...Tekadku memang menjadi wanita karir, tapi hal itu tak membuatku lupa akan kewajibanku sebagai seorang ibu dan istri dari seorang Gibran Bara Alkahfi....
...~Almeera Azzelia Shanum...
...🌴🌴🌴...
Sinar matahari belum tampak bersinar. Langit masih gelap di luar sana. Jarum jam masih menunjukkan pukul setengah empat subuh. Waktu yang masih terlalu pagi memang. Namun, Almeera sengaja bangun sepagi ini untuk menyiapkan diri dan bisa mengantar putranya sekolah.
Sebelum memasuki kamar. Almeera sejenak berhenti di depan pintu. Dia menghela nafas berat saat menyadari jika suaminya ada disana. Dengan begitu pelan, Almeera mendorong benda kayu itu hingga menunjukkan isi di dalamnya.
Mata Almeera mengedar. Tanpa sadar kakinya melangkah ke sisi ranjang yang terdapat sosok pria sedang terlelap. Almeera melihat raut wajah kelelahan tampak jelas di sana. Jujur dia merasa kasihan, tapi saat menyadari jika itu ulah suaminya sendiri. Almeera berusaha mengabaikannya.
Sudah tahu punya istri satu aja ribet. Sok sokan istri dua. Capek, 'kan? Gumamnya lalu beranjak pergi.
Almeera berjalan menuju ruang ganti. Dia membuka lemari miliknya dengan pelan agar tak menimbulkan suara yang bisa membangunkan Bara. Matanya meneliti, mencari pakaian resmi yang bisa digunakannya untuk bekerja.
Dalam hati, Almeera memanjatkan banyak doa. Semoga ada pakaiannya yang masih muat di tubuhnya. Kalau tidak, matilah dia di hari pertamanya bekerja.
Sebenarnya bisa saja Almeera berpakaian bebas dengan dasar kekuasaan keluarganya. Namun, dirinya tak mau seperti itu. Kinerja dan kredibilitas diri harus tetap dinilai bagus dan baik saat pertama kali bekerja.
Hampir lima belas menit Almeera memilih. Sampai pilihan wanita itu jatuh di sebuah rok hitam panjang dengan kemeja berwarna navy. Sebuah pilihan yang sangat terpaksa karena hanya itulah pakaiannya yang muat. Sepertinya nanti dia harus berbelanja untuk membeli pakaian kerja. Tak mungkin, 'kan, bila dia terus menggunakan pakaian ini setiap harinya.
"Aku harus cepat keluar dari sini. Sebelum tukang cocok tanam terbangun dan mendekatiku," gumamnya dengan membawa pakaian kerja dan alat mandi serta make up seadanya ke kamar sang putri.
...🌴🌴🌴...
Sebagai seorang istri dan sosok ibu bagi kedua anaknya. Pagi ini Almeera sudah berada di dapur. Lebih tepatnya dia sedang menata sarapan pagi di meja makan. Tadi dia memang memasak, tapi setelah itu Almeera memilih mandi sejenak sebelum menatanya.
Tak lama, terdengar suara ketukan sepatu dengan lantai begitu jelas. Tanpa melihatnya, Almeera sudah menebak siapa gerangan. Aroma parfumnya saja sudah menyebar di seluruh ruangan walau jarak mereka belum berdekatan.
Sedangkan Bara, pria yang baru saja menjejakkan kakinya di ruang makan seketika begitu heran menatap istrinya yang terlihat begitu berbeda.
"Mau kemana kamu, Ra? Kenapa rapi sekali?" tanya Bara beruntun dengan nada bicara menuntut.
Pria itu berjalan mendekat dan duduk di kursi yang biasa diduduki. Sedangkan Meera, menyodorkan piring pada putra dan putrinya secara bergantian. Ya, Bia dan Abraham tentu sudah berpenampilan rapi juga. Keduanya duduk di kursi makan dan menunggu makanan yang selesai aku masak.
"Ra," panggil Bara dengan suara yang lebih tenang.
Pria itu paham betul dengan kondisi sekarang. Disana ada putri kecilnya yang memperhatikan mereka berdua. Dia tak boleh bertindak di luar batas, jika tak mau membuat anak perempuannya takut kepadanya.
"Kerja," sahut Almeera dengan santai.
Dia mengambilkan makanan untuk Bara dan meletakkan di piringnya.
"Kerja?" ulang Bara dengan dahi berkerut. "Kamu kerja apa, Ra? Dimana kerjamu? Dan kenapa tidak memberitahuku?
Hee cerewet.
Sekarang kamu bilang tak memberitahu? Huh, rasanya ingin kuputar waktu dan berteriak di depan wajahmu jika kemarin aku mengajak bertemu untuk meminta izin.
Lalu sekarang dengan penuh drama pagi, dia mengatakan kenapa aku tak izin. Basi sekali, Tuan Gibran Bara Alkahfi.
"Jawab, Ra?" seru Bara tak sabaran.
"Kenapa Papa bentak Mama?" ucap suara anak kecil yang menyadarkan Bara akan situasi disana.
Pria yang berpenampilan rapi itu hanya bisa memejamkan matanya. Lalu tanpa kata, dia beranjak dari sana dan menarik tangan istrinya begitu lembut untuk mengajaknya berbicara berdua.
"Kalian makan dulu yah. Mama sama Papa ingin mengobrol sebentar."
Tanpa menunggu jawaban. Bara sudah menarik tangan istrinya menuju ke sisi samping rumah. Disana jaraknya memang terlalu jauh, jadi kedua anaknya tak mungkin mendengar pembicaraan mereka.
"Lepasin." Almeera berhasil melepas tarikan tangannya dari Bara.
Perempuan itu menatap pergelangannya yang sakit dan baru menyadari jika bekas cengkraman Bara menimbulkan kemerahan. "Kamu menyakitiku."
Bara spontan menoleh. Dia menatap tangan Almeera dengan penuh penyesalan.
"Aku tak berniat menyakitimu, Sayang. Maafkan aku yang terlalu kuat mencengkramnya," balas Bara dengan cepat.
Saat pria itu hendak memegang tangan Almeera lagi. Dengan cepat ibu dari Bia dan Abraham menyembunyikan pergelangan tangan di belakang tubuhnya. Dia tak mau disentuh lagi karena itu pasti menimbulkan desiran di antara mereka berdua.
"Apa yang ingin kamu katakan! Cepat anak-anak akan sekolah," kata Almeera membuang wajahnya ke samping.
Dia benar-benar enggan untuk menatap wajah suaminya itu. Rasanya mood Almeera akan jatuh jika menatap wajah pria yang sedang menunggu jawabannya sejak tadi.
"Kamu kerja dimana, Ra?"
"Di perusahaan Kak Jo."
"Kamu yakin? Sungguh, Ra?" tanya Bara tak percaya. "Tapi kenapa kamu tiba-tiba ingin bekerja? Bukankah selama ini nafkah dariku sudah cukup untuk kebutuhan kamu, keluarga dan anak-anak kita."
"Memang cukup, tapi maaf. Kali ini aku tetap akan bekerja," kata Almeera tanpa menatap Bara sedikitpun.
"Tapi apa alasannya, Ra? Berikan aku alasan!" tuntut Bara dengan suara tegasnya.
Almeera spontan menoleh. Dia menatap suaminya dengan sengit dan memberanikan diri untuk berhadapan dengan Bara.
"Aku bosan di rumah, Tuan Gibran Bara Alkahfi. Anak-anak juga sudah besar dan ada pengasuhnya," sahut Almeera dengan tatapan tajamnya.
"Bukan seperti itu, Ra," sela Bara dengan cepat
"Lalu seperti apa?"
"Apa kamu tega Bia dipegang oleh pengasuhnya seharian?"
"Kamu tenang saja. Urusan Bia, aku akan membawanya ke kantor. Dia tak akan bersama pengasuhnya di rumah berdua."
Ya, dari semalam Almeera sudah memikirkan semuanya. Dia juga tak setega itu meninggalkan putrinya sendirian di rumah bersama sang pengasuh. Dia masih memiliki hati nurani dan jiwa keibuan hingga membuatnya mengambil keputusan dengan membawa putrinya ke perusahaan.
"Tapi, Ra. Kalau begitu kamu…."
"Udahlah, Mas. Apalagi yang ingin kamu bahas?" sela Almeera mulai tak sabar. "Kalau kamu masih mau cari alasan lagi. Aku tetap dengan keputusanku. Aku akan bekerja!"
"Kenapa kamu menjadi pembangkang begini?"
Almeera spontan mengangkat tangannya. Seakan dia ingin Bara menghentikan pembicaraan ini.
"Jangan membawa masalah lain ke dalam pembicaraan yang tak ada kaitannya. Kalau itu terjadi, aku gak bisa jamin kamu bakal bisa jawab semua pertanyaanku, Mas."
Bara terdiam. Dia menatap lemah ke arah istrinya. Almeera yang dulu sungguh sangat menurut. Dia tak pernah melawan sedikitpun, tapi sekarang, kenapa istrinya itu sangat amat berubah.
"Aku juga akan membagi waktu kerja dan mengurus rumah. Kamu bisa pegang kata-kataku," jeda Almeera walau sejenak. "Aku tak akan mengingkari janjiku karena aku bukan kamu, PRIA PENABUR JANJI PALSU."
~Bersambung
Hiyaa Mbak Meera makin berani to! huu aku suka loh Mbak Meera begini, hihi.
Jangan lupa klik like, komen dan vote. Biar author semangat updatenya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 286 Episodes
Comments
Lanjar Lestari
jangan kasih janji palsu mas Bara mb Meera berubah krn ulahmu sendiri kan aku salut mb Meera bisa lawan mas Bara
2024-03-17
0
💋Titika tika27💋
Woooooowwwwwwww 👏👏👏👏👏
2024-01-31
0
fitri
wwooww...
2023-12-28
0