"Apa, Nak?" aku tengah berjalan pulang, dengan menenteng diapers dengan merk yang paling murah. Harga ecernya, hanya enam belas ribu rupiah per renteng.
Chandra menangis kembali, ia menggosokkan wajahnya yang dengan kedua tangannya.
Chandra bisa dibilang jarang sakit. Jika sakit pun, ia hanya minum obat yang ibu mertuaku berikan. Lalu, satu dua hari Chandra sudah sembuh kembali.
Alhamdulillahnya, anakku tumbuh sehat. Meski ia tidak gempal, juga tidak selincah Mikheyla. Meski dari dalam kandungan, aku tak begitu memperhatikan janinku dulu.
Bukannya apa-apa, aku sangat menyayangi anakku. Hanya saja, mataku sulit terbuka. Aku lebih nyaman tidur, karena aku merasa tidur adalah jalan ninjaku. Dari pada aku membatin, menangisi keadaan ekonomi kami yang saat itu tak kunjung stabil. Dari pada aku mengobrol dengan keluarga di rumah itu, karena aku selalu minder. Dari pada aku dimintai keterangan oleh ibu mertuaku, yang saat itu aku ditekan suamiku untuk membungkam mulutku tentang keadaan perekonomian kami.
Aku diminta untuk tidak mengadu, perihal mas Givan yang belum bisa mencari uang. Bang Givan malu pada keluarganya, karena gengsinya besar.
"Bobo ya?" aku berjalan kembali ke arah kos milik kak Anisa.
"Nen." celotehan Chandra, dengan menepuk-nepuk dadaku.
Jika ia banyak beristirahat, tubuhnya akan cepat sembuh. Hanya itu yang aku pahami, dari cara ibu mertuaku. Memberi obat setelah makan dengan dosis yang pas, lalu mengajak anak itu tidur. Maka anak-anak akan segera pulih.
Pintu kos milik kak Anisa tertutup. Sepertinya bang Lendra sudah kembali ke kamarnya, dengan kak Anisa yang sudah berangkat kerja.
Ceklek...
Pintu terbuka, dengan sedikit dorongan dari tanganku.
Dengkuran halus terdengar jelas, di tempat tidur yang dekat dengan tembok. Terdapat seorang laki-laki tertidur pulas, dengan mulut sedikit terbuka.
Bang Lendra.
Ia masih di sini dan tengah tertidur pulas.
Apa kak Anisa tak mengatakan bahwa aku tinggal bersamanya?
Apa kak Anisa pun tak menjelaskan? Bahwa aku harus menjaga jarak dengan laki-laki, karena aku baru saja ditalak oleh suamiku.
"Nen." rengekan Chandra kembali terdengar.
"Iya, Nak." aku terpaksa masuk ke dalam kamar, karena aku tak memiliki tempat lain.
Lagian, laki-laki ini kenapa tidak segera mencari kunci kosannya saja? Malah ia pulas di sini.
Bukannya aku mau memberi bang Lendra umpan. Hanya saja, jika orang melihat dengan jelas aku dan bang Lendra berada di dalam suatu ruangan yang sama, pasti menimbulkan asumsi yang berlebih. Membuatku, memutuskan untuk menutup saja pintunya. Toh, bang Lendra pun tengah tertidur.
Aku menarik bantal, kemudian aku gulingkan Chandra di tengah-tengah antara aku dan bang Lendra.
Chandra menendang-nendang, ia menangis kembali.
"Hmmm, hmmm. Bobo, Nak."
Aku langsung memasukkan kembali pucuk dadaku. Karena bang Lendra reflek membuka matanya, kemudian mengipas-ngipasi Chandra dengan tangannya.
Ia seperti ayah mertuaku, yang sudah terbiasa menidurkan anaknya.
Apa bang Lendra ini sudah memiliki istri dan anak kah?
Kalau memang seperti itu, baiknya ia tahu tempat. Agar tak menimbulkan fitnah.
"Nen, nen...." anakku menarik-narik bajuku.
Aku tidak bisa menyusui di depan bang Lendra yang setengah terpejam itu.
Aku malu, dia bukan siapa-siapa untukku.
"Nanti sore beli obat, Adek bobo dulu." bang Lendra malah menghadap ke arah Chandra.
"Ya.... Yah...."
Aku menahan tangisku, kala anakku ini malah mengganggu bang Lendra yang terus meresponnya.
Apa lagi, sematan itu adalah ajaran suamiku. Ia senang dipanggil ayah.
"Adek kangen yayah? Sama, Om juga kangen dipanggil yayah."
Aku menyimpulkan, bahwa bang Lendra ini adalah duda beranak.
"Sayang, belum punya anak." lanjutnya dengan menciumi Chandra begitu gemas.
Rupanya, ia memang suka bercanda.
Ia memelihara rambut dagu, meski tumbuh hanya beberapa helai saja. Aku baru bisa melihat jelas kali ini, karena ia begitu dekat dalam jangkauanku.
"Bobo dulu gih. Om mau cari kunci, besok nanti Om berangkat kerja lagi. Harus ganti baju yang rapih, yang wangi." ia meninggalkan satu kecupan, sebelum dirinya bangkit dari tempatnya.
Tatto yang berada di bagian leher terletak di sebelah kiri, bergambar seperti kumpulan ukiran dan bunga yang melingkar berukuran cukup besar. Sedangkan tatto yang berada di punggungnya, tepatnya di bagian bawah bahu kiri belakangnya. Bergambar seperti dua lingkaran yang akan menyatu, dengan hiasan ukiran yang melingkar mengelilingi objek tersebut.
"Jangan dikunci pintunya, Dek. Barang-barang Abang masih di sini. Mau ke mobil dulu, barangkali kuncinya ketinggalan di sana."
Ia ke luar dari kamar mandi, kemudian melangkah ke luar tanpa mengenakan baju.
Mungkin ia sengaja memamerkan tattonya.
Aku memilih untuk beristirahat saja, setelah Chandra terlelap.
Aku ingin mengistirahatkan tubuhku. Karena aku akui, bahwa aku masih merasa kelelahan karena perjalanan.
Perlahan, aku merasakan nyaman dengan mata terpejam.
~
Saat aku terbangun, aku dibuat kalap karena tak melihat keberadaan anakku.
Ke mana perginya Chandra, ya Allah?
Aku membenahi hijabku, lalu menyibakan selimut dan tumpukan pakaian.
Tak ada Chandra, di tempat tidur ini.
Segera aku berlari ke arah kamar mandi, Chandra pun tidak ditemukan di sini.
Apa jangan-jangan, kak Anisa dan dua pemuda itu adalah komplotan penculik?
Aku berjalan cepat ke arah pintu. Pintu masih dalam keadaan tertutup, Chandra tak mungkin bisa membukanya. Lalu ia kabur sendiri.
Chandra belum bisa berjalan. Ia hanya bisa merangkak dan rambatan.
Air mataku sudah tak tertahankan, aku kalap dengan hilangnya anakku saat tengah tertidur ini.
Aku memang teledor. Aku terkadang tidak mendengar apa-apa, ketika tengah tertidur. Semalam pun, Chandra menangis beberapa kali, aku sama sekali tidak mendengarnya. Tetapi kak Anisa yang membangunkanku, saat Chandra menangis meminta ASI.
Di luar kos-kosan ini sepi.
Apa benar-benar mereka adalah komplotan penculik?
Pada siapa aku harus meminta pertolongan?
Ya Allah....
Aku panik tidak karuan, mondar-mandir berharap melihat Chandra di suatu sudut.
Sayang, bau khasnya saja tak tercium oleh hidungku.
"Nak... Chandra..." aku berharap Chandra mengeluarkan suaranya.
Aku nekat untuk membuka pintu kos milik bang Lendra.
Ini masih terkunci rapat. Jangan-jangan, memang ia bukanlah tinggal di kos ini? Ia datang, sebagai pihak eksekusi untuk mengambil Chandra.
Aku mengusap air mataku, pasti aku begitu kacau sekarang.
Aku berlari menuju pintu kos bang Dendi. Aku mencurigainya, yang dari pagi belum ke luar kamar. Jangan-jangan, ia bertindak seperti ini agar aku tidak curiga?
Blakkkkk.....
"Heh!!"
Harusnya aku mengetuk pintu kamarnya dulu, bukan langsung membukanya saja.
Aku memejamkan mataku, kemudian berbalik badan.
Ini pemandangan yang tidak baik aku lihat.
Pantas saja bang Dendi tidak ke luar kamar dari pagi. Rupanya di kamarnya tengah ada daging lezat, yang membuatnya betah berada di dalam kamar sejak tadi.
"Maaf." aku berkata lirih, karena amat malu padanya.
Mereka tengah berada di dalam satu selimut, bang Dendi dan seorang wanita. Harusnya ia mengunci pintu kamarnya, agar tidak kejadian seperti ini.
"Ada apa?"
Terdengar grasak-grusuk dari dalam.
"Anak aku hilang, Bang. Aku panik." suaraku terdengar menurun.
"Duh, ada-ada aja." bang Dendi seperti tengah menggerutu.
"Dibawa Enis tak?" bang Dendi kini menemaniku di depan teras kosnya.
"Enis siapa?" aku tak tahu dengan orang yang dimaksud.
"Itu, Anisa. Kan dipanggil Enis di sini." jelasnya dengan mengasapi mulutnya.
"Tak tau, Bang."
Demi Allah, tanganku sampai gemetaran hebat
"Bentar, ambil HP dulu. Biar Abang telpon dia." ia kembali masuk ke dalam kamar kosnya.
...****************...
Chandra ke mana 😟
Yang belum tap ❤️, mohon dukungannya ya kak. Jadikan novel ini masuk ke daftar favorit kalian 🙏 up kembali jam tiga sore 🤗
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 470 Episodes
Comments
Edelweiss🍀
Tak terkira itu paniknya anak hilang 😭😭
2021-11-23
2
Ahmad fadli Pratama
di bawa bg daeng kali canda. karna canda kecapean jd di bawak daeng berobat. canda sama bg daeng aja
2021-11-23
2
Mamahna Kamila
hadeuhhhh canda .... paling juga di bawa bang lendra beli obat....
2021-11-23
2