...Kehancuran seorang ibu adalah ketika dia melihat anaknya menangis karena mencari sosok cinta pertamanya. ...
...~Almeera Azzelia Shanum...
...🌴🌴🌴...
Waktu terus bergulir begitu cepat. Almeera yang baru saja berganti pakaian memakai dasternya. Dikejutkan dengan suara ketukan pintu yang diiringi tangisan kencang khas putrinya.
Spontan hal itu membuat Almeera segera membuka pintu kamar. Disana, lebih tepatnya di depan pintu kamar dia melihat putrinya menangis di gendongan sang pengasuh. Almeera spontan meraih Bia ke dalam gendongannya dan mengelus punggungnya itu.
"Bia kenapa, Mbak?" tanya Almeera secara langsung.
"Maaf, Bu. Non Bia dari tadi cari Papanya terus," kata pengasuh Bia yang terlihat kelelahan.
Almeera terdiam. Lagi-lagi kenyataan ini harus dia dengar kembali. Kedekatan Bia dan Bara memang sangat terjalin. Hingga terkadang membuatnya lemah jika ada di posisi ini.
Seharusnya dulu Almeera bisa mengambil hati Bia lebih banyak. Agar anak itu tidak terlalu dekat dengan Bara. Namun, semua sudah terlambat. Tak ada artinya lagi untuk disesali olehnya.
Apakah malam ini dia harus memberikan pengertian pada putrinya? Mengatakan bahwa dirinya sudah tak bisa bersama papanya lagi?
Jika dia mengatakan itu, apa Almeera tak egois. Lagi-lagi kenyataan tentang Bia selalu membuatnya menjadi wanita lemah.
"Mbak istirahat saja. Biarkan malam ini Bia tidur bersamaku."
Setelah mengatakan itu, Almeera segera membawa tubuh anaknya masuk. Dia menggendong Bia dengan pelan menuju ranjangnya. Tak ada tangisan lagi dari bibirnya. Hanya suara sesenggukan yang sesekali terdengar.
"Papa mana, Ma?" tanya Bia setelah tubuhnya mendarat sempurna di atas ranjang.
Almeera mengikuti anaknya berbaring. Dia memiringkan tubuhnya dan menatap wajah putrinya itu dengan lekat.
Bagaimana bisa aku mengatakan itu pada, Bia. Aku yakin dia pasti kecewa dengan keputusan ini, gumam Almeera dalam hati.
"Mama," panggil Bia saat tak mendapat jawaban.
"Ya, Sayang."
"Papa mana, Ma?" Almeera spontan menghela nafas lelah.
Dia mengelus kepala Bia dengan sayang dan mencoba menarik kedua sudut bibirnya ke atas membentuk sebuah senyuman.
"Papa kerja, Nak."
"Kerja?" ulang Bia dengan kening berkerut. "Ini sudah malam, Mama. Mana ada orang bekerja?"
Almeera memejamkan matanya. Dia tersadar bahwa putrinya adalah anak yang kritis. Bia akan terus menanyakan apapun sampai dia mendapatkan jawaban yang logis.
Kalau seperti ini, Almeera harus berbuat apa. Berkata jujur pada putrinya, bahwa papanya sedang ada di rumah istri keduanya. Atau papanya sedang bersama wanita yang menjadi ibu kedua untuknya.
Almeera hanya bisa menghela nafas berat. Dia mencoba tersenyum dan menganggukkan kepalanya.
"Papa pekerjaannya sangat banyak, Sayang. Jadi mungkin Papa bakalan lembur," kata Almeera menjelaskan.
"Papa beneran kerja, 'kan, Ma?"
"Iya, Sayang. Kenapa Bia tak percaya?" tanya Almeera dengan suara tenang.
Jujur jika sudah dihadapkan dengan putrinya ini. Almeera selalu lemah. Rasanya dia ingin menangis saat ini. Kedua anaknya adalah kekuatan yang Almeera miliki. Jika mereka bersedih, maka hatinya akan hancur.
"Teman sekolah Bia pernah cerita soal Papanya, Ma," jeda anak itu sejenak.
"Terus?"
"Dia bilang, Papanya sering pulang malam. Kadang juga, gak pulang sama sekali," lanjutnya dengan mata menatap ke atas seakan bocah itu sedang berusaha mengingat. "Selama sebulan tingkah Papanya terus begitu, Ma. Sampai suatu hari kata dia, Papanya bawa Mama baru buat dia."
Hati Almeera mencelos. Bahkan tubuh itu mendadak tegang tak bisa digerakkan. Untuk menelan ludahnya saja, Almeera merasa kesusahan. Dia merasa udara disini seakan habis dan membuatnya sesak nafas.
Almeera benar-benar tak percaya jika Bia sudah berpikiran seperti itu. Bahkan cerita papa temannya hampir sama dengan papanya sendiri. Bedanya, saat ini Bia belum tahu jika papanya sudah menikah lagi.
"Bia gak mau, Ma. Bia gak mau punya Mama baru," teriak Bia histeris.
"Ustt. Nggak bakal, Sayang. Papa cuma punya Mama seorang," kata Almeera sekenanya
Dia meneteskan air mata saat melihat putrinya yang berulang kali mengatakan tak mau memiliki ibu baru. Bahkan Almeera sampai berusaha memeluk Bia dengan erat agar anak tersebut sedikit lebih tenang.
"Papa beneran kerja, 'kan, Ma? Beneran 'kan?" tanya Bia dengan tangisan yang mulai mereda.
Almeera menganggukkan kepalanya dengan berat. Dia melepaskan pelukannya dan menangkup kedua wajah putrinya yang basah oleh air mata.
"Papa hanya milik Bia, Mama, dan Abang. Hanya itu, Nak. Hanya itu," kata Almeera dengan hati yang menyangkal.
Lihatlah, Mas! Anakmu saja sudah mencurigai dirimu, kata Almeera dalam hati.
"Sudah yah. Bia gak boleh mikir macem-macem lagi. Ini sudah malam, sekarang lebih baik kita tidur," ajak Meera dengan lembut.
Bia menganggukkan kepalanya menurut. "Bacakan buku dongeng untukku, Ma."
"Tentu, Sayang."
Almeera sejenak turun dari ranjang. Dia mengambil buku dongeng Bia yang ada di kamarnya lalu membawanya ke atas ranjang.
Sebelum itu, dia meraih selimut terlebih dahulu dan menutupi tubuhnya dan tubuh Bia. Dengan nyaman, bocah kecil itu memeluk tubuh mamanya dan melekatkan tubuhnya seakan tak mau jauh dari sosok Almeera.
Sejenak, Almeera melupakan keberadaan Bara. Dia tak peduli saat suaminya tak ingat arah pulang malam ini. Padahal seharusnya, saat ini adalah jatah waktunya bersama Almeera.
Dia mulai membacakan dongeng. Matanya sambil mencuri pandang ke arah anaknya yang mendengar ceritanya. Sampai beberapa waktu akhirnya mata yang awalnya terjaga mulai terpejam. Nafas Bia beraturan dan menandakan bahwa putri dari pasangan Almeera dan Bara itu sudah terlelap.
Akhirnya Meera bisa bernafas lega. Dia meletakkan buku itu di atas nakas, lalu membenarkan selimut putrinya. Tangannya terulur, menghapus sisa air mata yang ada di pipi Bia kemudian diakhiri sebuah kecupan lama di dahinya.
Maafkan Mama, Nak. Maafkan Mama yang berbohong. Mama belum bisa jujur pada Bia karena takut kamu kecewa dan benci sama Papa, kata Almeera dalam hati.
Meski rumah tangga yang sedang Almeera jalani sedang diujung tanduk. Meski rumah tangganya sudah didatangi oleh orang ketiga. Almeera masih merasa bersyukur. Dia bersyukur atas anugerah dari Tuhan atas kehadiran Bia dan Abraham di sampingnya.
Dua anak itu tak bersalah. Bahkan Almeera berpikir, mungkin Tuhan memberikannya dua orang anak untuk menemani dirinya bila benar-benar berpisah dengan Bara.
Kehadiran keduanya benar-benar membuat hidup Almeera bahagia. Bahkan lebih berwarna meski cintanya telah padam. Cintanya telah hancur dan dihancurkan oleh sahabatnya sendiri.
Almeera perlahan turun dari ranjang. Dia menuju kamar mandi untuk mengambil air wudhu. Entah kenapa hatinya saat ini butuh ketenangan, dan ketenangan itu hanya bisa dicari ketika dia shalat.
Almeera adalah orang yang taat dalam menjalankan kewajibannya. Dia tak pernah telat walau keadaan rumah tangganya seperti ini. Menurutnya, sebesar apapun masalah yang dihadapi, Allah adalah jalan pulang terakhir yang paling nyaman.
Setelah menumpahkan segala keresahan yang membalut hatinya. Almeera segera berjalan ke arah pintu kamar. Dia mengunci pintu itu dari dalam, agar Bara tak bisa masuk ke dalam.
Tidak! Almeera tak mau kalah lagi dari pesona Bara. Dia tak mau jatuh terjerumus dan mengalami kekecewaan yang mendalam.
"Kalau dia mau bercocok tanam, sono ke istri muda. Jangan mencariku hanya untuk membuang benihmu itu," gerutunya dengan bibir memberengut.
~Bersambung
Bagoss Mbak Meera! Good Job. Suruh cocok tanam pakek sabun aja Mas Bara, huuu.
Jangan lupa klik like, komen dan vote yah. Biar author makin semangat ngetiknya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 286 Episodes
Comments
Lanjar Lestari
benar Meera biar bara di tempat Narum8 aja beecocok tanam dg yg muda lg pula Bara td siang jg telah mencampakkanmu di cafe miliknya sekarang harusnya dia tidur bersamamu dan anak anak tp malah lupa pulang lupakan pergi yg jauh aha bawa anak anakmu Abang Abra jg benci papanya.
2024-03-16
0
Titika tika
Jangan cpt tersentuh lagi walau bersipat manis kya kucing
2024-01-31
0
Sur Yhanie
sae.....sok gera BERUBAH..atuhlahh
2023-11-10
0