14. Insiden

"Yosh! Di sinilah tempatnya!" ucap Sakura penuh semangat. Ia baru saja membuka kunci pintu apartemennya.

Beberapa minggu usai menikah, Sakura mendapat hadiah apartemen mewah dari ayah dan ibunya. Tak hanya itu, ia juga mendapat sebuah kalung berliontin bunga Sakura. Gadis itu sejujurnya kurang suka tinggal di apartemen. Ia lebih suka tinggal di rumah bersama keluarga besarnya.

"Apartemenmu cukup luas, Sakura," ucap Tenten dengan jujur.

Satu jam yang lalu, mereka bertemu di kantin rumah sakit. Hari sudah sore, udara semakin dingin. Sakura ingin cepat-cepat mengantarkan Tenten ke apartemennya, lalu bergegas pulang.

"Kau bisa anggap ini rumahmu sendiri. Aku akan pulang sebentar lagi. Jika ada perlu, kau bisa menghubungiku dan aku akan ke sini," ujar Sakura. Tenten mengangguk.

Sakura memberikan kunci apartemennya pada Tenten. Ia lalu berpamit pergi dari sana.

"Ah, Sakura!"

Gadis itu menoleh kembali pada teman lamanya. "Ya?"

"Di mana kau tinggal?"

"Mati aku!" batin Sakura.

"Etto ... aku ...," Sakura bingung.

"Katakan saja yang sebenarnya," ucap Tenten penuh penekanan. Ia menatap Sakura dengan kesal.

"Aku tinggal di mansion Uchiha," jawab Sakura cepat. Ia bergegas keluar dari sana.

Tenten mengangguk-angguk kecil. "Ooh ... APA?!"

* * *

Sai sedang berkutat dengan laptopnya. Ia akan menunjukkan beberapa laporan penting tentang perkembangan aliansi dari lima perusahaan yang ia lakukan. Sebenarnya, ia membuat seseorang kesal pagi ini. Sai bilang akan datang ke kantor Sasuke jam sembilan pagi nanti. Sialnya bagi Sasuke sendiri, Sai malah datang pukul delapan pagi.

"Bisakah kau menepati ucapanmu?" tanya Sasuke dengan datar.

"Yang mana?" tanya Sai tanpa menoleh.

"Apa-apaan kau ini! Kau bilang datang ke sini jam sembilan pagi. Tapi kau, saat kantorku baru buka sudah masuk ke sini. Aah! Kau membuatku tak bisa konsentrasi, Sai!" omel Sasuke.

Sai menghentikan jemarinya. "Ara! Seorang Uchiha Sasuke sedang cerewet ternyata!"

"Apa?"

"Apanya yang apa? Semalam kau bertengkar dengan istrimu?" tebak Sai.

"Tidak."

"Kau tidak tidur?"

"Tidurku teratur."

"Hmm," Sai terlihat berpikir. "Lalu kenapa?"

"Baka! Itu karena kau bilang Sakura bertemu Sasori!" refleks Sasuke.

Sai diam sesaat. Ah dia ingat. Dia memang pernah mengatakan itu pada Sasuke. Ia tersenyum geli.

"Kau sungguh cemburu?"

"Cih! Cemburu? Aku bahkan tak punya rasa padanya!"

"Apa kau malu karena ingin tahu hal itu langsung darinya?" tebak Sai lagi.

"Itu hal bodoh!"

Sai hanya menghela napas panjang mendengar itu. Sejauh ini, yang dilihat dari sikap rekannya memang Sasuke selalu benci jika mereka membahas tentang Sakura. Entahlah, Sai sendiri bingung.

"Kita ada pertemuan jam delapan malam nanti. Itu bisa saja tertunda lagi karena Akasuna Sasori sedang berada di luar negeri. Tapi dia tak akan membatalkan pertemuan ini," ujar Sai.

"Malam ini? Yang benar saja! Bagaimana dengan cuacanya?" tanya Sasuke.

"Mungkin dibawah sepuluh derajat."

Sasuke diam. Sebenarnya, kondisi tubuhnya sedikit tidak baik sekarang. Namun mengingat banyaknya jadwal hari ini, ia memaksa tetap masuk dan meminum beberapa obat yang ia minta dari sang istri sebelum berangkat bekerja pagi tadi.

"Kalau begitu, urusanku di sini selesai. Ini perkembangan tentang aliansi kita. Baca baik-baik, malam nanti kita akan bahas lebih lanjut lagi tentang ini," ujar Sai, berdiri seraya memberikan sebuah flashdisk kepada Sasuke. Entah semenjak kapan lelaki itu sudah membereskan laptopnya.

"Oi, Sai!" panggil Sasuke sebelum Sai membuka pintu.

"Hmm?"

"Kenapa kau repot sekali memberikan ini langsung padaku?" tanya Sasuke dengan ekspresi datarnya.

"Kupikir ... lebih baik diberikan langsung agar lebih aman," jawab Sai kemudian. Ia pun segera berlalu dari ruangan Sasuke.

Kini, lelaki itu memikirkan beberapa hal. Sebenarnya, perasaan tak nyaman tentang pertemuan malam nanti.

🌸🌸🌸

"Woaah! Kau bekerja di sini, Tenten?" tanya Ino antusias. Tenten mengangguk.

Wanita bersurai blonde itu mengamati penampilan teman lamanya. Seragam pelayan kantin rumah sakit. Tenten terlihat anggun mengenakannya.

"Hei! Bagaimana kau bisa menjadi karyawan di sini? Apa rumah sakit membuka lowongan pekerjaan?" tanya Ino.

"Tidak. Sakura yang membantuku mendapatkan pekerjaan di sini," jawab Tenten.

"Sakura?"

"Hmm." Gadis bersurai cokelat itu mengangguk. "Dia meminta bantuan pada seseorang yang dia panggil Tsunade-Sensei," bisik Tenten ada Ino.

"Ah! Kau curang sekali. Tapi, jika aku menjadi kau, aku juga akan meminta bantuan yang sama pada Sakura," tutur Ino.

Memang benar, kemarin, Sakura merengek, meminta Tsunade mencarikan pekerjaan untuk Tenten. Beruntung, saat itu posisi karyawan kantin memang kurang satu karena salah seorangnya mengundurkan diri dari sana. Sehingga Tenten tak dicurigai oleh banyak karyawan.

"Kalian membicarakanku?" sahut seseorang di belakang keduanya.

Ino dan Tenten menoleh. Mereka tersenyum. Sakura menatap takjub pada Tenten.

"Wah! Wah! Kau cantik, Tenten," puji Sakura tulus.

"Sampaikan terima kasihku pada Tsunade-mu itu. Oh, ya! Aku harus segera kembali bekerja. Sampai nanti," pamit Tenten.

Sakura memperhatikan gadis itu beberapa detik. Setelahnya, ia mengambil duduk di depan Ino.

"Sudah selesai operasi?" tanya Sakura pada Ino.

Wanita itu mengangguk. "Begitulah. Sialnya, Neji memarahiku."

"Eh? Kenapa?"

"Aku hampir muntah saat operasinya hampir selesai. Aku tak sengaja menyenggolnya, dan hampir membuat pendarahan baru pada pasien."

"Pfftt ... hahaha!" Sakura tertawa renyah. Ino mendelik.

"Sialan kau, Sakura!"

"Sepertinya kau harus menghindari operasi," ucap Sakura tiba-tiba.

"Eh? Nani?"

"Kau sedang hamil, bukan? Jadi sebaiknya kau tak perlu mengikuti operasi. Biarkan saja digantikan perawat lainnya."

"Sakura ... dari mana kau tahu?"

"Tentu saja aku tahu. Tenang saja, akan kuberitahu Neji setelah ini. Kupastikan dia tak akan memarahimu lagi. Aku harus ke ruanganku sekarang." Sakura berujar cepat, lantas berdiri meninggalkan Ino yang memandangnya heran.

Gadis itu berjalan santai menuju ruangannya. Ia memasuki lift. Suatu kebetulan yang tak terduga, Sakura bertemu seseorang yang baru saja ia bicarakan dengan Ino.

"Sakura?" sapa orang itu.

"Ah! Neji-san! Kebetulan sekali. Sepertinya aku harus menyampaikan ini padamu. Ino sedang hamil muda sekarang. Sebaiknya kau pertimbangkan lagi saat memintanya bergabung dalam operasimu," ujar Sakura panjang lebar.

"Sudah kubilang, Sakura," jawab Neji.

"Sudah kau bilang? Tapi kenapa Ino mengeluh padaku tentang kau memarah-"

"Sudah kubilang jangan bicara se-formal itu padaku."

Sakura diam. Hei, bukankah dia bicara sebagaimana mestinya?

"Ma-maksudmu?"

Neji menghela napas. "Jangan memanggilku dengan -san di belakang namaku," ujarnya kemudian.

"-sama? -chan? -kun?" tanya Sakura kebingungan.

Neji tersenyum tipis. Pintu lift terbuka. Ia segera keluar. Sedangkan Sakura di dalam kian bingung.

"Yang terakhir mungkin."

Sakura mendengarnya. Neji berucap begitu tepat sebelum pintu lift tertutup. Gadis itu menghela napas pasrah.

🌸🌸🌸

Sebuah cincin pernikahan sedang diperhatikan oleh pemiliknya. Beberapa kali diputar di meja, membuat seseorang di dekat sana merasa risih.

"Kau sudah memainkan cincinmu lebih dari setengah jam, Sakura!" tegurnya.

"Hmm. Tsunade-Sensei. Sepertinya aku akan pulang lebih awal," ucap Sakura kemudian. Ia memasukkan kembali cincin itu ke dalam kotak kecil. Lantas menaruhnya di dalam laci.

Sakura berdiri. Ia berniat pergi dari sana. Baru beberapa langkah, ponselnya berbunyi, menandakan notifikasi masuk. Ia meraih saku jas putihnya. Benar saja, ia mendapati sebuah pesan dari sang suami baru saja diterimanya.

Aku pulang lebih malam.

Hanya begitu. Ini memang bukan yang pertama untuk Sasuke memberi kabar sang istri jika ia pulang lebih malam. Namun biasanya, ia akan menelepon Sakura, bukan mengirimkan pesan singkat. Ada yang aneh. Baru saja akan memasukkan kembali ponselnya, sebuah pesan baru masuk. Kali ini, bukan dari suaminya lagi. Tapi dari Ino.

Temui aku di lobi rumah sakit, Sakura. Sekarang!

"Haah!" Sakura mendesah kesal. Akhirnya, ia melepaskan jas putihnya, menaruhnya di gantungan jasnya di sisi meja kerjanya.

Tsunade memperhatikan Sakura. Setelah gadis itu berpamit dan benar-benar meninggalkan ruangan, mata Tsunade tertuju pada laci meja Sakura.

🌸🌸🌸

"Kau tahu? Aku baru saja dikabari suamiku. Dia bilang ada rapat perusahaan. Yang benar saja, rapat di malam hari seperti ini? Aah! Menjengkelkan. Padahal aku ingin ditemani membeli Udon."

Sakura tersenyum geli melihat tingkah Ino. "Memangnya di mana suamimu akan rapat? Bukankah malam hari seperti ini seharusnya kantor sudah tutup?" tanya Sakura cukup penasaran.

"Sai-kun bilang, di sebuah kafe di dekat perempatan. Tak jauh dari sini, katanya. Sebentar, aku akan memeriksanya. Tadi dia membagikan lokasinya," jawab Ino. Ia merogoh tasnya, mencari ponsel.

Dua perempuan itu kini memperhatikan benda pipih yang Ino keluarkan. Mereka saling tatap saat mengerti tempat yang dimaksud Sai.

"Bukankah itu tempat saat kau dijemput Sasuke?" tanya Ino. Sakura mengangguk pelan.

"Kau benar. Letaknya tak jauh dari sini, bukan?"

Ino mengangguk. "Aah! Sudahlah! Antar aku ke tempat yang bisa membuatku makan Udon, Sakura! Setahuku, di sekitar sini ada tempatnya," ujar Ino memaksa. Ia menarik lengan Sakura.

"Hai, hai!"

Mereka berdua pergi dari rumah sakit. Sepanjang jalan, sesekali keduanya bergurau. Sakura merasa kembali pada masa sekolahnya, di mana ia dan Ino sering bersama kemana pun mereka pergi.

"Kupikir, Sasuke-kun juga sedang bersama suamimu," ucap Sakura.

"Oh ya?"

Sakura mengangguk. "Hmm. Dia memberitahuku bahwa dia pulang malam hari ini."

"Syukurlah. Berarti Sasuke tidak sedang pergi ke tempat diskotik," sahut Ino diakhiri dengan tawanya. Sakura mendengus kesal.

🌸🌸🌸

Kafe itu kembali dipesan khusus untuk beberapa orang saja. Naruto ditemani Shikamaru saat ini. Gaara bersama asistennya, seorang gadis bernama Matsuri. Sasori dengan Deidara yang menemani, Sai dengan seorang rekannya dulu, Kiba.

"Sasuke-san, apa kau datang sendiri?" tanya Sasori.

"Hn."

"Sai, aku harus keluar sebentar. Ada panggilan masuk dari kolegamu," ucap Kiba tiba-tiba.

Sai menoleh sekilas, lantas mengangguk. "Katakan kita sedang sibuk."

Kiba keluar sejenak dari kafe itu. Semua pasang mata kembali tertuju pada sosok Uchiha muda itu. Kecuali Gaara. Lelaki itu memejamkan matanya, hanya mendengar dengan tenang percakapan mereka yang menurutnya tak terlalu penting untuk ikut campur.

"Oi, Sasuke. Bukankah sebenarnya kau punya seorang sekretaris?" tanya Shikamaru ikut penasaran.

Sasuke menghela napas. Ia tak langsung menjawabnya.

🌸🌸🌸

"Maksudmu, Karin?" tanya Sakura. Ino mengangguk, seraya meniup Udon-nya.

"Aa. Kudengar dia keluar rumah sakit beberapa hari yang lalu. Kurasa seharusnya dua atau tiga hari lagi dia baru boleh pulang. Tapi sepertinya dia keras kepala."

"Apa benar dia baru saja melakukan transplantasi jantung?" tanya Ino penasaran. Giliran Sakura yang mengangguk.

"Aku tahu itu dari Ameno-Sensei. Dia yang memeriksa Karin."

Ino manggut-manggut paham. Ia mengangkat tangannya kepada sang pemilik kedai, lantas meminta satu porsi lagi. Sakura menggeleng melihat hal itu.

🌸🌸🌸

Semenjak masuk ke kafe itu, Sasuke merasa hawa tak nyaman. Padahal, ia sudah beberapa kali ke sini. Hal itu membuatnya kurang fokus saat mereka mendiskusikan kerjasama yang mereka buat. Sasuke bahkan beberapa kali ditegur oleh Naruto. Yang menjengkelkan, lelaki bermarga Namikaze itu menegurnya dengan menginjak kaki Sasuke. Kebetulan, mereka duduk bersebalahan.

"Cih! Sial! Perasaan apa ini?" jengkelnya dalam hati.

"Teme! Fokuslah!" geram Naruto.

Sasuke tersentak. Ia kemudian memandang satu persatu orang-orang yang duduk di sana.

"Ah! Maaf. Perasaanku hanya sedang tak enak," ucap Sasuke.

"Berhentilah memikirkan rumah! Orang-orang rumahmu akan baik-baik saja termasuk dia," omel Naruto lagi.

"Dia?" tanya Sasori.

"Bukan apa-apa. Lanjutkan penjelasanmu tadi," pinta Sasuke.

"Sialan kau Naruto! Kenapa kau menyebut dia dan terang-terangan menyebut orang yang kau maksud adalah perempuan?!" maki Sasuke dalam hati.

Mereka tak menyadari, bahwa sebenarnya bahaya mengintai. Beberapa koki di dapur kafe itu terus memasak untuk hidangan penutup tamu spesial mereka dengan tenang. Sampai pada akhirnya, sesuatu yang tak jauh dari kompor sekonyong-konyong meledak kuat.

Api seolah seketika membuat bola raksasa di dalam kafe kecil itu. Semua kaca pecah berkeping-keping. Ledakan yang keras itu terdengar bahkan sampai beberapa puluh meter dari tempatnya. Tak ayal lagi, kafe kecil itu terbakar. Sialnya, Sasuke dan yang lain masih berada di dalam.

Tanpa mereka tahu, ledakan itu berdampak kuat di perempat itu. Beberapa mobil menginjak rem mendadak saat lampu pengguna jalan raya masih menyala hijau. Menyebabkan beberapa tabrakan keras di perempatan jalan. Beberapa jeritan terdengar.

Di kedai, Sakura samar mendengar ledakan itu. Ia menghentikan aktivitas makannya. Beberapa orang yang baru datang ke kedai membicarakan hal yang tak terlalu jelas di telinga Sakura. Gadis itu menyadari sesuatu. Jalanan di depan kedai mendadak macet. Mobil-mobil berhenti di jalan.

"Ino, tunggu di sini sampai aku kembali!" pesannya pada Ino. Sakura bergegas pergi dari sana.

"Sakura!" teriak Ino. Wanita itu hampir tersedak makanannya. Ia menyadari sesuatu di sana. Orang-orang sedang meributkan sesuatu.

Gadis bersurai merah muda itu berlari di antara mobil-mobil yang terhenti. Mustahil baginya bisa berlari secepat itu di trotoar, karena banyak pengguna jalan kaki yang berhenti di sana. Sakura dengan otak cerdasnya memilih berlari di jalan raya agar lebih cepat sampai. Ia melewati rumah sakit tempatnya bekerja. Kebetulan, Ino mengajaknya ke salah satu kedai yang tak jauh dari rumah sakit. Jika ingin pulang, Sakura hanya perlu belok kiri dan berjalan lurus melewati rumah sakit tempatnya bekerja itu. Menempuh beberapa ratus meter, lalu sampai di mansion Uchiha.

Firasatnya buruk setelah ia melewati rumah sakit. Keadaan itu seolah membawanya ke tempat yang tak asing. Napas Sakura tersengal. Ia berhenti dan menatap tak percaya pada kafe yang kini tengah dilalap si jago merah. Sakura sedikit panik. Ketika mendapati seseorang membopong orang lain untuk membantu berjalan, Sakura segera mendekat. Mereka sepertinya baru keluar dari kafe.

"Apa yang terjadi?" tanya Sakura seraya membantu mereka berdua.

"Sa-Sakura-chan?"

Sakura menoleh. Oh, hei! Itu Naruto. Maafkan Sakura yang tak tahu seseorang yang membopong orang lain tadi adalah Naruto.

"Cih! Ternyata firasat Sasuke benar," gumam seseorang yang dibopong tadi.

"Shikamaru?" tanya Sakura.

"Oh, hai, Sakura. Sepertinya kau tak terluka," jawabnya.

"Oh ayolah! Ketua kelasku ini sedang berusaha bercanda di tengah situasi darurat." Sakura menuntun Shikamaru duduk duduk bersandar pada tiang.

Gadis itu merogoh ponselnya, menelepon ambulance rumah sakit tempatnya bekerja. Ia tentu saja meminta bantuan.

"Naruto, di mana Sasuke-kun?" tanya Sakura, seraya menggunting celana panjang Shikamaru.

"Dia baik-baik saja. Akan kuminta semua orang ke sini," jawab Naruto cepat, lantas berlalu dari sana.

"Semua?" gumam Sakura.

"Kami sedang mengadakan rapat di sini. Lalu tiba-tiba saja ada ledakan. Parahnya, itu berdampak di jalanan," ucap Shikamaru menjelaskan.

Emerald Sakura membulat saat tahu kaki rekannya itu tergores cukup panjang. Lukanya sedikit terbuka.

"Oh ayolah! Bagaimana bisa?" panik Sakura. "Kau bawa ikat pinggang?" tanyanya kemudian.

"Tidak."

Sakura menutup luka Shikamaru dengan kedua tangannya yang masih tak cukup menutup luka itu. Pendarahan masih terjadi di sana. Ia menoleh ke sana kemari. Di sisi kanannya, Naruto datang bersama beberapa orang, termasuk suaminya. Sakura ingat, Sasuke selalu membawa sesuatu yang saat ini diperlukannya.

"Ne, Sasuke-kun! Bisa kau lepas ikat pinggangmu?" tanya Sakura.

Sasuke diam di sana. Ia tak mengerti. Mengapa bisa istrinya ada di sini? Dan sedang apa dia?

"Sasuke-kun!" Sakura hampir membentak.

"A-aa. Baiklah." Sasuke melepas ikat pinggangnya, lantas memberikan itu pada Sakura.

Dengan cekatan, Sakura menerimanya. Mengikat bagian atas luka itu, menahan agar darah tak terlalu banyak terbuang. Ia lantas meraih celana Naruto, membuat lelaki itu maju sedikit. Sakura melepas paksa ikat pinggang pria berambut kuning itu. Ia kembali mengikat ikat pinggang itu dengan kuat di dekat pergelangan kaki Shikamaru yang terluka. Tak lama, mobil ambulance datang. Sakura meneriaki mereka. Dua orang datang menghampirinya, lantas segera membawa Shikamaru pergi dengan tandu.

"Sakura, apa Ino masih di rumah sakit?" tanya Sai tanpa mempedulikan lagi tatapan heran dari beberapa rekan bisnisnya di sana.

"Ino?" gumam Sakura. Sakura hampir lupa tentang wanita yang sedang hamil muda itu. Tanpa sengaja, ia melihat wanita yang ia cari kini berdiri di seberang jalan, menutup mulutnya tak percaya.

Sakura mendorong tubuh Sai, menunjukkan di mana istri lelaki itu berada. "Tenangkan dia, jangan sampai ibu dari bayimu dalam kondisi tak baik!" perintah Sakura setengah berbisik.

Gadis itu menoleh ke beberapa pria yang masih berdiri di situ. "Apa masih ada lagi?" tanyanya.

"Ano ...," seorang perempuan berambut pendek menyahuti. "Aku belum melihat Tuan Akasuna Sasori di sini," cicitnya.

"Sasori?" refleks Sakura singkat.

Ia panik. Berlalu dari sana dan menanyakan perihal lelaki itu kepada beberapa petugas ambulance. Tak ada yang menjawab mereka melihatnya. Tiba-tiba, seorang koki yang hendak di masukkan ke dalam mobil ambulance angkat suara.

"Aku ... melihatnya," sahutnya. Ia menahan rasa sakit pada luka bakarnya. "Dia di dapur, untuk membantu kami keluar setelah ledakan," sambungnya.

"Sakura-Sensei! Kami menemukannya!" teriak seseorang dari dekat kafe yang terbakar itu.

Sakura bernapas lega, namun rasa cemasnya belum hilang. Gadis itu mendekat ke seseorang yang sedang berada dalam tandu. Sejenak, ia terkejut dengan keadaan lelaki yang ia cari. Segera ia beralih pada lelaki yang kini sedang ditandu, dimasukkan ke dalam mobil ambulance lainnya. Sakura mengikuti mereka.

Ia diam memperhatikan. Hingga akhirnya usai para petugas telah memasukkan Sasori ke dalam mobil, Sakura turut masuk. Gadis itu sedang melakukan penanganan pada Sasori di dalam mobil ambulance. Saat pintu mobil itu akan ditutup, Sasuke lihat Sakura mencegahnya. Gadis yang resmi menjadi istrinya itu justru turun, mengatakan beberapa hal, yang tak Sasuke tahu, dengan kepada salah satu petugas ambulance.

Tak lama, interaksi keduanya berakhir. Sakura berlari ke arahnya. Gadis itu sempat melirik beberapa detik ke arah Sasuke.

"Apa ada yang terluka?" tanya Sakura.

"Kurasa tidak," jawab Naruto.

Manik Sakura tertuju pada seorang perempuan yang berdiri tak jauh dari Gaara. Sakura mendekatinya. Ia memegang kedua bahu perempuan itu yang terlihat begitu ketakutan.

"Kau tak perlu takut. Semua akan baik-baik saja. Sekarang, ikutlah denganku. Temanku akan menemanimu. Dia akan memeriksa kondisimu di rumah sakit," ucap Sakura, menenangkan wanita itu, Matsuri.

Dituntunnya Matsuri ke arah Ino yang masih berdiri di sana. Setelah mengatakan permintaannya pada Ino untuk memeriksa Matsuri, Sakura berlari menjauh dari lokasi. Tujuannya hanya satu: rumah sakit. []

.

.

.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!