...Aku akan membuktikan semuanya demi mempertahankanmu di sisiku. Entah itu konyol atau tidak, untukmu semua akan kulakukan....
...~Gibran Bara Alkahfi...
...🌴🌴🌴...
Pertengkaran pasangan suami istri itu berakhir ketika Bara memilih keluar dari kamar. Dia terpaksa pergi meninggalkan rumah agar tak semakin mengeluarkan emosinya di hadapan sang istri. Sungguh Bara tak mau lepas kendali. Dia tak mau membuat Almeera semakin jauh dari dirinya.
Pikirannya kembali mengingat ketika istrinya meminta berpisah. Ketika wajah itu memohon padanya untuk mengakhiri semuanya. Kepala Bara menggeleng. Sampai kapanpun dia tak akan menceraikan Almeera. Dia tak mau berpisah, sekarang ataupun nanti.
"Aku mencintaimu, Ra." Setetes air mata jatuh di pipinya.
Bara menangis. Dia menghentikan mobilnya dan segera menempatkan kepalanya di atas kedua tangannya. Jujur hatinya sakit. Dia tak mau jauh dari istri dan kedua anaknya. Almeera, Abraham dan Bia adalah jiwanya. Mereka yang menemaninya selama ini dan dia tak siap untuk kehilangan semuanya.
Tak memiliki tujuan yang jelas, akhirnya Bara menuju rumah orang tuanya. Dia tak mungkin bercerita pada kedua sahabatnya. Bara tak mau orang lain tahu bagaimana keadaan rumah tangganya. Lebih baik dia pergi ke Abi Hafiz, sosok ayah yang pasti akan memberikannya nasihat walau dia menolak keputusannya untuk poligami.
Saat mobil yang dia kendarai baru sampai. Pintu rumah terbuka dan muncullah sosok sang Ummi Mira. Melihat kedatangan putranya, wanita itu lekas menyambutnya dengan wajah bahagia.
Sebesar-besarnya kesalahan anak, orang tua masih mampu memaafkan. Begitupun dengan Abi Hafiz dan Ummi Mira. Keduanya memang kecewa dengan keputusan putranya. Namun, tidak dengan menjauhinya. Seorang anak ada kalanya salah arah dan orang tua lah yang berhak meluruskannya dan membantunya kembali ke jalan yang benar.
"Sabarlah, Nak. Abi tahu semua pasti berat," ujar Abi Hafiz dengan tangan menepuk pundaknya.
Orang tua Bara mendengar cerita putranya dengan seksama. Mereka bahkan membiarkan Bara mengatakan semuanya hingga putranya itu puas. Mereka tak mau menyela sedikitpun agar hati anaknya sedikit lebih lega.
"Kalau kamu tak bisa mengendalikan salah satunya, maka pilihlah salah satu di antara keduanya," ungkap Abi Hafiz yang membuat Bara spontan mendongakkan wajahnya.
"Tidak, Bi. Tidak akan!" jawab Bara menolak.
"Kenapa tidak mau? Bukankah ini sudah menjadi tanggung jawab atas keputusanmu?"
Telak.
Bara terdiam. Dia seakan mendapatkan sebuah tamparan dari ucapan papanya. Ingatannya tentu berputar saat meminta restu. Keputusan yang diambil tentu membuatnya harus menerima apapun yang terjadi ke depannya. Lalu saat ini, ya salah satunya.
"Hanya itu jalan terbaik, Nak. Lepaskan salah satunya."
"Tidak, Bi. Aku tidak mau menceraikan Almeera. Aku mencintainya. Dia istriku, dan ibu dari kedua anakku," ucap Bara dengan tegas.
"Tapi apakah kamu ingin bersikap egois pada Almeera?" tanya Abi Hafiz dengan cepat. "Dia terkurung dengan rasa tidak bahagia, Nak. Dia sudah tak bahagia bersamamu."
Bara menggeleng. Dia menutup kedua telinganya seakan enggan mendengarkan ucapan sang papa. Niatnya minta pendapat, malah membuat kepalanya semakin terasa pusing.
"Bara gak egois, Bi. Bara mencintai Almeera."
"Abi tahu," balas Abi Hafiz dengan cepat. "Tapi pikirkan perasaan Almeera, Nak. Pikirkan baik-baik!"
"Ingat ini, Nak. Jangan karena kamu bahagia, kamu mencoba gelap mata akan semua yang terjadi." Nasehat Ummi Mira yang sejak tadi diam.
"Apa maksud, Ummi?" tanya Bara tak paham.
Ummi Mira mendekat. Dia menggenggam kedua tangan anaknya hingga mata ibu dan anak itu saling menatap.
"Dalam islam, seorang pria diperbolehkan poligami, dengan syarat, istri pertama ikhlas dan bahagia. Tapi..." jeda Ummi Mira pelan dan menarik nafasnya begitu dalam sebelum melanjutkan perkataannya." Jika istrimu sudah tak mampu dan tak bahagia. Maka kewajibanmu untuk melepaskannya."
Bara kembali mematung. Lidahnya seakan keluh hanya untuk membantah. Tubuhnya mendadak lemas mendengar nasehat kedua orang tuanya. Semua perkataan Abi dan Umminya tentu merasuk dalam pikirannya.
Hingga air mata Bara kembali menetes. Pria itu menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Ayah dari dua orang anak itu, terlihat begitu terpuruk.
"Sumpah demi Tuhan, aku sangat mencintai Almeera, Bi. Bara tak bisa kehilangannya."
"Baiklah jika kamu masih bertekad dengan keinginanmu. Abi hanya memiliki satu saran," balas Abi Hafiz pada akhirnya.
Kepala Bara mendongak. Dia menatap wajah Abinya yang sedang menatapnya juga.
"Raihlah hati Almeera lagi. Berusahalah menjadi sosok yang lebih sabar. Belajar membahagiakan Almeera seperti saat kalian pacaran dulu," kata Abi Hafiz dengan serius. "Mungkin terdengar konyol, tapi ambil hatinya dengan memberikan kesukaannya, Nak. Seperti bunga, coklat, memasakkan makanan untuknya. Kegiatan yang dulu sering kalian lakukan, coba lakukan lagi."
"Mengalahlah pada Almeera. Berusaha menekan ego dan emosimu di depannya. Jangan membentak atau memukulnya apapun masalah di antara kalian."
"Bara tak pernah memukul Almeera, Abi."
"Bagus. Pertahankan, Nak!" kata Abi Hafiz dengan pelan. "Sekeras-kerasnya hati perempuan. Dia memiliki perasaan dan mudah luluh. Abi yakin kalau kamu hangat dan mencoba berusaha meraih perhatiannya. Almeera akan melihat usahamu."
Semua saran Abinya dicatat di otaknya. Direkam dan dia ingat untuk ia laksanakan. Bara benar-benar akan melakukan semuanya. Menjadi Bara yang dulu, saat mereka pacaran. Dia akan melakukan apapun agar istrinya tahu jika dia benar-benar tak mau Almeera pergi.
"Papa doakan semoga misimu berhasil. Kamu juga berdoalah pada Tuhan. Minta agar dilembutkan hati istrimu dan diberikan kesabaran yang lebih."
...🌴🌴🌴...
Pukul satu malam, Bara baru sampai di rumahnya. Dia memasukkan mobilnya ke dalam garasi. Lalu segera langkahkan kedua kakinya dengan gontai ke dalam rumah.
Bukan dia malas untuk pulang. Melainkan dia takut istrinya itu masih terjaga dan akan mengajaknya bertengkar. Dia tak mau mendengar kata berpisah lagi dari mulut Almeera sampai kapanpun.
Saat Bara hendak menaiki tangga. Sebuah suara familiar dari belakang membuatnya menoleh.
"Baru pulang, Pa?" panggil seorang remaja laki-laki dengan di tangannya membawa laptop dan gelas.
"Abra!" Bara terkejut. Dia mengedarkan pandangan dan kembali menatap putranya. "Kenapa belum tidur?"
Abraham mengangkat laptop dan gelas yang ada di tangannya. "Baru selesai ngerjain tugas."
"Kenapa malam sekali?"
"Tugasnya banyak," balas Abra dengan wajah datarnya.
"Ini sudah malam. Kamu cepat kembali ke kamar dan istirahat, 'yah!"
Abraham mengangguk. Namun, remaja itu tak lekas beranjak hingga membuat dahi Bara berkerut.
"Apa ada yang ingin kamu sampaikan pada Papa?" tebak Bara dengan gamblang.
"Ya."
"Ayo kita duduk di sofa!"
Ayah dan anak itu berjalan beriringan. Mereka lalu duduk berhadapan dengan Abraham yang mulai meletakkan laptopnya di meja tamu.
"Sebelumnya Abra minta maaf," ucap Abraham menatap papanya dengan dingin.
Namun, dari nada suaranya terdengar seperti bukan permintaan maaf yang tulus. Terdapat nada sindiran dan sinis di dalamnya. Hingga entah kenapa muncul rasa tidak nyaman dalam diri Bara. Apalagi melihat tatapan putranya, bukanlah tatapan bangga disana. Melainkan kesakitan dan kekecewaan yang mendalam.
"Apa yang ingin kamu katakan pada Papa?"
"Bolehkah Abra membenci Papa?"
~Bersambung
Terkadang anak-anak pura-pura buta dan tuli di hadapan orang tuanya. Padahal sebenarnya dia tahu semuanya.
Abraham sabar, Nak.
Jangan lupa klik like, komen dan vote yah. Biar author semangat ngetiknya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 286 Episodes
Comments
Fifi Omar
ya allah sesak di dada
2024-10-30
0
Endah Ing
Sdh dua anggota keluargamu yg gak bahagia bara. siap" kehilangan aja bar
2024-10-16
0
Endah Ing
cintamu menyakiti bara
2024-10-16
0