Mas Givan berjanji pulang sore esok, selepas dirinya pergi. Namun, detik ini sudah masuk hari ketiga dirinya tidak pulang.
Padahal, aku selalu mengizinkannya untuk nongkrong bersama teman-temannya. Tapi kenapa, saat ia diberi kesempatan yang begitu lebar, ia malah begitu serakah menghabiskan waktunya?
Apa ia tidak ingat dengan aku di sini memiliki dua anak? Apa dia sudah lupa dengan statusnya sebagai suamiku?
"Ngapain kau ke sini?!"
Chandra sampai terhenyak kaget, lalu ia menangis. Karena mendengar suara ketus Kinasya.
Kami tengah bersantai di teras, dengan pemandangan Giska tidur lelap di atas paha Zuhdi. Romantisnya mereka, aku jadi ingin.
Namun, Ahya muncul. Musuh utama Kinasya, padahal Ahya disebut adiknya sendiri.
"Ya ampun!!! Tenang Kak Kin, kau menang!"
Kami tertawa renyah, saat Ahya langsung memeluk Kinasya dengan kalimat itu.
"Nih! Seciul perhatian dari ibuku." lalu ia memberikan rantang stainless steel dua susun pada Kinasya.
"Udah ah, balik aku." Ahya langsung mengenakan kembali sandalnya.
Tin......
Mobil milik keluarga berbelok ke arah halaman rumah.
"Waduh, oleh-oleh nih." Ahya langsung mendekati pintu mobil yang sudah berhenti tersebut.
Aku mengetahui, ini adalah mobil yang dibawa oleh suamiku. Seperti biasa, dengan akrabnya Ahya membuka pintu mobil tersebut.
Namun, aku menangkap pandangan kaget dari wajah Ahya.
Hatiku bagai tersiram air yang sangat dingin, terasa sakit dan menusuk ke permukaan yang paling dalam.
Saat wanita yang terlihat amat modis turun, kemudian ia memandang kami satu persatu.
"Ehh.... Ghifar ya? Tolong dong bantuin." ia melambaikan tangannya pada Ghifar yang berdiri dengan sebuah raket di tangannya.
Ghifar mendekat ke arah mobil itu, entah apa yang ia lihat. Ia sama terkejutnya, seperti ekspresi Ahya yang masih berdiri di tempatnya.
"Kenapa tak telpon, Bang?" suara Ghifar sampai ke telingaku.
Memang apa yang tengah terjadi?
Ghifar menoleh ke arah kami, ia melambai pada salah satu saudara sekandungnya.
Ghava.
Ia berjalan mendekat ke arah pintu mobil. Hanya Ghava dan Zuhdi yang berada di rumah. Zuhdi adalah suami dari Giska, ia tengah berada di rumah dalam waktu yang lama. Karena jasanya jarang dibutuhkan, saat dirinya menjadi menantu mertuaku yang tergolong sebagai orang yang memiliki derajat tinggi.
Meski Zuhdi seorang tukang bangunan, Giska begitu menggilai laki-laki itu setengah mati.
Sedangkan Ghavi, selepas orang tuanya pindah. Ghavi begitu sibuk dengan pekerjaannya. Menurut pengamatanku, dia adalah laki-laki yang pandai merayu dan pekerja keras. Meski pernikahan mereka belum lama, tapi hasil kerja Ghavi cukup memenuhi kebutuhan keluarganya sendiri. Sampai Tika bergelimang emas, karena Ghavi selalu menghadiahkan perhiasan pada istrinya.
Kadang aku tidak mengerti, kenapa aku tidak seperti istri orang lain?
Belum juga selesai masalah ekonomi, kini datang peran tambahan. Siapa wanita itu? Lalu ada apa dengan suamiku? Apa pikiran buruk beberapa hari kemarin, kini jadi kenyataan? Aku memiliki banyak pertanyaan, yang aku sendiri tidak berani menanyakannya langsung.
Benarkah prasangka burukku akan terjadi?
Apakah bayang-bayang diriku menjadi single parent akan terjadi, dengan hadirnya wanita yang ada di depan mataku?
Aku menganga, saat melihat kepala suamiku dibalut perban.
Bodohnya kau, Canda!!!
Bukannya memikirkan hal buruk pada suamiku, aku malah mengira dirinya bermain api dengan wanita itu.
Aku khawatir, karena ia masih suamiku. Bergegas aku mendekatinya.
"Bentar, Kak. Dipindahkan ke bawah dalam dulu." ujar Ghava, ia tengah merangkul pundak suamiku yang dibantu berjalan oleh Ghifar.
Mas Givan hanya tertunduk, matanya terpejam mungkin untuk meminimalisir rasa sakit di kepalanya.
Jika dilihat dari kondisi mobil milik keluarga yang mas Givan kenakan. Sepertinya, luka di kepala mas Givan bukan karena kecelakaan. Karena, mobil itu masih mulus tanpa lecet sedikitpun.
Mas Givan langsung diantar ke dalam kamar kami. Dengan aku dan Mikheyla langsung bergegas menemui mas Givan.
Untungnya banyak orang di sini, banyak yang mau untuk menjaga Chandra sementara waktu. Agar aku bisa melihat kondisi mas Givan.
"Mas...." Aku sudah berada di sisinya.
Ia membuka matanya, melihatku yang duduk di tepian tempat tidur kami. Mikheyla pun langsung duduk di pangkuanku.
"Ayah..." Mikheyla terisak lirih.
Aku mengerti, anak usia empat tahun ini pasti mengerti kasihan pada orang terdekatnya. Apa lagi mas Givan, bukan lain adalah ayah kandungnya sendiri.
Tangannya terulur, mengusap pipi Mikheyla. Kemudian ia menggulirkan pandangannya ke arahku.
"Ayah tak apa. Jangan nangis dong." mas Givan tersenyum samar pada kami.
"Kenapa, Mas?" aku tak bisa menyembunyikan kekhawatiranku.
"Kecelakaan, Dek."
Benarkah? Tapi kenapa aku meragukannya? Apa lagi, dengan keadaan mobil milik keluarga yang baik-baik saja.
"Kenapa Mas tak ngabarin?" tanyaku sembari memperhatikan wajahnya.
"Nanti anak-anak kek mana? Kalau kau malah jemput Mas ke sana."
Aku merasa, hanya tenagaku yang dibutuhkan. Ia memikirkan anak-anaknya, yang tak memiliki pengasuh selain ibunya.
"Kek mana keadaannya?" meski terasa hambar, aku bisa pura-pura memberikan perhatian.
Aku seperti ini, karena dia yang memulai. Aku sudah lelah hati, capek perasaan dan pikiran. Jika selalu mengharapkan lebih dari suamiku.
Tapi herannya aku, kenapa dia tak memahami perubahan pada diri istrinya? Apa setidak acuh itu, ia pada istrinya sendiri?
Kembali lagi. Aku berpikir, apa karena pernikahan kami yang awalnya memang terpaksa?
Tapi, saat selepas pernikahan kami. Aku dan dia baik-baik saja, terkadang sering bergurau. Namun, semakin ke sini. Ia semakin tidak mengerti tentang istrinya. Tak jarang, ia membentakku. Membuatku selalu dilanda ketakutan, jika berbicara mengenai pendapat dan diriku sendiri.
Aku lebih memilih bungkam dan merubah sikapku sendiri.
Harusnya Ghifar juga mengerti, akan sikapku yang berubah drastis. Sejak tidak bersamanya lagi.
Namun, ia seolah tutup mata. Selalu beralasan untuk kebahagiaanku dan kakaknya.
Nyatanya, aku tidak bahagia sampai detik ini.
"Luka jahit di sini." suamiku menunjuk tepat di atas telinganya.
Aku mengangguk mengerti. Meski tak sampai di otakku, tentang luka di atas telinganya dan keadilan mobil yang baik-baik saja.
Pada tubuhnya pun, ia tak memiliki luka lain.
Satu hal lain, yang membuatku semakin ragu dengan pengakuannya.
Ia memiliki bekas membiru di tulang pipinya.
Meskipun pengalaman hidupku selama dua puluh tiga tahun ini belum banyak. Kuliahku tidak dilanjut, pendidikanku hanya sampai menengah atas saja. Tapi aku bisa menarik kesimpulan, meski aku bukan seorang yang ahli.
Suamiku seperti terlibat perkelahian. Hanya saja, mas Givan enggan untuk mengakuinya.
"Van..."
Aku dan suamiku menoleh ke arah pintu kamar. Aku menyangka, suara itu adalah suara Giska. Rupanya, tamu tidak sopan itu telah sampai di depan pintu kamarku.
"Aku pamit ya? Ghifar antarkan sampai ke jalan depan." berani-beraninya ia melangkah masuk, dengan berkata ramah seolah tidak ada aku di sini.
Mas Givan tersenyum lebar, sebelumnya ia tidak pernah tersenyum semanis itu padaku.
"Iya, nanti aku kabarin. Maaf ya, malah buat kacau." suamiku berbicara begitu halus dan ramah. Seperti mulutnya jika tengah diajak berbicara dengan ibu mertuaku dan saudara perempuannya.
"Tak apa, sehat-sehat ya?" wanita tersebut tersenyum padaku.
Mataku melebar sempurna, saat ia menundukkan kepalanya dan beradu pipi dengan suamiku.
Kurang ajar!
...****************...
Jeng, jeng, jeng, jeng.....
Eh, belum. Masih harus nunggu besok lagi 😆
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 470 Episodes
Comments
Alea Wahyudi
givan....bikin ulah lg
2022-01-28
1
Edelweiss🍀
sulit diposisi Canda😓
2021-11-22
2
My_ChA
tinggalin aja udah canda, laki kek givan gak pantes dipertahankan. mungkin dia baru sadar Dan merasa kehilangan klo kau pergi.
2021-11-16
3