...Apakah luka yang kuberikan sedalam itu, hingga saat raga ini ingin memelukmu, kau semakin jauh untuk kugapai....
...~Gibran Bara Alkahfi...
...🌴🌴🌴...
Suara adzan berkumandang terdengar begitu keras, membangunkan manusia-manusia yang taat akan perintahnya dan bersujud untuk meminta segala hal yang dia inginkan di dunia maupun akhirat.
Sepasang mata yang sejak tadi terpejam dan masih terbuai akan mimpinya, perlahan bergerak. Bibirnya melenguh dengan kedua tangan ditariknya ke atas. Menggeliat dan meregangkan otot-ototnya, dia merasa tubuhnya sedikit lebih lega.
Tangannya berpindah ke samping. Menepuk ranjang yang seharusnya ada istrinya disana, tapi kenapa tak ada pergerakan apapun. Spontan mata itu terbuka lebar dan menoleh. Tak ada seorangpun disana hingga membuatnya segera mendudukkan dirinya.
Dia sendirian didalam kamar ini. Bahkan dari kusutnya sprei, Bara bisa melihat bahwa tak ada bekas istrinya berbaring disana.
"Kemana Meera pagi-pagi sekali?" Gumamnya sambil menurunkan kedua kakinya ke lantai. "Apa dia tak tidur di kamar?"
Bara bermonolog. Tak mau dilanda rasa penasaran segera dia keluar dari kamar. Pandangannya mengedar. Lampu-lampu di rumahnya masih padam, pertanda semua orang masih asyik memejamkan matanya.
"Rumah masih sepi. Lalu kemana Almeera sebenarnya?"
Akhirnya setelah berkutat dengan pikirannya sendiri. Bara memilih ke kamar putra pertamanya. Menurutnya, Almeera akan ada disana, karena hubungan dengan putra pertamanya sangat dekat. Dengan pelan, Bara membuka pintu kamar Abraham. Mendorongnya hingga terbuka lebar lalu melangkahkan kakinya lebih masuk.
Matanya langsung tertuju pada ranjang berukuran besar itu. Disana, hanya ada putranya yang masih asyik bergelung dengan selimutnya. Mengingat waktu sudah memasuki shalat subuh akhirnya Bara memilih mendekat dan mendudukkan dirinya di ranjang sang putranya.
"Abra...Abra...Nak bangun!" Panggil Bara sambil menggoyang tubuh sang putra.
Tak ada sahutan. Bahkan tubuh remaja SMP itu masih asyik diam dengan mata terpejam. Wajah nyenyaknya tentu sangat amat terlihat.
"Abraham, ayo bangun. Sholat, Nak!" Ujar Bara tak menyerah.
"Berisik!" Sahut Abraham sambil menarik selimut dan menutupi seluruh tubuh sampai kepalanya ikut tenggelam.
Bara menghela nafas berat. Dia tak boleh marah pada putranya. Perlahan dirinya menarik selimut itu hingga wajah sang putra terlihat.
"Papa apa-apaan sih!" Seru Abraham tak terima.
"Bangun!" Sentak Bara pada akhirnya. "Terus ambil wudhu di kamar mandi."
Suara Bara yang meninggi tentu membuat Abraham spontan mendudukkan dirinya.
"Ganggu banget sih!" Dengus Abra tak terima.
"Abra!" Suara Bara sudah di ambang batas.
Dia menatap putranya dengan tajam serta rahang yang tegas. Seakan dirinya mengatakan jika remaja di depannya ini, harus segera melaksanakan apa yang dia perintahkan.
"Papa masih peduli sama aku?" Tanyanya dengan raut wajah tak suka.
"Apa maksudmu?"
"Tanyakan sendiri pada diri, Papa. Kemana saja Papa selama seminggu ini, hah?" Tanya Abraham dengan wajah menatap papanya.
Tak ada ketakutan di matanya. Bahkan remaja yang usianya masih 14 tahun itu, terkesan menantang papanya sendiri.
"Papa sedang bekerja," ujar Bara dengan memalingkan wajahnya.
"Kerja?" Ulang Abraham dengan tertawa sumbang. "Iya Papa kerja di rumah wanita lain."
"Apa maksudmu, Nak?"
"Jangan berakting di depanku, Papa. Aku bukan Bia yang mudah ditipu muslihat," sahut Abraham sambil beranjak berdiri.
Bara mendadak diam. Dia menatap pergerakan anaknya yang menjauh dari dirinya. Pikiran-pikiran buruk mulai merambat di otaknya dan dia menebak apakah putranya ini tahu akan rahasia ini.
"Apa yang Abraham tahu?" Tanya Bara tanpa basa basi.
Abraham tertawa sinis. Dia menatap raut wajah papanya dengan pandangan tak senang lalu segera membuang tatapannya dengan cepat.
"Papa memiliki istri baru selain Mama," ucap Abraham tanpa menutupi. "Papa menikah lagi dan menduakan cinta Mama."
"Papa tidak menduakan Mama, Abra. Papa mendapatkan restunya," sahut Bara ingin meluruskan.
"Tidak menduakan?" Ulang Abraham dengan menggelengkan kepalanya. "Lalu sebutan apa yang pantas selain itu, Papa?"
Bara seakan tak bisa menjawab. Dia hanya mampu terdiam yang semakin membuat Abraham begitu membencinya.
"Jika Papa menikah lagi, itu sudah menjadi bukti kalau Papa mendua dari Mama," ujarnya dengan tegas. "Tanpa peduli itu menikah atau berselingkuh, yang pasti, Papa sudah menduakan pernikahan Papa dengan Mama."
Wajah Bara begitu shock seketika. Dia menatap putranya dengan mata terbelalak. Pernikahan kedua yang ia sembunyikan ternyata sudah diketahui oleh putranya. Hingga hal itu membuat Bara begitu penasaran.
"Tahu dari mana, jika Papa menikah lagi?"
"Mama dan Om Jonathan," sahut Abraham begitu enteng.
"Om Jo?" Ulang Bara dengan kening berkerut. "Kapan Om Jo datang?"
"Setiap hari selama Papa tidak ada di rumah."
Bara termenung. Kepalanya mencoba mengingat kejadian selama satu minggu ini. Kejadian yang memang tak ada komunikasi apapun antara dirinya dan sang istri.
"Bilang apa saja, Mama sama Om Jo?"
"Hanya itu," sahut Abraham dengan wajah penuh keyakinan. "Jika tak ada lagi yang ingin dibahas, lebih baik Papa keluar."
"Kamu mengusir Papa, Abra?" Tanya Bara tak percaya.
"Ya. Lebih baik Papa keluar!"
Tak ada lagi raut wajah bahagia pada Abraham. Mata yang biasanya menatap penuh kagum pada Bara seakan lenyap tak berbekas. Rahasia yang tanpa sengaja dia sengar ketika mama dan omnya berbicara, tentu membuat Abraham merasa sakit hati. Apalagi ketika tiap malam dia mendengar mamanya menangis, rasa benci pada sosok papanya semakin membesar.
Bara tak mampu berkata-kata lagi. Dia seakan tertampar akan perkataan anaknya. Segera di membalikkan tubuhnya dan berniat keluar dari sana.
"Tunggu!" Kata Abraham menahan sang Papa untuk pergi. "Jika Papa lebih betah di rumah istri baru. Setidaknya luangkan waktu untuk pulang demi menemui Bia dan Mama."
Jantung Bara tentu berdegup kencang. Bahkan matanya memanas seakan perkataan anaknya seperti menelanjangi dirinya.
"Sekarang keluarlah, Pa! Jangan buat Mama menangis lagi atau Papa akan berhadapan denganku."
...🌴🌴🌴...
Pandangan Bara terkesan kosong. Namun, tak ada yang tahu jika pikirannya terus mengingat semua perkataan putranya. Tentang istrinya yang sering menangis dan dirinya yang menduakan cinta sang mama.
Matanya terpejam dan tanpa sadar bulir air mata jatuh menetes di pipinya. Sungguh perasaannya pagi ini sangat buruk. Bahkan dirinya begitu bingung tak tahu harus melakukan apa.
Hingga tatapan ayah dari dua anak itu tertuju pada sebuah pintu tepat di depan kamar Abraham. Disinilah kamar putri kecilnya itu berada dan di dalam sana, ada istri dan putri kecilnya yang sedang terlelap.
Bara membuka pintu itu perlahan lalu membukanya. Pencahayaan temaram tak membuatnya kesulitan. Dia tetap berjalan mendekati ranjang hingga terlihat dua tubuh wanita kesayangannya sedang tertidur sambil berpelukan.
Bara mendekat. Dia mengulurkan tangannya dan mengusap kepala istrinya yang tak mengenakan hijab. Matanya sendu dengan pikiran yang terus melanglang buana.
"Kenapa kamu menjauh, Ra? Kenapa kamu tak mau kusentuh?" Gumamnya dengan mata berkaca-kaca. "Asal kamu tahu…aku sangat merindukanmu."
~Bersambung
Halah halah mulutnya manis seperti madu. Mengatakan rindu pada istri pertamanya, lalu ketika disana mengatakan cinta pada istri kedua.
Emang lakik gak ada syukurnya!
Jangan lupa di like, komen dan vote yah. Biar author semangat ngetiknya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 286 Episodes
Comments
Queen Sha
kalau kamu kerupuk atau rempeyek, bisa dipastikan kamu bakal tak kunyah2 tanpa jeda Bar... gemesh
2025-04-10
0
Anonymous
Tinggalin aja suami durhaka… masih banyaknlaki2 baik
2024-08-30
0
Riffie Nuryatin
prettttt najis qw
2024-07-10
0