13. Hal yang Sederhana

Cuaca dingin. Walau demikian, gadis itu memaksakan diri untuk datang ke ibu kota. Ia akan memenuhi keinginannya sendiri. Setelah memberikan surat dari Sakura kepada temannya, ia merasa lebih lega. Di perjalanannya pulang usai bertemu Sakura, ia sengaja membaca beberapa kalimat dari surat yang ia bawa.

"Terkadang mencintai seseorang tak perlu memilikinya, asal kau tahu. Kita hanya perlu mengingatnya bahwa ia pernah menjadi penyemangat dalam hidupmu, meski secara tak langsung."

"Apa aku dan dia seperti itu nantinya?" gumam gadis itu, Tenten.

Ia menggeleng kuat. Menghilangkan sebuah angan-angan yang baginya aneh. Akhirnya, Tenten memilih melihat keluar jendela kereta. Ia ingin menikmati perjalanan malamnya menuju Tokyo.

🌸🌸🌸

Sakura merasakan ponselnya bergetar. Ia segera mengambilnya dari saku jas putihnya. Di layarnya yang menyala, tertera kontak sang suami. 'Sasuke-kun'.

"Moshi-moshi, Sasuke-kun?"

"Kau di mana?"

"Eh? A-aku di ...,"

"Cepat katakan! Akan kujemput sebentar lagi!"

"A-aku sedang di kafe itu. Maksudku ... kafe tempat kau biasa di sana," jawab Sakura ragu.

"Sepuluh menit lagi aku tiba di sana! Tetap di sana!"

Tut!

Panggilan berakhir. Sakura menghela napas panjang. Ia mengerutkan keningnya. Bagaimana bisa suaminya itu tiba-tiba ingin menjemputnya? Padahal katanya ia akan pulang malam hari ini. Apa Sakura punya salah? Nada Sasuke tadi terdengar sedikit emosi.

"Sakura-Sensei!"

Sakura menoleh ke belakang. Ia mendapati seorang perawat setengah berlari ke arahnya. Wajahnya panik.

"Shizuka-san?" respons Sakura.

"Kau harus ikut denganku! Hah! Hah!" perawat itu, Shizuka, segera menarik tangan Sakura tanpa persetujuan. Napasnya sedikit tersengal.

"Ada apa? Keadaan darurat?"

"Sangat darurat! Hanya kau yang bisa mengatasinya!"

Sakura sedikit tersentak. "Apa?"

"Seorang anak kecil sedang merengek di meja operasi. Dia bahkan menendang-nendang tim operasi kami. Hampir saja mengacaukan ruang operasi. Anak itu bilang dia tak ingin dokter laki-laki yang mengoperasinya," ucap Shizuka menjelaskan.

"Kau ingin aku melihatnya?" tanya Sakura.

"Tepat sekali!"

"Siapa dokter yang menangani operasinya?"

"Aku tak tahu. Kau bisa lihat sendiri nanti. Aku tadi mendapatkan telepon dari ruang operasi. Mereka hanya menyuruhku mencarimu."

Sakura refleks memperlambat langkahnya. "Lalu operasinya?"

"Microsurgery.¹"

Sakura mengangguk sebagai jawaban. Ia melirik jam di tangannya. Tersisa lima menit lagi sampai Sasuke menjemputnya di kafe.

"Anak itu akan melakukan bedah rekonstruksi di bagian kakinya. Dia terluka cukup parah saat mobil wisatanya terbakar," imbuh Shizuka.

"Luka bakar?"

"Benar. Mereka sudah menjalani operasi sekitar sebulan yang lalu di sini. Orang tua anak itu ingin dokter menangani bekas luka bakar di kaki anak mereka."

Sakura diam sesaat. Ia kembali melirik jam di tangannya.

"Tapi aku tak bisa menunggu operasi itu sampai selesai. Aku harus pulang segera," ucap Sakura dengan intonasi tak terbantahkan.

Shizuka menghela napas. "Baiklah. Kau bisa katakan itu pada dokter yang ada di ruang operasi nanti."

Sakura mengangguk. Tak lama, mereka sampai di ruang operasi. Sakura segera mencuci tangannya setelah sebelum itu ia dibantu Shizuka memakai baju operasi. Menghela napas panjang, Sakura akhirnya masuk ke dalam.

Orang-orang di dalam menatap Sakura dengan tatapan lega. Dari dekat pintu, Sakura bisa melihat pasien yang akan dioperasi itu menggerakkan semua tubuhnya untuk menghindari siapapun menyentuhnya.

"Aku ingin Sakura-Sensei yang mengoperasiku! Bukan kalian!" teriak anak itu.

Gadis bersurai soft pink itu tertegun sesaat melihat seorang anak yang usianya sekitar sepuluh tahun itu menyebut namanya. Sakura lupa, apa pernah bertemu dengannya sebelum ini.

"Wah, wah! Sepertinya ada yang sedang mencariku," ucap Sakura, di balik maskernya. Ia melangkah mendekat, menuju sang anak..

"Kenapa kau ingin bertemu denganku?" tanya Sakura dengan lembutnya.

"Karena Sensei pernah menolong ayahku! Sensei adalah pahlawan!"

"Semua dokter adalah pahlawan. Mereka pasti melakukan yang terbaik untuk pasiennya."

"Tapi tidak semua begitu!"

Sakura menghela napas panjang, lagi. Ia mengulurkan tangannya, memberi kode. Seseorang lantas memberikannya obat bius pada Sakura untuk anak itu.

"Siapa namamu?" tanya Sakura.

"Yuuki."

"Hai, Yuuki-kun! Kau harus diobati, ya. Tenanglah, ini tak akan sakit. Kau hanya seperti sedang tidur saja," ujar Sakura lagi. Anak itu mengangguk.

"Setelah kau selesai operasi, kau harus hati-hati lagi, supaya kau tak mendapatkan luka baru. Mengerti?" tanya Sakura dengan lembut.

Anak itu mengangguk. Tak lama, matanya terpejam. Obat bius yang Sakura suntikkan mulai bekerja. Sakura berbalik, menatap seseorang yang semenjak tadi memandangnya di sana.

"Sepertinya aku harus segera pergi. Saat anak ini bangun usai operasi, hubungi aku jika dia masih meronta. Aku akan membantu kalian dengan senang hati," ucap Sakura.

Lelaki di hadapanmu itu mengangguk. "Arigatou Sakura-Sensei."

Baru saja hendak keluar dari ruang operasi, Emerald Sakura mendadak membulat saat mendengar suara itu.

"Neji?" lirihnya. Lelaki itu tersenyum di balik maskernya. Ia kemudian menghadap ke pasien yang akan dioperasinya.

"Microsurgery. Pasien bernama Tanaka Yuuki. Sepuluh tahun. Saya akan memulai operasinya," ucap sang dokter memimpin operasi.

Sakura tersenyum. Ia lantas keluar dari sana. Melepas maskernya, Sakura bernapas lega. Dia tak menyangka akan bertemu lelaki Hyuuga itu di ruang operasi. Tak heran jika Sakura sendiri tak menyangka hal itu. Lantaran, selama ini, ia pun jarang bertemu dengan Neji. Sudah lama semenjak terakhir kali ia bertemu saat ia mencari Ino.

"Hmm. Semoga operasi mereka sukses," gumam Sakura. Ia membuang maskernya ke tempat sampah.

"Sumimasen, Sakura-Sensei!"

Sakura menoleh ke sumber suara. Seorang wanita berpakaian kantor tengah menatapnya seraya tersenyum.

"Hai? Ada yang perlu saya bantu?" tanya Sakura.

"Ah! Tidak ada. Saya hanya ingin mengucapkan terima kasih karena sudah mau membantu operasi anak saya," jawab wanita itu, melirik ruang operasi yang kini lampu hijaunya menyala.

"Anda ibunya? Syukurlah saya bisa membantu sedikit."

"Maaf jika itu membuat Anda tidak nyaman, Sakura-Sensei. Anak saya memang pernah keras kepala meminta menghilangkan bekas lukanya. Dia mengenalmu saat kau yang menangani ayahnya saat operasi usus buntu," terang wanita itu.

Sakura mengangguk-angguk paham. "Aa ... souka. Semoga operasinya lancar," ucap Sakura.

"Hai. Arigatou"

"Sepertinya saya harus segera pergi," ucap Sakura seraya melirik jam di pergelangan tangannya. Wanita itu mengiyakan.

Usai dengan urusan tak terduganya, Sakura segera berlalu dari sana. Ia berjalan tergesa di lorong rumah sakit. Melirik jam di tangannya, lagi, Sakura mendesah kesal. Sudah hampir setengah jam dari sepuluh menit di waktu yang telah ditentukan suaminya. Salahkan rumah sakit itu yang terlalu besar. Ah tidak!

Tentu saja Sakura tak bisa menyalahkan siapapun selain dirinya sendiri. Seharusnya ia tak bertukar sif kerja dengan Tsunade. Wanita bertubuh seksi itu memang menyebalkan bagi Sakura. Menyesalinya pun percuma. Sakura rasa, suaminya akan memarahinya saat bertemu nanti.

Ia terus berjalan dengan perasaan cemas. Setiba di kafe yang Sakura maksud, ia dibuat diam di depan kafe itu. Tak ada tanda-tanda kehadiran sang suami di sana. Sasuke jarang sekali pergi keluar rumah tanpa mobil. Sakura memeriksa ponselnya. Tiga panggilan tak terjawab. Itu dari suaminya. Segera saja, ia menelepon balik.

"Ah! Moshi-moshi, Sasuke-kun!" sahut Sakura saat panggilannya dijawab. Tak ada sahutan.

"Apa kau sudah pulang?" tanya Sakura.

"Hn."

Ekspresi gadis itu berubah lesu. "Souka .... A-aku sebentar lagi pulang. Lima menit. Ya. Lima menit lagi aku di rumah. Aku tutup teleponnya."

Sakura meletakkan kembali ponselnya di saku. Ia bingung. Sebenarnya, suaminya itu berniat menjemputnya atau tidak? Sakura berusaha melupakan hal itu, selagi ia merasa kedinginan. Langit Tokyo tanpa gemintang di sana. Sakura kira, mungkin sebentar lagi akan turun hujan.

Ia bergegas pulang. Berjalan menyusuri jalanan yang tentu saja belum sepi. Lima menit. Sekiranya Sakura akan sampai di rumah dalam waktu lima menit. Sialnya, pikirannya terus memikirkan apa yang baru saja terjadi, membuatnya tanpa sadar berjalan pelan. Apa ia harus marah? Sayangnya Sakura tak bisa. Kalaupun harus marah, semestinya ia setiap hari akan marah atas sikap Sasuke padanya.

Suaminya itu selalu bisa membuatnya sakit hati. Kadang kala, Sakura akan berpikir, apa dia yang terlalu mudah terbawa perasaan? Tapi jika memang dia demikian, maka dia akan gampang menangis dan meminta dikasihani oleh suaminya sendiri. Atau Sakura yang terlalu mencintai Sasuke?

Ucapannya pada Sai dan Ino waktu itu masih menjadi pertimbangannya. Ia memang berencana meminta cerai dari Sasuke. Namun, hatinya seolah menolak. Memikirkan itu, membuat Sakura jadi bingung sendiri.

"Kau ingin mengulangi malam itu? Menjadi santapan preman jalanan dan hampir diperkosa?"

Sakura sontak menoleh ke depannya. Ia menghentikan langkahnya saat melihat orang yang sedang ia pikirkan tiba-tiba berdiri di hadapannya.

"Halusinasi kah?" gumamnya.

"Halusinasi? Cih! Bicara apa kau ini? Sebentar lagi hujan turun," ucap lelaki itu, Sasuke.

Ia berbalik, berjalan meninggalkan Sakura. Di tempatnya, Sakura masih diam. Apa ia sedang sakit sehingga membayangkan Sasuke menjemputnya, lagi?

"Ck! Kau itu selalu menyusahkan!"

Sakura tersentak saat mendapati pergelangan tangannya ditarik seseorang. Di hadapannya, menampilkan punggung orang yang menarik pergelangannya itu. Sakura kemudian melirik tangan kekar yang tersembunyi di balik kemeja lengan panjang itu.

"Lain kali, jangan membuat janji jika kau tak bisa menepati!" geram Sasuke.

"Etto ... gomen," lirih Sakura.

Beruntung, mereka sudah dekat dengan rumah. Jalanan di sekitar mansion Uchiha tak terlalu ramai. Lagi pula, mendung dan angin yang bertiup cukup kencang membuat siapapun segera ingin berlindung di suatu tempat. Saat itulah, gerimis pun mulai turun. Orang-orang dengan payungnya tak akan memperhatikan sekitarnya. Dengan kata lain, tak ada yang tahu Sasuke menggandeng tangan Sakura.

Sampai di rumah, Sakura dan Sasuke sedikit kebasahan karena air hujan. Sakura dengan segera menyiapkan air hangat untuk Sasuke. Seraya menunggu, ia memberikan handuk kepada sang suami.

"Ke mana kau sebenarnya?"

"Eh?"

Sasuke mendengus. "Kau pergi ke mana seharian ini? Kenapa pulang malam?" tanya Sasuke penuh tuntutan untuk mendengar kebenaran dari sang istri

"A-aku hanya mampir ke sebuah restoran bersama teman-temanku," jawab Sakura gugup. Ia berdusta. Seharian tadi, ia bekerja di rumah sakit.

"Kau tak mengatakan apapun tentang pernikahan kita, kan?"

"Tentu saja tidak!" jawab Sakura cepat.

"Hn."

Sakura diam sesaat. Lelaki itu justru mengkhawatirkan soal hubungan mereka? Takut terbongkar dan justru tak takut Sakura mengalami sesuatu yang buruk di luar sana. Pasti pemuda itu akan menggunakan alibi bahwa Sakura sudah dewasa dan bisa menjaga dirinya sendiri.

"Lalu saat dia menolongku yang hampir diperkosa, apa karena dia mendapat pesan dari orang tuaku? Yang benar yang mana jika aku bertanya alasannya sering menolongku akhir-akhir ini?" bingung Sakura dalam hati.

"Aku akan memeriksa kamar mandinya. Akan kupanggil jika sudah siap," ucap Sakura. Ia hendak beranjak dari duduknya di ranjang.

"Sakura."

"Ya?"

"Kau pernah bertemu Sasori?"

* * *

Ino menatap datar ke arah sahabatnya. Ia beberapa kali melirik pada tiga cangkir kopi kosong yang ada di meja kantin itu. Menghela napas panjang, gadis bersurai pirang itu berdiri dari duduknya.

"Hei? Ino? Kau mau ke mana?" tanya Sakura, mendongakkan wajahnya.

"Cih! Kau itu! Berhenti membuat dirimu malu di sini, Sakura!"

"Malu?" sakura menegakkan tubuhnya. "Apa aku membuatmu malu?" tanyanya pada Ino.

Ino mendudukkan dirinya lagi di kursi. "Dengar!" titahnya setengah berbisik. "Kau berkali-kali menjadi sorotan orang-orang yang lewat di sini. Seorang dokter bedah muda yang cantik mabuk kopi di kantin rumah sakit. Kau ingin seseorang menuliskan artikel seperti itu di internet?"

"Hei! Aku tidak mabuk kopi asal kau tahu!"

"Ya, ya! Aku tahu. Tapi tidak bisakah kau berhenti melakukan hal yang sama?" omel Ino. "Ino, aku takut diriku membuat masalah di perusahaan keluargaku," imbuhnya, menirukan gaya bicara Sakura.

"Ayolah! Katakan dengan jelas, apa yang terjadi padamu semalam!" kesal Ino.

Sakura menghela napas panjang. Ia menyeruput kopinya yang mulai dingin. Tak lama, ia menceritakan kejadian semalam. Mulai dari ditelepon Sasuke, hingga dimarahinya.

"Bukankah sudah pernah kukatakan? Kau hanya perlu menutup telingamu saat dia berceramah!"

"Sebenarnya, ada satu hal lagi," ucap Sakura.

"Apa?" tanya Ino. Ia meraih gelas berisi jusnya.

"Entah bagaimana, dia tahu aku pernah bertemu dengan Akasuna Sasori."

Ino hampir memuntahkan kembali jus yang sudah di dalam mulutnya itu. Ia sedikit terbatuk.

"Apa? Bagaimana bisa?"

"Sudah kubilang, aku juga tak tahu!" Sakura menghela napas kasar.

"Lalu kau jawab apa?"

"Aku jawab iya. Sudah kejelaskan padanya kami bertemu sebentar di tempat laundry," jawab Sakura.

"Lalu?"

"Dia bilang, jangan berbuat hal yang bisa mengancam perusahaan. Bukankah dengan kata lain, dia memintaku lebih menyembunyikan identitasku?"

Ino menghela napas. "Entahlah ...."

Tiba-tiba, ponsel Sakura berdering di meja mereka. Ino menatapnya penuh tanya saat Sakura tak segera menerima panggilan itu.

"Angkatlah. Itu dari Tsunade-sama, bukan?" tanya Ino.

"Aah! Kuharap dia tak memintaku menggantikan operasinya," kesal Sakura, lantas mengangkat panggilan itu dengan malas.

"Moshi-moshi, Tsunade-Sensei?"

"Bisa kau ke ruanganku? Aku perlu tahu pendapatmu tentang pasien yang beberapa minggu lalu pernah Neji periksa," ucap Tsunade di panggilan telepon itu.

"Aku segera ke sana." Sakura berdiri, lantas menutup panggilan.

"Bayar kopiku. Kapan-kapan akan kuganti. Aku harus segera ke ruangan Tsunade-Sensei!" ucap Sakura cepat-cepat. Ia bergegas pergi dari kantin. Di tempatnya, Ino menatapnya datar. Hei! Wanita itu sedang kesal karena harus membayar empat cangkir kopi yang bahkan ia tak ikut minum.

🌸🌸🌸

"Jadi?" tanya Tsunade pada Sakura yang sudah beberapa menit menatap layar laptop di meja wanita itu.

"Aku hanya mendapat satu kabar buruk di sini. Dia terkena kanker paru-paru stadium akhir," ucap Sakura, menatap manik Tsunade.

Wanita itu memejamkan matanya selagi mengambil napas dalam-dalam. "Aa. Aku juga berpikir begitu."

"Omong-omong, kau bilang CT scan ini milik seorang pasien yang pernah Neji tangani?" tanya Sakura, kembali memperhatikan layar laptop itu.

"Yukimura-san. Dia anak kecil yang beberapa hari lalu usai menjalani operasi. Dari yang Neji bilang, dia mengidap Parkinson stadium tiga," jawab Tsunade.

Sakura bungkam. Wajahnya berubah tegang. Tiba-tiba ia teringat Ino. Wanita itu sedang hamil muda sekarang. Tsunade belum tahu tentang hal itu. Sakura tahu beberapa hari lalu saat tak sengaja melihat Ino keluar dari ruangan kandungan. Ia pun sempat bertanya pada dokter yang bertugas di sana waktu itu

"Sakura?" panggil Tsunade.

"Bisa kau rahasiakan ini dari Ino?" tanya Sakura.

"Apa? Kenapa?"

"Dia sedang hamil muda, Sensei. Dia kenal dengan pasien ini. Jika Ino tahu, aku takut itu mengganggu pikirannya," ujar Sakura menjelaskan.

"Aku tak mengerti apa yang kau katakan, Sakura."

"Tanyakan pada Neji. Ino yang menjadi asistennya selama perawatan anak itu."

Tsunade mengangguk paham. Ia meraih laptopnya, memperhatikan lagi hasil yang ia perlihatkan pada Sakura.

"Pasti berat memberitahukan ini pada walinya," gumam Tsunade.

"Lakukan yang terbaik, Sensei," sahut Sakura memberi semangat.

Tok! Tok!

Pintu diketuk dari luar. Tsunade mengizinkan seseorang yang mengetuknya untuk masuk.

"Sumimasen, Sakura-Sensei. Ada yang mencarimu. Dia memaksa bertemu denganmu semenjak sejam yang lalu. Kudengar Anda masih melakukan operasi. Jadi aku melarangnya bertemu denganmu," ucap seorang perawat.

"Mencariku?" tanya Sakura. Perawat itu mengangguk.

"Pasien?"

"Sepertinya bukan, Sensei."

Sakura diam beberapa saat.

"Apa perlu saya memanggil satpam untuk membawanya keluar?" tanya perawat itu.

"Ah! Tidak! Suruh dia masuk ke sini," pinta Sakura.

Setelah mengangguk, perawat itu keluar ruangan. Ia kembali masuk dengan seorang perempuan yang mengikutinya di belakangnya.

"Sakura," panggil perempuan itu. Sakura menghentikan aktivitasnya membaca majalah. Ia menoleh ke arah pintu.

"Tenten?"

Tsunade di tempatnya memperhatikan interaksi itu. Ia mengisyaratkan perawat tadi untuk keluar.

"Kau seorang dokter?" tanya Tenten kemudian.

Senyum tipis terukir di bibir mungil Sakura. "Begitulah."

"Aku sudah lama menunggumu. Mereka bilang kau sedang operasi saat aku mencarimu tadi. Mereka terus memintaku pulang dan mencarimu besok lagi. Padahal aku jauh-jauh ke sini," ujar Tenten.

"Aku baru selesai setengah jam yang lalu, kurasa," ucap Sakura.

"Kau memutuskan untuk merantau?" tanya Sakura tiba-tiba. Tenten mengangguk semangat.

Sakura berdiri, menuntun Tenten untuk duduk di sofa kecil yang ada di ruangan itu.

"Pertama yang harus kutanyakan, kau akan tinggal di mana, dan kerja di mana?" tanya Sakura serius.

"Etto ... aku tak tahu."

"Semalam kau tidur di mana?"

"Aku menginap di tempat penginapan."

Sakura menghela napas. "Baiklah. Mulai malam ini kau akan tinggal di apartemenku. Tempatnya tak jauh dari sini. Sore nanti aku bisa mengantarmu ke sana," ujar Sakura.

Tenten tersenyum lega. "Arigatou, Sakura."

"Tsunade-Sensei," panggil Sakura.

Sang pemilik nama menoleh. Menatap Sakura dengan tatapan datarnya. Tak lama, ia menghela napas. Wanita itu tahu, jika Sakura memanggilnya dengan nada yang dibuat selembut itu, pasti ada maksud tertentu. []

.

.

.

Bersambung

¹ Microsurgery : Microsurgery atau Bedah mikro adalah tindakan yang dilakukan pada bagian tubuh yang memerlukan mikroskop untuk melihat dan mengoperasinya. Ini termasuk pembuluh darah kecil, saraf, dan tuba.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!