"Nih, pegang ATM ini. Aku tak punya uang cash. Uang cash, Kin yang pegang." Ghifar menyodorkan kartu pipih bernuansa biru di atas meja.
"Biarin aku usahain kebutuhan aku sendiri, Far. Aku bukan tanggungan kau. Bukannya aku nolak, tapi harusnya abang kau yang kasih itu selama aku masa idda." sedikit banyaknya, aku mengerti tentang kebutuhan perempuan dalam masa idda masih dijamin oleh mantan suami.
"Udah, pegang aja. PINnya angka satu sampai enam. Buat keperluan mendesak aja, kalau memang kau tak mau gunakan ini. Uang segitu, tak cukup bawa kau ke Solo." ada benarnya juga ucapan Ghifar.
Aku menarik kartu itu, menggenggamnya dan memasukkannya dalam tas.
"Makasih, Far. Udah mau peduli sama aku, sama Chandra." rasa haru menyelimuti hatiku kembali.
"Aku dari awal juga peduli. Makannya aku sering marahin kau, biar suami kau paham maksud aku. Tapi, bodohnya dia. Dia malah ikutan marahin kau." Ghifar geleng-geleng kepala.
"Herannya aku bang Givan tak ngerti, bahwa aku tengah mojokin dia." ia tengah memandang kosong kendaraan yang berlalu lalang.
Ia menoleh padaku, kemudian tersenyum manis.
Jantungku bergemuruh, petir bersambaran menghidupkan sisa rasaku padanya. Saat telapak tangannya menepi, hinggap di atas punggung tanganku.
"Di pikiran aku, bang Givan ini minta maaf atas kau, terus dirinya tebus kesalahan kau. Ehh, tapi malah marahin kau."
Apa ia tidak sadar, aku akan meledak karena gelombang keakraban ini?
"Udah kek gini." Ghifar menepuk punggung tanganku.
"Kau yang pintar. Jaga diri kau, jangan sampai dapat laki-laki yang kek bang Givan lagi. Ini nih, kau udah cerai sama dia. Dia mutusin talaknya, kalau kau milih keluar rumah tadi. Terus, kau malah lakuin."
Alhamdulillah, Ghifar menarik lagi telapak tangannya.
"Ehh, kok ngelamun?" Ghifar menggoyangkan bahuku.
"Iya denger, Far." aku tersenyum padanya.
"Caranya kek mana, biar aku dapatkan yang tak kek mas Givan?" lanjutku kemudian.
"Caranya, jangan terlalu ngejer laki-laki. Khawatir, malah terulang kejadian yang sama. Sampai detik ini, aku nyeselin kau datang ke rumah sebelum kejadian itu. Harusnya, aku ngabarin kau lepas aku mutusin buat nginep di rumah abi. Harusnya, aku cepat balas chat kau pagi itu. Bukannya malah pules tidur. Nyatanya kan? Penyesalanku datang sampai hari ini juga." mataku berkaca-kaca kembali, kala mendengar penyesalan Ghifar karena kecerobohanku hari itu.
Ya memang, harusnya aku pun tak masuk ke dalam rumah itu.
Aku memutar posisiku, persis berhadapan dengan Ghifar yang tengah memangku Chandra. Karena aku berada di sebelahnya sekarang.
"Kau kenapa sih? Kau kenapa tak dari dulu ngajak ngobrol aku kek gini? Kalau kau kek gini di rumah, mungkin aku bisa bertahan sampai masalah betul-betul clear." aku mengagumi kharisma suami orang, yang berada di hadapanku ini.
Segila itu dulu aku padanya. Sayangnya, aku begitu cerobohnya membawa diriku sendiri.
"Karena aku tak bisa profesional jadi adik ipar kau. Rasa itu masih ada, meski samar dengan kehadiran muhrim aku di rumah. Kalau aku terlalu baik menjalin hubungan sebagai ipar, itu jelas tak mungkin karena dulu kita saling punya rasa. Aku tak mungkin biarin rasa itu tumbuh, saat status kau sebagai kakak ipar aku. Aku tak mungkin buka obrolan di depan suami kau, dia saingan terbesar aku di rumah itu. Bukan Ghava, bukan Ghavi, atau lainnya. Tapi dia merasa tersaingi, karena aku keturunan pertama di rumah itu. Aku berani susul kau, ngobrol sama kau. Karena aku tau, hari ini kau udah bukan kakak ipar aku lagi."
Aku menangisinya, menangisi kejujurannya hari ini. Ternyata selama ini, bentakannya, amarahnya padaku. Sebagai caranya untuk membenciku.
Andai saja aku menguatkan diriku, bahwa rasa malu menjadi korban pemer*osaan akan sirna seiring waktu. Mungkin aku dan Ghifar tidak saling memberi jarak seperti ini.
"Kau sebenarnya cinta tak sih sama Kin?"
Kau ngelunjak, Canda!
Harusnya aku tahu batasanku. Bukannya menanyakan tentang perasaannya pada istrinya.
"Kin tujuan hidup aku, hidup aku terarah karena dia. Dia yang nyembuhin trauma aku, dia kasih aku keturunan tanpa mengeluh. Dia yang ngurusin aku, ngurusin anak aku. Aku begitu tak pantas, kalau tak mencintainya."
Jawaban Ghifar tak membuatku puas.
"Awalnya?" aku malah memberinya pertanyaan yang menggantung.
"Awalnya, berzina secara tak langsung."
Aku malah tertawa geli, mendengar jawabannya tersebut.
"Ketawa pula kau!" ia pun tertawa samar.
"Ya gitulah. Laki-laki tuh umumnya kek gitu. Yang penting, pandai jaga diri aja kek Kin." Ghifar kembali menarik nama istrinya.
"Memang Kin aman waktu sama kau dulu? ."
Aku langsung menutup mulutku. Ini sungguh tak pantas, jika dibicarakan di belakang Kinasya.
"Tak aman juga, satu dua lah sama kau. Tapi, rasa cemburu Kin itu besar. Rasa takut kehilangan pasangan itu besar. Jadi dia rela berkorban, asal jangan ditinggalkan." Ghifar membelai pipi anakku.
Lalu, ia menatapku kembali.
"Aku kadang heran juga. Kenapa dia bisa putus sama pacar-pacarnya dulu, padahal dia serela itu. Pernah aku tanyakan, katanya tak ada yang berani. Karena konsekuensinya, berurusan sama dokter bedah." Ghifar terdiam sejenak. Aku pun tak tahu, harus menyahuti apa.
"Ehh, Chandra sama aku aja ya? Key di sana, pasti Kin yang urus."
Sudah aku kehilangan suami, ditambah lagi kehilangan anak.
"Aku tak mau. Chandra anak aku." aku takut Chandra tidak tahu dengan figur ibunya.
"Kalau kau sukses, kau ambilah lagi Chandra. Aku tak akan minta anak kau, anak aku pun pasti banyak. Cuma ngamanin dia aja, selama kau belum jelas kek gini. Coba aku tanya, kau mau pulang ke Jawa tak? Atau punya tempat tujuan lain?"
Aku berpikir sejenak, tentang bibi Hana di kampung halamanku.
Setiap aku menelponnya pun, bibi Hana selalu memberatkanku tentang tanggung jawabku sebagai istri dari mas Givan. Aku khawatir, saat aku sampai di sana. Ia memintaku rujuk kembali dengan mas Givan.
Beribu alasan tentang aku memilih berpisah, bukan hanya karena mas Givan berselingkuh. Kalian pasti tahu bagaimana cara mas Givan memperlakukanku, jika kalian membaca cerita sebelumnya.
"Aku masih mau di pulau ini. Uangku pun, keknya tak cukup bawa aku ke Jawa." aku cuma bisa berpasrah diri. Mengharap, semoga aku dan Chandra tetap bisa makan meski dengan keadaanku ini.
"Ya udah, nanti kalau memang kau nyerah. Hubungi aku atau email aku aja, buat jemput kau. Bukannya aku tak ngelarang kau pergi. Tapi kau berhak mendapat kebahagiaan dan kebebasan. Aku tak punya hak untuk itu, aku punya tanggungan di rumah."
Aku mengerti maksudnya. Dia ingin aku bahagia dan bebas, tanpa kakaknya itu.
"Sekarang, kau mau ke arah mana?" tanyanya kemudian.
"Aku mau ke arah kampus." jawabku dengan menoleh ke arah jalan besar.
"Aku tau ilmu agama kau baik. Jaga diri kau, jangan ceroboh lagi. Cukup jadi janda sekali, jangan ambil opsi yang salah lagi. Contoh mamah Dinda. Setidaknya, cari yang kaya dan bertanggung jawab kek papah Adi. Biar masalah ekonomi kek kemarin, tak kejadian lagi. Memang, ujian rumah tangga itu ada aja. Aku pun, ada aja yang buat aku sama Kin berantem tiap hari. Tapi minimalisir masalah itu, dengan keadaan laki-laki yang perekonomiannya stabil. Kekayaan hanya nilai, yang sekiranya stabil dan bertanggung jawab ajalah. Karena aku paham, perempuan itu tak bisa kalau tak megang uang. Segala keperluan itu, yang paham cuma perempuan."
Jika saja bibiku dulu mau mengerti, bahwa Ghifar menerima keadaanku dulu. Pasti hari ini, ia akan menarikku kembali ke rumah.
"Canda..." Ghifar menyentuh punggung tanganku.
"Ya, apa?" tanyaku kembali menatap matanya yang teduh.
...****************...
Campur aduk rasanya nulis part ini.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 470 Episodes
Comments
Alea Wahyudi
sayang bang ghifar gak jodoh sm canda padahal secinta itu se baik itu sedalam itu ghifar sayang nya kecanda
2022-06-11
1
Alea Wahyudi
😭😭😭😭
2022-01-28
1
Edelweiss🍀
Bijaksana sekali, meleleh aku
2021-11-22
2