12. Teman

"Sakura-san?"

Gadis berambut merah jambu itu menoleh ke belakang tatkala namanya disebut. Ia menghentikan aksinya menjilati es krimnya. Di sana, di belakangnya, berdiri seorang gadis berambut cokelatnya dengan kedua cepolnya.

"Kau mau es krim?"

Gadis yang memanggil nama Sakura itu menatapnya kesal. Ia setengah berlari mendekati Sakura. Mereka berada di tepi jalanan yang tengah ramai.

Sakura tadinya mengajak sang suami untuk jalan-jalan. Namun tentu saja Uchiha yang satu itu akan menolak. Sampai akhirnya, ia berangkat sendiri, berkeliling sesuka hatinya di hari libur ini. Sakura baru setengah jam yang lalu keluar dari rumah.

Ketika mendapati seseorang memanggilnya, Sakura memang kaget. Meski begitu, ia selalu menyembunyikan keterkejutannya. Sakura pura-pura memasang wajah bingungnya untuk gadis di depannya. Sebenarnya, ia tidak lupa siapa gadis itu.

"Kau melupakanku? Ah! Hidoi, na!" gadis itu mendesah kesal. Ia hampir putus asa dengan reaksi Sakura.

"Kau? Siapa kau?" tanya Sakura berlagak bingung.

"Ayolah, Sakura! Berhenti bercan-"

"Bagaimana kabarmu, Tenten?"

Gadis itu terdiam sejenak. Ia lalu tersenyum. Sakura menghela napas panjang. Ia menoleh sana sini, seperti mencari sesuatu.

"Apa kau lapar? Aku lapar sekarang. Kau mau makan bersamaku?" ajak Sakura.

"Etto ... sebenarnya, aku sedikit buru-buru," elak gadis bernama Tenten itu.

"Sudahlah," Sakura mendekati Tenten, menarik tangannya. "Aku yang akan membayar."

Tenten hanya memandangi Sakura dari balik punggungnya. Mereka tengah menuju sebuah restoran bergaya Eropa di dekat tempat mereka berada. Brasserie VIRON, Shibuya. Sesaat, gadis itu merasa Sakura tumbuh melebihi dirinya. Pikirannya tertuju pada hal yang sebenarnya tak ingin ia sesalkan.

🌸🌸🌸

"Gochisousama deshita!¹"

Tenten berseru senang usai selesai makan. Sakura juga baru saja menyelesaikan makannya. Mereka saling bertukar kabar. Mulai dari Tenten yang menceritakan pekerjaannya di tempatnya, dan ia pun bertanya pada Sakura tentang pekerjaan gadis bersurai merah muda itu.

"Aku? Etto ... apa, ya?"

Sakura berlagak bingung. Ia menautkan kedua alisnya, seolah sedang berpikir.

"Ne, Sakura-san," panggil Tenten.

"Hentikan panggilanmu itu! Kau seharusnya tidak menambahkan -san di belakang namaku, Tenten. Haah ...," ucap Sakura, mendesah kesal. Tenten mengangguk samar.

"Aku sudah lama tak mendengar kabarmu. Dari Ino, katanya kau tinggal di Akita? Apa itu benar?" tanya Sakura.

"Hmm," Tenten mengangguk. "Aku tinggal di sana."

"Aa. Terkenal sekali dengan berasnya, bukan."

"Begitulah."

"Jadi, kenapa kau datang ke Tokyo?" tanya Sakura.

"Sebenarnya, aku ingin mengatakan sesuatu padamu. Kau ingat dengan Lee, bukan?" tanya Tenten. Nadanya berubah sendu. Sakura mengangguk.

"Aku tak tahu bagaimana caraku menjelaskannya. Dia sedang sakit. Hanya demam biasa, dan aku sudah mengantarnya ke dokter. Kami saling membantu, karena rumah kami bersebelahan. Dia selalu merengek seperti anak kecil saat sedang lapar. Aahh! Kau tahu? Aku begitu kesal dengan sikapnya itu. Rasanya seperti ingin kuhajar saja dia!" Tenten bercerita. Tidak! Ia terdengar seperti mengeluh.

Sakura mengaduk-aduk minumannya, dan sedikit menundukkan kepalanya. Ia teringat tentang Lee. Teman sekolahnya dulu.

"Kau mungkin tidak nyaman saat aku mengatakan ini, Sakura. Dia masih mencintaimu," ucap Tenten yang sukses membuat Sakura menegakkan kepalanya.

"Masih mencintaiku?"

Tenten mengangguk. "Hmm. Begitulah. Dia masih mencintaimu semenjak di sekolah menengah pertama. Itu yang dia ceritakan padaku."

Sakura menghela napas berat. "Memang benar. Dia pernah menyatakan perasannya padaku saat masih sekolah. Aku menolaknya, karena aku sedang ingin fokus mengejar impianku. Kudengar saat itu, Lee sedang mengikuti seleksi perwakilan lomba, bukan?" tanya Sakura.

"Iya. Aku juga ikut mewakili sekolah saat itu. Kami memiliki cita-cita yang sama, menjadi atlet olahraga nasional. Kami berhasil. Tapi akhir-akhir ini, entah bagaimana bisa, Lee kembali memikirkanmu."

Sakura terdiam. Ia merasa menjadi penyebab temannya dalam keadaan begitu. Tentu saja Sakura tak bisa memaksakan diri mencintai orang yang hanya ia anggap teman. Ia sendiri sudah mencintai seseorang, meski sepertinya tak pernah terbalaskan.

"Ah! Aku tidak bermaksud bagaimana-"

"Daijoubu, Tenten. Aku mengerti," sahut Sakura.

Sebuah ide terlintas di benaknya. Sakura mengangkat tasnya, mengeluarkan sesuatu dari sana. Tenten hanya memperhatikan apa yang dilakukan Sakura. Gadis bermanik Emerald itu tersenyum setelah meletakkan selembar kertas dan sebuah pulpen.

"Kau mau apa?" tanya Tenten.

"Menuliskan surat."

"Surat? Untuk apa?"

"Saat kau bertemu dengan Lee lagi, berikan surat ini padanya," ucap Sakura. Tangannya sibuk menulis di atas lembar kertas putihnya.

"Kau selalu membawa itu?" tanya Tenten, melirik kegiatan Sakura.

"Aa. Tentu saja. Sebagai ...,"

Sakura tak menuntaskan perkataannya. Ia diam. Tentu saja, sebagai seorang dokter, sudah semestinya ia berjaga-jaga membawa kertas dan pulpen. Bisa saja, ia akan mendapati kejadian tak diinginkan saat sedang di luar rumah sakit. Misalnya ia berada di dekat lokasi kecelakaan. Terkadang, sebagai seorang medis, Sakura perlu memberikan informasi tentang kondisi korban sebelum dibawa ke rumah sakit. Alasan itulah mengapa Sakura selalu membawa kertas dan pulpen. Mengingat tentang ia menyembunyikan diri, Sakura tak jadi mengatakan dengan jujur kepada Tenten.

"Sebagai?" tanya Tenten, masih menuntut jawaban.

"Sebagai ... etto ... sebagai antisipasiku jika aku perlu mencatat sesuatu. Kebetulan, aku suka menulis di buku harianku. Hehe ...," jawab Sakura asal. Untungnya, Tenten percaya.

Tenten kemudian terdiam. Ia merenungkan sesuatu. Ketika Sakura menyadari teman lamanya itu diam, ia menghentikan jemarinya yang sedang menulis.

"Kau memikirkan sesuatu?" tanya Sakura.

Gadis berambut cokelat itu menoleh ke arah Sakura. Ia menggeleng pelan. Lantas meminum jusnya.

"Apa kau sudah selesai menulis suratnya? Aku harus segera kembali," tutur Tenten.

Sakura yang baru saja memulai menulis lagi, seketika menghentikan tangannya. Ia sedikit membanting pulpennya ke meja. Tenten cukup terkejut dengan hal itu.

"Dengar, ya! Kau adalah temanku! Jika kau punya masalah, kau bebas menceritakannya padaku. Atau jika kau tak ingin mengatakannya padaku, kau boleh mencari orang lain yang siap mendengarkanmu."

Melihat guratan emosi di wajah temannya, Tenten meneguk ludahnya. Ia tak menyangka Sakura jadi lebih menyeramkan sekarang. Namun pada akhirnya, Tenten menghela napas.

"Kau benar. Aku sepertinya membutuhkan seseorang yang bisa menjadi pendengar yang baik untukku," respons Tenten dengan suara pelan.

Sakura melirik sekilas. Jemarinya sudah kembali memegang pulpen bertinta merahnya. Ia kembali meneruskan aktivitasnya yang sempat tertunda.

"Aku ingin meninggalkan tempat tinggalku dan bekerja di sini. Tapi bagaimana aku harus meninggalkan Lee? Dia sudah kuanggap sebagai adikku sendiri," ujar Tenten bercerita.

"Kenapa kau ingin ke Tokyo?" tanya Sakura.

"Tentu saja menemuimu."

Manik Emerald Sakura menatap Tenten dengan intens. Ia mencari sebuah hal tersirat dari sana. Ucapan Tenten memang bukan hal yang maya. Sakura paham tentang kesungguhan hati gadis itu untuk menemuinya, saat ia melihat seri di mata cokelatnya.

"Keputusanmu menentukan hidupmu. Jika merasa lebih baik, kau bisa mengambilnya." ucap Sakura, masih dengan pulpennya.

"Apa ... kau masih mencintai Neji?"

Pertanyaan yang Sakura lontarkan berhasil membuat Tenten tersipu.

"Tidak! Yang benar saja? Aku tidak pernah mencintainya!" bantah Tenten.

Sakura tertawa pelan. Ia menutup pulpennya, lalu melipat kertas yang ia kerjakan menjadi delapan bagian.

"Ini," ucap Sakura seraya menyodorkan kertas itu. "Berikan ini pada Lee. Sampaikan permintaan maafku sekaligus permintaan terima kasihku."

Tenten mengangguk. Ia berdiri dan berpamit pada Sakura. Mereka berpisah jalan. Tenten bilang, ia harus segera mengejar keretanya. Sedangkan Sakura? Gadis itu masih ingin jalan-jalan sebentar lagi di Shibuya. Tepat saat mereka keluar pintu restoran itu, Sakura memanggil Tenten kembali. Gadis yang ia panggil pun menoleh.

"Jika kau memutuskan merantau ke kota ini, cari aku di St. Luke's International Hospital. Katakan kau ada janji dengan Sakura. Sebutkan ciri fisikku jika perlu," tutur Sakura sebelum mereka benar-benar berpisah. Tenten mengangguk mengiyakan. Sakura tersenyum, lalu berbalik hendak pulang.

Baru beberapa langkah, ia merasakan ponselnya bergetar di saku baju tebalnya. Sakura mengambilnya, mengangkat telepon yang masuk.

"Moshi-moshi, Sasuke-kun," jawab Sakura.

"Kau di mana?" Suara Sasuke terdengar.

"Di depan Brasserie VIRON. Ada apa?"

"Shibuya?" tanya Sasuke.

"Ano ... gomen, Sasuke-kun."

"Mungkin di sisi kananmu ... ada yang membutuhkan penjelasanmu saat kau berbicara dengan teman lamamu tadi," ujar sang suami.

Gadis itu diam. Ketika menyadari sebuah mobil Lamborghini modifikasi berwarna biru gelap terparkir di dekat sana. Ia menoleh perlahan ke arah kanan. Hatinya berdegup kencang saat mendapati siapa yang sedang duduk di dalam dengan ponsel yang ia angkat di dekat telinga. Parahnya lagi, ia tengah memperhatikan Sakura dengan tatapan tajamnya.

"Ano ... apa perlu aku menjelaskan sekarang, Sasuke-kun?" tanya Sakura, masih memperhatikan sosok itu. Sepertinya, gadis itu mesti menunda keinginannya untuk lebih lama di Shibuya.

"Hn. Tak perlu. Aku harus bertemu kolegaku sebentar lagi," ujar Sasuke, dari balik kaca restoran itu.

"Sakura?" panggil Sasuke saat menyadari istrinya melamun.

"Ah! Hai?"

"Puas menghabiskan uang? Berhentilah hidup boros!"

"Hai, Sasuke-kun. Gomen. Aku akan pulang sebentar lagi," ucap Sakura mengalihkan pembicaraan.

Baru saja hendak menjauhkan ponselnya dari telinga, suara suaminya terdengar lagi.

"Naik kereta?"

"Tentu saja."

"Tak perlu. Aku hanya dua jam untuk urusan bisnisku. Temui aku lagi di sini setelah kau selesai dengan urusanmu," titah Sasuke di sambungan telepon itu.

"Eh?" Sakura cengo di tempat mencerna ucapan sang suami yang cepat bagai Shinkansen itu.

"Aku melakukannya karena wasiat orang tuamu."

Panggilan terputus.

Perkataan Sasuke tadi seolah menjadi guntur di tengah hujan lebat. Hei, ayolah! Sakura pikir ia membayar makanannya dengan Tenten tadi murni menggunakan uangnya sendiri, bukan karena uang sang suami. Lelaki itu bahkan hanya memberikannya uang belanja setiap bulannya. Bahkan dia meminta Sakura pulang dengannya hanya karena sebuah wasiat? Bukan yang lainnya.

Di tempatnya, sebenarnya pikiran pemuda Uchiha itu tengah kacau.

"Konnichiwa, Uchiha-san," sapa seorang lelaki berambut merah, di belakang Sasuke.

"Aa. Konnichiwa. Duduklah, Kazekage-san," balas Sasuke.

Tepat sebelum lelaki itu, Kazekage Gaara, mengambil duduk di hadapan Sasuke, ia memperhatikan arah pandang Sasuke tadi.

"Sakura? Uchiha ini sedang memandangnya, kah?" tanyanya dalam hati.

"Anda sendirian? Tanpa ada yang mengantar?" tanya Sasuke setelah Gaara duduk.

"Aa. Aku hanya datang sendiri. Lagi pula, ini bukan rapat resmi antar perusahaan kita, kan? Kita hanya akan membicarakan garis besarnya dahulu di sini. Detailnya akan kita bahas setelah ada kesepakatan di antara kita," ucap lelaki bermarga Kazekage itu.

"Hn. Anda benar, Kazekage-san."

"Bolehkah aku meminta sesuatu darimu?" tanya Gaara.

"Hn?"

"Bisakah kau panggil aku Gaara saja? Dari yang kudengar, kita seumuran, bukan?"

Sasuke menghela napas pelan. "Ya. Anda benar. Kita seumuran."

"Maka dari itu, jangan bicara se-formal itu padaku," pinta Gaara lagi.

Berpikir sejenak, Sasuke akhirnya mengangguk. Mereka meneruskan yang mereka kerjakan. Dua orang penting dari dua perusahaan besar itu akan berunding tentang kerjasama mereka, terlepas dari lima aliansi l dengan beberapa perusahaan besar lainnya yang mereka terima sebelumnya.

* * *

"Tadaima."

Sakura menoleh ke arah pintu kamar. "Okaerinasai, Sasuke-kun," jawabnya.

Gadis itu mendekat ke arah sang suami. Mengambil tas dan kemeja milik Sasuke. Seperti biasa, Sakura meletakkannya ke keranjang kotor di dekat kamar mandi. Esoknya, Sakura akan mencuci pakaian kotor mereka berdua.

Tadi siang, setelah mengantar Sakura pulang, Sasuke kembali ke kantornya untuk bekerja. Walaupun Sakura merasa bosan, ia sedikit terhibur dengan kakak iparnya, Izumi. Mereka merajut beberapa baju untuk seorang bayi.

"Ne, Sasuke-kun. Apa kau sudah makan?"

"Hn. Sudah."

"Kukira belum. Katakan padaku jika kau lapar. Akan kuambilkan makanan untukmu," kata Sakura kemudian.

Tak ada sahutan dari suaminya. Lelaki itu tengah bersiap ke kamar mandi. Ia ingin melepas rasa penatnya dengan berendam air hangat.

Sakura mendudukkan dirinya di tepi ranjang. Ia memikirkan sesuatu. Saat merasa tubuhnya mulai kedinginan, Sakura menoleh ke arah jendela. Benar saja, jendela itu belum tertutup. Tirai putihnya melambai-lambai tertiup angin.

Dokter muda itu mendekati jendela kamarnya. Ia memandangi langit malam tanpa bintang itu. Di luar, terdengar suara keributan kota dari kejauhan. Sakura ingin sekali menjauh dari kehidupan kota beberapa hari. Sayangnya, kesibukannya di rumah sakit cukup menghalangi. Jika beberapa bulan yang lalu ia datang ke Nagasaki bersama sang suami, sekarang berbeda. Memangnya siapa yang akan menemaninya? Tadi saja ia pergi dari distrik Chūō ke distrik Shibuya sendirian.

Suaminya itu kian sibuk dengan pekerjaannya. Begitu pula dengan dirinya. Sebagai seorang istri dan seorang perempuan, jujur saja Sakura ingin mendapatkan perhatian dari lelaki yang ia cintai.

"Apa kau sudah mencintaiku, Sasuke-kun?"

Sakura mengambil napas dalam-dalam.

"Sebagai istrimu, bukankah aku mendapatkan hakku untuk meminta perhatianmu?"

Dibuangnya napas panjang.

"Bagaimana lagi aku harus mengejarmu, Sasuke-kun?"

Tanpa ia sadari, setetes air mata jatuh dari manik indahnya. Sekiranya, selama ini itu yang sering terlintas di kepala Sakura. Rasanya seperti cinta yang tak pernah tersampaikan pada hati yang diinginkan.

"Kau ingin sakit lagi?"

Sakura refleks membalikkan tubuhnya kala mendengar suara baritone itu berada dekat dengan telinganya. Pemandangan yang tak ia duga tersaji di depan matanya. Sebagai perempuan normal, siapa yang tak merasa pipinya panas saat melihat tubuh sang suami telanjang dada di hadapannya?

Sakura kuat merasakan pipinya, bahkan wajahnya memanas. Ia benar-benar malu dengan apa yang ia saksikan. Tanpa aba-aba, Sasuke mendekatkan tangannya ke sisi samping Sakura. Sontak saja gadis itu memejamkan matanya.

Ia dapat merasakan napas sang suami di sekitar lehernya. Sedetik, dua detik, tiga detik, bahkan lebih dari sepuluh detik. Dehaman Sasuke membuat Sakura mengumpulkan nyari menatap sang suami. Perlahan, dia membuka matanya.

Hal pertama yang Sakura lihat masih sama; dada bidang sang suami. Saat mendongak, maniknya disambut oleh Onyx suaminya. Meski sering duduk berdekatan, baru pertama inilah Sakura sedekat itu dengan Sasuke, sekaligus dengan keadaan Sasuke yang telanjang dada.

"Kau punya hutang padaku, Sakura," ucap Sasuke, seraya berjalan menjauh, menuju lemari.

"Hai?" sahut Sakura.

"Di Shibuya tadi, apa yang kau bicarakan dengan teman lamamu?" tanya Sasuke sembari mengenakan kaos polos putihnya.

Sakura menatap lantai menerawang. "Ah! Maksudmu aku dengan Tenten tadi?"

Sakura menatap Sasuke. Lelaki itu menghentikan tangannya membenarkan resleting celenanya. Ia melirik Sakura sekilas, lalu meneruskan aktivitasnya.

"Dia memberitahuku tentang seseorang bernama Lee," ucap Sakura.

"Lee?"

"Kata Tenten, dia orang yang masih mencintaiku."

"Masih? Oh? Kau pernah punya hubungan khusus dengannya?"

"Apa? Tidak!"

Sasuke berjalan mendekati Sakura. Ia menatap manik hijau itu dengan tajam. Sakura tahu, Sasuke sedang mencari kebohongan dalam dirinya.

"Lee memang pernah menyatakan perasaannya padaku ...," Sakura menggantung ucapannya, karena jujur saja ia takut mendapat tatapan tajam dari sang suami.

"Teruskan," pinta Sasuke dengan dingin.

Tiba-tiba, Sakura merasa udara di kamarnya menjadi sedikit pengap.

"A-aku menolaknya. Karena aku sudah mencintai Sasuke-kun," cicit Sakura.

Sasuke diam. Onyx-nya terus menatap Emerald Sakura. Tak ada yang berbicara setelah itu. Sakura diam terpaku dengan ketampanan sang suami dari jarak sedekat ini. Lihatlah lelaki itu. Tubuh ideal, dada bidang, berotot, kulit putih, serta Onyx-nya yang tajam itu. Semua wanita akan menganggap Sasuke sebagai lelaki sempurna.

Ya, kecuali istrinya sendiri. Sakura tahu, Sasuke adalah orang yang jarang menunjukkan emosinya. Ia jarang memperlihatkan rasa pedulinya terhadap sekitar. Sejauh ini, yang Sakura tahu, ia masih mencintai Sasuke, sama seperti dulu.

"Ne, Sasuke-kun," panggil Sakura. Sasuke tak langsung menjawab.

"Hn?" respons Sasuke setelah hampir satu menit ia tetap diam memandang istrinya.

"Apa kau ... mencintaiku?"

Sakura menundukkan kepalanya. Sasuke menjauh dari Sakura. Ia menghela napas panjang, membalikkan badan memunggungi Sakura. Sakura merasa dirinya tak siap menerima jawaban sang suami.

"Aku belum pernah mencintai seorang wanita," ucap Sasuke pada akhirnya.

"Souka ...," gumam Sakura. Perlahan, air matanya mulai meloloskan diri dari matanya.

"Semoga saja ...," suara Sakura kian kecil, dan terdengar getir di telinga suaminya. " ... semoga saja ... aku masih bisa melakukannya."

Itu cukup terdengar membingungkan di telinga Sasuke. Ia sedikit mengangkat alisnya.

"Oyasumi, Sasuke-kun."

Sakura hampir membisikkan ucapan selamat tidur itu untuk suaminya. Tentu saja, Sasuke masih mendengarnya. Suara itu, suara yang pernah ia dengar saat pemiliknya sedang menahan tangis. Tiba-tiba, Sasuke merasa oksigen di sekitarnya berkurang. []

.

.

.

Bersambung

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!