"Kalau mau ke luar dari kampung ini, harus naik angkot atau bus apa?" aku ingin tahu tentang jalanan di daerah ini.
Karena beberapa tahun aku di sini, aku hanya tahu rumah saudara terdekat dan juga ladang milik anggota keluarga. Pasar pun cukup jauh, aku beberapa kali pernah diajak oleh ibu mertuaku dulu.
"Tujuan Akak ke mana dulu?" sebenarnya Winda enak diajak mengobrol dan tukar pikiran. Hanya saja, ia sibuk dengan kuliah dan aktivitasnya untuk mencari kenalan untuk usaha dan jasa suaminya. Ia sering menyambung silaturahmi dengan orang jauh, dengan alasan untuk memperbanyak channel pekerjaan mereka.
"Kak, bawa Key ya? Mau ke warung dulu, beli jajanan." aku memahami Ghava lapar, tetapi aku tidak mengerti kenapa ia lebih memilih jajan. Makanan sudah tersedia, jika ia mau, ia bisa mengambilnya.
Aku mengangguk, kemudian fokus kembali pada Winda yang tengah memangku Chandra.
"Kalau ke jalan besar? Kalau di Jawa, pantura gitu lah." aku tidak mengerti lintas apa disebutnya, jika di provinsi Islam ini.
"Ohh... Dari rumah ini, kita jalan kaki, atau naik ojek. Sampai jalan besar pertigaan sana, yang kanannya apotek, kirinya bakso Pak Haji. Dari situ, kita naik angkot kuning. Kalau kita langsung naik, nanti ke tempat kuliah aku. Kalau kita nyebrang dulu, nanti ke pasar."
Aku manggut-manggut mengerti, setidaknya aku harus tahu sedikit tentang daerah ini.
"Arah pasar, lurus terus ke sana. Itu masuk ke tempat wisata, biasa kita sebut daerah tinggi. Karena memang tempatnya lebih tinggi dari kampung kita, Kak. Kalau ke arah tempat kuliah aku, kita ambil lurus, satu jam ikuti arah petunjuk jalan aja, kita bisa sampai kota. Belok kanan dari lampu merah kampus aku, itu bisa tembus bandara. Ikuti aja plang petunjuk jalannya, biasanya banyak di sisi jalan. Belok kiri dari kampus aku, itu terminal Kak." cukup jelas penjelasan dari Winda.
"Memang Akak mau ke mana sih?" tanyanya dengan menepuk tanganku.
"Tak ke mana-mana. Ya kan, kalau ke sasar kita tau jalan." aku mengatakannya sembari tersenyum.
"Ahh, repot-repot. Menantu teungku haji, pasti mereka tau semua lah. Kesasar pun pasti banyak yang mau anterin balik, kalau Akaknya terus terang bahwa Akak kesasar." ucapan Winda memang benar.
Aku bosan, aku tak pernah ke luar rumah terlalu jauh.
"Kok bisa sih kau belum hamil juga, Win? Ikut KB kah?" aku mengalihkan pembicaraan pagi ini.
"Tak, Ghava buang luar. Tapi kadang buang di dada, buang di perut, buang di muka, buang di mulut, suka-suka dia aja sih."
Aku mengerti ini.
Kami tertawa geli berdua. Chandra terlihat kebingungan menatap kami yang tengah tertawa tanpa mengajaknya.
"Serius loh, Win!" aku menepuk pelan pahanya.
"Iya serius." ia masih menarik sudut bibirnya ke atas, "Kadang pakai k*ndom, buat variasi. Bukannya tak pengen punya anak, Kak. Cuma, aku masih kuliah. Bang Ghava takut aku ngidamnya kek Giska, nanti kek mana pendidikan aku Kak? Belum lagi... Siapa yang urus nanti, Kak? Mamah Dinda tak ada di sini." di akhir kalimatnya, suasana hatiku berubah menjadi sendu.
"Pengennya juga, yang terencana kek bang Ghifar sama kak Kin kek gitu Kak. Lepas mereka menikah, kak Kin langsung rutin minum susu esensis, makan makanan yang tinggi asam folat sama kalsium, vitaminnya juga dia main. Ya memang, dia dokter, dia paham. Tapi aku maunya terencana kek gitu, biar kita lebih perhatian sama perut kita kek gitu kan? Soalnya, aku makannya agak jorok nih. Bukannya makan kotoran ya. Tapi kek... Aku pengen, aku lahap. Santan, pedas, asam, mengandung mecin tinggi, hajar ajalah. Bukannya hamil banyak yang dipantang, tapi memang kelak nanti aku mau perhatian sama perut aku. Aku sama bang Ghava pun sering ngobrol kek gitu. Saat aku hamil nanti, pengen lebih mikirin kandungan dalam makanan kita, pengen jadi orang tua yang melahirkan keturunan yang baik. Pokoknya... Kek gitulah." pandangannya menerawang ke depan dengan senyum penuh harap.
Itu adalah aku, saat di mana begitu menginginkan kehamilan. Namun, suamiku malah divonis kurang subur.
Ya, sudahlah. Sudah terlewat, yang penting Chandra sehat-sehat saja.
"Tapi aku tak mau kek kak Kin, abis nifas, jarak satu bulan, dia udah ngandung lagi. Kasian gitu lah Kak, sama anak kita. Ya memang, masih bisa ASI. Tapi... Kek apa ya? Seolah-olah tuh, dia harus cepat besar, karena mau punya adik lagi." aku memahami yang Winda maksud.
"Tapi, bukannya mertua kita juga kek gitu ya?" Winda langsung menoleh ke arahku.
"Iya sih. Tapi mamah Dinda itu KB loh, Kak. Dari ceritanya tuh, Gavin lahir tuh sambil bawa IUD. Gibran ya mamah masih pakek KB implan. Kalau dari jaraknya bang Ghifar sampai ke Giska, itu katanya sih karena tak sengaja. Jadi kan hamil bang Ghifar nih masih nikah siri, terus lepas satu bulan itu, mereka hubungan badan. Terus nyambung hamil kembar karena khilaf berhubungan di masa nifas itu, nah lepas itu kan mau pisah. Tapi malah diresmikan, janjinya katanya buang luar, tapi papah lupa cabut, jadilah Giska. Jadi bukan karena sengaja, Kak."
Ya itulah, keunikan keluarga di rumah ini. Ceritanya mengandung minat semua orang untuk mendengarkannya.
"Akak sih KB apa?" tangannya kemudian.
"Aku suntik tiga bulan." aku memang memilih yang terjangkau, hanya sekitar dua puluh lima ribuan saja.
Selepas mengobrol santai, aku mengurus Chandra kembali. Sudah jam tujuh, sudah waktunya bayiku untuk makan pagi. Setelah makan, ia harus aku tidurkan. Karena aku harus mengurus cucian kotor, juga mengawasi Mikheyla berlarian.
Meski semua orang mau menjaga Mikheyla, tapi tetap saja masing-masing keluarga memiliki kesibukan tersendiri.
Ghifar terlalu menggampangkan segalanya. Ia sering berucap, mintalah bantuan sama ipar kau, kau tak hidup sendiri di rumah ini.
Ya memang, semua orang mudah aku mintai bantuan. Hanya saja, aku harus sadar diri. Karena kehidupan mereka, bukan melulu untuk membantuku. Mereka memiliki kegiatan masing-masing, dengan keluarga dan anak masing-masing.
Jika teringat amarah kakak beradik itu, rasanya aku ingin membalikkannya pada mereka.
Sayangnya, aku tidak memiliki keberanian untuk itu.
Rutinitasku sedikit longgar, karena pekerjaanku telah selesai, Mikheyla pun sudah tertidur di siang hari ini.
Kini aku tengah bersantai di ruang keluarga, bersama Chandra dan juga Kalista.
Kinasya tengah membantu Giska untuk makan. Giska selalu bersedih hati, karena saat dirinya mengidam, orang tuanya malah pindah ke negara lain.
Kala teringat nasehat mertuaku sebelum berangkat pergi. Aku juga merasa berat, untuk meninggalkan kekeluargaan ini.
"*Udah pada rumah tangga. Jaga rumah tangga kalian baik-baik. Yang laki-laki, jaga diri kalian sebagai kepala keluarga. Kasarnya, kalian lecet sedikit aja, anak istri kalian itu tak makan, karena tulang punggungnya tak bisa memenuhi kewajibannya." ayah mertuaku tengah memandang anak-anaknya satu persatu*.
"*Kalian udah milih pasangan hidup masing-masing. Berkomitmenlah seteguh mungkin, ingat perceraian itu hal yang paling disukai oleh setan. Mereka naik derajat, kalau berhasil buat rumah tangga berantakan." lanjutnya dengan menepuk lutut Ghava, keturunannya yang pernah bercerai*.
"*Yang perempuan, jaga marwah kalian sebagai seorang istri. Tegur suami kalian, kalau lalai dalam kewajibannya. Jangan pernah lari dari masalah, selesaikan, cari jalan keluar terbaiknya." ayah mertuaku tidak tanggung-tanggung memberikan nasehat*.
"*Hubungi Papah sama Mamah sering-sering. Mamah sama Papah jauh, bukan berarti kalian udah tak punya orang tua. Bukan Papah lepas tanggung jawab, pada kalian yang udah berumah tangga. Tapi coba belajar mandiri, bimbing keluarga kalian masing-masing. Silahkan bikin rumah kalau udah mampu, tapi tolong urus rumah jerih payah Papah ini." aku mulai menangis, ini sepertinya hal buruk untukku. Karena hanya mereka, yang paling mengerti tentang menantunya ini*.
"*Jangan pelit sama saudara. Saling tolong, saling bantu. Jangan perhitungan, karena sesuatunya pasti kembali ke kita lagi." tak diragukan lagi, karena ibu mertuaku adalah orang yang royal. Nasehatnya tepat sekali untuk sifatnya yang baik hati dan sukar menolong*.
"*Mamah sama Papah pamit ya? Nanti kita kabarin, kalau udah sampai di tempat tujuan. Doain Mamah Papah sehat terus, sholat jangan tinggal." kami mencium dan memeluk kedua orang tua di rumah ini*.
Ghifar muncul dengan pakaian kantorannya, ia langsung mendekati Kalista yang tertidur di dekatku.
Para kakak beradik ini bertahan di rumah ini, lantaran Ghifar selalu memaksa mereka untuk bersama. Ia mengizinkan saudara pindah, jika benar-benar sudah memiliki rumah.
Ghifar beradu pandang denganku.
Apa maksudnya? Aku tidak mengerti bahasa matanya. Malah yang ada, aku menjadi deg-degan sendiri.
...****************...
Ini pakai sudut pandang orang pertama. jadi, Canda sendiri yang cerita. Kek novel Sang Pemuda itu. Kan Adi sendiri yang cerita.
Ayo bantu sundul Kak 😉
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 470 Episodes
Comments
Lisa Z
pembicaraan nya 18++ wkwk
2022-03-13
0
Alea Wahyudi
punya suami ky givan yg kurang bs mengerti istri & kurang peka SM keadaan istri & anak udah pasti istri pasti bandingin mantan atau laki2 lain yg lebih baik ,walaupu cm dlm hati....yg sabar canda
2022-01-28
1
Edelweiss🍀
suka thor... marathon aku bacanya nih😉
2021-11-22
2