...Terkadang keadaanlah yang mampu membuatnya bertahan atau menyerah....
...~Almeera Azzelia Shanum...
...🌴🌴🌴...
Usai semua pekerjaannya selesai. Bara segera mematikan laptopnya lalu meninggalkan ruang kerjanya. Waktu sudah menunjukkan pukul enam sore dan membuatnya ingin segera sampai rumah.
"Ren, ayo balik!" ajak Bara yang baru saja menutup pintu ruangannya.
Sosok yang dipanggil spontan berdiri. "Tumben keburu banget."
Reno, sahabat sekaligus sekretarisnya itu tentu bisa menyesuaikan dirinya. Jika di waktu kerja, mereka akan bersikap formal. Namun, jika hanya berdua dan atas permintaan Bara, mereka akan bersikap santai.
"Iya. Gue ada janji sama Meera."
"Almeera?" ulang Reno tak percaya.
"Iya, Men. Kenapa muka Lo kaget begitu?"
"Ya gue heran aja. Tumben banget Lo ajak dia keluar," sindir Reno sambil mengedikkan bahunya.
Bara menghela nafas lelah. Dia memang belum menceritakan sifat istrinya pada siapapun. Dia tak mau prahara rumah tangganya diketahui semua orang. Hingga untuk mengalihkan perhatian sahabatnya itu, dia segera pergi meninggalkan Reno.
"Gue balik dulu, okey. Jan cerewet!"
"Dasar Bos Laknat!" teriak Reno yang membuat tawa Bara terdengar sebelum pria itu menghilang di balik lift.
Perlahan mobil mulai berjalan meninggalkan area parkir. Menerobos jalanan yang memadat hingga mengundang decakan lidah dari bibir Bara. Dia menengok jam tangannya yang menunjukkan pukul enam lebih empat puluh lima menit. Waktunya semakin habis karena padatnya jalanan.
Pria itu mencoba bersabar. Sesekali dia melirik amplop coklat yang diletakkan di kursi penumpang. Itu adalah sisa gaji miliknya untuk Almeera dan dia akan memberikannya langsung.
Bara membayangkan ketika dia sampai rumah. Dirinya akan disambut oleh wajah cantik istrinya. Dia akan disambut oleh sebuah senyuman dan istrinya yang sudah bersiap dengan dandanannya.
Meski Bara menyadari selama memiliki anak, istrinya itu tak pernah berdandan. Namun, wajah cantiknya tak bisa dipungkiri masih sangat menggoda semua pria yang melihatnya. Maka dari itu, untuk malam ini, Bara ingin Almeera berdandan. Toh, ada dirinya yang akan menjaga istrinya dari pandangan pria lain.
Setelah melewati kemacetan. Akhirnya mobil Bara mulai memasuki pelataran rumah. Dia segera keluar dari sana sambil menenteng tas kerja setelah memasukkan amplop coklat di dalam tasnya.
"Assalamualaikum," salam Bara saat baru saja masuk ke dalam rumah.
Dia segera melepaskan sepatunya dan meletakkan di tempatnya. Matanya mengedar dan melihat suasana rumahnya saat ini. Hingga samar-samar, Bara mendengar suara yang sangat familiar di telinganya.
"Papa!" teriak Bia yang melihat kedatangan Bara.
Bocah kecil itu ternyata sedang menonton televisi bersama sang Kakak. Dia segera berlari dan memeluk tubuh sang papa dengan erat. Bara menerimanya dan dia segera menggendong putrinya dengan wajah bahagia.
"Ahh anak Papa semakin besar," goda Bara yang membuat Bia cekikikan.
Entah kenapa melihat tawa putrinya membuat rasa lelahnya menjadi hilang. Apalagi mendapatkan sebuah pelukan dari Bia, masalah yang ada di kantor perlahan dia lupakan.
"Adek sedang apa?"
"Nonton TV bareng Abang," sahut Bia menunjuk sosok yang duduk di balik sofa tepat di depan televisi.
"Abang?" ulang Bara yang dijawab anggukan kepala oleh Bia.
Pria itu menurunkan anaknya dari gendongan dan menggandeng tangannya untuk mendekati putra pertamanya.
"Abang," sapa Bara yang dijawab lirikan sekilas lalu Abraham kembali menonton televisi.
"Abang yang sopan!" seru Bara yang membuat Abraham berdecak.
"Ya?"
Bara menghela nafas berat. Dia tak mau marah-marah di hadapan putrinya. Bia adalah anak yang sensitif. Jika Bia mendengar siapapun bertengkar, pasti gadis kecil itu ketakutan.
"Mama mana?" tanya Bara mengalihkan perhatiannya.
"Mama di kamar, Papa." Itu bukan suara Abraham. Melainkan sahutan dari bibir kecil Bia.
"Bia sudah makan, "kan?"
"Sudah."
"Ya udah. Papa mau lihat Mama dulu yah," pamit Bara yang langsung disetujui oleh putrinya.
Bia segera kembali di samping sang Abang dan duduk tenang disana. Setelah itu Bara segera beranjak berdiri. Dia berjalan menuju kamarnya dengan senyuman lebar. Dia sudah tak sabar untuk bertemu istrinya.
Bara berpikir pasti istrinya sedang berhias di dalam kamar. Dia menyadari jika seorang perempuan akan berlama-lama untuk berdandan. Sebelum memasuki kamar, dia menghela nafas pelan. Bersiap untuk melihat keelokan istrinya itu.
Setelah mulai tenang. Perlahan dia membuka pintu kamar. Wajahnya sangat bersinar dengan begitu bahagia. Namun, tiba-tiba senyum itu menghilang saat melihat keadaan lampu kamar yang remang-remang. Namun, otaknya masih berusaha berpikir positif.
Dia mengedarkan pandangan hingga melihat sosok yang dia cari berbaring di atas ranjang. Ya, Almeera, istri yang dia pikir sudah bersiap ternyata sedang asyik rebahan. Harapan yang dia bumbung tinggi ternyata harus terhempas ke jurang terdasar.
Hatinya sakit bahkan sangat kecewa melihat tingkah Almeera. Istrinya yang dulu penurut, mulai berubah menjadi pembangkang. Bahkan dia seakan tuli dengan perkataannya tadi.
"Almeera," seru Bara berjalan mendekat. "Kamu baik-baik saja, 'kan? Apa kamu sakit?"
Saat Bara hendak menyentuh kening istrinya. Almeera menjauhkan tubuhnya. Dia seakan enggan untuk berkontak fisik dengan suaminya.
"Aku baik-baik saja," sahut Almeera dengan cepat.
"Terus kalau kamu baik-baik aja. Kenapa gak siap-siap? Bukankah aku mengajakmu makan malam dan menonton?"
"Aku capek!" sahut Almeera dengan wajah datarnya.
Perkataan itu tentu membuat emosi Bara mendadak naik. Dia yang memang sedang lelah ternyata harus mendapati kekecewaan dari istrinya.
"Apa, Ra? Capek?" seru Bara tak habis pikir. "Aku udah berharap kamu cantik dan siap keluar sejak diperjalanan pulang. Aku yang udah bayangin kita bakalan bisa kek dulu lagi. Ternyata sia-sia?"
"Maaf."
"Maaf?" Ulang Bara dengan memegang kepalanya yang berdenyut. "Kenapa kamu gak menghargai aku, Ra! Kenapa?"
"Karena aku bukan istri yang baik," sahut Meera dengan menjatuhkan kedua kakinya ke lantai dan beranjak berdiri.
"Jangan memakai alasan yang mengada-ngada, Ra. Aku tidak terima alasanmu!"
"Bukankah aku sudah memintamu untuk mengajak Narumi, istri yang kamu cinta," sahut Meera tak mau kalah.
"Meera!" Suara Bara meninggi. Nafasnya naik turun dengan kepala yang mulai dikendalikan oleh emosi. "Aku mengajakmu, bukan orang lain."
"Tapi aku malas!"
Bara berkacak pinggang. Tak henti-hentinya dia beristigfar dalam hati agar tak semakin diliputi kemarahan.
"Kenapa kamu berubah, Ra? Kemana Almeeraku yang baik, Almeeraku yang penurut dan ceria. Kemana Almeeraku yang selalu mengutamakan suami dan anaknya."
"Dia sudah hilang tak berbekas. Almeera yang dulu sudah pergi," sahut Meera dengan kepala mendongak berani menatap suaminya.
"Maafkan aku, Ra. Maafkan aku, Sayang."
"Ini semua salahku bukan salahmu," ungkap Meera dengan mata memerah.
Dia benci dirinya yang selalu mengandalkan perasaan. Namun, Almeera berusaha sekuat tenaga untuk tak menangis.
"Maafkan aku yang tak bisa membahagiakanmu. Maafkan kekuranganku yang tak seperti Narumi. Maafkan aku yang tak secantik Narumi hingga aku kehilangan suamiku yang sangat aku cintai."
"Apa! Jangan katakan itu, Ra."
"Lebih baik kita memgakhiri pernikahan kita," ucap Almeera dengan menatap wajah Bara.
"TIDAK AKAN PERNAH DAN TIDAK AKAN TERJADI, RA!" Tekan Bara dengan tegas.
"Tapi hubungan pernikahan kita sudah tak sehat," sahut Almeera dengan wajah sendunya.
"Aku tak akan pernah menceraikanmu, Ra. Sampai kapanpun itu."
~Bersambung
Sick banget kan. Egois Mas Bara. Pen kutendang!
Jangan lupa klik like, komen dan vote yah. Biar author semangat ngetiknya.
Oh iya mampir ya ke karya temenku dibawah ini.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 286 Episodes
Comments
Lanjar Lestari
Bara gmn sih sdh tahu Almeera sakit hati masih aja g peka krn ulahmu yg nikah lg😡🤦♀️
2024-03-15
0
latte
bara sakit nih..obatnya hbs kali..g kebayang serakhnya
2024-03-08
0
💋Titika tika27💋
🤬🤬🤬🤬🤬🤬
2024-01-31
0