10. Panda?

Kantin rumah sakit ramai. Sakura duduk bersama beberapa perawat. Mereka makan siang di sana. Mereka sesekali bergurau ditengah waktu makan siang. Di sana, Sakura terlihat paling mencolok dengan rambut merah jambunya.

"Ne, Sakura-Sensei," panggil seorang perempuan berambut cokelat pendek.

"Hmm? Nani?" Sakura menoleh.

"Apa kau sudah menikah?" tanya perempuan itu.

"Shizuka! Kau tidak sopan sekali!" sahut perempuan lain, menyenggol bahu perempuan yang bernama Shizuka itu.

Sakura tersenyum melihat reaksi mereka. Beberapa orang yang duduk di dekat menatap penasaran. Sakura menghela napas.

"Yuuna-san, aku rasa tidak salah Shizuka-san bertanya seperti itu," jawab Sakura.

Shizuka menatap Sakura. Matanya berbinar tak percaya. Ia ingin segera mendapat jawaban.

"Jadi? Sakura-Sensei sudah menikah?" tanya Shizuka lagi.

Sakura sedikit mendongak, menerawang ke atas langit. Kantin rumah sakit itu memang tak seluruhnya beratap. Hanya kedainya dan beberapa tempat duduk yang berada di ruangan. Sedangkan tempat duduk yang lainnya beratapkan langit. Sakura dan yang lainnya memilih tempat itu. Kebetulan, siang ini langit sedikit mendung, cukup menutupi teriknya sang mentari.

"Coba kalian tebak," jawab Sakura kemudian.

"Ne, Sakura-Sensei, berapa usiamu?" tanya gadis yang Sakura panggil Yuuna tadi.

"Dua puluh dua tahun," jawabnya.

"Hee?!" sontak semua perawat yang ada di meja itu terkaget.

"Kau sudah dua puluh dua tahun? Kukira kau dua puluh tahun," sahut Shizuka dengan lesunya.

"Mana mungkin aku bisa secepatnya itu belajar untuk menjadi seorang dokter?" sahut Sakura.

"Tapi, Sakura-Sensei ... dengan segala keahlianmu sebagai seorang dokter, itu benar-benar usia yang sangat belia," timpal perawat lainnya.

Mereka berdebat perihal Sakura sudah menikah atau belum. Sedangkan gadis yang dibicarakan itu hanya tersenyum melihat mereka berdebat. Sampai pada akhirnya, seseorang datang mengejutkan mereka.

"Sumimasen, boleh aku duduk di sini?"

Semua yang duduk di meja itu menoleh ke sumber suara. Sakura mengerutkan keningnya. Lalu tanpa aba-aba, beberapa perawat tadi mengundurkan diri dengan alasan pekerjaan. Sakura menghela napas.

"Silahkan duduk, Kabuto-Sensei," jawab Sakura kemudian.

Lelaki berkacamata itu tersenyum. Ia duduk di depan Sakura setelah menaruh nampan berisi makanannya di meja. Namanya Yakushi Kabuto. Seorang psikiater di rumah sakit itu. Konon, ia adalah seorang ahli psikiatri terhebat di sana.

"Tumben sekali kau keluar dari ruang kerjamu, Kabuto-Sensei," ucap Sakura memulai perbincangan.

Kabuto yang tengah menikmati makanannya itu seketika menoleh ke arah Sakura sekilas.

"Aa. Aku hanya ingin mencari udara segar. Kau sendiri, kudengar kau dokter yang belum terlalu lama bekerja di rumah sakit ini. Dari kabar burung yang kutahu, kau cukup menutup diri dengan sekitarmu," ucap Kabuto. Ia meneruskan makannya.

Sakura cukup tersentak. Ia berusaha tenang. "Jadi, apa kau ada perlu di sini?" tanya Sakura.

"Tidak. Kurasa, justru kau yang ada perlu dengan seorang dokter, walaupun kau dokter," jawab Kabuto.

Lagi-lagi, Sakura merasa disudutkan. Ia menghela napas, lantas tersenyum. Sakura baru sadar ia berbicara dengan siapa. Pantas saja sejak tadi Kabuto sedang membaca dirinya. Sakura tak menyangkal, bahwa akhir-akhir ini, ia kerap kali kepikiran untuk memeriksakan kondisi kejiwaannya.

"Ano, Sensei," panggil Sakura.

"Hmm?" sahut Kabuto tanpa menoleh.

"Apa kau ditakuti banyak orang di sini?" tanya Sakura. Kabuto seketika mendongakkan kepalanya.

"Kenapa kau bilang seperti itu?"

"A-tidak. Aku hanya bertanya. Hanya saja, tadi beberapa perawat yang bersamaku tiba-tiba berpamit."

"Entahlah. Aku tak tahu. Mungkin karena memang aku jarang keluar ruang kerjaku," jawab Kabuto disertai senyumannya. "Kau tahu? Aku paling sulit menangani masalah psikis pada anak kecil," kata lelaki itu setelah kembali melanjutkan aktivitas makannya.

"Dibandingkan dengan orang dewasa?" tanya Sakura. Kabuto mengangguk.

"Jadi? Bagaimana rasanya menjadi seorang psikiater?" tanya Sakura lagi.

"Entahlah. Aku tak bisa menggambarkannya. Yang jelas, seseorang yang mencintai pekerjaannya akan merasa nyaman dengan yang mereka lakukan. Menjadi seorang dokter seperti kita tidak mudah. Kau harus bisa menyatukan perasaanmu dengan pasien atau keluarganya," terang Kabuto.

Sakura mengangguk setuju. Memang benar, baginya yang paling sulit adalah mengabarkan sesuatu yang mungkin dianggap buruk oleh pasien atau keluarga pasien. Sederhananya, seperti mengabarkan berita kematian. Itu sungguh sulit dilakukan. Sakura tahu, dokter di hadapannya itu mengerti betul tentang itu.

"Baiklah, aku harus kembali ke ruang kerjaku," ucap Kabuto. Ia berdiri, membuat Sakura tersadar dari lamunannya.

"Jika kau ada perlu denganku, jangan sungkan datang ke ruanganku," imbuh Kabuto. Sakura mengangguk. Gadis itu mengikuti punggung Kabuto yang mulai menjauh. Namun, ia keheranan saat tiba-tiba Kabuto menghentikan kakinya yang baru beberapa langkah berjalan.

"Kutunggu kabar baikmu dengan Sasuke," imbuhnya, lagi.

Sakura membeku. Seingatnya, di sini, yang tahu tentang 'itu' hanya Tsunade dan Ino. Tapi mengapa dokter yang jarang berbicara dengannya seperti Kabuto bisa tahu? Tidak. Mungkin, Sakura hanya salah dengar. Pasti hanya salah dengar, pikirnya.

🌸🌸🌸

Sakura berjalan di lorong rumah sakit. Ia hendak pulang. Semenjak siang tadi, pikirannya terus terganggu dengan ucapan Kabuto. Sakura bahkan sampai ditegur seorang perawat karena ia melamun saat memeriksa pasien. Sama seperti sekarang, ia bahkan tak menyadari di depannya seorang wanita berdiri melipat kedua tangannya di depan dada.

Bruk!

"Ittai—"

Sakura menoleh ke depan. Yang didapatinya adalah, seorang wanita dengan payudara yang besar tengah menatapnya nyalang. Sakura tersenyum kikuk lantas meminta maaf.

"Ya ampun! Jika kau memang ingin payudara sebesar punyaku, kau tak perlu menyentuhnya. Minta saja suamimu untuk membantumu," ujar wanita itu.

Detik berikutnya, Sakura sukses membulatkan kedua matanya. Pipinya memanas.

"Sensei, hentai!" desisnya.

Wanita di hadapan Sakura malah tertawa. "Kenapa kau tak mendengar aku memanggilmu? Ah tidak! Bahkan kau tak melihat aku di depanmu?" tanyanya kemudian.

"Gomen, ne, Tsunade-Sensei. Aku hanya ... sedikit pusing," elak Sakura.

Tsunade menatapnya intens, mencari sebuah kebohongan di manik Emerald Sakura. Ia menghela napas panjang setelah itu.

"Aku mendapat laporan, kau melamun saat melakukan pekerjaanmu. Jangan mengulangi kesalahan itu, Sakura!" peringat Tsunade. Sakura mengangguk paham. Sekali lagi, ia meminta maaf dengan sebab yang berbeda.

"Wah, wah! Lihatlah siapa di sana. Dua dokter terbaik di rumah sakit ini!"

Sakura dan Tsunade menoleh ke sumber suara. Dari lorong lain, mereka mendapati seorang wanita bersurai cokelat panjang yang diikat ke belakang berjalan ke arah mereka. Sakura tersenyum, sedangkan Tsunade hanya memejamkan mata.

"Kalian mau ke mana?" tanya wanita itu. Mata cokelatnya menatap Sakura dengan tenang.

"Aku baru akan pulang. Kebetulan bertemu dengan Tsunade-Sensei. Ameno-Sensei sendiri? Kau belum pulang?" tanya Sakura balik.

"Aa. Aku masih ada beberapa pasien yang harus aku periksa," jawab wanita itu, Ameno. Ia menoleh ke arah Tsunade.

"Tsunade-Sensei, pasien atas nama Karin akan menjalani operasinya besok. Kami sudah mendapatkan pendonornya," ucapnya pada Tsunade.

"Souka. Baguslah. Besok akan kusiapkan operasinya," jawab Tsunade.

"Hai. Arigatou. Baiklah. Sepertinya aku harus segera melanjutkan pekerjaanku," ucap Ameno. Ia lantas pergi meninggalkan mereka.

Kedua dokter itu menatap kepergian Ameno sampai punggungnya tak terlihat. Tsunade berdeham, membuat Sakura menoleh bingung.

"Nani?" tanyanya.

"Jadi, ia yang kau maksud menyaingiku?" tanya Tsunade.

"Menyaingi?"

"Cih! Dadanya tak lebih besar dari punyaku," ucap Tsunade dengan kesal. Ia pun berlalu meninggalkan Sakura dengan wajah kesalnya.

Sakura diam di tempat. Ia hanya menghela napas dan tersenyum geli.

"Uzumaki Karin. Kira-kira, siapa yang dengan suka hati mendonorkan jantungnya untukmu?" tanya Sakura, dalam hati

🌸🌸🌸

Sakura melirik jam di pergelangan tangannya. Sudah lima belas menit ia duduk di sebuah restoran, yang letaknya tak jauh dari rumahnya. Sakura sudah meminta izin pada sang suami untuk pergi mencari makan di luar. Padahal, setengah jam lagi makan malam di keluarga Uchiha itu akan dimulai.

Sakura menutup buku yang semenjak tadi ia baca. Jam di pergelangan tangannya tadi menunjukkan pukul delapan lebih lima belas menit. Setidaknya waktu setengah jam cukup untuk dia berjalan-jalan memutar jalan pulang. Ya, semoga saja pulang nanti Sasuke sudah tidur. Seperti itulah yang Sakura inginkan.

"Hei, Tuan! Kau belum membayar makananmu!" teriak seorang lelaki, membuat Sakura mengikuti sumber suara itu.

Di sana, karena Sakura duduk di pojok, ia bisa melihat seorang lelaki dan perempuan berhenti di dekat pintu. Di belakang mereka, seorang pelayan lelaki menatap mereka tajam. Sakura tahu, dua orang itu tadi duduk di meja tengah, tak jauh dari tempatnya.

"Aku sudah membayar makananku," ucap sang lelaki.

"Kau tidak menaruh uang di mejamu, Tuan!"

Mendengar pernyataan itu, Sakura memahami sesuatu. Ia memperhatikan lagi meja tempat pelanggan itu duduk. Tak ada apapun di sana. Menghela napas panjang, akhirnya Sakura berdiri.

"Apa restoran ini punya kamera pengawas? Jika aku terbukti belum membayarnya, kalian boleh menagihku lima kali lipat. Jika tidak, akan kubawa kau ke kantor polisi atas tuduhanmu itu!" ancam pria itu.

"Kurasa kalian mencari ini?" tanya Sakura, berjalan mendekati mereka. Ketiga orang itu menoleh. Di tangan gadis itu, terdapat beberapa lembar uang. Pelayan itu tampak terkejut.

"Maaf sudah ikut campur. Tapi sepertinya, uang Anda terjatuh karena angin, Tuan," ucap Sakura dengan sopan. Ia mengulurkan uang itu kepada lelaki tadi.

Akhirnya, pelayan itu tak lagi meributkan soal uang yang katanya belum dibayar oleh pelanggannya. Setelah itu, Sakura mengundurkan diri.

"Tunggu sebentar, Nona!" teriak seorang wanita. Sakura menghentikan langkah, menoleh ke arah wanita berambut kuning itu. Ia berbalik menatap dua orang yang kini berjalan mendekatinya.

"Bukankah kau Haruno Sakura?" tanya wanita tadi. Sakura tertegun.

"Bagaimana kau bisa tahu namaku?" tanya Sakura. Wanita tadi tersenyum.

"Perkenalkan, aku Temari, istri dari temanmu, Nara Shikamaru," ucapkan kemudian mengulurkan tangan.

Sakura menerimanya, lantas tersenyum. "Senang berkenalan dengamu, Nara Temari," ucapnya.

Wanita bernama Temari itu tersenyum. Sakura mengamati wanita itu. Matanya berbinar saat menyadari sesuatu.

"Apa kau ... sedang hamil?" tebak Sakura.

Wanita bernama Temari itu terkejut karena teman dari suaminya itu bisa menebak.

"Bagaimana kau tahu?"

"Aa. Kurasa suhu tubuhmu lebih tinggi, padahal kau terlihat sehat. Lagi pula, kau semenjak tadi kuperhatikan, terus mengusap perutmu."

"Usianya baru tiga bulan," ucap Temari.

"Kau ingin bayi perempuan atau laki-laki?" tanya Sakura antusias.

"Entah laki-laki atau perempuan, akan kusayangi anakku sepenuh hati," jawab Temari.

"Ekhem!"

Keduanya menoleh ke seorang lelaki yang semenjak tadi hanya diam. Temari menghela napas. Sedangkan Sakura tersenyum kikuk.

"Dia adikku yang kedua, Gaara. Kurasa kalian seumuran, Sakura," ucap Temari memperkenalkan.

Sakura menundukkan sedikit kepalanya. "Namaku Sakura. Salam kenal, etto ...,"

"Kazekage Gaara. Panggil saja Gaara," sahut lelaki bernama Gaara itu. Sakura mengangguk.

"Kenapa matamu seperti Panda?" tanya Sakura dengan isengnya.

"Pfftt! Mungkin dia siluman Panda," sahut Temari. Seketika, Sakura dan wanita itu tertawa.

Sedangkan lelaki yang mereka tertawakan hanya memandang dengan datar.

"Oi, kalian! Pamit makan malam tapi lama sekali!" seseorang tiba-tiba menyahuti di belakang Sakura.

Mereka menoleh. Sakura yang tak mengenali lelaki itu pun menatapnya bingung. Seolah mengerti dengan kebingungan Sakura, Temari segera memberi jawaban.

"Sakura, perkenalkan. Dia adikku yang pertama, kakak dari Gaara, Kazekage Kankurou."

"Yoroshiku, Kankurou-san," sahut Sakura. "Ah! Sepertinya aku harus pulang. Ini sudah terlalu malam," imbuhnya.

Kankurou hanya menjawab sekenanya saat Sakura memperkenalkan diri.

"Kau benar. Sebentar lagi suamiku juga akan pulang. Kedua adikku ini harus kembali ke apartemen mereka masing-masing. Kalau begitu, sampai bertemu kembali, Sakura," jawab Temari.

"Omong-omong, di mana Shikamaru bekerja?" tanya Sakura. Ia memang sedikit penasaran.

"Dia bekerja di perusahaan milik Namikaze itu. Saat pertama mendapat pekerjaan, ia mencoba bekerja di perusahaan Uchiha Ace. Tapi entahlah aku tak tahu alasan Shikamaru pindah bekerja," jawab Temari.

Sakura sedikit tertegun. Sepertinya, mereka orang-orang penting. Mengingat jika perusahaan yang kini dikelola Naruto adalah perusahaan besar. Bahkan perusahaan milik keluarga Sakura sendiri.

"Sakura, mampirlah kapan-kapan ke apartemenku di distrik Minato," imbuh Temari sebelum Sakura pergi. Gadis bersurai merah muda itu mengangguk seraya tersenyum sebagai jawaban.

Kankurou menyenggol bahu sang adik lelaki saat menyadari Gaara melamun.

"Souka? Kau tertarik dengannya?" tanya Kankurou.

Gaara menoleh. "Tertarik?"

"Sudahlah cepat kalian pulang! Gaara, hari ini jadwalmu yang mengantarkan Temari pulang, kan? Jadi, cepat antar dia sebelum si Nanas itu marah!" gerutu Kankurou, lantas pergi dari sana.

Temari hanya mendengus melihat kelakuan adiknya. Ia menoleh ke arah Gaara yang kini hanya diam.

"Doushita no?"

"Iya. Nande mo arimasen¹. Bisakah kau tunggu sebentar di sini?" tanya Gaara.

"Apa yang ingin kau lakukan?" tanya Temari.

"Hanya memastikan sesuatu."

Gaara berlalu meninggalkan Temari. Ia pergi tak terlalu jauh. Gaara justru kembali ke dalam restoran. Entah apa yang dilakukan sang adik, Temari sedang tak ingin tahu.

🌸🌸🌸

"Bisa kau jelaskan padaku?"

Sakura menghentikan langkahnya saat sebuah suara baritone menyambut dirinya di tengah kegelapan kamar itu. Kamar yang gelap gulita kini sedikit mendapatkan cahaya dari lampu tidur yang dinyalakan. Menampilkan sesosok lelaki yang kini terbaring dalam remang cahaya.

"Gomen, Sasuke-kun," ucap pelan Sakura.

"Cih! Kau ingin dipandang sebagai wanita rendahan?" tanya sang suami. Sakura cukup panas hati mendengarnya.

"Kau salah! Aku hanya ingin berjalan-jalan sebentar. Seharusnya aku mengajakmu, tapi aku tak ingin mengganggumu, karena selama ini kau selalu menganggapku sebagai pengganggu!" Sakura membela diri.

Ia bergegas meletakkan tasnya, langsung ke kamar mandi tanpa lagi mempedulikan sang suami. Sakura merendam dirinya dalam air hangat. Membiarkan tubuhnya melepas lelah untuk hari ini. Tiba-tiba, pikirannya melayang pada percakapannya dengan Kabuto siang tadi.

Rasanya, ia ingin bertanya pada sang suami, tentang siapa Kabuto itu. Mungkin akan sulit mendapatkan jawaban dari sang suami tanpa membongkar pekerjaannya. Berbicara tentang pekerjaannya, Sakura teringat percakapannya dengan Mikoto tempo hari.

"Sasuke-kun no tame ni?²"

Gumamannya sendiri membuat gadis itu sadar. Demi suaminya? Oh ayolah! Sakura melakukan apa yang dia lakukan setelah menikah dengan sang suami hakikatnya untuk dirinya sendiri. Sakura egois? Memang. Ia mengakuinya.

Egois untuk menjaga kehormatannya sendiri, bahkan secara tidak langsung juga menjaga kehormatan sang suami di mata Tuhan, bukan? Sakura sudah gila. Tuhan tentu tahu kelakuan suaminya padanya. Mungkin menjaga harga diri suaminya dari komentar-komentar jelek yang mungkin akan diterima mereka tentang sikap Sasuke padanya. Meski begitu, dalam hatinya yang paling dalam, Sakura masih ingin memenangkan hati sang suami.

Sakura mulai merasa kedinginan. Ia keluar dari kamar mandi dengan mengendap-endap. Tubuhnya hanya berbalut dengan handuk. Di kamarnya, lampu benar-benar mati total, seperti saat ia masuk tadi, sebelum Sasuke memergokinya. Sakura berganti pakaian dengan santai. Tanpa disadarinya, ada suatu hal yang akan membuatnya malu jika ia sadar.

Gadis yang sekarang bermarga Uchiha itu menaiki ranjang dengan hati-hati setelah ia selesai mengenakan pakaian. Ia merutuki dirinya sendiri karena buru-buru masuk kamar mandi tanpa membawa baju ganti. Akan memalukan jika Sasuke tahu dirinya sedang berganti pakaian, meski Sasuke adalah suaminya sendiri.

"Jelaskan padaku ...,"

Kelopak matanya yang baru saja terpejam kini terbuka kembali.

" ..., Sakura."

"Sa–Sasuke-kun? Kenapa belum tidur?" tanya Sakura.

"Kau membuat suara, membuatku tak bisa tidur."

"Go-gomen, Sasuke-kun."

Dalam kegelapan itu, Sakura merasakan pipinya memanas. Apakah Sasuke melihatnya berganti pakaian?

"Ke mana kau tadi?"

Pertanyaan Sasuke sukses membuat Sakura beralih pada jawaban apa yang harus ia katakan. Jujur atau bohong.

"Hanya bertemu teman lamaku. Namanya Temari," jawab Sakura setengah berbohong, mungkin.

Sasuke menautkan alisnya dalam kegelapan itu. Ia sangka, istrinya tak kenal dengan wanita yang resmi menjadi suami Shikamaru beberapa bulan lalu. Lagi pula, belum tentu Temari yang Sakura temui betulan istri temannya. Seperti itulah dugaan Sasuke.

"Ne, Sasuke-kun ..., boleh aku bertanya?"

"Hn?"

Sakura menggigit bibir bawahnya. Ia membodohi dirinya. Seharusnya bukan bertanya langsung pada Sasuke. Sakura mencoba mengajak berteman dengan rasa kantuknya yang mulai menyerang hebat. Mendapati sang istri terdiam, Sasuke menoleh ke sisi kanannya. Ia membuang napas panjang saat tahu Sakura sudah tertidur. Sekali lagi, ia tersenyum miring mengingati tentang sesuatu. Saat sadar sedang mengingat apa, Sasuke mendecih pelan. []

.

.

.

Bersambung

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!