...Terkadang kita perlu mengorbankan semuanya untuk meraih kebahagiaan yang lain....
...-Gibran Bara Alkahfi...
...🌴🌴🌴...
"Mama."
Suara khas anak remaja menyadarkan Almeera dari lamunannya. Dia segera mengusap air mata yang menetes, lalu menarik kedua sudut bibirnya ke atas sebelum berbalik.
Disana, putranya yang berusia 14 tahun sedang menggendong adiknya sambil berusaha menenangkan Bia yang menangis. Tanpa menunda lagi, Almeera segera berjalan ke arah sang putra dan meraih putrinya itu.
"Bia kenapa, Sayang?" tanya Almeera sambil menepuk punggung anak keduanya itu.
"Papa, Ma. Papa," teriak Bia sambil meronta.
Ya, kebiasaan Bara selalu ada ketika Bia baru bangun tidur. Hal itu tentu membuat anak keduanya ini menangis jika tak ada kehadiran papanya. Inilah yang membuat Almeera berpikir seribu kali lipat untuk berpisah. Putrinya adalah sosok yang paling dekat dengan sang papa. Hingga karena itulah, dia tak sampai hati untuk memisahkan ayah dan anaknya.
"Papa lagi kerja, Sayang. Jadi, Bia harus sabar nunggu Papa sampai pulang." Bujuk Meera sambil merapikan anak rambut putrinya yang berantakan.
"Gak mau, Ma. Bia mau papa, 'sekarang!"
"Sayang," panggil Almeera lembut sambil menarik dagu putrinya untuk menjangkau wajah anak keduanya itu. "Papa lagi kerja, Nak. Papa kerja cari uang, buat Mama, Abang sama Adek. Kalau Papa gak kerja 'kan, gak punya uang. Terus nanti Adek makan apa?"
Inilah jurus andalan Almeera. Secara otomatis rontaan Bia mulai melemah. Bahkan tangisan yang tadinya kencang perlahan mereda, dan tersisa sesenggukannya saja.
"Adek mau makan nasi sama ikan, Ma."
"Nah. Kalau Adek mau makan nasi, ikan, buah dan semua kesukaan Adek. Papa harus....?" jeda Almeera sambil tersenyum.
"Kerja."
"Masya allah. Jadi Bia gak boleh nangis lagi," kata Almeera yang langsung diangguki kepala oleh Bia.
"Biar Bia seneng, gimana kalau kita berenang?"
"Mau, Ma. Mau," sahut Bia sambil meminta turun.
Setelah kedua kaki kecil itu menapaki lantai teras rumah. Tanpa dicegah, dia langsung masuk ke dalam. Gadis kecil itu sudah terlihat bahagia saat diajak untuk bermain olahraga kesukaannya. Tanpa Almeera ketahui, jika sejak tadi dirinya dipandang lekat oleh putranya sendiri.
"Ayo, Bang. Kita susul Adek!" ajak Almeera sambil berjalan menyusul putrinya.
"Mama baik-baik aja?" Satu pertanyaan keluar dari mulut Abraham yang membuat ibu dari dua anak itu berhenti.
Almeera tahu betul bagaimana putranya ini. Sejak kecil, Abraham sudah begitu dekat dengannya. Berbanding terbalik dengan putrinya itu. Bagaimanapun perasaan Meera, tentu putranya ini seakan tahu akan isi hatinya.
"Mama baik-baik saja, Nak," sahut Almeera sambil berjalan mendekati putranya. "Demi kebahagiaan kalian. Mama bakalan lakuin apapun itu."
...🌴🌴🌴...
"Sabar, Men." Satu tepukan lembut diberikan oleh Syakir pada sahabatnya itu.
Syakir tentu sangat tahu betul bagaimana perasaan sahabatnya ini. Pernikahan yang seharusnya didatangi oleh semua keluarga, ternyata sirna. Tak ada satupun dari pihak Bara yang ikut. Pria itu benar-benar sendirian saat ini. Hanya ada Syakir dan Reno lah yang mengantar putra dari Abi Hafiz dan Ummi Mira untuk melangsungkan pernikahan keduanya.
"Kir," sela Bara sambil menoleh ke samping tempat Syakir duduk. "Makasih udah mau gue repotin banget hari ini."
Jujur Bara tak tahu harus mengatakan apa lagi pada kedua sahabatnya. Kehadiran mereka sebagai pengganti keluarga sangat membantu dirinya. Bara tak bisa membayangkan bagaimana jika dirinya benar-benar sendirian hari ini. Tanpa keluarga, tanpa teman tentu begitu menyakitkan.
Syakir mengangguk. Mendengar ucapan tulus sahabatnya, tentu membuat Syakir ataupun Reno menjadi tak tega. Sebenarnya di lubuk hati keduanya, mereka menyayangkan keputusan Bara kali ini. Bagaimanapun Syakir dan Reno menjadi saksi bagaimana cinta Bara dan Almeera dimulai. Namun, kembali lagi keputusan itu ada di tangan Bara sendiri.
"Lo gak perlu ragu. Gue sama Reno bakalan terus nemenin Lo, apapun keadaannya," sahut Syakir dengan yakin.
"Apapun keputusan Lo hari ini, baik atau buruk. Gue sama Syakir gak bakal ninggalin Lo sendirian." Akhirnya Reno buka suara. Pria itu menoleh ke belakang dan mengangguk yakin.
"Gue tau." Bara tentu tahu betul apa maksud kedua sahabatnya ini.
Keputusan yang mereka katakan tentu sudah dipikirkan betul oleh Bara. Bahkan pria itu sudah siap untuk menerima konsekuensi yang harus diterima dari semua ini.
Perjanjian antara Bara dan Almeera. Kesepakatan keduanya yang disanggupi oleh Bara, tentu membuatnya ada di titik ini. Mengantongi restu dan izin sang istri, membuatnya semakin mantap untuk meraih kebahagiaan keduanya.
"Yang perlu Lo ingat!" jeda Syakir saat mobil yang mereka tumpangi baru saja berhenti karena lampu merah. "Lo harus adil di antara mereka berdua. Jangan ada yang disakiti atau tersakiti. Lo paham?"
"Gue paham."
"Gue berharap, Lo gak bakal ngecewain lebih banyak orang lagi, Bar."
Perkataan terakhir dari Syakir, seakan menjadi tamparan bagi Bara tentang kejadian kemarin. Kejadian dimana dia meminta restu pada keluarga dan mertuanya.
"Kalau kamu tetap mau menikahi perempuan itu. Daddy bakalan bawa putri dan cucu Daddy pergi dari sini!" seru Darren begitu serius.
"Daddy tak berhak atas mereka," kata Bara tak mau kalah. "Mereka adalah tanggung jawab Bara. Mereka juga istri dan anak-anak Bara. Jadi Daddy tak berhak apapun."
"Kamu!" jeda Darren sambil menarik kerah baju Bara. "Ceraikan putriku daripada kamu duakan cintanya!"
"Mas," cegah Tari, Mama Almeera.
Perempuan itu beranjak dari duduknya dan menarik lengan sang suami agar melepas cengkraman tangan di kerah menantunya itu. "Istighfar, Mas."
"Sebagai ayah, aku tak terima, Tari," seru Darren dengan suara meninggi.
"Tolong tenang, Darren."
"Bagaimana aku bisa tenang? Putriku hendak dipoligami dan aku diminta tenang?" tanya Darren menatap besannya itu. "Ayah mana yang ikhlas melihat pernikahan putrinya seperti ini?"
Apa yang dikatakan oleh Darren tentu benar. Sosok ayah mana yang tega melihat putrinya sendiri di duakan. Dengan dalih poligami, menurutnya sama saja menyakiti hati anak ketiganya itu.
"Bara," panggil Ummi Mira sambil membawa putranya duduk.
"Iya, Ummi," sahut Bara menatap bidadari hatinya itu.
"Poligami memang diperbolehkan oleh agama islam, Nak. Tapi, apakah kamu sudah berpikir bagaimana perasaan istri dan anak-anakmu nanti?"
Mendengar pertanyaan dari ibunya. Bara tentu mengingat bagaimana perkataan istrinya saat dia meminta izin poligami. Bahkan kesepakatan di antara keduanya, masih terngiang betul di dalam ingatannya.
"Almeera sudah memberikan izinnya, Ummi," kata Bara dengan wajah begitu yakin.
Mendengar jawaban sang putra. Ummi Mira hanya bisa menunduk. Dia menarik nafasnya begitu dalam lalu meraih kedua tangan anaknya.
"Poligami bukan hal mudah, Sayang. Sebagai perempuan, Ummi tahu betul bagaimana perasaan istrimu," kata Ummi Mira dengan tatapan begitu sedih. "Istri mana yang rela, cinta suaminya dibagi dengan wanita lain? Apalagi sampai berbagi ranjang?"
-Bersambung
Tarik nafas hembuskan. Elus dada dan jangan lupa istigfar yah.
Bukan hanya kalian yang hatinya diubek-ubek. Diriku yang dengerin ceritanya langsung + nulis, rasanya pen lempar panci ke Bara nyara.
Jangan lupa favorit yah. Biar kalian gak ketinggalan updatenya. Klik like, komen dan vote sebagai tanda apresiasi karya ini. Terima kasih.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 286 Episodes
Comments
Raufaya Raisa Putri
itu mh nepsong bar...
2024-07-22
0
Lanjar Lestari
sabar meera tuhan sedang mengujimu dan kebahagiaan akan datang kemudian hari
2024-03-11
0
desember
ahh abangg🥺🥺 pelukk bolehh🤗
2024-02-21
0