*Kejadian Canda direnggut kesuciannya itu ada novel Belenggu Delapan Saudara 😁
"Kau mesti bangun lebih dulu, dari suami kau. Kalau kau bangun kesiangan terus, gimana nanti anak-anak kita sarapan? Aku sarapan? Kau harus pandai atur waktu coba!" aku tidak menyukai pagi ini.
Padahal, aku kesiangan pun. Karena malamnya bergelut dengannya, ia membuatku kelelahan.
Dasar, suami tak tau terima kasih.
Aku selalu memakinya dalam hati, karena aku tidak berani memakinya secara langsung.
Aku bergegas membersihkan diri, kemudian langsung menunaikan ibadahku.
Rutinitas seperti biasa, aku membuatkan sarapan. Berharap bisa menekan pengeluaran setiap hari, karena aku memasak sekalian untuk makan siang dan malam. Jika harus membeli sarapan, tentu akan mengeluarkan biaya tambahan.
"Kak..." aku menoleh saat seseorang menyebut sematan panggilan untukku, sebagai kakak ipar tertua di rumah ini.
"Tak usah masak, aku udah masak banyak dari jam tigaan tadi. Aku susah tidur lagi, lepas Kal minta ASI." dialah istri Ghifar, Kinasya. Rupa wanita idaman, untuk semua laki-laki.
Ghifar baru memiliki seorang anak berumur enam bulan, tetapi Kinasya sudah mengandung kembali. Usia kandungan Kinasya sekitar tiga bulan.
Anakku Chandra, terpaut enam bulan dengan usia Cut Dinda Kalista. Nama unik, yang mengandung selipan nama ibu mertuaku lagi.
"Minta nasi dong! ASI kosong, kantongnya kempes." Tika muncul dengan cengengesan.
Tika menyusui bayi kembar, wajar saja ASInya cepat terkuras. Teuku Ghaffar dan Teuku Ghaffur, adalah nama bayi kembar Tika dan Ghavi yang satu bulan lalu dilahirkan.
"Nih, makanlah banyak-banyak! Tak usah masak, aku udah masakin banyak." Kinasya menunjukkan hasil masakan subuh pagi ini.
"Aduh, makasih Iparku yang paling berisik." Tika begitu girang langsung menyambar makanan.
"Bilang makasih, tapi malah ngatain!" gerutu Kinasya terdengar begitu lucu.
"Aku masak aja lah, nanti mas Givan ngomong." aku meraih wadah untuk mencuci beras milikku sendiri. Di dapur ini, memiliki beberapa penanak nasi untuk masing-masing keluarga. Kami biasa masak nasi dan lauk pauk untuk keluarga masing-masing.
"Diomong balik lah! Ghifar sih udah aku sengkak. Suami tukang komplen, udah aku bogem-bogem pipinya." Kinasya gambaran istri yang tidak takut suami, mungkin karena badannya yang tinggi besar.
Kami tertawa geli di dapur ini. Sedangkan Tika, ia asik bersantap untuk memenuhi kebutuhan menyusuinya.
"Nasi aku masak banyak, Kak. Tak perlu masak lah! Simpan aja uang belanjanya, buat keperluan lainnya." meski Kinasya sudah tidak bekerja sebagai dokter, tapi gaji dari suaminya begitu besar.
Hobinya masak, tak jarang ia selalu memenuhi perut seluruh anggota keluarga.
"YANG....." Kinasya enyah dari dapur ini, suara lepasnya kembali menyanjungkan panggilan sayangnya untuk suaminya.
"Biyung....." aku mendengar suara anak sulungku, rupanya kesayangan suamiku sudah bangun.
"Di dapur, Key." sahutku sedikit berseru.
Gadis kecil usia empat tahun itu muncul, garis matanya tertarik karena Mikheyla tersenyum padaku.
"Biyung... Aku udah bangun, aku nyariin." ia berjalan menghampiriku yang tengah mencuci beras.
"Ayah udah bangun, gih sama ayah. Biyung mau masak dulu ya?"
Aku tidak mengerti dengan tubuh Mikheyla, ia terlihat kurus meski makan rutin. Pernah terlintas pertanyaan, apakah gizinya tak tercukupi? Tapi, aku harus sadar diri dengan hasil masakanku setiap hari. Jika aku menanyakan hal itu pada diriku sendiri.
Meski toko material suamiku telah berkembang, tetapi tetap saja tidak bisa memenuhi segala kebutuhan hidup. Entah karena perasaanku pada mas Givan yang telah sirna, membuat rezeki kami begitu seret? Atau karena memang yang kuasa telah memberi hanya untuk menutupi beberapa kebutuhan hidup saja? Membuat aku lebih sering memasak sayuran, yang harganya terjangkau. Ketimbang untuk membeli daging, yang harganya tak mampu kuraih dengan uang belanjaku.
Perhari aku dijatah lima puluh ribu rupiah. Bukannya aku tidak bersyukur, aku sangat bersyukur karena ada pemasukan setiap harinya. Tidak seperti perekonomian kami dulu, yang selalu mengandalkan orang tua. Hanya saja, lima puluh ribu jatah uang belanjaku harus disisihkan untuk memberi kental manis untuk Mikheyla, diapers dan juga beras untuk kebutuhan makanan keluarga kecilku.
Anak gadisku harus beralih ke krimer kental manis seharga lima belas ribu, karena kesombongan ayahnya. Mas Givan selalu menolak susu formula pemberian Ghifar untuk Mikheyla. Ia pun memberikan kembali diapers yang dijatah oleh Ghavi untuk Chandra dan Mikheyla. Padahal aku membutuhkan itu, untuk keperluan anak-anakku.
Tapi dengan sombongnya, suamiku menolak itu semua karena dirinya merasa harga dirinya diinjak-injak sebagai seorang kepala keluarga.
Entahlah, pemikiran dari mana itu. Aku tetap tak setuju dengan pemikiran suamiku.
Meski hidup di hunian mewah milik mertuaku, aku tetap saja merasa miskin dan kekurangan segalanya.
Sekali lagi, bukannya aku tidak bersyukur.
"Minta tolong bikinin susu, Biyung." suamiku cukup galak. Ia mengajarkan Mikheyla harus membutuhkan kalimat minta tolong, setiap kali gadis kecil itu membutuhkan tenaga orang tuanya.
Semoga aku tidak berdosa, karena Mikheyla meminta susu. Namun, aku malah menyeduhkan krimer kental manis untuknya.
Hal ini, sudah terjadi sejak mertuaku pindah ke Brazil. Sekitar dua bulan yang lalu. Aku terpaksa, karena tidak ada opsi lain untuk susu formula Mikheyla. Dari lima puluh ribuku, aku tidak mampu menyisihkan untuk susu formula Mikheyla seharga enam puluh ribu untuk ukuran kecil.
"Ok." aku menyanggupi permintaan anakku.
"Yang.... Kal minta ASI." suara Ghifar khas bangun tidur, terdengar cukup menggoda imanku.
Adik ipar, kenapa kau selalu lebih unggul di hatiku ketimbang suamiku?
"Eh... Mana itu betina?" Ghifar memperhatikan aku dan Mikheyla dengan bingung, saat tak mendapati istrinya di sini.
"Kan ke atas, abis dari dapur dia manggil-manggil kau Far." kami jarang berbicara.
Namun, sepertinya ada sesuatu yang menarik perhatiannya.
Aku memperhatikan penampilanku. Kemudian aku mengalihkan pandanganku, untuk melihat Mikheyla yang tengah meneguk susunya dalam gelas.
Tangannya terulur, menunjuk sesuatu di dekatku.
"Kau kasih Key larutan gula?!" pertanyaannya terdengar seperti tuduhan.
Sungguh, aku langsung gemetar jika aku disudutkan seperti ini.
"Kakak ipar... Kau kasih Key larutan gula?" ia berjalan mendekat ke arahku, dengan menggendong bayi usia enam bulan yang tengah mengenyot ibu jarinya sendiri.
"Hmm..." aku menunduk gemetar.
"Ya Allah, Kakak ipar!" Ghifar telah sampai di depanku, ia menggelengkan kepalanya dengan tatapan marahnya.
Aku masih menunduk, aku takut berhadapan dengannya dan tuduhannya.
Kenapa sekalinya kami terlibat argumen, selalu saat dia mendapat cela untuk menghakimiku? Aku ingin berbicara baik-baik dengannya. Kalau bisa, untuk menyelesaikan yang selama ini menjadi jarak di antara kami.
Tubuhku sedikit terguncang.
Tak disangka, Ghifar berani mengguncangkan bahuku.
Aku menatap lurus wajahnya, perasaanku campur aduk.
"Heh, Kakak ipar! Kau kasih Key larutan gula?!!" kembali ia mengatakan hal itu.
"Kau tak tau masalah ekonomi kami, Far. Ini pun, atas izin mas Givan."
Aku langsung menutup mulutku. Kenapa aku malah membela diri? Bukannya mengakui kesalahanku seperti biasa?
"Ck... Ekonomi kau sangkut pautkan! Tujuh juta sebulan, hasil laba toko kau Kak. Kau tak mampu, ketimbang sisihkan seratus untuk susu anak kau?!"
Ucapan Ghifar, membuatku bungkam.
Aku tidak mengetahui sama sekali tentang tujuh juta itu.
Apa jangan-jangan.....
...****************...
Like perepisode 😆
tap ❤️, rate ⭐⭐⭐⭐⭐, vote, hadiah.. kasih kuota pun boleh, dari pada author beli ketengan terus kan 😝
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 470 Episodes
Comments
fifid dwi ariani
trus sabar
2022-11-29
1
HiaTus
hadir nih kak,
2021-12-29
2
Edelweiss🍀
miris hatiku, 50rb sebulan padahal suaminya mampu memberi lebih dari itu😭
2021-11-22
2