanmu sedang tak baik?"

Lagi-lagi, Sakura mengangguk. Semua yang dikatakan ibu mertuanya benar. Sakura ingat bagaimana dulu ia selalu menangis pada Mebuki jika sedang lelah karena kuliahnya. Bahkan sebelum itu, ia selalu menceritakan tentang seseorang yang ia cintai, tanpa mengatakan bahwa lelaki itu adalah anak dari sahabat ibunya.

"Hiks! Harusnya aku tetap melarangnya untuk pulang lebih awal," sesal Mikoto.

Sakura menoleh. Ia menggeleng pelan. "Tidak, Kaa-san. Mungkin Kaa-san lebih menyesal lagi jika tidak menurutinya. Kau tidak boleh menyesal sekarang. Mereka pasti bahagia di sana," ucap Sakura menenangkan.

Mikoto merengkuh Sakura. Menumpahkan tangisnya di bahu gadis itu. Sakura membalasnya. Ia memang menangis, namun menahan isakannya. Ia merasa seperti ada sesuatu yang berlubang di dadanya. Rasanya seperti ingin ia tutupi lubang itu dengan kedua tangannya.

"Tunggu sebentar, Kaa-san akan mengambilkan sesuatu untukmu," ucap Mikoto, melepaskan rengkuhannya.

Sakura tak menjawab. Ia hanya menatap sang ibu yang pergi entah ke mana. Sakura diam di sana. Pikirannya melayang ke masa lalunya yang menyenangkan. Mulai saat ia menghabiskan hari-harinya bersama keluarga kecilnya, hingga ia lulus kuliah. Sakura menyadari dosanya pada orang tuanya karena tak mengakui di mana ia bekerja. Ia pernah berbohong selama tiga bulan pertama ketika mulai bekerja di rumah sakit ternama sebagai seorang dokter. Sakura baru mengakui itu setelah orang tuanya mengatakan ia akan ditunangkan dengan Uchiha Sasuke. Itu pun hanya mengatakan bekerja di rumah sakit besar tanpa memberitahu posisinya.

Dua bulan setelahnya, baru Sakura menjelaskan bahwa dirinya seorang dokter bedah. Ia memaksa orang tuanya untuk tak mengatakan kebenaran itu pada keluarga Uchiha, dengan alasan sudah mengatakan pekerjaannya adalah penjaga perpustakaan.

Gadis itu tak habis pikir, mengapa ia benar-benar bertahan pada orang yang lebih dari dua belas tahun ia cintai. Jelas-jelas itu bertepuk sebelah tangan. Sakura tahu, memikirkan itu bisa membuatnya gila. Yang terpenting untuknya adalah, melihat orang tuanya bahagia atas pernikahan mereka.

"Sakura-chan?" panggil Mikoto. Gadis itu menoleh. Raut wajahnya seperti orang yang kehilangan ingatan.

"Hai?" sahut Sakura pelan.

"Ini," Mikoto menyodorkan sebuah kotak kado pada Sakura. "Aku tak ingin menunggu sampai hari ulang tahunmu tiba. Kuharap Mebuki akan senang karena kau sudah menerima hadiahnya," imbuhnya.

Sakura menerima itu. Mengucapkan terima kasih, Sakura menatap kotak berwarna merah muda itu. Ia membukanya. Isinya sebuah mafela berwarna putih tulang. Sakura mengambilnya. Ia menoleh pada Mikoto. Wanita itu tersenyum dengan mata yang berkaca-kaca.

"Arigatou," gumam Sakura getir.

"Kaa-san ingin mandi. Sebentar lagi Sasuke dan Itachi pasti pulang," ujar Mikoto.

Sakura mengangguk. Beberapa menit setelah ibunya tak lagi di sana, Sakura baru beranjak. Ia membawa kado pemberian ibunya itu ke dalam kamar.

Gadis itu menutup pintu kamarnya. Ia bersandar pada pintu kamar. Memeluk mafela pemberian mendiang ibunya. Sakura menangis diam-diam. Rasa ingin bertemu sebelum ibunya meninggal kini membekas di hati. Bahkan selamanya, rindu itu akan selalu ada. Malam ini, perasaan berat itu membuncah. Membuat dada Sakura terasa sakit luar biasa.

"Kaa-san," lirihnya. Isakan gadis itu perlahan terdengar.

Sakura beranjak ke ranjang. Ia masih menangis di sana. Rasanya ingin berteriak sekencang mungkin. Sakura tetap berusaha mengendalikan diri meski begitu. Ia menenggelamkan wajahnya di bantal. Ah! Ternyata rindu memang menyiksa.

🌸🌸🌸

"Sasuke-kun?"

Mikoto menutup mulutnya kala mendapati putra bungsunya itu berjalan gontai memasuki rumah megah Uchiha. Sang ibu mendekati anaknya, menuntut Sasuke untuk berjalan. Tak lama, Itachi yang kebetulan lewat dan hendak kembali ke kamarnya itu pun menghampiri.

"Cih! Sasuke keparat! Dia mabuk berat!" maki Itachi begitu ia menyentuh adiknya. Dengan kesal, ia menuntun Sasuke pergi ke kamar, meminta sang ibu segera beristirahat.

"Kaa-san, sebaiknya kau istirahat saja. Biarkan aku yang mengantar Sasuke ke kamarnya," pinta Itachi.

"Bagaimana dia bisa mabuk seperti ini?" tanya Mikoto dengan nada khawatirnya.

"Entahlah. Besok aku akan bicara padanya," jawab Itachi.

Mikoto lantas mengangguk. Ia menatap Itachi yang membopong adiknya menaiki tangga. Menghela napas panjang, Mikoto pikir ada yang salah dengan putranya.

Itachi mengetuk pintu kamar yang tertutup itu. Sudah beberapa kali, namun tak ada sahutan. Si sulung itu berinisiatif menelepon Sakura untuk membantunya. Saat merogoh saku, Itachi tiba-tiba berekspresi datar. Dia lupa ponselnya ada di kamarnya.

"Sakura? Kau di dalam?" panggil Itachi lagi.

Di dalam kamar, gadis yang namanya dipanggil itu menggeliat. Matanya mengerjap. Saat menyadari sesuatu, Sakura segera mendudukkan dirinya. Beberapa detik ia perlukan agar ia terjaga sepenuhnya.

"Aku tertidur?" batinnya bingung.

Sakura turun dari ranjang. Pintu kamarnya diketuk lagi. Ia segera membukanya. Sakura kaget bukan main ketika mendapati suaminya dibopong oleh kakak iparnya. Itachi masuk tanpa meminta persetujuan lagi. Sedangkan Sakura, ia memandang bingung. Namun segera, ia menyusul Itachi masuk ke dalam.

"Dia mabuk, Sakura. Sore tadi, kupikir dia langsung pulang sebelum jam kantor berakhir. Saat aku tiba di rumah, kukira dia bersamamu. Baru saja Kaa-san melihatnya pulang dengan kondisi begini," ujar Itachi menjelaskan, setelah ia berhasil membuang Sasuke ke ranjang king size itu. Ya, lebih cocok dengan kata buang, karena Itachi memang dengan kasar membantu adiknya mencapai ranjang.

"Souka," jawab Sakura lemah. Sejujurnya, ia cukup sedih melihat suaminya mabuk. "Arigatou, Itachi-nii."

"Hn. Aku akan kembali ke kamarku," ujar Itachi. Ia berjalan menuju pintu. Sebelum ia benar-benar keluar dari kamar itu, ia mengatakan sesuatu yang tak begitu Sakura paham.

"Sakura, berhati-hatilah pada Uchiha yang sedang mabuk," nasihat Itachi. Ia menutup pintu.

Sakura diam sesaat karena tak mengerti. Ia beralih pada sang suami yang masih mengenakan setelan jas kerjanya. Sasuke bergerak, mengubah posisi. Saat sadar mafela itu masih di sana, Sakura cepat-cepat mengambilnya, mengamankan. Menghela napas panjang, Sakura menaiki ranjang empuk itu setelah sebelumnya melepaskan sepatu Sasuke. Meski suaminya kejam, tetap saja Sakura harus bersikap semestinya sebagai seorang istri.

Gadis itu melepaskan dasi Sasuke. Ia meletakkannya di sisinya. Sakura beralih pada jas hitam Sasuke. Ia sedikit kebingungan bagaimana melepasnya. Berpikir terus membuatnya menyerah, karena memang tubuh Sasuke bukanlah tubuh seorang bayi. Baru saja hendak turun lagi, Sasuke menggeliat. Dengan gerakan tak terduga, lelaki itu merengkuh sang istri, membuatnya jatuh tertidur di dadanya.

Dengan posisi yang terbilang erotis, Sakura berusaha menenangkan dirinya. Degup jantungnya dua kali lebih cepat sekarang. Dari napas sang suami, Sakura mencium alkohol. Ia ingin melepaskan diri sekarang juga. Saat ingin bergerak menjauh, Sasuke justru mempererat rengkuhannya pada sang istri.

"Sasu-mpphh ...."

Emerald Sakura membulat saat bibir mungilnya bersatu dengan bibir Sasuke. Lelaki itu melumatkan. Menyatukan saliva mereka. Sakura tertegun. Perlahan, ia merasa tak bisa bernapas. Sakura tak membalas ciuman itu. Ia berusaha menjauhkan wajahnya dari sang suami.

"Hah ... hah ...," napasnya tak beraturan. Sakura berhasil melepas pagutan mereka.

"Sakura?" racau Sasuke. "Itu manis."

Detik itu juga, Sakura merasa pipinya memanas. Memang benar, yang barusan adalah ciuman pertamanya, dan direnggut oleh orang yang begitu ia cintai. Namun bukan seperti ini yang diinginkannya.

"Mpphh ... Emph ...,"

Lagi-lagi, Sakura dibuat merona oleh aksi sang suami. Ia mendapat ciuman itu lagi. Sakura terpana beberapa saat. Sasuke kian dalam menciumnya. Sesekali, ia menggigit bibir Sakura, membuat gadis itu meringis. Kesempatan itu dia ambil untuk lebih leluasa menguasai bibir sang istri.

Sakura merasa birahinya kian memuncak jika terus begini. Ia tak ingin berhubung intim jika Sasuke sedang tak sadar sepenuhnya. Sekuat tenaga, Sakura berusaha melepaskan diri dari pelukan sang suami. Ia memukul, mendorong, lalu akhirnya mencubit lengan suaminya sehingga ia berhasil melepaskan lagi bibirnya dari bibir Sasuke.

Gadis itu mundur cepat-cepat. Memberikan sebuah guling agar menggantikan dirinya untuk Sasuke. Sakura masih menenangkan jantungnya agar tak terus menggila. Ah! Ia paham sekarang, maksud dari kakak iparnya tadi.

Perasaan tak karuan sekarang. Ia merasa seolah sedang dipermainkan. Sasuke menciumnya bukan saat sadar, namun karena dia sedang mabuk. Sakura bergegas pergi ke kamar mandi. Membasahi tubuhnya dengan air hangat tanpa mengisi bak mandinya, tanpa melepaskan pakaiannya pula. Ia menggunakan shower. Disentuhnya bibirnya sendiri. Sekali lagi, ia merasa wajahnya panas.

🌸🌸🌸

"Sakura, pasangkan dasiku!" pinta Sasuke.

Sakura setengah berlari mendekati suaminya. Ia menerima dasi itu, lantas mengalungkannya pada leher sang suami. Dengan lihai, Sakura memasang dasi itu.

"Apa semalam aku tertidur?" tanya Sasuke.

Sakura menundukkan pandangannya. "Aa. Souka," jawab Sakura pelan.

"Kau tak membangunkanku?" tanya Sasuke lagi.

Dia gila! Uchiha yang satu ini memang tak mengerti bagaimana rasanya membangunkan pria mabuk yang hampir membuatnya diperkosa? Meski sudah sah, Sakura tak pernah ingin, bahkan sekalipun tak pernah membayangkan ia bercinta dengan Sasuke yang mabuk.

"A-aku sudah membangunkanmu," cicit Sakura.

"Sudah?"

"Sasuke-kun tak mengingat apapun?" tanya Sakura. Ia memberanikan diri menatap Onyx itu. Sasuke mengangkat sebelah alisnya karena bingung.

"Apa yang terjadi?" tanyanya polos.

Sakura mendelik tak percaya. Ia beranjak dari sana, memasuki kamar mandi. Sakura membanting pintunya cukup keras. Di tempat, Sasuke diam. Hanya kepalanya saja yang tadi mengikuti arah Sakura pergi. Tak lama, pintunya kembali terbuka. Sasuke menahan napasnya sesaat ketika mendapati kepala sampai bahu Sakura terlihat di sana.

"Hentai!" teriak gadis itu tiba-tiba. Lagi, Sakura membanting pintu.

"Hn?" gumam Sasuke. Ia lantas mengedikkan bahunya.

Sakura mendengus kesal di dalam kamar mandi. Ia menurunkan pandangannya. Emerald itu menegang saat tahu ia sudah melepaskan bajunya. Jadi dia tadi meneriaki suaminya saat sudah bugil? Hei! Apa saja yang sudah Sasuke lihat tadi? Sakura panik. Ia berharap semoga Sasuke tak melihat hal yang memalukan bagi Sakura. Pantas saja tadi wajah datar itu terkaget.

🌸🌸🌸

"Kau melakukannya?" tanya Sai.

Lelaki itu berjalan di samping Sasuke. Dia itu pemimpin macam apa sebenarnya? Bisa-bisanya meninggalkan kantornya saat jam kerja baru akan dimulai.

Sasuke melirik Sai melalui ujung matanya. "Melakukan apa?"

"Tentu saja itu! Bersama istrimu?"

"Kau bicara apa?" tanya Sasuke.

"Astaga! Kau semalam memintaku menemuimu di salah satu bar terkenal. Tapi kau sendiri sudah pulang sebelum jam sepuluh malam," ujar Sai pelan. Ia masih bisa menjaga kehormatan Sasuke dan dirinya di sana.

"Apa?" tanya Sasuke bingung.

"Sudahlah! Ada yang lebih penting yang harus kubahas denganmu." Sai mulai kesal. Mereka menaiki lift gedung megah milik klan Uchiha itu.

"Kasus itu dibuka," ucap tiba-tiba. Seperti biasa, Sasuke tak terlalu menanggapi Sai yang suka berbasa-basi.

"Kasus?" tanya Sasuke. Sepertinya mabuk semalam membuatnya menjadi lelet berpikir.

"Ledakan kafe tempat kita menyewa. Itu bukan kecelakaan kerja. Seseorang memasang bom waktu di dapurnya."

Sasuke tertegun. "Kau yakin?" tanyanya.

"Pagi ini, aku mendapatkan informasi dari kepolisian. Mereka menemukan bekas bom itu. Mereka akan menayangkan kasus ini sebagai berita," ujar Sai menjelaskan.

"Kau mengizinkannya?" tebak Sasuke.

"Para wartawan terus memaksaku. Lagi pula, tanpa uang, aku tak akan bisa menghentikan itu walaupun aku bersujud di kaki mereka."

Sasuke menghela napas kasar. Lift terbuka. Mereka keluar dari sana. Apa yang dikatakan Sai benar memang. Mungkinkah Sasuke turun tangan agar kasus itu tak sampai ke publik? Itu artinya ia akan membuang uang yang ia hasilkan setelah bekerja susah payah.

"Kenapa kau terlihat tak suka? Kau ada sangkut pautnya dengan ledakan itu?" tanya Sai.

"Kau gila?" sahut Sasuke. "Jika aku terlibat, nama besar Uchiha di seluruh Jepang bahkan dunia akan ternodai!"

Sai tersenyum. Ia melangkah mengikuti Sasuke menuju ruang kerja mereka.

"Ya, setidaknya saat kasus ini diketahui banyak orang, publik akan tahu Sakura sebagai istrimu, Manajer Uchiha Ace. Sakura juga punya nama yang tersohor di dunia medis ," batin Sai.

"Terus berikan aku informasi tentang perkembangan kasus itu, Sai."

"Aa. Tentu saja. Kita akan membicarakan hal itu juga dengan yang lain."

Sasuke menghentikan langkahnya. Ia menatap pintu ruang kerjanya. Tepatnya, seseorang yang berdiri di depan sana. Pantas saja, para pegawainya tadi menatap Sasuke heran.

"Karin?" gumam lelaki itu. Di sana, wanita yang sempat menghilang itu tersenyum menggoda.

🌸🌸🌸

Sakura tersenyum di meja kantin. Di hadapannya, Ino menatapnya datar. Bagaimana calon ibu itu tidak kesal mendapati sahabatnya seperti orang gila sejak pagi hingga sore ini tadi? Sakura berkali-kali tiba-tiba tersenyum seperti seorang gadis yang sedang jatuh cinta.

Ino menyadari sesuatu. "Sakura!" sentaknya. Sang empunya nama terkejut.

"Apa kau jatuh cinta dengan orang lain?" tanya Ino. "Atau Uchiha sialan itu menyatakan perasaannya?"

"Tidak," jawab Sakura. "Hanya saja ...,"

"Hanya saja?" tanya Ino, lantaran Sakura menggantung kalimatnya.

"Hanya saja ... dia yang merebut ciuman pertamaku," ucap Sakura pelan.

Ino menutup mulutnya tak percaya. "Sungguh?" tanyanya kemudian. Sakura mengangguk.

"Bagaimana bisa? Ceritakan padaku!" paksa Ino.

"Sasuke-kun mabuk kemarin. Walaupun dia menciumku dalam keadaan mabuk, tapi aku senang karena dia yang pertama merebut ciuman pertamaku."

Wajah Ino berubah datar lagi. "Pantat ayam gila! Tidak bisakah dia lakukan itu dalam keadaan sadar?" tanyanya kemudian.

"Tapi, Ino!" Sakura terlihat berapi-api. "Dia menyebut namaku saat itu," imbuhnya.

Ino kemudian tersenyum. "Baguslah! Sepertinya dia mulai mencintaimu," ucapnya.

"Tapi apa begitu? Dia sempat membuka sedikit matanya sebelum dia menciumku." Sakura sedikit ragu.

"Semoga saja begitu. Sai-kun juga sering mengatakan hal-hal yang memang benar saat dia mabuk."

"Misalnya?" tanya Sakura.

Ino berdeham, lantas menirukan sesuatu yang ia ingat dari suaminya. "Kau tahu si Sasuke sialan itu? Aku ingin membunuhnya karena dia bilang kau pernah mencintainya."

Sakura tertawa lepas. Memang benar, Ino pernah mencintai Sasuke. Ia dan Ino sempat bertengkar beberapa minggu karena hal itu. Akhirnya, Ino menyerah karena ia bertemu dengan Sai, yang katanya tak kalah keren dari Sasuke.

"Kau balas bagaimana?" tanya Sakura, setelah puas tertawa.

"Aku memang pernah mencintainya, Sai-kun," jawab Ino dengan suara manjanya. Kedua perempuan itu tertawa lagi, mengundang perhatian beberapa orang di kantin.

"Dia bilang, 'Untungnya aku yang bisa menikmati seorang Yamanaka Ino'," imbuh wanita itu.

Sakura masih tertawa. Sedangkan Ino menghela napas. "Sepertinya aku harus segera pulang, Sakura," ucap Ino.

Sakura menghentikan tawanya. "Kau benar. Aku juga akan pulang setelah melihat kondisi Sasori-san. Apa lebih baik aku juga langsung mengambil tasku?"

Ino mengangguk. "Kudengar dia sudah keluar dari ICU? Dia berada di ruang rawat VIP, bukan? Di lantai empat?" tanya Ino kemudian. Sakura mengangguk sebagai jawaban.

Mereka bergegas menuju lift. Ino mengantar Sakura mengambil tasnya di ruang kerjanya. Mereka tidak bertemu Tsunade di sana. Usai mengambil tas dan melepaskan jasnya, Sakura pergi ke lantai empat, ke ruangan Sasori dirawat. Ino memaksa ikut, walaupun Sakura memintanya menunggu di dekat lift saja, karena Sakura sendiri hanya ingin melihat sebentar keadaan Sasori.

"Bagaimana kondisimu, Sasori-san?" tanya Sakura.

Sang pemilik nama menoleh. Ia cukup terkejut mendapati dua perempuan cantik itu masuk ke ruangannya. Padahal Sakura sudah mengetuk pintu, tapi lelaki itu tak mendengarnya.

"Seperti yang kau tahu," jawab Sasori asal.

"Aku belum memeriksa kondisimu, makanya aku bertanya," jawab Sakura. Ia tersenyum kecil. Sasori terpana dengan hal itu.

Sakura memeriksa Sasori dengan stetoskopnya. Sembari melakukan itu, Sakura melirik pada alat pendeteksi vital di samping Sasori. Lelaki berambut merah itu tanpa sadar tersenyum tipis.

"Kau dokter yang hebat," puji Sasori.

"Itu berlebihan. Kondisimu semakin membaik sekarang. Besok atau lusa, kau boleh pulang," ujar Sakura.

"Arigatou, Sakura."

Ino melotot mendengar Sasori memanggil nama sahabatnya tanpa embel-embel apapun. Ia beranjak pergi dari sana.

"Sakura, kutunggu kau di luar," ucap Ino.

Tanpa mempedulikan Sakura yang memanggilnya, Ino tetap keluar. Ia menggerutu atas sikap salah satu pengusaha ternama itu. Sampai pada akhirnya, manik Aquamarine itu menangkap sebuah pemandangan mengejutkan. Seorang wanita berambut merah berjalan ke arahnya. Senyuman jahatnya terukir di sana.

"Sekretarisnya Sasuke?" gumam Ino tanpa sadar.

Sakura baru saja keluar dari sana. "Ino, kita pulang-"

Gadis itu menghentikan ucapannya. Ia melihat apa yang sahabatnya lihat. Sakura pun sama terkejutnya dengan Ino.

"Hisashiburi, Sakura," ucap wanita itu.

"Ah! Karin-san. Kau sudah sehat sekarang," ucap Sakura. Ia mengukir senyumnya.

"Cih! Kau seorang dokter rupanya. Tak kusangka kau akan menyelamatkan hidupku," ujar Karin dengan nada sinisnya.

"Bukankah itu terdengar baik? Sebaiknya kau berterima kasih padanya," sahut Ino geram. Sakura menggenggam tangan Ino, mengisyaratkannya untuk tetap tenang.

"Sepertinya, kami harus segera pulang, Karin-san," ucap Sakura. "Permisi." Ia menarik Ino dari sana. Sakura pikir, itu berbeda dari Karin yang pernah ia temui.

"Sebelum kau pulang, ada sesuatu yang mungkin bisa menjadi kenang-kenangan untukmu, Sakura," ujar Karin, membuat Sakura menghentikan langkahnya.

Wanita berambut merah itu mendekat. Ia menunjukkan sebuah foto kepada Sakura. Ino menatap tak percaya dengan apa yang ia lihat. Sakura berusaha tetap tenang.

"Arigatou, Sakura. Kau sudah menyelamatkan hidupku di kafe waktu itu," ujar Karin dengan nada yang ia buat-buat menggoda. Jemarinya menggeser layar ponselnya, menunjukkan foto yang lain.

"Berkat kau, aku merasa terlahir kembali dengan bantuan dokter terhebat di rumah sakit ini." Karin menggeser layarnya lagi. Kali ini, ia berhasil membuat Sakura menatap dirinya tajam. Karin tersenyum penuh kemenangan.

"Apa semalam suamimu pulang dengan keadaan mabuk? Ah! Tepat sekali. Foto ini kuambil saat kami berada di bar ... dan mabuk bersama," ujar Karin.

"Kau tahu? Aah ...," wanita itu mendesah pelan. "Dia memang seorang lelaki jantan," imbuhnya. Bagi Ino, Karin mirip seorang ****** yang sedang menggoda pelanggannya.

"Dasar wanita kurang ajar! Beraninya kau menggoda suami orang!" Ino berteriak.

Sakura refleks mengeratkan genggamannya pada tangan Ino. Karin tertawa kecil di sana. Karena tak tahan, Ino mengangkat tangannya yang bebas, hendak menampar Karin. Wanita berambut blonde itu menatap Sakura tajam saat tangannya dicegah untuk menampar Karin.

"Kau mau apa? Merusak nama baikmu sendiri?" tanya Sakura dengan tegas. Ia menuntun agar Ino memperhatikan lorong.

Wanita itu menatap kesal atas kedatangan suaminya bersama tiga lelaki lain. Sasuke, Gaara, serta Naruto. Ino benar-benar emosi. Permainan macam apa yang dimainkan Karin untuk sahabatnya?

"Ino? Kau baik-baik saja?" tanya Sai, menghampiri. Istrinya mengangguk, namun dengan mendengus. Sai melirik ponsel di tangan Karin.

"Kalian lihat? Wanita ini hampir menamparku. Padahal aku tak punya salah apapun," tutur Karin. Ia mendekati Sasuke, berdiri di sampingnya.

"Sakura-chan? Ada apa ini?" tanya Naruto penasaran.

"Tidak," jawab Sakura. Gadis itu beralih pada sang suami yang semenjak tadi menatapnya dengan dingin. Sakura menatap Sasuke tak percaya. Tak lama, gadis itu pergi dari sana. Karin kian puas mendapati reaksi Sakura.

"Apa yang kau lakukan?" tanya Sasuke dingin. Karin menatap atasannya dengan manja.

"Harusnya dia membiarkanku mati waktu itu," ucap Karin.

Sai menghadap Sasuke. Ia menggandeng tangan istrinya. Lelaki itu terus menatap Sasuke dengan datar.

"Harusnya kau tahu apa yang terjadi," desis Sai. Ia melangkah pergi, membawa sang istri. Beberapa saat kemudian, Sai menghentikan langkahnya.

"Gaara, kau sampaikan pada Sasori apa yang seharusnya dia tahu. Jangan biarkan wanita merah itu mendengarnya!" pinta Sai, lantas kembali berjalan pergi dari sana.

"Cih! Aku harus berhati-hati pada pemilik Shimura Company itu, mulai sekarang," batin Karin. Ia merasa jengkel sekarang.

Gaara menghela napas pelan. Naruto yang bingung akan keadaan memaksa Sasuke menjelaskan. Sedangkan lelaki Uchiha itu terdiam mencerna apa yang terjadi. Yang ia tahu, istrinya seperti mulai membenci dirinya.

Sepanjang jalan, Sakura tak bisa menghentikan air matanya. Ia tak menyangka suaminya pergi mabuk bersama sang sekretaris. Terdengar seperti drama yang selalu berakhir buruk untuk pemeran utama, memang. Sang suami tergoda oleh sekretaris yang seksi.

Gadis itu tak mengerti, mengapa Sasuke malah menciumnya semalam. Apa ia benar-benar mabuk? Apa dia ingin mempermainkan dirinya? Sakura kian tak kuasa menahan tangisnya. []

.

.

.

Bersambung

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!