"Dek... Masuk, ya masuk. Ke luar, ya ke luar. Meski gak ada orang yang liat, tapi gak nyaman Abang dipantengin terus."
Aku hanya mengangguk, lalu segera melangkah masuk.
Nada bicaranya unik, Indonesia memang memiliki banyak logat meski menggunakan bahasa yang sama. Apa lagi, jika kami beradu menggunakan bahasa asal kota kami masing-masing. Pasti terdengar unik, juga membuat kami terhibur.
Kos-kosan ini memang jalan buntu. Gang kecil, akses pintu masuk kos-kosan ini hanya muat ukuran sepeda motor saja. Lalu, tidak terdapat jalan lain. Itu hanya akses menuju kos-kosan ini saja.
Di depan sana memang jalan raya, bangunan yang memberi akses jalan pun itu sebuah toko kelontong. Kos-kosan ini tidak memiliki halaman depan, hanya teras depan berukuran satu meter setengah. Lalu, di depan teras kami hanya berjarak satu langkah dengan bangunan di depan kos-kosan ini yang membelakangi kos-kosan ini. Makannya kos ini begitu terjangkau, karena tak memiliki akses ke luar masuk yang luas.
"Boleh minta tolong buatkan teh manis gak, Dek?" ia mengeluarkan suaranya lagi. Saat aku tengah mengacak-acak isi tasku.
"Ya, Bang." ia minta tolong dengan sopan, kenapa aku tidak memenuhinya?
Tak lama, kak Anisa sudah kembali. Ia menenteng beberapa plastik berwarna putih transparan.
"Abang ini bujang, gak boleh sakit! Gak ada yang ngurus!" kak Anisa membuka isi plastik tersebut.
"Sarapan dulu, Dek. Tinggal aja dulu dapurnya." mungkin kak Anisa melihat bayangan tubuhku di dalam dapur ini.
Kami sarapan hampir pukul sebelas pagi. Lucu memang.
Oh, jadi bang Lendra ini tengah tak enak badan. Pantas saja meminta tolong padaku, untuk membuatkan teh manis.
"Naik pesawat lama sekali Abang, Dek. Sampek sekarang kuping rasanya berdenging aja." ia bangun, dengan memegangi kepalanya.
"Pamer!!!" kak Anisa membukakan karet pada bungkus nasi bang Lendra.
"He'em, mana mabok lagi. Malu sampai meresap ke benih, mana sama bos lagi." aku dan kak Anisa terkekeh kecil.
Ada-ada saja curhatan laki-laki ini.
Tangis Chandra langsung pecah. Ia terduduk, dengan memukul-mukul tak tentu arah.
Aku langsung bangkit, berniat untuk mengangkat tubuh Chandra. Namun, malah didahului oleh...
"Hei, hei...." bang Lendra.
Ia reflek menggendong Chandra, dengan menenangkannya.
Chandra membuka matanya, melihat sekelilingnya.
Mungkin ia kaget, dengan suasana baru ini.
"Hei, ingusan Adek?" bang Lendra mengusap air hidung anakku.
"DiASIin dulu, Dek!" pinta kak Anisa, ia tengah menyantap makanannya.
Aku mengangguk, menerima Chandra yang bang Lendra berikan padaku.
Ia tidak demam, tetapi memang wajahnya merah. Sepertinya, Chandra kaget dengan perjalanan kemarin hari.
Aku memutar posisiku, karena aku malu menyusui di depan bang Lendra.
Aku memperhatikan wajah Chandra, yang tengah menikmati pucuk dadaku. Kenapa aku selalu terharu melihat tatapan polosnya?
Mas Givan benar-benar keterlaluan, tak menahan kepergianku membawa Chandra. Sampai-sampai, anakku ini tidak enak badan. Karena terlalu lama berada di jalan.
"Nangisin apa? Abang gak apa-apa kok, Adek tenang aja. Nanti setelah tidur pun, Abang bakal pulih lagi."
Kak Anisa sampai tertawa lepas, mendengar ucapan bang Lendra.
Aku harus memposisikan diriku sebaik mungkin, di rantau orang ini. Jika aku ramah, maka orang pun akan ramah padaku.
Ya... Canda yang ramah dan ceria, harus bangkit lagi di kota ini.
Biar aku kubur dalam-dalam, Canda yang tak mampu mengungkapkan pendapatnya dan menjadi pendiam itu. Aku sesak, jika selalu berpura-pura menjadi Canda yang berada di naungan suami yang sukar membentak.
Aku membenahi pakaianku, agar dadaku tak terlihat saat menyusui Chandra ini.
"Bang Lendra katanya dari Makassar. Kan, Makassar ke Padang itu jauh. Harus naik pesawat. Kenapa kok naik pesawat laginya mabok?" tanyaku dengan menarik sudut bibirku ke atas.
"Hei.... Dari Makassar ke Padang itu, Abang melompat dari pohon ke pohon. Terus pakai cakra, pas lewatin airnya." dia manis sekali ketika tersenyum. Meski saat diam, ia terlihat cuek dan sangar. Namun, dunia seketika berubah kala ia menarik sudut bibirnya.
Kak Anisa sampai terbahak, lalu ia mencubit perut berotot itu.
Pantas saja tadi kak Anisa sampai menaikan kakinya, ke atas kaki laki-laki ini. Rupanya, bang Lendra begitu seksi dengan otot yang ia miliki. Tidak terlalu berlebihan, tetapi cukup menggoda kaumku.
"Wow... Aku melihat pucuk itu menyembur." bang Lendra menutup wajahnya.
"Lebay betul sih, kek gak pernah liat aja!" tambah kak Anisa.
Sedangkan Chandra malah tertawa renyah, dengan aku yang panik menutupi ujung dadaku.
Chandra memang suka seperti ini. Melepaskan pucuk dadaku, saat tengah kencang-kencangnya mengalir.
Sudah kuduga, ASIku bercecer ke mana-mana.
"Cuma gitu aja kau ngakak, Nak. Sini sama Uncle." tiba-tiba Chandra terangkat dari pangkuanku.
"Dia nyebut biyung aja sampai monyong-monyong. Abang lagi minta dipanggil uncle, mana bisa dia."
Aku bisa melihat interaksi Chandra. Ia gampang akrab dengan siapapun.
"Ammak aja manggilnya, jangan biyung. Aku di sana dipanggil daeng, di sini ramai panggil uda. Sampai di kos-kosan, main abang-abang aja." aku tertawa geli, mendengar nadanya berbicara.
Terdengar ceria dan begitu menghibur.
"Gara-gara bang Dendi. Dia minta dipanggil abang. Aku kaku lah, Bang. Di Jawa, ramai laki-laki dipanggil mas. Di sini uda, uni. Aku anak perantauan, mana paham." jelas kak Anisa.
Benar juga katanya. Aku pun merasa demikian. Sampai mas Givan aku panggil mas, karena aku terbiasa dengan sebutan laki-laki di kampungku.
"Ya sudahlah. Tolong air putihnya dong, Dek Cantik. Abang lagi pening ini, takut nabrak-nabrak jalannya." bang Lendra mencolek dagu kak Anisa.
Ternyata ia lebih genit ketimbang bang Dendi.
Begitu kah laki-laki?
Awal terlihat cuek, tetapi setelah diajak mengobrol ia begitu asik.
Tidak ada yang seperti Ghifar. Sekalinya cuek, ia tetap cuek. Meski sebenarnya ia pun memiliki rasa yang sama. Namun, jika tidak ada orang. Ghifar sedikit rese, malah pernah mengajakku untuk berbuat mesum.
Setelah sesi sarapan di siang hari ini selesai. Aku fokus untuk mengurusi Chandra.
Anak laki-lakiku benar-benar tengah tidak enak badan. Ia rewel, sering menangis. Karena hidungnya tersumbat.
Aku berjalan-jalan di siang hari ini, sembari menyuapi Chandra.
Kak Anisa mengatakan, ia akan berangkat bekerja pukul dua belas siang. Karena pukul satu siang, ia sudah harus sudah ada di tempat.
Saat aku ke luar dari kos-kosan kak Anisa tadi, bang Lendra masih ada di dalam sana. Pemilik kos-kosan sedang tidak ada di rumah, sedangkan bang Lendra masih belum ingat di mana ia menyimpan kunci kamar kosnya.
Harusnya, bang Lendra ke kamar bang Dendi saja. Aku mendengar suara bang Dendi menyanyi dan beraktivitas di dalam kamar kosnya, tapi memang ia belum ke luar kamar.
"Yungggg...." mata anakku berkaca-kaca, sambil mendongak menatap wajahku.
Ada apa dengannya?
Chandra tidak pernah seperti ini. Rengekannya sangat tidak jelas. Aku tidak bisa menebak apa keinginannya.
Apa ia rindu dengan ayahnya?
Apa ia rindu dengan kehangatan penghuni rumah megah itu?
...****************...
Chandra kenapa sih, Nak?
Kasian iyungnya, jadi mikirin Chandra kangen ayah kan jadinya 😟
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 470 Episodes
Comments
Hi Dayah
aku kesini lagi lo tor bolak balik baca udah yang keberapa ini kangen bang lendra soalnya🤗🤗🤗🥰🥰🥰🥰
2023-02-01
2
Shinta Indira Wardani
up donk kak...
2021-11-23
2
Edelweiss🍀
Untung anak kau Laki2 Canda... jd bisa jgain emaknya nanti🤔
2021-11-22
2