16. Persaingan

Udara dingin. Dengan pakaian tebalnya, lelaki itu berjalan menyusuri trotoar. Masih terlalu pagi untuk memulai aktivitasnya. Namun hari ini, ia ingin menemui seseorang di rumah sakit. Lelaki berambut merah itu memikirkan sesuatu semenjak semalam. Sesuatu yang entah pantas ia sebut apa. Yang jelas, dadanya terasa sedikit sesak.

Begitu sampai di rumah sakit, ia mencari-cari sesuatu ke ruang ICU. Di sana, ia bisa melihat seorang lelaki berambut sama dengannya terbaring lemah. Beberapa selang terpasang di tubuh lelaki itu.

"Kau menunggu lama?" tanya seseorang di belakangnya.

Lelaki itu menoleh. "Tidak, Deidara," jawabnya kemudian.

"Sepertinya kau memang tertarik dengan gadis berambut pink itu," ujar Deidara tiba-tiba.

"Hm?"

"Apa kurang jelas pernyataanku? Buktinya kau datang ke sini sesuai permintaanku."

Lelaki itu diam menatap Deidara. Ia menghela napas, memejamkan matanya kemudian.

"Apa yang ingin kau katakan padaku?" tanyanya.

"Gaara, kau sepertinya benar-benar akan bersaing dengan Sasori-senpai. Kuakui, gadis itu memang memiliki aura yang luar biasa saat kau berada di dekatnya."

"Intinya saja!" sahut Gaara.

"Haahh ... kau ini! Selalu tak suka basa-basi!" cibir Deidara. "Dia menikah dengan Sasuke sekitar tiga bulan yang lalu. Mereka berbulan madu di Nagasaki. Mereka satu sekolah semenjak masuk sekolah menengah pertama hingga menengah atas. Keduanya murid akselerasi. Menyelesaikan dua jenjang sekolah dalam waktu empat tahun. Sakura-san mengambil kuliahnya di Nagasaki. Aku tak tahu di mana tepatnya, yang kutahu, dia mengambil jurusan kedokteran, lalu menjadi ahli bedah di rumah sakit ternama ini."

"Dari mana kau tahu semua itu?" tanya Gaara. Ia ragu dengan ucapan Deidara.

"Aku cukup ahli untuk mencari tahu hal seperti itu," jawab Deidara dengan bangga.

"Sasori memintamu mencari tahu tentang dia, kan?" tebak Gaara. Deidara tak menjawab.

"Intinya, kau akan bersaing dengan Sasori-senpai untuk mendapatkan Sakura-san."

Mendengar ucapan Deidara yang menurutnya tabu itu, Gaara memilih tak mengindahkannya. Ia berlalu dari sana. Entah ke mana tujuannya, Gaara hanya asal melangkah.

Terdengar gila baginya. Ia mengakui, bahwa saat bertemu Sakura, ia merasakan perasaan nyaman dan tenang. Gadis itu mampu membuat Gaara terpaku. Seolah tak ingin melepaskan pandangan darinya. Terlebih lagi, saat ia tahu bagaimana Sakura bergerak cepat menangani Sasori, rekan bisnisnya.

Semua yang ia rasakan mulai membuatnya ragu saat Deidara menundingnya tertarik dengan Sakura. Ah! Yang lebih gila lagi, ketika Sasuke, sang manajer Uchiha Ace itu mendeklarasikan bahwa Sakura adalah istrinya.

Gaara melihatnya. Melihat ekspresi gadis bermanik Emerald itu kemarin. Sama sekali tak menunjukkan ia akan menyanggah ungkapan Sasuke. Jika begitu, berarti memang benar. Gaara pikir, selanjutnya yang bersaing adalah Sasuke, serta Sasori jika lelaki itu terbangun, bukan dirinya.

🌸🌸🌸

Sasuke baru saja selesai mandi. Ia keluar dari kamar mandi, seraya mengeringkan rambutnya yang basah dengan handuk. Ia mendapati sang istri tengah menyiapkan pakaiannya. Sepertinya, Sakura tak menyadari kehadiran Sasuke. Lelaki itu mendekati sang istri tanpa bersuara.

"Siapkan sarapanku, Sakura," ucap Sasuke tiba-tiba.

Sakura terlonjak kaget. "Kyaaa!!" jeritnya saat tiba-tiba mendapati sang suami berada tepat di depan wajahnya.

"Kau kenapa?" tanya Sasuke.

"Ti-tidak!"

Sasuke menatap istrinya yang menjauh darinya. Keluar dari kamar tanpa mengatakan apapun lagi. Sasuke menghela napas panjang. Ia diam, tak segera memakai pakaiannya. Ada yang berbeda pagi ini. Entah hanya perasaannya saja, sepertinya Sakura tadi melamun.

Lima menit berlalu, pintu kamar itu kembali terbuka. Sasuke menoleh. Di sana, Sakura berdiri membawa nampan berisi makanan dan segelas susu. Gadis itu diam menatap suaminya. Samar, Sasuke melihat rona merah di pipi Sakura. Itu terlihat bagus di mata Sasuke.

"Cepat pakai bajumu, Sasuke-kun," ucap Sakura. Ia masuk ke dalam, lalu menutup pintu.

"Setelah itu makanlah sarapanmu. Aku harus pergi ke rumah sakit setelah ini," sambung Sakura sembari meletakkan nampannya di meja kerja milik Sasuke.

Sasuke hanya diam. Ia memperhatikan istrinya yang kini sedang berkutat dengan tasnya. Sepertinya, Sakura ingin segera berangkat.

Gadis itu mendongak, menatap sang suami yang tiba-tiba saja menghentikan aktivitas gadis itu. Sakura melirik tangan Sasuke yang kini memegang tangannya.

"Kenapa kau menyembunyikan hal besar seperti itu dariku?" tanya Sasuke dengan dingin.

"Menyembunyikan?" tanya Sakura.

"Kau pura-pura bekerja sebagai penjaga perpustakaan. Lalu kau tiba-tiba muncul saat ledakan itu terjadi. Apa maksudmu?" tanya Sasuke.

"Cih! Apa ini? Kenapa aku merasa jahat?" batin Sasuke.

Sakura tak langsung menjawab. Ia balik menatap Sasuke. Entah mengapa, ia merasa seolah suaminya menuduhnya melakukan suatu kejahatan.

"Lukamu?" tanya Sakura, memperhatikan lengan Sasuke. "Biar kuganti perbannya dahulu," imbuhnya.

Lagi-lagi, Sasuke mencegah istrinya bergerak. Ia memegang satu tangan Sakura yang lain.

"Jelaskan dulu padaku!" Sasuke menatap manik Emerald itu dengan tajam. Membuat Sakura tak bisa berkata-kata untuk sesaat.

"Baiklah," jawab Sakura. "Yang perlu kujelaskan sekarang adalah, perbanmu harus diganti. Kau tadi mandi tidak melepasnya, membiarkannya basah bercampur air hangat. Aku tak ingin lukamu semakin parah, Sasuke-kun," balas Sakura. Ia mulai kesal sekarang.

Sasuke bergeming, membiarkan Sakura memeriksa lengan kanannya. Ia menahan rasa perih saat Sakura mulai mengganti perbannya, setelah sebelumnya diberikan obat merah pada luka itu.

"Sebenarnya apa yang kau inginkan?" tanya lelaki itu.

Sakura sempat memperlambat tangannya, namun kembali berfokus pada apa yang ia kerjakan.

"Setelah keluarga tahu, kau ingin apa? Diakui mereka? Mendapat perhatian lebih karena kau seorang dokter?"

Nada Sasuke terdengar meremehkan. Sakura berusaha menulikan pendengarannya untuk saat ini. Diakui tadi katanya? Yang paling gadis itu inginkan adalah diakui suaminya sendiri. Memang ia sudah mendapatkan pengakuan Sasuke tentang fakta ia adalah istri lelaki berhati dingin itu. Bukan pengakuan seperti itu yang akan membuat Sakura bahagia, tapi pengakuan hati. Ah! Manusia memang serakah, dan Sakura mengakui dirinya begitu.

"Sadarlah, Sakura! Dia hanya mengakui ikatan pernikahan itu! Dia tidak mengakui bahwa dirinya menerima perasaanmu!" batin Sakura, berbicara pada dirinya sendiri.

"Kau tak mendengarkanku?" gertak Sasuke. Sakura terkejut.

"Aku sama sekali tak mengincar apapun!" bantah Sakura.

Gadis itu berdiri usai mengganti perban suaminya. Ia mengambilkan pakaian Sasuke yang sebelumnya telah disiapkannya di ranjang. Sakura memakaikannya. Meski sempat tak mendapat respons, gadis itu memaksa Sasuke segera memakai kemejanya. Akhirnya, lelaki Uchiha itu menurut.

Tak ada percakapan di antara mereka. Setelah memberi waktu pada Sasuke untuk mengenakan celana, Sakura beralih pada dasi suaminya. Bahkan sampai saat itu juga, Sakura masih merasa dirinya seakan dituduh memiliki maksud tersembunyi karena menyembunyikan pekerjaannya.

"Aku harus segera ke rumah sakit. Ada pasien yang harus dioperasi pagi ini," ucap Sakura, mengambil tasnya. "Jangan lupakan sarapanmu, Sasuke-kun," imbuhnya.

Baru juga memegang kenop pintu, Sasuke mengangkat suaranya, yang sukses membuat Sakura diam beberapa saat.

"Jangan pernah menyombongkan dirimu di depan orang tuaku, Sakura!"

Seperti ada jarum yang mencelus ke dalam perasaannya, Sakura berusaha menahan sakit dan perih yang tak berdarah. Sedingin itukah hati suaminya? Tiba-tiba saja, sekarang ia merasa gagal menjadi seorang gadis yang pernah jatuh ke dalam jurang yang disebut cinta. Perasaan yang tulus dari hatinya seolah dibalas dengan kebencian oleh suaminya sendiri.

Sesuatu yang hangat mengalir di pipi Sakura. Saat itulah, ia sadar dirinya kembali menangis. Sakura segera mengenyahkan kecengengannya. Ia mengambil napas dalam-dalam, berusaha mengontrol perasaan menyakitkan yang baru saja ia terima dari suaminya.

"Tenanglah, Sasuke-kun," ucap Sakura, jelas-jelas menahan tangisnya. "Aku tak akan melakukan hal-hal yang kau takutkan," imbuhnya.

Ia pergi dari sana. Bahkan, masih terlalu pagi untuk Sakura memulai sif kerjanya. Ia biasanya memulai jam kerjanya tepat pukul delapan pagi. Tapi sekarang jam masih menunjukkan pukul setengah tujuh pagi.

Sasuke diam mendengar ucapan istrinya. Bukankah itu terdengar seperti Sakura tak akan pernah menyangkalnya? Lelaki itu bingung dengan perasaannya sendiri sekarang. Satu hal yang ia tahu dari suaranya, Sakura menangis tadi.

🌸🌸🌸

Seorang lelaki berjas putih itu tengah menikmati secangkir kopi di kantin rumah sakit. Di jam-jam seperti ini, kantin itu akan ramai oleh pengunjung rumah sakit yang ingin membeli sarapan. Lelaki itu, dokter muda yang akrab disapa Hyuuga-Sensei. Dia duduk di sana semenjak setengah jam yang lalu. Tepatnya, pukul setengah tujuh pagi tadi. Lima belas menit lagi, sif kerjanya dimulai, pukul tujuh.

Manik Indigo-nya tak sengaja melihat seseorang yang duduk di kursi taman rumah sakit. Melihat orang itu, mengingatkannya tentang satu fakta yang tak ia sangka sebelumnya. Seseorang itu, perempuan itu, dia sudah bersuami. Pemilik nama lengkap Hyuuga Neji itu memutuskan untuk melakukan sesuatu yang ia rasa tepat untuk gadis yang sepertinya sedang melamun itu.

Sekali dua kali, ada orang yang lewat di depan gadis itu. Ia duduk di sana sejak beberapa menit yang lalu. Memikirkan sesuatu yang sebenarnya enggan ia pikirkan. Tapi pada nyatanya, kepalanya tak sanggup membantu hatinya untuk menyingkirkan kepingan ingatan yang tak ingin ia ingat di sana.

"Kopi? Ini tak terlalu manis," ucap seseorang tiba-tiba. Gadis itu merasa kursi panjang yang ia tempati sedikit berguncang

Saat menoleh ke kanan, ia mendapati sesosok lelaki berambut panjang menyodorkan kopi dalam paper cup. Asap tipis menghiasi di atasnya, menandakan kopi itu masih panas.

"Arigatou," balas gadis itu pelan.

"Aku tak tahu kau suka manis atau tidak, Sakura. Jadi aku tak meminta banyak gula untuk kopimu," ucap lelaki itu, Neji.

Sakura tersenyum. "Tak apa. Setidaknya, ini menghindarkanku dari Hipotermia," guraunya.

Neji tersenyum, melihat gadis itu tertawa kecil. "Orang-orang di negara subtropis akan memilih di dalam ruangan dan menghangatkan tubuh saat musim seperti ini," ujar Neji.

"Aa. Kau benar."

"Sepertinya lain dengan dirimu."

Sakura mengurungkan niatnya untuk meminum kopi itu. Ia menghela napas panjang. Menyadari salah bicara, Neji segera mengalihkan pembicaraan.

"Tentang operasi kemarin, kudengar kau hampir berteriak saat mencariku," ucap Neji mengalihkan pembicaraan.

Sakura malu seketika. "Ah! Itu ... karena kau tak segera datang,"

"Saat itu aku sedang melakukan operasi lain," ucap Neji.

"Berarti aku mengganggumu?" Sakura memotong ucapan Neji.

"Hei! Dengarkan aku dulu." Lelaki itu menatap Sakura intens. Gadis itu menundukkan kepalanya. Tak lama, Neji tertawa kecil menyadari ekspresi ketakutan dari Sakura.

"Kau tak mengganggu operasiku. Kebetulan saat itu baru saja selesai, hanya perlu menjahit pasienku. Aku menyerahkannya pada timku. Saat itu, seseorang meneleponku dengan nomor IGD. Dia menjelaskan keadaannya," ucap Neji.

Sakura mengangguk kecil. "Arigatou," tuturnya.

"Untuk?"

"Untuk operasi kemarin. Kau sangat membantuku."

Lelaki itu menatap Sakura lekat. Mengunci manik Emerald milik dokter muda berparas cantik itu. Atau dia yang terkunci oleh Emerald Sakura? Entahlah.

"Kau terlihat lelah, Sakura," ujar Neji. Itu membuat Sakura sedikit gelagapan.

"Aku sehat," jawab Sakura.

"Bukan fisikmu. Mungkin hati atau pikiranmu," imbuh Neji. Sakura diam menatap lelaki itu. Untuk kesekian kalinya, Neji mengukir senyum tipis di wajah tampannya.

"Itu terlihat dari matamu, Sakura."

Gadis itu kian tak bisa berkata-kata. Sepertinya ucapan Neji memang benar adanya. Tanpa Sakura sadari, lelaki itu tak lagi menatapnya. Neji melihat jam di pergelangan tangannya.

"Sudah saatnya aku bekerja," ujar Neji sambil berdiri. Sakura tersadar dari diamnya.

"A-aa. Silahkan," ucapnya kemudian.

"Jika kau membutuhkan sesuatu, katakan saja padaku."

Sakura mengangguk ragu. Baru kali ini, ia melihat Neji banyak bicara selain urusan medis. Hal itu membuat Sakura cukup takjub. Semasa di perguruan tinggi dulu, Sakura hanya beberapa kali mendapati Neji banyak bicara saat dengan dosennya. Atau, saat lelaki itu sedang mempresentasikan sesuatu di depan kelasnya.

Senyuman tipis terukir di bibir Sakura. Sepertinya, lelaki dingin itu punya sisi hangat tersendiri. Semilir angin baru saja membuat Sakura merasakan dingin pagi ini yang beberapa saat lalu ia lupakan. Ia memilih segera menuju ruangannya, seraya beberapa kali menyeruput kopi di tangannya itu.

🌸🌸🌸

Sakura turun dari ruangannya yang ada di lantai dua menuju lantai dasar menggunakan eskalator. Tak sengaja, ia melihat siluet seseorang yang ia kenal berjalan di lantai dasar, hendak menuju pintu keluar rumah sakit. Sakura bergegas mengejarnya. Kebetulan juga, dia perlu menanyakan sesuatu.

"Gaara-san?" panggil Sakura.

Lelaki itu menoleh. Ia tak menyangka akan bertemu Sakura. Tidak. Lebih tepatnya, ia tak menyangka akan dipanggil oleh gadis itu. Manik Hazel Gaara menatap lekat pada Sakura.

"A-ano ... ada yang ingin kutanyakan," ucap Sakura takut-takut. Mendengar nada Sakura seperti itu, Gaara sedikit bingung.

"Apa aku membuatmu takut?" tanyanya terus terang.

"Tidak!" sahut Sakura cepat, menggelengkan kepalanya. Itu terlihat menggemaskan bagi Gaara.

"Hm. Apa yang ingin kau tahu?" tanya Gaara. Lagi-lagi, ia berterus terang.

"Sepertinya kau tak suka basa-basi, hehe. Apa kau sudah memberitahu Temari-san soal Shikamaru?" tanya Sakura kemudian. Gadis itu sedang memainkan ujung lengan panjang jas putihnya itu.

"Hm. Tentu saja," jawab Gaara singkat. Sebenarnya, di telinga Sakura itu terdengar dingin sekali.

Gaara membalikkan tubuhnya. Melihat hal itu, Sakura hanya diam. Namun bukannya langsung melangkah, Gaara kembali menghadap Sakura, membuat dokter muda itu kebingungan.

"Apa dia mencintaimu?" tanya Gaara tiba-tiba.

"Eh?"

Gaara menghela napas pelan. "Jika dia mencintaimu, seharusnya dia mencari tahu segalanya tentangmu," tuturnya kemudian.

"Ke-kenapa kau tiba-tiba membicarakan itu?"

"Kemarin, saat melihatmu menangani Sasori yang henti jantung, sepertinya lelaki itu terkejut dengan yang dia lihat. Aku tahu, suamimu memang berwajah datar. Tapi aku bisa tahu dari matanya," jawab Gaara menjelaskan.

"Ah! Ternyata dia tidak sedingin yang kukira. Apa dia tadi bilang Sasuke-kun berwajah datar? Aa. Itu memang benar. Tapi dia sendiri juga berwajah datar," batin Sakura membalas.

"Satu lagi!" imbuh Gaara tiba-tiba. Sakura tersentak, lantaran Gaara membuatnya kembali dari lamunan. Ia menatap manik Gaara.

"Mungkin seseorang jauh lebih mengetahui tentangmu daripada Sasuke sendiri. Deidara misalnya. Dia tahu banyak tentang dirimu yang cukup menutup diri," sambung Gaara.

Lelaki itu beranjak dari sana. Meninggalkan Sakura yang menatapnya tanpa arti. Gadis itu sepertinya sedang kalut dengan pikirannya sendiri, lagi dan lagi.

"Padahal dia sendiri cukup menutup diri," keluh seseorang dengan suara pelan, beberapa meter dari Sakura.

"Ck. Dasar perempuan, merepotkan," cibir lelaki di belakangnya.

Ia menatap sang istri, berniat mengajaknya segera pulang. Namun yang didapatinya, tatapan tajam dari seorang wanita yang semenjak tadi mendorong kursinya.

"Kau mengatakan sesuatu?" tanyanya.

"Ti-tidak, Temari. Kau hanya salah dengar," elak lelaki itu, Shikamaru. Temari menatap datar pada sang suami.

"Kenapa kau mengajakku menguping pembicaraan orang lain? Dasar perempuan," keluh Shikamaru, malas.

"Kau itu cerewet sekali!"

"Pada siapa lagi aku begini jika bukan padamu?" balas Shikamaru. Seketika, rona merah terpatri di kedua pipi Temari.

"Sudahlah! Sebaiknya kita kembali. Kau harus banyak istirahat!" ucap Temari mengalihkan pembicaraan. Ia mulai mendorong kursi dorong itu.

"Kurasa kita baru saja mulai berjalan," protes Shikamaru.

Berakhirlah mereka pada perdebatan-perdebatan kecil yang sepertinya ditakdirkan untuk dimenangkan oleh Temari.

🌸🌸🌸

Sakura kembali dari ruang ICU. Ia baru saja selesai memeriksa keadaan Sasori. Di sana, ia mendapat kabar pagi tadi satu jam sebelum Sakura datang melihat, Sasori sudah sadarkan diri. Saat Sakura di sana, Sasori sedang tidur.

Sudah waktunya makan siang. Sakura memilih untuk pergi ke kantin, membeli makan siang di sana. Sesekali, Sakura mendapat sapaan dari para perawat atau dokter yang berpapasan dengannya.

"Kau ingin pesan apa, Sakura?" tanya Tenten, setelah ia menghampiri Sakura yang baru saja mengambil tempat duduk.

"Berikan aku kopi terbaik yang kalian punya," jawab Sakura.

"Kau tak makan sesuatu? Hanya meminum kopi?" tanya Tenten.

"Entahlah. Aku sedang ingin meminum kopi," jawab Sakura. Tenten mengangguk ragu. Ia berpamit pada Sakura untuk menunggu beberapa menit.

Dokter muda itu sedang melamun. Menatap rintik-rintik hujan yang turun dengan derasnya dari balik dinding kaca. Sampai kapan Sakura harus menahan rasa sakit itu? Ia pikir, setelah Sasuke mengakui dirinya sebagai istri di depan orang-orang penting itu, ia sudah tak perlu mencemaskan keadaan hatinya. Namun pagi tadi, perasaan leganya tiba-tiba lenyap. Ah! Mengingat itu membuat Sakura ingin menangis di tengah hujan saja.

"Jangan melamun, Sakura," ucap Tenten, meletakkan secangkir kopi di meja Sakura.

"Arigatou, Tenten," balas gadis itu, tersenyum ramah.

"Semenjak pagi tadi, aku belum melihat Ino," ujar Tenten. Ia duduk di hadapan Sakura.

"Kurasa dia mengambil cuti. Semalam dia pulang larut malam. Dia juga sedang hamil, jadi mungkin dia mudah lelah," respons Sakura.

"Hamil? Wah! Aku senang mendengarnya."

Sakura hanya tersenyum. Ia mengangkat cangkirnya. Meniup pelan kopi yang masih panas itu.

"Lalu, kapan Sakura akan menyusul?" tanya Tenten tiba-tiba. Sakura menghentikan aksinya. Ia meletakkan kembali cangkir kopinya.

"Entahlah."

Menyadari raut kesedihan di wajah teman sekaligus sahabatnya itu, Tenten seketika merasa bersalah.

"Gomen, Sakura. Mungkin ucapanku keterlaluan."

Sakura menggeleng. "Tak apa. Aku memang tak tahu tentang itu. Kami belum pernah melakukan hal itu selama ini," ucap Sakura jujur. Entah mengapa, mengatakan hal itu pada gadis lugu seperti Tenten membuatnya merasa aman.

"Berapa lama usia pernikahanmu?" tanya Tenten. Ia mulai tertarik bertanya lebih.

"Empat bulan, mungkin," jawab Sakura.

"Selama itu? Astaga! Uchiha itu menyia-yiakan gadis cantik sepertimu," keluh Tenten.

Sakura tertawa kecil melihat ekspresi gemas dari gadis berambut cokelat itu.

"Ne, Sakura. Apa memang dia baru tahu pekerjaanmu kemarin?" tanya Tenten. Sakura diam sejenak.

"Aa. Begitulah. Aku sengaja tak ingin membiarkannya tahu selama ini. Apa kau ingat saat aku pernah mengungguli nilainya?" tanya Sakura. Tenten mengangguk.

"Aku pernah mendengar seseorang yang mengaguminya mengatakan bahwa tak mungkin semester depan aku berhasil mempertahankan peringkat pertamaku. Tentu saja, aku menjaga nama baiknya, dengan cara menurunkan nilaiku sendiri. Aku tak ingin Sasuke-kun terlihat buruk di depan para penggemarnya, dulu."

Tenten menatap Sakura tak percaya dengan penjelasan yang menurutnya konyol itu. "Kau sungguh melakukan semua itu dengan alasan yang kau katakan?" tanyanya. Sakura mengangguk.

"Kurasa kau sudah gila karena cinta, Sakura," ejek Tenten.

"Haha ... mungkin. Walaupun aku sudah pernah mencoba membencinya puluhan bahkan ratusan kali, kurasa aku tak bisa melupakannya kecuali aku akan hilang ingatan," jawab Sakura.

Gadis itu tetap menjaga keceriaannya. Tenten mendengus kesal. Ia jadi marah sendiri sekarang. Gadis mana yang tak kesal saat tahu sahabatnya melakukan hal konyol hanya karena perasaan cinta. Tenten berdiri, bilang ia ingin melanjutkan pekerjaannya. Padahal dia sebenarnya dia sedang tak ingin mendengar lebih banyak lagi penderitaan Sakura.

🌸🌸🌸

"Kenapa kau baru pulang?" tanya Sasuke.

Sakura yang baru saja meletakkan tasnya, kini membalikkan badan menatap suaminya.

"Ada beberapa pelajar yang harus kutangani sebelum aku pulang karena mereka terlibat tawuran," jawab Sakura.

"Cih! Kau berani membohongiku?"

Sakura mendongak. "Aku dituduh berbohong?" batinnya.

"Katakan saja kau tertarik dengan Akasuna itu," desis Sasuke.

Hei! Istrinya masih mendengar apa yang ia ucapkan itu. Sakura menatap tak percaya pada suaminya. Sebenarnya setan mana yang merasuki Sasuke sehingga lelaki itu terus berpikir negatif terhadapnya?

"Sasuke-kun tahu sendiri aku mencintai siapa," balas Sakura pelan.

"Lain kali, jangan jadikan pekerjaanmu sebagai alasan untuk mendekati lelaki itu!"

"Aku hanya mencintai suamiku!" Sakura hampir berteriak. Gadis itu bergegas keluar kamar, meninggalkan Sasuke yang diam bersama laptop di pangkuannya.

"Cih! Perasaan apa, ini?!" batin Sasuke kesal.

Sakura diam di taman belakang rumah. Meski udara dingin, Sakura tak peduli. Ia hanya ingin sendiri, Sekarang. Sekonyong-konyong, ucapan Gaara tentang jika memang Sasuke mencintainya, mestinya ia mencari tahu tentang dirinya.

Sakura berusaha menepis pikiran buruk tentang suaminya. Tetap saja, rasa sakit di hatinya masih terasa. Jujur saja, Sakura bahkan bingung harus bagaimana dia. Yang dia tahu, cukup tetap menjaga semangat dalam dirinya saja untuk mempertahankan kejujurannya dalam pekerjaan. []

.

.

.

Bersambung

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!