Susy jadi salah tingkah karena ketahuan berada di kamar ku.
"Mmm ...., ini sayang, aku lagi ngecek dia. Dia masih hidup apa sudah mati, ha ha ha ....! Soalnya aku dengar tadi siang dia pingsan.," jawab Susy langsung mengalungkan tangannya dengan manja pada Ronald.
"Kamu perhatian sekali pada dia, walau dia sudah merebut aku," ujar Ronald sambil mencium pipi Susy. Aku merasa jengah sekaligus geram.
"Aku no problem. Karena aku tahu, kamu tidak pernah menyentuhnya. Aku juga tahu, cintamu hanya untukku. Dia cuma jadi penonton, ha ha ha .... kasihan!" ejek Susy sambil melirikku.
Adegan selanjutnya, mereka berc*um*n di depan mataku. Kupalingkan wajahku ke arah lain. Selera makanku sudah hilang. Aku lebih baik masuk ke kamar mandi. Kunyalakan wastafel untuk membasuh wajahku. Kunetralisir perasaanku. Aku tidak boleh cemburu. Aku tidak boleh lemah. Aku harus membuang jauh benih-benih cinta yang mulai tumbuh. Kuyakinkan diriku, Ronald bukan laki-laki yang tepat buatku. Dia sama sekali tidak ada manis-manisnya padaku. Dia selalu berbicara keras, membentak, menyakiti hati dan tubuhku. Lalu kenapa aku jatuh cinta pada orang kasar seperti itu. Diluar sana pasti suatu saat ada laki-laki yang mencintaiku dengan tulus.
Ketika keluar dari kamar mandi, mereka berdua sudah tidak ada. Pertunjukan menjadi kurang seru mungkin tanpa adanya penonton. Mereka mungkin merasa menang karena telah membuatku sakit hati.
Petangnya ketika waktu makan malam tiba, aku yang belum diantar makanan, turun ke lantai dasar untuk mengambil makananku sendiri. Kulihat mereka sedang makan malam di meja makan dengan hidangan yang membuatku menelan saliva karena baunya yang harum. Aku melewati meja makan untuk masuk ke dapur.
"Lihat siapa yang tidak tahu malu. Dia tidak sabar menunggu makanan dari Sari," kata Mama Jeny.
"Seharusnya Sari cepat mengantarkan makanan buat dia. Supaya Papa tidak harus melihat dia. Papa kalau lihat dia jadi emosi," Papa Brian melihatku sekilas.
"Kasihan banget. Orang Kaya Baru tapi nelangsa," Susy tertawa tertahan.
"Itu akibatnya dia masuk ke keluargaku tanpa persetujuan kami," Ronald ikut menimpali.
Aku sebenarnya mendengar semua perkataan mereka, tapi karena perutku lapar, aku tidak menggubrisnya. Padahal aku ingin sekali membalas perkataan mereka yang menyakiti hatiku.
"Sari, makanan untukku mana?" tanyaku setelah di dapur.
"Maaf Nyonya. Saya tadi harus membuat salad buah dulu untuk Nyonya Susy, jadi saya lama, belum mengantar makanan untuk Nyonya Mila," kata Sari.
"Memangnya yang lain kemana?"
"Ada. Cuma Nyonya Susy maunya saya yang buat salad," jelas Sari.
Aku menghela nafas. Sari memberikan nampan yang berisi sepiring nasi dan segelas air.
"Nyonya, apa tidak apa-apa bawa sendiri?"
"Tidak apa-apa, Sari," jawabku sambil menerima nampan dari Sari.
Kulihat menu makan malamku cuma tumis capcay, padahal aku melihat dan mencium aroma ikan bakar tadi di meja makan.
Aku mencoba untuk menerima yang sudah diberikan keluarga Ronald. Aku harus bersyukur, masih diberi makan.
Aku naik ke lantai dua menuju kamarku. Tadi waktu aku lewat meja makan, mereka tidak perduli. Mereka asyik menikmati makan malam mereka.
Selesai makan, aku memulai pencarian ponselku lagi yang semalam belum kutemukan. Sampai aku lelah, ponsel belum juga kutemukan.
Kupikir, pasti ponselku disita Ronald. Akhirnya terpaksa aku pergi ke kamarnya. Ia pasti sudah berada dikamarnya.
Tok
Tok
Tok
kuketuk pintu kamarnya.
Krieeet
Pintupun dibuka. Ternyata Ronald yang membukanya.
"Mau apa kamu?"
"Kak, ponselku mana?"
"Ponselmu ku sita. Kamu tidak boleh berkomunikasi dengan laki-laki itu,"
"Kak! Aku tidak bisa berkomunikasi dengan siapapun kalau ponselku dipegang Kak Ronald! Lalu bagaimana aku bisa mengerjakan tugas - tugas kuliah kalau tidak tahu informasi dari dosen?"
"Kamu boleh berangkat ke kampus, dengan pengawasan dari orang suruhanku."
"Ya ampun! Kak Ronald berlebihan! Aku tidak akan kabur lagi!"
"Sudah! Terima saja nasibmu. Sekarang pergilah! Kamu menggangguku saja. Aku akan bercinta dengan Susy!" dengan tanpa perasaan, Ronald menutup pintu.
"Kak! Kak Ronald! Kembalikan ponselku!" aku kemudian terdiam dengan perasaan kesal. Rasanya percuma juga aku teriak-teriak.
Akhirnya aku kembali ke kamarku. Hidupku bagai terpenjara. Aku semakin ingin kabur lagi kalau begini.
Paginya aku tidak berani lagi untuk turun mengambil sarapanku. Aku tunggu Sari saja yang mengantarkan. Rasanya terlalu sakit keluarga ini memperlakukanku seperti tahanan. Ucapan-ucapan mereka membuat hatiku perih.
Setelah aku sarapan dikamarku, akupun bersiap untuk berangkat ke kampus. Hari ini aku ada kuliah pagi.
Pak Soleh sudah menunggu di mobil, tapi dibelakang, ada seorang laki-laki berperawakan besar dengan rambut cepak yang menatapku datar.
Aku masuk ke mobil, kulihat Ronald juga masuk ke mobilnya. Orang yang berada di belakangku menyapa Ronald dan memberi hormat pada Ronald, sedangkan Pak Soleh hanya menunduk hormat pada Ronald.
Susy terlihat ikut mobil Ronald. Gayanya memang menawan dengan penampilan barang branded dari ujung rambut sampai ujung kaki.
Penampilanku kalah jauh. Susy melakukan treatment rutin ke klinik kecantikan. Sedangkan aku waktu dulu saja satu kali waktu Kakek Edwin masih ada.
Kartu yang waktu itu Ronald berikan sudah diambil lagi oleh Ronald. Untung saldo dikartuku yang Kakek Edwin berikan, masih ada. Sehingga bisa memenuhi untuk membeli keperluan pribadiku.
Sedangkan tentang harta yang Kakek Edwin berikan padaku, aku tidak tahu menahu. Surat-suratnyapun aku tak memegangnya. Jadi aku tidak merasa menjadi Orang Kaya Baru seperti yang mereka katakan.
Dalam perjalanan, aku hanya diam saja. Begitu juga Pak Soleh dan Orang yang berada dibelakangku.
Sesampainya di kampus, aku turun. Orang itupun turun.
"Hei, kamu tidak akan mengikutiku terus seperti bodyguard bukan?" kataku ketus.
"Sayangnya saya diperintahkan Tuan Ronald untuk mengikuti anda Nyonya," jawab Orang itu.
Aku mendengus kesal. Kulangkahkan kakiku cepat-cepat. Timbul ideku untuk mengerjainya. Aku berjalan menuju ke toilet Mahasiswa.
"Kamu mau ikut juga masuk ke toilet wanita?" ledekku.
Ia diam saja. Ia berdiri tak jauh dari toilet sambil memalingkan wajah.
Aku tersenyum smirk. Lalu akupun masuk ke toilet. Di toilet tampak lalu lalang orang yang keluar masuk toilet. Akupun mengendap-endap mengintip keluar. Orang itu ternyata sedang menyalakan rokoknya sambil melihat ke arah lain. Kesempatan ini aku gunakan untuk keluar toilet diam-diam.
Hhhh ..... rasanya lega dapat lepas dari pantauan si rambut cepak itu. Aku langsung berjalan menuju kelas. Tapi sebelum sampai ke kelasku, tanganku ditarik oleh seseorang. Ternyata Fathir yang menarik tanganku. Kami berada di dalam gudang kampus.
"Fathir! Kenapa aku dibawa ke sini?" tanyaku.
"Sttt jangan bicara keras-keras! Aku tahu kamu sedang diawasi," kata Fathir.
"Dari mana kamu tahu?" tanyaku.
"Kamu susah dihubungi. Lalu tadi kulihat kamu selalu diikuti laki-laki berambut cepak waktu masuk ke kampus," jawab Fathir.
Aku menghembuskan nafasku.
"Begitulah aku sekarang, Fathir! Aku seperti tahanan, baik di rumah maupun di luar."
"Apa itu ulah suamimu?"
Aku ragu untuk menjawab.
"Apa suamimu tidak memperlakukanmu dengan baik padamu? Apa dia sering menyakitimu?" tanya Fathir lagi.
"Fathir, maaf. Aku tidak mau menjawab. Itu urusan rumah tanggaku. Aku tidak ingin mengumbarnya. Itu privacyku," jawabku sambil memejamkan mata.
"Itu cukup sebagai jawaban 'ya' bagiku." ujar Fathir.
"Mengapa kamu mau saja diperlakukan tidak baik oleh laki-laki itu? Kenapa kamu tidak dari awal mengatakan pada Tuan Edwin kalau cucunya sering menyakitimu?" berondong Fathir.
"Cukup, Fathir! Kamu tidak usah ikut campur urusanku!"
"Aku ikut campur, karena aku perduli padamu! Kamu merahasiakan pernikahanmu! It's oke! Mungkin kamu tidak ingin menceritakan pernikahanmu yang tidak bahagia. Tapi kalau kamu selalu disakiti dia, aku tidak rela, Mila!"
"Aku tidak ingin orang lain terlibat urusanku terlalu jauh, Fathir! Biar aku mengatasinya sendiri."
"Kamu menganggapku orang lain Mila? Kamu perlu seseorang yang membantumu. Kamu tidak bisa menghadapi orang berkuasa seperti dia sendirian!" Fathir menatapku lekat.
"Aku ... mencintaimu, Mila! Aku tidak ingin ada orang yang menyakitimu," kata Fathir. Perkataanya membuatku terhenyak tak percaya.
"Kamu gila, Fathir! Aku sudah bersuami!"
"Aku tak perduli! Aku tahu, dia cuma suami diatas kertas. Dia tidak menganggapmu sebagai istri! Aku tahu itu!"
Aku lebih terhenyak lagi dengan perkataannya. Aku menutup wajahku, merasa malu rahasiaku diketahui Fathir.
"Kamu tahu dari mana Fathir?" tanyaku lirih.
"Aku sudah menyelidikinya setelah aku bertemu suamimu di cafe waktu itu."
"Fathir. Kita akhiri percakapan kita disini. Lupakan aku. Biarkan aku menjalani takdirku!" pintaku.
"Tidak, Mila. Hidupmu terlalu berharga untuk disia-siakan oleh laki-laki tidak bersyukur itu! Kebahagiaanmu harus diperjuangkan! Masa depanmu masih panjang! Aku siap membantumu, Mila!" kata Fathir.
"Fathir, aku mau masuk kelas!"
"Jawab pertanyaanku Mila. Apa kamu mencintai suamimu?"
"Itu urusanku. Kau tidak perlu tahu!" jawabku.
"Dan apakah kau mencintaiku?" Fathir malah bertanya lagi.
Aku terpaku. Kami saling menatap.
Aku tersadar. Buru-buru aku beranjak untuk membuka pintu gudang.
"Jawablah, Mila!" tanya Fathir.
"Aku tidak mencintaimu! Kau puas?!" jawabku. Lalu aku langsung pergi. Kudengar Fathir memukul pintu dengan kesal.
Aku langsung masuk kelas. Untungnya dosen baru masuk ketika aku baru saja duduk. Akupun mengikuti perkuliahan hingga beberapa mata kuliah.
Ketika perkuliahanku hari ini telah usai, aku keluar dari kelasku. Orang berambut cepak itu tampak sedang mencari-cariku. Setelah dia melihatku, dia menghampiriku.
"Nyonya, kalau anda menghilang seperti tadi lagi, saya pastikan Tuan Ronald tidak akan mengizinkan anda pergi kuliah lagi," kata orang itu dingin.
"Aku ada urusan sedikit! Aku juga ingin punya privacy! Aku bukan tahanan!" jawabku sambil terus melangkah.
"Nyonya, anda harus mau bekerja sama dengan kami. Menurutlah apa yang diperintahkan Tuan Ronald, maka anda akan baik-baik saja!" katanya.
Aku hanya diam saja. Kakiku terus melangkah. Di tempat parkir, kulihat Fathir diatas motornya sedang menatapku. Aku melihatnya. Dia tersenyum. Dia memberikan kode agar aku menghubunginya jika aku perlu bantuan. Aku cuma tersenyum simpul. Kemudian melirik orang berambut cepak disampingku sambil aku pura-pura membetulkan rambutku.
Akupun masuk ke mobil. Diapun masuk di belakang. Pak Soleh menyalakan mobil dan segera melaju meninggalkan halaman parkir kampus. Kulihat Fathir masih disana dengan tetap menatapku. Aku menghembuskan nafasku sambil bersandar di jok mobil. Aku memikirkan perkataan Fathir.
Hari-hari selanjutnya, keluarga Ronald semakin bertindak kejam. Aku harus pindah kamar. Aku menempati kamar bekas pelayan dengan tanpa ranjang dan kasur. Aku tidur hanya beralaskan karpet. Aku juga harus mengerjakan pekerjaan seperti pelayan.
"Kuliahmu tidak gratis, Mila! Kamu harus bekerja di sini sebagai pelayan. Itu yang harus kau lakukan bila ingin kuliahmu berlanjut," kata Nyonya Jeny.
"Apa Papa setuju, Pah?" tanya Nyonya Jeny.
"Hmmm....," jawab Tuan Brian.
"Bagaimana menurutmu, Ronald?"
"Terserah Mama saja!" jawab Ronald. Aku kecewa, Ronald tampaknya semakin tidak perduli padaku.
Setiap hari aku disuguhi pemandangan yang membuatku menangis dalam hati. Ronald sangat mesra dan memperlakukan Susy dengan manis. Kehamilan Susy membuat Ronald semakin perhatian dan mesra pada Susy dan calon bayi mereka.
Mereka dengan sengaja bermesraan di dekatku yang sedang mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Tidak perduli berada dimana, mereka berc*mbu. Kalau sudah begitu, para pelayan menyingkir, bergegas pergi menghindari mereka. Cuma aku saja yang bertahan tidak menghiraukan kelakuan mereka.
Para pelayan di rumah Ronald merasa segan dan kasihan padaku. Mereka melarangku mengerjakan pekerjaan rumah tangga bila keluarga Ronald sedang tidak berada di rumah semua. Tapi aku tetap meyakinkan mereka bahwa aku sudah biasa melakukan pekerjaan rumah tangga sewaktu aku tinggal di desa dulu.
Aku masih bisa kuliah walau dengan penjagaan ketat. Aku tidak bisa bergaul dengan teman-temanku. Setelah perkuliahan selesai, aku harus langsung pulang. Begitupun waktu berangkat, aku langsung ke kampus, tidak bisa mampir-mampir kemana. Sehingga aku tidak punya teman dekat. Baik cowok maupun cewek.
Ponselku pun masih dipegang Ronald. Aku dianggap kuno dan kudet gara-gara aku tidak punya ponsel karena teman-temanku kesulitan menghubungiku. Aku beralasan ponselku hilang dan belum beli lagi.
Fathir juga jarang kulihat. Kalaupun aku melihatnya, ia kelihatan cuek. Sepertinya ia menghindariku. Baiklah, dia tidak mau berteman lagi denganku gara-gara aku mengatakan tak mencintainya. Tapi mengapa waktu itu dia tersenyum dan menyuruhku menghubunginya?
Aku juga tidak pernah bertemu Arga lagi. Sejak jadi supir Papa Brian, akses kita untuk bertemu jadi sulit. Kalaupun Arga menjemput dan mengantar Papa Brian ke rumah dan ke kantor, aku tidak mungkin langsung keluar rumah untuk menemuinya. Ronald bisa marah besar. Ia masih tidak suka aku dekat-dekat Arga.
"Fathir!" aku memanggil Fathir sewaktu ia lewat di depan kelasku.
Fathir menoleh. Teman-teman yang berjalan bersamanya tertawa menggoda Fathir.
"Cie cie ...., ada yang manggil. Siapa tuh?" kata teman-teman Fathir.
"Wah ..., tumben Mila manggil seseorang. Cie cie. .... udah punya gebetan sekarang?" teman-teman di kelasku pun ramai menggodaku.
"Kalian duluan ya. Aku ada perlu dulu," kata Fathir. Teman-teman Fathir mengacungkan jempolnya sambil mengangguk.
Fathir menghampiriku, akupun berjalan kearahnya. Kita berhenti ketika kita tepat berhadapan di dekat pintu kelasku.
"Ada apa?" tanyanya dingin.
"Aku ... mau minta maaf atas perkataanku waktu itu," kataku.
"Tidak apa-apa. Hanya itu saja?"
"Kamu mau memaafkanku?"
Fathir menghela nafas.
"Aku sudah memaafkanmu,"
"Terimakasih."
"Kalau tidak ada hal lain lagi yang akan disampaikan, aku mau pergi,"
"Tunggu! Aku ... aku butuh bantuanmu," kataku.
Seulas senyum tersungging di bibirnya. Matanya berbinar.
"Baiklah! Apa yang dapat kubantu?" tanyanya riang.
"Akan kuberitahu nanti," jawabku.
Kami berduapun tersenyum. Itulah awal hubunganku dengan Fathir membaik kembali. Kini aku punya teman untuk berbagi keluh kesah kembali.
Mila POV Off
Hubungan seperti apakah yang akan dijalani Mila dan Fathir? Persahabatan ataukah percintaan?
Tetap ikuti terus ceritaku ya. Jangan pelit untuk kasih vote, like, komen dan hadiah dari kalian ya Readers!
TO BE CONTINUED
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 108 Episodes
Comments
Ibelmizzel
emosi aku.😡😡😡😡
2022-10-06
0
auliasiamatir
pokonya bikin esmosi bacanya Thor
2022-08-31
0
Rinnie Hassan Azhoeri
maaf thor bertanya.....sampe kapan mila hidupnya susah....? jgn kelamaan....nggak kesian gitu.thor sama mila....?
2022-03-10
0