Aku dulu, adalah bekas pacar Ghifar.
Sekarang, dirinya bermain api dengan istri orang. Yang notabene adalah bekas orang juga.
"Duduk dulu, Kak." Kinasya membawaku duduk di sofa ruang tamu.
Mas Givan dan Ghifar pun, mereka ikut duduk di sofa ini.
"Mas... Aku minta cerai." mataku kembali berair.
"Cerai? Terus aku antarkan kau ke Jawa kek gitu? Sungkan betul!"
Astaghfirullah. Laki-laki macam apa ini?
"Udah cepat kau talak."
Aku tak percaya, Ghifar begitu mendukung perceraianku.
Mas Givan mendelik tajam pada Ghifar.
"Terus mau kau kawinin dia? Iya? Kek gitu?" tanya mas Givan begitu lantang.
Ghifar tersenyum manis, ia terlihat tidak ada takutnya pada kakaknya.
"Mau aku kawinin, mau aku pelihara dia, mau aku jadikan dia tumbal. Itu suka-suka aku. Canda juga udah bebas."
Bahkan Ghifar sudah tak menambahkan imbuhan kak, saat menyebut namaku tadi.
"Bener-bener ya kau, Far!!!"
Telunjuk suamiku mengarah pada Ghifar.
"Warisan kau banyak! Kebahagiaan kau dapat! Istri kau cantik! Orang tua begitu sayangnya sama kau! Tapi tak sedikit pun, kau bersyukur atas itu semua. Segala kau mau ambil istri Abang kau sendiri."
Aku takut berada di posisi ini.
"Istri kau, dulunya milik aku Bang. Kalau kau memang udah tak bisa bahagiakan dia, biar dia aku ambil lagi. Warisan aku tak ada apa-apanya, ketimbang modal tambang yang pernah papah kasih buat kau. Triliunan, Bang. Tapi dengan mudahnya, kau lepas gitu aja, tak ada usahanya. Aku udah capek, Bang. Capek aku, punya Abang kek kau." suara Ghifar menurun.
Aku tak mengerti tentang perasaan Ghifar. Tapi Ghifar tengah tertunduk, dengan memandang telapak tangannya sendiri.
"Mamah kita tuh pernah dapat luka terhebat dari laki-lakinya dulu. Ayah kandung kau sendiri, papah Hendra. Terus, kau berulah sekarang? Dengan luka yang sama? Luka yang pernah papah Hendra kasih ke mamah dulu? Harusnya kau belajar dari cerita itu, jangan kau malah buat kisah yang sama. Karena, saat perempuan sembuh dari lukanya nanti. Maaf kau, udah tak bisa jadi pertimbangannya lagi."
Aku paham sekarang, Ghifar mencoba menyadarkan isi kepala kakaknya.
"Lagian siapa yang mau ceraikan Canda, Far?" mas Givan geleng-geleng kepala, dengan merogoh ponselnya dalam sakunya.
"Terus?" Ghifar memperhatikan gerakan mas Givan.
"Yaa... Kalau memang mesti aku nikahin Nadya. Ya udah, Canda masih tetep istri aku."
Hah?
Apa dia gila?
Dimadu maksudnya?
"Gini ya, Mas. Kau nyukupin aku aja, itu tak bisa. Apa lagi kau nyukupin kebutuhan dua orang perempuan? Terus... Kau kira, kau setangguh itu? Aku cuma pura-pura nged*sah, aku cuma pura-pura menggelin*ang, biar hati kau seneng. Kau kira skill kau sesakti koleksi video dewasa? Cuma modal tampang, banyak betul tingkah kau!!! Kau kira, aku pun tak tau kah masalah uang yang kau makan sendiri itu? Egois! Menang sendiri!"
Aku langsung membungkam mulutku sendiri. Bodoh kau, Canda! Kenapa malah mengatakan hal yang tidak penting.
Nyaliku seketika menciut, saat mas Givan bangun dari duduknya lalu menatapku begitu tajam.
Telunjuknya terulur, tepat di depan wajahku.
"Sombong!!! Cerai, sana proses sendiri! Aku tak sudi, buat proses perceraian kita. Aku tak mau buat nganter kau pulang ke keluarga kau. Tapi, kalau kau berani ke luar dari rumah ini. Itu tandanya kita udah bukan suami istri lagi. Silahkan pergi, bawa anak kau. "
Jadi begitu cara mainnya?
Okeh.
"Tak perlu kau anter aku pulang, Mas. Aku bisa pergi sendiri dari sekarang. Urus anak perawan kau! Doain, semoga karma kau tak turun ke anak perawan kau. Aku pamit."
Aku bergegas menuju kamarku. Mengambil beberapa barang pribadi milikku dan juga milik Chandra.
Segera aku menarik tas pemberian Giska, yang sudah bosan ia kenakan. Tas ini berukuran cukup besar, aku pun menyimpan beberapa lembar upah dari Winda di dalam tas ini.
Pengemasan tanpa pertimbangan. Aku hanya memasukkannya. Kemudian segera mencari keberadaan Chandra.
"Kakak ipar...." Ghifar memanggilku, saat melihat aku berjalan cepat melewati ruang tamu kembali.
Sekilas terlihat di ujung mataku. Suamiku malah bermain ponsel, tanpa memperdulikan aku dengan amarahku.
Di mana hati nuraninya?
"Key masuk gih. Biyung mau ke rumah masyik dulu ya?" aku menggendong Chandra, sedangkan Mikheyla berada di sebelah Tika.
Tika mencekal pergelangan tanganku, "Diselesaikan baik-baik lah, Kak."
Aku tersenyum manis padanya, meski air mataku sudah tak bisa tertampung lagi.
"Pamit dulu ya, Tik?" aku memeluknya sebentar.
Rasa sedih ini, begitu memuncak. Saat rasa berat meninggalkan kehangatan keluarga ini, yang begitu menyayangi aku dan anakku.
Setelahnya, aku bergegas ke luar dari pagar hunian mewah ini.
Maafkan aku Mah, Pah. Mas Givan yang memulai lebih dulu.
Sejauh ini, aku sudah bersabar hati menghadapinya yang begitu egois ini.
Aku lelah, banyak mengalah darinya. Tetapi, semakin ke sini. Tingkahnya sungguh sangat menyepelekan aku.
Aku bertabah hati, meski dibentak setiap hari. Meski diminta mengurus anak seorang diri, tanpa bantuan darinya. Aku mencoba mengerti, bahwa ia lelah di luar rumah. Sehingga saat di rumah, ia hanya ingin istirahat. Tanpa diganggu dengan aku yang kerepotan mengurus anaknya.
Namun, kali ini mas Givan sudah keterlaluan.
Ia menyembunyikan hasil usaha kami. Tetap berkata, bahwa mendapat laba dua juta. Meski nilai dari kenyataannya, sungguh di luar dugaanku.
Terlebih lagi, bahkan ia tidak membelaku. Atau sekedar menahanku, untuk tidak pergi dari rumah.
Aku tidak yakin, bahwa di dalam kepalanya terdapat otak.
Aku berjalan di teriknya matahari. Aku pun menutupi kepala Chandra, dengan kain jarik. Agar ia tak kepanasan seperti yang aku rasakan.
Meski perasaanku sudah tidak ada lagi. Tapi ini sungguh menyakitkan.
Begitu disepelekan, seolah tak berharga aku di matanya.
"Canda... Tujuan kau ke mana?"
Aku menoleh, saat melihat motor yang berjalan pelan di sampingku.
Aku menggeleng, tertunduk kembali karena air mata ini tak tertahankan saat melihatnya.
Aku berharap, itu adalah mas Givan.
Sayangnya, dia adalah mantan pujaanku dulu.
"Heh!" ia mencekal lenganku begitu erat. Dengan posisinya yang masih berdiri menyangga berat motornya.
"Mau ke mana?" ia memperjelas pertanyaannya padaku.
Aku menoleh kembali, melihat wajahnya yang begitu serius menatapku.
"Aku tak tau." suaraku terdengar tidak stabil. Aku malu padanya, dengan suaraku yang terdengar menyedihkan ini.
"Kita ngobrol dulu. Ayo naik." Ghifar menepuk jok motornya.
Apa yang mas Givan pikirkan, jika melihat aku dibawa Ghifar?
Tapi, kenapa aku malah memikirkannya?
Jelas-jelas ia malah tak menahan kepergianku sama sekali.
"Kin ngerti. Kau tak perlu takut diamuk sama dia." ia menjelaskan jagoan di rumah tangganya. Padahal, aku tidak memikirkan tentang amukan Kinasya sama sekali.
Tanpa berpikir panjang, aku langsung naik ke jok motornya.
Kemudian, Ghifar segera melajukan motornya. Menyusuri jalanan yang rindang dan sepi. Ini bukan jalan menuju jalan besar.
Aku mau dibawa ke mana?
Apa benar, aku mau dijadikan peliharaannya?
Apa iya, aku mau dijadikan tumbal olehnya?
Tapi, setahuku. Keluarga ini, bukan kaya karena pesugihan.
Beberapa kali pernah aku mendengar, bahwa mereka kaya karena warisan.
"Far... Kita mau ke mana?" kepalaku sedikit condong ke arah kiri.
"Kita.......
...****************...
Komentar topnya dong 🙏
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 470 Episodes
Comments
Alea Wahyudi
udah baca ber ilang2 aku tetep sedih gak ketahan air mataku😭😭😭gak kebayang jadi canda punya suami kaya gak punya suami keluar rumah pun gak tau tujuanya kemana , mana bawa anak kecil lg 😭😭😭
2022-06-11
1
Edelweiss🍀
jgn sampai deh org kayak Givan ada didunia nyata, kalaupun ada jgn smpai kita ketemu ama org kayak gitu😡
2021-11-22
2
Een Bunda Al-fatih
bener2 yah si givan ini.astaghfirullah😭😭😭.jangan bilang ya Thor kalau canda masuk kembali ke keluarga bang Adi karna hamil anak givan.aku nggak sudi.sakit sekali hati aku baca kelakuan givan😭
2021-11-18
3